Pengikut
Sabtu, 09 Januari 2010
Penatalaksanaan Anestesi Umum pada Operasi VP-Shunt a.i Hidrosefalus
PRESENTASI KASUS
Penatalaksanaan Anestesi Umum pada
Operasi VP-Shunt a.i Hidrosefalus
Pembimbing :
Dr. Diding M. Syamsudin, Sp.An
Disusun Oleh :
1. Defti Putri Perdhani 0810221099
2. Muhammad Fikih 0810221107
SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2009
HALAMAN PENGESAHAN
Presentasi kasus dengan judul :
Penatalaksanaan Anestesi Umum pada
Operasi VP-Shunt a.i Hidrosefalus
Disusun untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan kepaniteraan klinik di Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
Disusun oleh :
1. Mohammad Fikih 0810221107
2. Defti Putri Perdhani 0810221099
Telah dipresentasikan dan disetujui
Pada tanggal : Agustus 2009
Pembimbing:
Dr. Diding M. Syamsudin, Sp.An
SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
RSUD PROF. Dr. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2009
Abstrak
Dilaporkan penatalaksanaan anestesi pada pasien hidrosefalus pada seorang bayi berusia 11 bulan, dengan jenis anestesi; anestesi umum, status fisik ASA II, teknik anestesi semi–open dengan menggunakan peralatan Jackson – Rees.
Premedikasi anestesi dengan Dexametason 5 mg; pelumpuh otot dengan Roculax sebanyak 5 mg; medikasi induksi dilakukan dengan dua zat, yaitu secara bolus intravena Fentanil 5 µg serta secara inhalasi menggunakan gas Sevofluran dan rumatan saat operasi dengan Sevofluran 2% + O2 melalui endotrakeal tube no.4 non cuff. Analgetik untuk nyeri pasca operasi menggunakan Antalgin 125 mg secara bolus intravena.
Operasi berlangsung selama 1 jam 25 menit, induksi operasi dimulai pukul 09.05 dilanjutkan dengan pembedahannya pada pukul 09.20 hingga pukul 10.30 dan selesai ekstubasi pukul 10.40 WIB.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Definisi
Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel (Darsono, 2005:209). Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan serebrospinal. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak. Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-sutura dan ubun-ubun (DeVito EE et al, 2007:328).
I.2. Epidemiologi
Insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-1,8 pada tiap 1000 kelahiran dan 11 % - 43 % disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri. Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur. Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis. Hidrosefalus infantil; 46% adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior (Darsono, 2005:211).
I.3. Etiologi
Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebrospinal (CSS) pada salah satu tempat antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subaraknoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya (Allan H. Ropper, 2005). Teoritis pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang abnormal akan menyebabkan terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi.
Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak ialah:
1) Kelainan Bawaan (Kongenital)
a. Stenosis akuaduktus Sylvii
b. Spina bifida dan kranium bifida
c. Sindrom Dandy-Walker
d. Kista araknoid dan anomali pembuluh darah
2) Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen. Secara patologis terlihat penebalan jaringan piamater dan arakhnoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Penyebab lain infeksi adalah toxoplasmosis.
3) Neoplasma
Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat aliran CSS. Pada anak yang terbanyak menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya suatu glioma yang berasal dari serebelum, penyumbatan bagian depan ventrikel III disebabkan kraniofaringioma.
4) Perdarahan
Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu sendiri (Allan H. Ropper, 2005:360).
I.4. Patofisiologi dan Patogenesis
CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh pleksus khoroidalis kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam piamater dan arakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Cairan likuor serebrospinalis terdapat dalam suatu sistem, yakni sistem internal dan sistem eksternal. Pada orang dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan prematur kecil 10-20 ml. Cairan yang tertimbun dalam ventrikel 500-1500 ml (Darsono, 2005). Aliran CSS normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen monroe ke ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang sempit akuaduktus Sylvii ke ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan Magendie ke dalam ruang subarakhnoid melalui sisterna magna.
Penutupan sisterna basalis menyebabkan gangguan kecepatan resorbsi CSS oleh sistem kapiler. (DeVito EE et al, 2007:328)
Hidrosefalus secara teoritis terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu :
1. Produksi likuor yang berlebihan
2. Peningkatan resistensi aliran likuor
3. Peningkatan tekanan sinus venosa
Konsekuensi tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan intrakranial sebagai upaya mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari :
1. Kompresi sistem serebrovaskuler.
2. Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler
3. Perubahan mekanis dari otak.
4. Efek tekanan denyut likuor serebrospinalis
5. Hilangnya jaringan otak.
6. Pembesaran volume tengkorak karena regangan abnormal sutura kranial.
Produksi likuor yang berlebihan disebabkan tumor pleksus khoroid. Gangguan aliran likuor merupakan awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan gangguan aliran akan meningkatkan tekanan likuor secara proporsional dalam upaya mempertahankan resorbsi yang seimbang.
Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan vena kortikal sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial sampai batas yang dibutuhkan untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang relatif tinggi. Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians tengkorak. (Darsono, 2005:212)
I.5. Klasifikasi
Klasifikasi hidrosefalus bergantung pada faktor yang berkaitan dengannya,
berdasarkan :
1. Gambaran klinis, dikenal hidrosefalus manifes (overt hydrocephalus) dan hidrosefalus tersembunyi (occult hydrocephalus).
2. Waktu pembentukan, dikenal hidrosefalus kongenital dan hidrosefalus akuisita.
3. Proses terbentuknya, dikenal hidrosefalus akut dan hidrosefalus kronik.
4. Sirkulasi CSS, dikenal hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus non komunikans.
Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel, hidrosefalus eksternal menunjukkan adanya pelebaran rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus obstruktif menjabarkan kasus yang mengalami obstruksi pada aliran likuor. Berdasarkan gejala, dibagi menjadi hidrosefalus simptomatik dan asimptomatik. Hidrosefalus arrested menunjukan keadaan dimana faktor-faktor yang menyebabkan dilatasi ventrikel pada saat tersebut sudah tidak aktif lagi. Hidrosefalus ex-vacuo adalah sebutan bagi kasus ventrikulomegali yang diakibatkan atrofi otak primer, yang biasanya terdapat pada orang tua. (Darsono, 2005)
I.6. Manifestasi Klinis
Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada awitan dan derajat ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS (Darsono, 2005). Gejala-gejala yang menonjol merupakan refleksi adanya hipertensi intrakranial. Manifestasi klinis dari hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu :
1. Awitan hidrosefalus terjadi pada masa neonatus
Meliputi pembesaran kepala abnormal, gambaran tetap hidrosefalus kongenital dan pada masa bayi. Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan pertumbuhan ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama tahun pertama kehidupan. Kranium terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah frontal. Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa. Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis. Vena-vena di sisi samping kepala tampak melebar dan berkelok. (Peter Paul Rickham, 2003)
2. Awitan hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak
Pembesaran kepala tidak bermakna, tetapi nyeri kepala sebagai manifestasi hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas. Dapat disertai keluhan penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus. Secara umum gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia dua tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrania mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal. Makrokrania biasanya disertai empat gejala hipertensi intrakranial lainnya yaitu:
a. Fontanel anterior yang sangat tegang.
b. Sutura kranium tampak atau teraba melebar.
c. Kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial menonjol.
d. Fenomena ‘matahari tenggelam’ (sunset phenomenon).
Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar dibandingkan dengan bayi. Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah, gangguan kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada kasus yang telah lanjut ada gejala gangguan batang otak akibat herniasi tonsiler (bradikardia, aritmia respirasi). (Darsono, 2005:213)
I.7. Diagnosis
Disamping dari pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar maupun yang khas, kepastian diagnosis hidrosefalus dapat ditegakkan dengan menggunakan alat-alat radiologik yang canggih. Pada neonatus, USG cukup bermanfaat untuk anak yang lebih besar, umumnya diperlukan CT scanning. CT scan dan MRI dapat memastikan diagnosis hidrosefalus dalam waktu yang relatif singkat. CT scan merupakan cara yang aman dan dapat diandalkan untuk membedakan hidrosefalus dari penyakit lain yang juga menyebabkan pembesaran kepala abnormal, serta untuk identifikasi tempat obstruksi aliran CSS. (Darsono, 2005:214)
I.8. Diagnosis Banding
Pembesaran kepala dapat terjadi pada hidrosefalus, makrosefali, tumor otak, abses otak, granuloma intrakranial, dan hematoma subdural perinatal, hidranensefali. Hal-hal tersebut dijumpai terutama pada bayi dan anak-anak berumur kurang dari 6 tahun. (Darsono, 2005:215)
I.9. Terapi
Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu :
a) Mengurangi produksi CSS.
b) Mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS dengan tempat absorbsi.
c) Pengeluaran likuor (CSS) kedalam organ ekstrakranial. (Darsono, 2005)
Penanganan hidrosefalus juga dapat dibagi menjadi :
1. Penanganan Sementara
Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau upaya meningkatkan resorbsinya.
2. Penanganan Alternatif (Selain Shunting)
Misalnya : pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi massa yang mengganggu aliran likuor atau perbaikan suatu malformasi. Saat ini cara terbaik untuk melakukan perforasi dasar ventrikel III adalah dengan teknik bedah endoskopik. (Peter Paul Rickham, 2003)
3. Operasi Pemasangan ‘Pintas’ (Shunting)
Operasi pintas bertujuan membuat saluran baru antara aliran likuor dengan kavitas drainase. Pada anak-anak lokasi drainase yang terpilih adalah rongga peritoneum. Biasanya cairan serebrospinalis didrainase dari ventrikel, namun kadang pada hidrosefalus komunikans ada yang didrain ke rongga subarakhnoid lumbar. Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada periode pasca operasi, yaitu: pemeliharaan luka kulit terhadap kontaminasi infeksi dan pemantauan kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang. Infeksi pada shunt meningkatkan resiko akan kerusakan intelektual, lokulasi ventrikel dan bahkan kematian. (Allan H. Ropper, 2005:360)
I.10. Prognosis
Hidrosefalus yang tidak diterapi akan menimbulkan gejala sisa, gangguan neurologis serta kecerdasan. Dari kelompok yang tidak diterapi, 50-70% akan meninggal karena penyakitnya sendiri atau akibat infeksi berulang, atau oleh karena aspirasi pneumonia. Namun bila prosesnya berhenti (arrested hidrosefalus) sekitar 40% anak akan mencapai kecerdasan yang normal (Allan H. Ropper, 2005). Pada kelompok yang dioperasi, angka kematian adalah 7%. Setelah operasi sekitar 51% kasus mencapai fungsi normal dan sekitar 16% mengalami retardasi mental ringan. Adalah penting sekali anak hidrosefalus mendapat tindak lanjut jangka panjang dengan kelompok multidisipliner. (Darsono, 2005).
BAB II
LAPORAN KASUS
II.1. IDENTITAS
Nama : Ahmad Syauqi Ramadhani
Umur : 11 bulan
Jenis kelamin : Laki – laki
BB : 12,5 kilogram
Agama : Islam
Alamat : Jln Platon VI No.16
Tanggal masuk : 20 Agustus 2009
II.2. ANAMNESIS (allo)
Riwayat penyakit
A.Keluhan utama : hidrosefalus
B.Keluhan tambahan : batuk
C.Riwayat penyakit sekarang : pasien datang dibawa oleh orang tuanya ke
poliklinik bedah Rumah Sakit Margono
Soekarjo Purwokerto control post operasi VF Shunt yang pertama pada tanggal 23/06/09. Pasien batuk sudah seminggu, dan rencana akan dilaksanakan operasi VF Shunt yang kedua pada hari selasa tgl 25/08/09
D. Riwayat penyakit dahulu
- Riwayat penyakit darah tinggi disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
- Riwayat penyakit kencing manis disangkal
- Riwayat penyakit asma disangkal
- Riwayat penyakit alergi obat disangkal
- Riwayat operasi VF Shunt (+) dengan diagnosa hidrosephalus
II.3. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis ; GCS E4 V5 M6
Vital sign : Hr 120x/menit
Nadi 100 x/menit
RR 39 x/menit
Suhu 36, 5 derajat celcius
B. Pemeriksaan kepala
Mata : Ca -/-, Si -/-
Telinga : NCH ( - ), discharge ( - )
Mulut : sianosis ( - )
C. Pemeriksaan leher
Tiroid : T.A.K
d. Pemeriksaan dada
Paru : SD.vesikuler , wheezing ( - ) , rhonki ( - )
Jantung : S1>S2.reguler , murmur ( - ) , gallop ( - )
Dinding dada : simetris , destruksi ( - )
e. Pemeriksaan abdomen
Dinding perut : intak
Hepar/lien : T.T.B
Usus : B.U ( + ), Normal
f. Pemeriksaan punggung
Columna vertebra : T.A.K
Ginjal : T.A.K
II.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium tanggal : 20 Agustus 2009
Darah lengkap
Hb : 12,1 gr/dl
Lekosit : 12.450 /ml
Hematokrit : 37 %
Eritrosit : 4,8 juta/ mm³
Trombosit : 407.000/ mm³
MCV : 63,4 fl
MCH : 21,4
MCHC : 33,7 %
Elektrolit
Natrium : 142 mmol/l
Kalium : 4,6 mmol/l
Klorida : 108 mmol/l
Kalsium : 11,1 mmol/l
SGOT/ AST : 32 UI/l
SGPT/ ALT : 85 UI/l
Ureum darah : 8,2 mg/dl
Kreatinin darah : 0,29 mg/dl
II.5. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI
- Status fisik ASA II
- Acc. Operasi
III.6. LAPORAN ANESTESI PASIEN
a) Diagnosis pra-bedah : Hidrosefalus
b) Diagnosis post-bedah : Hidrosefalus
c) Jenis pembedahan : VP – Shunt
d) Jenis anestesi : anestesi umum (General Anestesi)
Premedikasi anestesi : Dexametason 5 mg
Induksi : Fentanil 5 µg
Sevofluran 2%
Relaksasi : Roculax 5 mg
Pemeliharaan anestesi : Sevofluran + O2
Analgetik : Antalgin 125 mg
Teknik anestesi : Semi – open
Induksi intravena dengan Fentanil 5 µg dan induksi inhalasi dengan Sevofluran 2%
Intubasi dengan ET no.4 (tanpa cuff) dengan laringoskop blade lengkung no.1 1/2 didahului oleh pelumpuh otot Roculax 5 mg
Maintenance dengan Sevofluran + O2
Respirasi : Kendali + T-Jackson Rees
Posisi : Supine
Infus : KAEN 1B
Status fisik : ASA II
Induksi mulai : 09.05 WIB
Operasi mulai : 09.20 WIB
Operasi selesai : 10.30 WIB
Berat badan pasien : 12,5 Kg
Durasi operasi : 1 jam 10 menit
Pasien puasa : 4 jam
Terapi cairan
Maintenance = 10 kg I = 4 cc/KgBB/jam
= 4 cc x 10 Kg/jam = 40 cc/jam
= 10 kg II = 2 cc x 2,5 kg/jam = 5 cc/jam +
45cc/jam
Pengganti puasa = puasa x maintenance
= 4 jam x 45 cc/jam
= 180 cc
Stress operasi = 4 cc/KgBB/jam
= 4 cc x 12,5 Kg/jam
= 50 cc/jam
EBV = 80 cc/KgBB
= 80 cc x 12,5
= 1000 cc
ABL = ∆Ht x EBV x 3
100
= (37-30) x 1000 x 3
100
= 210 cc
Jadwal pemberian cairan (lama operasi 1 jam)
Jam I = ½ PP + SO + M
= 90 + 50 + 45
= 185cc
Jam II = ¼ PP + SO + M
= 45 + 50 + 45
= 140cc
Jam III = ¼ PP + SO + M
= 45 + 50 + 45
= 140cc
Jam IV = M + SO
= 45 + 50
= 95cc
Input durante operasi
KAEN IB = ½ x 500 = 250 cc
Total Cairan yang masuk durante operasi = 250 cc
Output durante operasi
Urin Tampung : 50 cc dalam 1 jam
Perdarahan
- Tabung Suction : 100 cc
- Kassa : 30 cc
Total Perdarahan = jam I + urine output + (Perdarahan + Kassa )
= 185 + 50 + 30
= 265 cc
III.7. PENATALAKSANAAN PASCA PEMBEDAHAN
Perawatan bangsal Cempaka
Masuk Tanggal : 20 Agustus 2009
Jam : 12.30 WIB
Airway : Clear, MP I
Breathing : Spontan, SD vesikuler Rh -/- , Wh -/-
Circulation : S1 > S2; Reguler, murmur ( - ), gallop ( - )
Disability : GCS ; E2 V3 M4
Ass : Post operasi VP - Shunting e.c Hidrosefalus
Instruksi post operasi observasi :
• Awasi TNSP
• Kaen 3A : 400 cc / 24 jam
• Obat : Cefotaxim 2 x 15 0 mg
Kaltofren supp : 2 supp 1/5
Infus RL 15 x tetes/menit
Prognosis : Dubia ad Bonam
III.8. PEMANTAUAN ANESTESI
Terlampir
BAB III
PEMBAHASAN
Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan ASA dan diputuskan kondisi pasien termasuk ASA II, serta ditentukan rencana jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu general anestesi dengan intubasi.
Setelah dilakukan pemeriksaan tentang keadaan umum pasien diputuskan untuk dilakukan anestesi umum dengan intubasi, dengan alasan tindakan operasi tersebut dilakukan di regio capitis, termasuk operasi mayor, sehingga dengan teknik tersebut diharapkan jalan napas dapat dikendalikan dengan baik.
Pertama dilaksanakan premedikasi anestesi dengan bolus Sulfat Atropin 0,1 mg yang berfungsi sebagai vagolitik dan anti sekresi. Sulfat Atropin bekerja sebagai anti sekresi pada reseptor post neuro-muscular junction dengan cara melakukan hambatan di reseptor muskarinik secara spesifik sehingga transmisi asetilkolin pada reseptor tersebut dapat digagalkan. Sulfat Atropin bekerja sebagai vagolitik dengan cara mengganggu sistem kolinergik pada jantung, tujuannya adalah untuk meningkatkan frekuensi denyut ventrikel agar curah jantung meningkat.
Selanjutnya induksi dilakukan dengan menggunakan fentanil 5 µg secara intravena serta sevofluran 2% secara inhalasi. Fentanil 5 g bolus intravena digunakan sebagai analgesi opioid. Setelah suntikan intravena, ambilan dan distribusi Fentanyl secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi sebagian besar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Dosis analgesi 1-3 g/kgBB intravena untuk lama kerja 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan bukan untuk pasca bedah. Sevofluran (ultane) merupakan halogenisasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Sevofluran pada dosis anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga sevofluran banyak digunakan untuk bedah otak.
Sebelum dilakukan intubasi diberikan pelumpuh otot terlebih dahulu yakni pada kasus ini adalah Suksinilkolin 5 mg. Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurase) bekerja seperti asetilkolin, tetapi dicelah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada dicelah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik. Didalam vena suksinilkolin dimetabolisir oleh kolinesterase plasma, pseudo-kolinesterase menjadi suksinil-monokolin.
Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan laringoskop blade lengkung no.1 ½ (sesuai anatomis leher bayi usia 6 bulan) dengan metode chin-lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan nafas antara mulut dengan trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus barulah dimasukkan pipa endotrakeal no.3 ½ tanpa cuff yang mempunyai diameter 3,0-4,0 mm. Digunakan ETT tanpa cuff karena penampang trakea bayi dan anak kecil berbeda dengan dewasa, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil dibawah usia 5 tahun hampir bulat. Apabila digunakan cuff pada bayi dapat mengakibatkan trauma selaput lendir trakea yang nantinya dapat menimbulkan edema disekitarnya, dan apabila terjadi edema akan mengakibatkan spasme laring dan dilanjutkan dengan apneu.
Setelah ETT terfiksasi dilaksanakan pembedahan yang diikuti dengan rumatan atau yang biasa dikenal dengan maintenance menggunakan O2 + Sevofluran Vol % ditambah dengan pemberian cairan parenteral yakni ringer laktat untuk mensubstitusi cairan, baik darah maupun cairan tubuh lainnya, yang keluar selama pembedahan.
Selesai pembedahan untuk meringankan rasa nyeri pasca pembedahan diberikan Ketoprofen ½ tablet ; 50 mg secara suppositoria melalui anus pasien. Ketoprofen merupakan analgetik non-opioid turunan asam propionate. Golongan obat non-opioid ini digunakan sebgai tambahan penggunaan opioid dosis rendah untuk menghindari efek samping opioid yang berupa depresi pernafasan. Golongan analgetik non-opioid selain bersifat anti inflamasi juga bersifat analgesik, antipiretik, dan anti pembekuan darah. Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menghambat aktivitas enzim siklo-oksigenase, sehingga terjadi penghambatan sintesis prostaglandin perifer. Prostaglandin dihasilkan oleh fosfolipid dari dinding sel yang rusak akibat trauma bedah. Prostaglandin sendiri secara langsung tidak menyebabkan nyeri, tetapi menurunkan respons terhadap inflamasi, sehingga mengurangi nyeri perifer.
Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik, penderita dipindahkan ke ruang pulih. Disini diawasi seperti di kamar bedah, walaupun kurang intensif dibandingkan dengan pengawasan sebelumnya. Untuk memindahkan penderita ke ruangan biasa (bangsal) dihitung dulu skornya menurut Lockhart.
BAB IV
KESIMPULAN
Anestesia pada bayi dan anak kecil berbeda dengan anestesia pada orang dewasa, karena mereka bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Seperti pada anestesia untuk orang yang dewasa anestesia anak kecil dan bayi khususnya harus diketahui betul sebelum dapat melahirkan anestesia karena itu anestesia pediatri seharusnya ditangani oleh dokter spesialis anestesiologi atau dokter yang sudah berpengalaman
DAFTAR PUSTAKA
1. Steward DJ. Outpatient pediatric anesthesia. Anesthesiology. 1975; 43 : 268 ¬ 276.
2. Loder RE. The anaesthetist and the day¬surgery unit. Anaesth. 1982; 37 1037 ¬ 1039.
3. Epstein BS. Recovery from anesthesia (editorial views) Anesthesiology. 1975; 43 : 285 ¬ 288.
4. Gregory GA. Out patient anesthesia didalam ANESTHESIA. editor Miller RD. New York Churcill Livingstone, 1981, hal.1323 ¬ 1333.
5. Hain WR. Peer modelling and paediatric anaesthesia. Anaesth.1983.38 : 158 ¬ 161.
6. Epstein BS. Recovery from anesthesia (editorial views) Anesthesiology. 1975; 43 : 285 ¬ 288.
7. Malins AF. Do they do as they are instructed ? A review of out patient anaesthesia. Anaesth. 1978; 33 : 832 ¬ 835.
8. Desjardins R, Ansara S Charest J. Pre-anaesthetic medication in pediatric day-care surgery. Canad anaesth Soc J. 1981, 28 : 141 148.
9. Goresky GV, Steward DJ. Rectal methohexitone for induction of anaesthesia in children. Canad Anaesth Soc J. 1979, 26 : 213 215.
10. Steward DJ. A Trial of enflurane for paediatric outpatients anaesthesia. Canad Anaesth Soc J 1977; 24 .603 ¬ 608.
11. Crawford ME, Carl P dkk. Comparison between midazolam and thiopentone based balanced anaesthesia for day¬case surgery. Br J Anaesth 1984; 56 : 165 ¬ 169.
12. Lyle DJR. Suxamethonium pains in out-patient children. Anaesth 1982; 37 : 774 ¬ 780.
13. Casey WF, Drake¬Lee AB. Nitrous oxyde and middle ear pressure. Anesth. 1982, 37 : 896 ¬ 900.
14. Nilsson K, Larsson S dkk. Blood glucose concentration during anaesthesia in children, effect of starvation and perioperative fluid therapy. Br J Anaesth. 1984; 56 : 375 ¬ 379.
15. Steward DJ. A Simplified scoring system for the post operative recovery room. Canad Anaesth Soc J. 1975; 22 : 111 ¬ 113.
16. Meridy HW. Criteria for selectionx of ambulatory surgical patients and guidelines for anesthetic management : A retrospective study of 1553 cases. Anaesth Analg 1982; 61 : 921 ¬ 926.
17. Fishburne JI, Fulghum MS, Hulka JF, Mercer JP : General Anesthesia for Out patient laparoscopy with an objective measure of recovery. Anesth Analg 1974 : 53 : 1 ¬ 6.
18. Ogg TW, Fischer EBJ, Bethune DW, Collis JM. Day case anesthesia and memory. Anaesth 1979; 34 : 784 ¬ 789.
19. Natof HE. Complications Associated with ambulatory surgery. JAMA. 1980; 244 :1116 ¬ 1118.
20. Brindle GF, Soliman MG. Anaesthetic complications in surgical outpatients. Canad Anaesth Soc J 1975; 22 : 613 ¬ 619.
21. Ong BY, Palatniuk RJ. Cumming M. Gastric volume and pH in outpatients. Canad. Anaesth Soc J 1978; 25 : 36 ¬ 39.
22. Owen H. Post extubation laryngospasm abolished by doxapram, Anaesth 1982; 37 : 112 ¬ 1114.
23. Sylvia A, Price. Patofisiologi “Konsep Klinis Proses-proses Penyakit”. Edisi 6. EGC. Jakarta. 2006.
24. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Anestesiologi. FKUI. Jakarta. 1989.
25. Michael. B, Dobson. Penuntun Praktis Anestesi. EGC. Jakarta. 1994.
26. Departemen Kesehatan RI Dirjen POM. Iinformatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Sagung Seto. Jakarta. 2001.
27. Arif Mansoer,dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi Ketiga. Media Aesculapius FKUI. Jakarta. 2000.
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12_AnestisiaAnakTanpaMondok.pdf/12_AnestisiaAnakTanpaMondok.html
http://medlinux.blogspot.com/2007/10/terapi-cairan-pasca-pembedahan.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar