Pengikut

Sabtu, 09 Januari 2010

Gagal Ginjal Kronik pada Anak

Disusun oleh Mohamad Fikh FK UPN 2004
I. PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Gagal ginjal kronik (GGK) merupakan masalah yang tidak jarang ditemukan pada anak. Kemajuan yang pesat dalam pengelolaan menjadikan prognosis penyakit ini membaik sehingga pengenalan dini GGK merupakan masalah yang penting. Membaiknya pengobatan pada akhir-akhir ini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu bertambahnya pengertian tentang patofisiologi GGK, aplikasi yang tepat dari prinsip pengelolaan medis GGK, dan kemajuan teknologi dalam tehnik dialisis serta transplantasi ginjal. Pada saat ini, telah dimungkinkan pengelolaan GGK pada anak yang sangat muda, pengelolaan ditujukan untuk mempertahankan kemampuan fungsional nefron yang tersisa selama mungkin dan memacu pertumbuhan fisik yang maksimal, sebelum dilakukannya dialisis atau transplantasi.1
Sulit untuk menentukan secara pasti angka kejadian GGK pada anak. ada tahun 1972, American Society of Pediatric Nephrology memperkirakan diantara anak yang berumur di bawah 16 tahun terdapat 2.5-4 persejuta populasi dari umur yang sama menderita GGK pertahunnya.4 Di negara Inggris, Gagal Ginjal Terminal pada anak dalam tahun 1997- 1999 penderita Gagal Ginjal Terminal per tahun pada anak berumur kurang dari 18 tahun adalah 7.4 persejuta populasi pada umur yang sama, dimana anak laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan anak perempuan, dengan perbandingan laki-laki : perempuan adalah 1.76:1. Esbjorner (1997) dari Swedia melaporkan insiden tahunan Gagal Ginjal Terminal sebesar 6.4 (4.4-9.5) per sejuta anak berusia 16 tahun pada periode tahun 1986-1994.2
Di Jepang, Hattori (2002) melaporkan pada tahun 1998, prevalensi Gagal Ginjal Terminal pada anak-anak yang berusia antara 0-19 tahun sebanyak 22 per sejuta populasi dari umur yang sama. Anak-anak yang berusia lebih tua mempunyai prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan adik-adiknya. Penyebab utama terjadinya Gagal Ginjal Terminal di Jepang adalah hipoplasia/displasia ginjal dan glomerulosklerosis fokal segmental. Insiden pasien baru Gagal Ginjal Terminal adalah 4 per sejuta populasi dari umur yang sama pada tahun 1998.3
Angka kejadian GGK pada anak di Indonesia yang bersifat nasional belum ada. Pada penelitian di 7 rumah sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Indonesia didapatkan 2% dari 2889 anak yang dirawat dengan penyakit ginjal (tahun 1984-1988) menderita GGK. Di RSCM Jakarta antara tahun 1991-1995 ditemukan GGK sebesar 4.9% dari 668 anak penderita penyakit ginjal yang dirawat inap, dan 2.6% dari 865 penderita penyakit ginjal yang berobat jalan. GGK pada anak umumnya disebabkan oleh karena penyakit ginjal menahun atau penyakit ginjal kongenital. Angka kejadian di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya selama 5 tahun (1988-1992) adalah 0,07% dari seluruh penderita rawat tinggal di bangsal anak dibandingkan di RSCM Jakarta dalam periode 5 tahun (1984-1988) sebesar 0,17%.4

B. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk lebih memahami tentang definisi, klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis serta komplikasi, patogenesis, diagnosis, penatalaksanaan, serta prognosis pada penyakit gagal ginjal kronik.


























II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Ginjal
Ginjal (ren) merupakan suatu organ berjumlah sepasang, terletak di bagian dorsal dari abdomen, di kanan dan kiri columna vertebralis, ditutupi oleh peritoneum dan dikelilingi oleh jaringan pengikat dan jaringan lemak. Ren dexter terdapat sedikit lebih rendah dari ren sinister oleh karena pendesakan dari hepar. Axis longitudinalis ren sejajar dengan columna vertebralis. Saat lahir panjang ren sekitar 4-4,5 cm. Saat dewasa panjangnya 10-10,5 cm, lebar sekitar 5 sampai 7,5 cm, dan tebalnya lebih dari 2,5 cm. Ren sinister lebih panjang dan lebih kecil daripada ren dexter. Pembungkusnya adalah lamina fascialis anterior (prerenal) dan posterior (retrorenal), capsula fibrosa, dan capsula adiposa. Ren memiliki facies anterior renalis dan facies dorsalis/posterior renalis. Selain itu juga mamiliki 2 margo, yaitu margo lateralis renalis yang berbentuk convex dan margo medialis renalis yang berbentuk concave. Pada anak letaknya di vertebralis L1-L4.5
Gambar 1. Letak Ginjal pada Anak








Bagian ren terdapat 2 macam, yaitu substansia medullaris dan substansia corticalis. Substansia medullaris tersusun oleh massa lurik yang berbentuk conus, disebut sebagai pyramis renalis. Setiap ren tersusun atas 8-18 buah pyramis renalis dengan basis ke pinggir dan apex menuju ke sinus renalis yang akan membentuk papilla renalis yang akan menonjol dan ditembus oleh ductus papillaris Bellini membentuk suatu area cribrosa dan akan bermuara ke dalam calyx minor. Calyces minores akan berkumpul dan membentuk calyx major. Daerah tepi ren adalah substansia corticalis yang mengelilingi pyramides renales dan sampai menjorok di antaranya yang disebut sebagai columna renalis (Bertini). Pada penampang mikroskopis, substansia corticalis tersusun atas daerah berbentuk conus cerah, disebut pars radiata dan daerah gelap, yang disebut pars convulata.5
Gambar 2. Penampang Ginjal









Secara mikroskopis, ren tersusun atas unit-unit fungsional yang disebut dengan nefron. Ren juga sebagian dibentuk oleh tubulus renalis, yang dimulai dari substansia corticalis kemudian berkelok-kelok menuju ke substansia medullaris kemudian berakhir di apex renalis, tepatnya di pyramis renalis sebagai papilla renalis. Tubulus mulai di cortex dan columna renalis sebagai corpusculum Malphigi yang berupa massa lonjong kecil dan berwarna merah. Setiap corpusculum Malphigi tersusun atas vasa darah sebagai glomerulus dan capsula Bowmani yang tersusun atas dua membrana, bagian luar disebut lamina parietalis dan bagian dalam disebut lamina visceralis, sebagai tempat masuk keluarnya arteriole afferent dan efferent. Di antara kedua lamina tersebut akan terdapat suatu rongga yang akan melanjutkan ke tubulus kontortus proximalis. Kedua lamina tersebut tersusun atas epitel squameous yang melekat pada membrana basalis. Tubulus contortus proximalis akan berlanjut sebagai pars descendens ductus Henle, membelok membentuk ansa ductus Henle, dan naik disebut pars ascendens ductus Henle, kemudian membesar membentuk tubulus contortus distalis dan akan melengkung serta menyempit masuk ke tubulus collectivus. Tubulus collectivus, pada medulla renalis, akan berkumpul membentuk ductus papillaris Bellini.5
Gambar 3. Mikroskopis Ginjal







Fungsi fisiologis ginjal yang terpenting adalah untuk melakukan pembentukan urin dari proses filtrasi, reabsorbsi, dan sekresi dari darah yang dibawa oleh arteriole afferent. Sedangkan arteriole efferent akan berlanjut sebagai kapiler peritubulus yang kemudian akan membentuk venula, arteriole ini berfungsi sebagai nutrisi ren. Secara fungsional nefron di korteks renalis memiliki aliran darah yang begitu besar untuk kemudian dilakukan proses uropoetik. Nefron di medulla memiliki fungsi pemekatan urin yang dilakukan oleh nefron juxtamedular, biasanya akan bekerja pada suhu yang cukup tinggi untuk menghemat air sehingga proses pemekatan urin bisa dilakukan dengan tetap efektif dalam membuang sisa-sisa metabolisme. Kira-kira 25% dari curah jantung (volume= 5000 cc) mengalir ke ginjal, yang disebut dengan renal blood flow (RBF= 1250 cc). Bagian darah yang akan difiltrasi adalah bagian plasmanya (sekitar 55% dari 1250 cc), yang disebut renal plasma flow (RPF= 700 cc). Kemudian 20% dari RPF akan difiltrasi ke lumen tubulus per menitnya, yang disebut dengan glomerulair filtration rate (GFR= 125-150 cc) atau laju filtrasi glomerulus (LFG). Sedangkan urin yang dihasilkan hanya sekitar 1,5 cc per menitnya karena sekitar 124 cc sisanya akan direabsorbsi. Fungsi filtrasi sangat dipengaruhi oleh tekanan netto. Tekanan kapiler glomeruli adalah sekitar 50% dari tekanan sistolik, misalnya sekitar 60 mmHg. Tekanan netto adalah tekanan kapiler dikurangi tekanan osmotik (32 mmHg) dikurangi tekanan hidrostatik capsula Bowmani (18 mmHg). Jadi besar tekanan netto yang bisa digunakan untuk mendorong plasma keluar untuk kemudian difiltrasi adalah sekitar 10 mmHg.5
Gambar 4. Kerja Ginjal



B. Definisi
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) yang bersifat tidak reversibel dan terbagi dalam 4 stadium sesuai dengan jumlah nefron yang masih berfungsi. Pada anak-anak GGK dapat disebabkan oleh berbagai hal, terutama karena kelainan kongenital, glomerulonefritis, penyakit multisistem, dan lain-lain.1
Gagal ginjal kronik adalah apabila laju filtrasi glomerulus kurang dari 50 ml/menit/1.73m2 luas permukaan tubuh, oleh karena dibawah kadar fungsi ginjal tersebut gangguan asidosis metabolik dan hiperparatiroidisme sekunder telah tampak nyata, pertumbuhan mulai terganggu, dan progresivitas penurunan fungsi ginjal akan terus berlanjut.6

C. Klasifikasi
Dalam arti luas GGK menunjukkan bahwa pada anak tersebut telah terjadi penurunan fungsi ginjal, tetapi beratnya gangguan fungsi ini bervariasi dari ringan sampai berat. Kebanyakan penulis membuat klasifikasi berdasarkan presentase laju filtrasi glomerulus (LFG) yang tersisa. GGK dibagi atas 4 tingkatan yaitu:6
1. Gagal ginjal dini
Ditandai dengan berkurangnya sejumlah nefron sehingga fungsi ginjal yang ada sekitar 50-80% dari normal. Dengan adanya adaptasi ginjal dan respon metabolik untuk mengkompensasi penurunan faal ginjal maka tidak tampak gangguan klinis.
2. Insufisiensi ginjal kronik
Pada tingkat ini fungsi ginjal berkisar antara 25-50% dari normal. Gejala mulai dengan adanya gangguan elektrolit, gangguan pertumbuhan dan keseimbangan kalsium dan fosfor. Pada tingkat ini LFG berada di bawah 89 ml/menit/1,73m2.
3. Gagal ginjal kronik
Pada tingkat ini fungsi ginjal berkurang hingga 25% dari normal dan telah menimbulkan berbagai gangguan seperti asidosis metabolik, osteodistrofi ginjal, anemia, hipertensi, dan sebagainya. LFG pada tingkat ini telah berkurang menjadi di bawah 30 ml/menit/1,73m2.
4. Gagal ginjal terminal
Pada tingkat ini fungsi ginjal 12% dari normal, LFG menurun sampai < lfg =" 80-50" lfg =" 50-30" lfg =" 30-10" lfg =" <">60%), diikuti oleh displasia ginjal.1



Tabel 1. Etiologi GGK Pada Anak1
Kelompok Penyakit Habib Potter Zilleruelo Pistor
Kelainan kongenital termasuk uropati obstruktif 116 (43.0) 45 (29,2) 46 (56,8) 209 (33,5)
Glomerulonefritis kronis primer dan sekunder termasuk sekunder akibat kelainan sistemik 71 (26,3) 59 (38,4) 22 (27,1) 122 (19,6)
Nefritis interstitial dan pielonefritis yang tidak berhubungan dengan uropati obstruktif -- 12 (7,8) -- 74 (11,9)
Kelainan herediter 61 (22,5) 20 (13,0) 2 (2,5) 119 (19,1)
Nefropati vaskular termasuk sindrom hemolitik uremik 11 (4,1) 9 (5,8) 5 (6,2) 27 (4,3)
Lain-lain 11 (4,1) 9 (5,8) 6 (7,4) 72 (11,6)

Secara praktis penyebab GGK dapat dibagi menjadi kelainan kongenital, kelainan didapat, dan kelainan herediter.2
1. Kelainan kongenital: hipoplasia renal, displasia renal, uropati obstruktif
2. Kelainan herediter: nefronoftisis juvenil, nefritis herediter, sindrom alport
3. Kelainan didapat: glomerulosklerosis fokal segmental, glomerulopati membranosa, kelainan metabolit (oksalosis, sistinosis)

Penyebab GGK pada anak sangat erat hubungannya dengan usia saat timbul GGK. Gagal ginjal kronik yang timbul pada anak di bawah usia 5 tahun sering ada hubungannya dengan kelainan anatomis ginjal seperti hipoplasia, displasia, obstruksi dan kelainan malformasi ginjal. Sedangkan GGK yang timbul pada anak diatas 5 tahun dapat disebabkan oleh penyakit glomerular (glomerulonefritis, sindrom hemolitik ureumik) dan kelainan herediter (sindrom Alport, kelainan ginjal kistik).7

E. Patogenesis
Tanpa memandang penyebab kerusakan ginjal, bila tingkat kemunduran fungsi ginjal mencapai kritis, penjelekan sampai gagal ginjal stadium akhir tidak dapat dihindari. Mekanisme yang tepat, yang mengakibatkan kemunduran fungsi secara progresif belum jelas, tetapi faktor-faktor yang dapat memainkan peran penting mencakup cedera imunologi yang terus-menerus; hiperfiltrasi yang ditengahi secara hemodinamik dalam mempertahankan kehidupan glomerulus; masukan diet protein dan fosfor; proteinuria yang terus-menerus; dan hipertensi sistemik.
Endapan kompleks imun atau antibodi anti-membrana basalis glomerulus secara terus-menerus pada glomerulus dapat mengakibatkan radang glomerulus yang akhirnya menimbulkan jaringan parut.7,8
Cedera hiperfiltrasi dapat merupakan akhir jalur umum yang penting pada destruksi glomerulus akhir, tidak tergantung mekanisme yang memulai cedera ginjal. Bila nefron hilang karena alasan apapun, nefron sisanya mengalami hipertroti struktural dan fungsional yang ditengahi, setidak-tidaknya sebagian, oleh peningkatan aliran darah glomerulus. Peningkatan aliran darah sehubungan dengan dilatasi arteriola aferen dan konstriksi arteriola eferen akibat-angiotensin II menaikkan daya dorong filtrasi glomerulus pada nefron yang bertahan hidup. "Hiperfiltrasi" yang bermanfaat pada glomerulus yang masih hidup ini, yang berperan memelihara fungsi ginjal, dapat juga merusak glomerulus dan mekanismenya belum dipahami.8 Mekanisme yang berpotensi menimbulkan kerusakan adalah pengaruh langsung peningkatan tekanan hidrostatik pada integritas dinding kapiler, hasilnya mengakibatkan keluarnya protein melewati dinding kapiler, atau keduanya. Akhirnya, kelainan ini menyebabkan perubahan pada sel mesangium dan epitel dengan perkembangan sklerosis glomerulus. Ketika sklerosis meningkat, nefron sisanya menderita peningkatan beban ekskresi, mengakibatkan lingkaran setan peningkatan aliran darah glomerulus dan hiperfiltrasi. Penghambatan enzim pengubah angiotensin mengurangi hiperfiltrasi dengan jalan menghambat produksi angiotensin II, dengan demikian melebarkan arteriola eferen, dan dapat memperlambat penjelekan gagal ginjal.8
Model eksperimen insufisiensi ginjal kronis telah menunjukkan bahwa diet tinggi-protein mempercepat perkembangan gagal ginjal, mungkin dengan cara dilatasi arteriola aferen dan cedera hiperperfusi. Sebaliknya, diet rendah-protein mengurangi kecepatan kemunduran fungsi. Penelitian manusia memperkuat bahwa pada individu normal, laju filtrasi glomerulus (LFG) berkorelasi secara langsung dengan masukan protein dan menunjukkan bahwa pembatasan diet protein dapat mengurangi kecepatan kemunduran fungsi pada insufisiensi ginjal kronis.8
Beberapa penelitian yang kontroversial pada model binatang menunjukkan bahwa pembatasan diet fosfor melindungi fungsi ginjal pada insufisiensi ginjal kronis. Apakah pengaruh yang menguntungkan ini karena pencegahan penimbunan garam kalsium-fosfat dalam pembuluh darah dan jaringan atau karena penekanan sekresi hormon paratiroid, yang berkemungkinan nefrotoksin, masih belum jelas.8
Proteinuria menetap atau hipertensi sistemik karena sebab apapun dapat merusak dinding kapiler glomerulus secara langsung, mengakibatkan sklerosis glomerulus dan permulaan cedera hiperfiltrasi.8
Ketika fungsi ginjal mulai mundur, mekanisme kompensatoir berkembang pada nefron sisanya dan mempertahankan lingkungan internal yang normal. Namun, ketika LFG turun di bawah 20% normal, kumpulan kompleks kelainan klinis, biokimia, dan metabolik berkembang sehingga secara bersamaan membentuk keadaan uremia.8

F. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang timbul pada GGK merupakan manifestasi dari:7
1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksin uremik.
3. Kurangnya hormon ginjal seperti eritropoietin dan bentuk aktif vitamin D (1,25 dihidroksivitamin D3).
4. Abnormalitas respons end organ terhadap hormon endogen (hormon pertumbuhan).

Pada pasien GGK yang disebabkan penyakit glomerulus atau kelainan herediter, gejala klinis dari penyebab awalnya dapat kita ketahui sedangkan gejala GGK-nya sendiri tersembunyi dan hanya menunjukkan keluhan non-spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah, polidipsia, poliuria, gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan anak tampak pucat, lemah, dan menderita hipertensi. Keadaan ini dapat berlangsung bertahun-tahun, sehingga pasien telah menderita gangguan anatomis berupa gangguan pertumbuhan dan ricketsia. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan keadaan-keadaan seperti azotemia, asidosis, hiperkalemia, gangguan pertumbuhan, osteodistrofi ginjal, anemia, gangguan perdarahan, hipertensi, gangguan neurologi.7,9

1. Gangguan keseimbangan elektrolit
Natrium
Dengan berkurangnya LFG yang progresif pada pasien GGK, ginjal akan mempertahankan keseimbangan natrium dengan meningkatkan ekskresi natrium oleh nefron yang masih baik. Bila adaptasi ini tidak terjadi, akan timbul retensi natrium yang akan membahayakan tubuh. Meningkatnya ekskresi natrium ini disebabkan karena meningkatnya rejeksi tubular dengan akibat meningkatnya fraksi ekskresi natrium (FeNa). Faktor-faktor yang dapat meningkatkan FeNa pada pasien GGK belum jelas diketahui. Suda, dkk dalam penelitiannya pada pasien GGK (LFG antara 11-66 ml/menit/1,73m2) melaporkan kemungkinan peningkatan FeNa disebabkan pembentukan faktor natriuretik atrial. Tetapi penderita GGK ini tidak dapat mengeliminasi beban natrium ini dengan cepat, yaitu pada pasien GGK dengan LFG subnormal (LFG rata-rata 34ml/menit/1,73m2) hanya mampu mengekskresi setengah dari jumlah natrium dalam waktu 2 jam setelah diberi infus NaCl, dibanding orang normal. Hal ini menunjukkan toleransi pasien GGK terhadap peningkatan masukan natrium yang tiba-tiba adalah buruk dan dapat menimbulkan perubahan volume ekstraseluler dengan segala akibatnya.7,9
Sebaliknya pasien GGK tidak mampu menurunkan ekskresi natrium pada saat diberikan diet dengan restriksi natrium. Konsentrasi minimum natrium urin pada pasien GGK ringan sampai sedang adalah 25-50 mEq/L. Hal ini disebabkan karena ketidakmampuan nefron distal meningkatkan reabsorbsi natrium. Bila diberikan restriksi garam secara tiba-tiba pada pasien GGK akan menimbulkan penurunan volume cairan ekstraseluler, perfusi ginjal dan LFG. Pasien GGK karena penyakit ginjal interstitial, displasia ginjal, dan penyakit ginjal kistik adalah yang paling sering menyebabkan salt wasting ini. Tubulus ginjal pasien GGK karena nefropati obstruktif ditemukan kurang responsif terhadap aldosteron endogen (pseudohipoaldosteronisme).7

Kalium
Keseimbangan kalium relatif dapat dipertahankan pada LFG di atas 10 ml/menit/1,73m2. Homeostasis kalium pada pasien GGK dipertahankan dengan meningkatkan ekskresi renal dan ekstrarenal. Ekskresi renal dicapai dengan meningkatkan ekskresi fraksional (oleh proses sekresi tubulus ginjal) pada nefron yang masih berfungsi. Sedangkan ekskresi ekstrarenal terutama melalui feses yaitu sebanyak 75% (pada orang normal 20%). Walaupun demikian keadaan hiperkalemia tetap merupakan ancaman bagi pasien GGK, karena mungkin saja mereka mendapat kalium dalam jumlah besar tiba-tiba misalnya dari makanan, transfusi darah, keadaan sepsis, ataupun asidosis.7
Pada pasien GGK selain hiperkalemia dapat terjadi hipokalemia. Keadaan hipokalemia biasanya terjadi akibat pemakaian diuretik seperti hidroklortiazid, furosemid atau bisa juga akibat pemberian diet rendah kalium. Gejalanya adalah penurunan atau hilangnya refleks otot yang akan sangat berbahaya bila mengenai otot-otot interkostal karena dapat menyebabkan henti napas (respiratory arrest).2

Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik biasanya ditemukan pada pasien GGK dengan LFG <25%>20ml/menit/1,73m2. Anemia pada pasien dapat dikoreksi dengan pemberian eritropoietin rekombinan dan responsnya tergantung dari dosis yang diberikan. Dengan terapi ini terlihat perbaikan pada toleransi latihan, fungsi kognitif dan kualitas hidup keseluruhan. Mekanisme lain terjadinya anemia pada GGK adalah pemendekan umur eritrosit menjadi 2/3 umur normal, toksisitas aluminium karena pemakaian obat-obat pengikat fosfat yang mengandung aluminium, iatrogenik karena kehilangan darah sewaktu dialisis dan pengambilan contoh darah, serta terjadinya defisiensi asam folat pada pasien yang sedang menjalani dialisis. Anemia yang terjadi karena toksisitas aluminium mempunyai gambaran mikrositik, hipokromik yang mirip dengan defisiensi zat besi, tetapi kemampuan mengikat besi dan kadar feritin serumnya normal.6,7

5. Gangguan perdarahan
GGK yang berat biasanya akan diperberat dengan adanya gangguan perdarahan yang menyertai. Walaupun jumlah trombosit normal, tetapi waktu perdarahan sering memanjang. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya gangguan pada agregasi trombosit dan berkurangnya respons terhadap ADP (adenosin difosfat) eksogen, kolagen, dan epinefrin. Jumlah platelet factor 3 dan retraksi bekuan juga menurun pada GGK yang tidak menjalani dialisis, diduga karena adanya peranan “dialyzable factor” sebagai penyebab. Faktor lain yang diduga berperan dalam menyebabkan gangguan perdarahan adalah gangguan pada faktor VIII (dapat diperbaiki dengan kriopresipitat dan desmopresin), gangguan metabolisme (prostaglandin inhibitor-2) PGI2 dan aspirin.1

6. Gangguan fungsi kardiovaskular
Hipertensi
Terjadinya hipertensi pada pasien GGK disebabkan karena tingginya kadar renin akibat ginjal yang rusak. Tetapi bila LFG menurun dan jumlah urin berkurang, hipertensi terjadi akibat kelebihan cairan. Keadaan ini akan menimbulkan keluhan sakit kepala, badan lemah, gagal jantung bendungan, kejang; sedangkan hipertensi persisten mungkin terjadi akibat berkurangnya LFG. Pada pasien hipertensi persisten yang tanpa keluhan harus dievaluasi secara terus menerus untuk mencari adanya kerusakan organ target. Pemeriksaan oftamologi perlu selalu dilakukan pada pasien hipertensi persisten, selain itu pemeriksaan EKG perlu dilakukan untuk mencari adanya hipertrofi jantung kiri.2
Pada penyakit GGK yang progresif, timbulnya hipertensi dapat merupakan akibat langsung dari penyakit ginjalnya. Pada setiap keadaan hipertensi, kita harus meneliti semua faktor yang dapat menimbulkan peninggian tekanan darah seperti faktor kardiovaskular, peningkatan tahanan pembuluh darah perifer, faktor neurogen, faktor hormonal, dan faktor renovaskular.8

7. Gangguan jantung
Perikarditis
Perikarditis merupakan komplikasi yang sering terjadi pada GGK, terutama timbul pada pasien dengan uremia berat yang tidak dilakukan dialisis. Eksudat pada perikarditis uremik biasanya sedikit dan bersifat fibrinosa atau serofibrinosa. Kadang pada pasien yang mendapat dialisis yang adekuat juga timbul perikarditis dan efusi yang hemoragis. Pasien yang mendapat terapi dialisis peritoneal dilaporkan lebih jarang menderita perikarditis. Patogenesis perikarditis ini masih belum diketahui dengan pasti. Walaupun toksin uremik yang tinggi pada keadaan dialisis sering dijadikan kambing hitam, tetapi ada dugaan bahwa kelebihan cairan berperan dalam menimbulkan perikarditis. Walaupun pasien perikarditis uremik sering mengalami infeksi terutama oleh virus, tetapi pada cairan perikardial sulit ditemukan penyebab infeksi, sedangkan cairan perikardial yang hemoragis sering dihubungkan dengan pemakaian antikoagulan pada dialisis.7
Manifestasi klinis perikarditis uremik dapat berupa nyeri dada, demam, dan efusi perikardial. Setelah penumpukan cairan perikardial cukup banyak, pericardial rub akan menghilang, dan bunyi jantung menjadi redup. Juga dapat terjadi tamponade jantung, terutama pada efusi perikardial yang hemoragis. Perikarditis dan efusi perikardial uremik yang lama.7

Fungsi miokard dan respons terhadap latihan
Pada pasien GGK toleransi terhadap latihan rendah. Kapasitas kerja aerobik pada pasien GGK dan GGT yang menjalani hemodialisis kronik dilaporkan menurun sesuai dengan penurunan konsentrasi Hb. Toleransi terhadap latihan dilaporkan membaik, bila anemia yang terjadi dikoreksi dengan eritropoietin rekombinan. Kardiomiopati uremik sering menimbulkan gangguan fungsi jantung berupa gagal jantung kongestif yang biasanya ditemukan pada GGK yang berat dan GGT. Kardiomiopati uremik ini disebabkan oleh kelebihan cairan, anemia, hipertensi, dan mungkin toksin uremik.7
Pada kebanyakan pasien GGK yang dilakukan dialisis, kelebihan cairan ini dapat diatasi dengan dialisis sehingga fungsi jantung dapat diperbaiki; tetapi hal ini tidak terjadi pada beberapa pasien; diduga penyebabnya toksin uremik. Pada pasien GGK dapat ditemukan hipertrofi ventrikel kiri dan penebalan septum interventrikular.7


8. Gangguan neurologis
Neuropati perifer
Komplikasi berupa neuropati motorik dan sensorik yang mengenai segmen distal (neuropati perifer) jarang ditemukan pada anak. Penelitian terdahulu mendapatkan adanya penurunan elektrofisiologis saraf perifer pada anak yang menderita GGK. Gejalanya dapat berupa parestesia telapak tangan dan atau kaki, adanya rasa nyeri, mati rasa pada bagian distal dan refleks tendon merupakan manifestasi neuropati perifer uremik. Pada pemeriksaan dapat ditemukan menurunnya kecepatan konduksi saraf perifer. Pemeriksaan konduksi saraf pada pasien GGK sebaiknya dilakukan secara serial untuk mendeteksi adanya gangguan saraf sedini mungkin. Kedaaan ini sering terjadi pada keadaan uremia berat dan dengan tindakan dialisis memberikan hasil yang bervariasi, sedangkan transplantasi ginjal memberikan hasil yang baik.7

Ensefalopati hipertensif
Peninggian tekanan darah yang hebat dan tiba-tiba dapat menyebabkan nekrosis arteri intrakranial dan edema serebri dengan gejala sakit kepala, penurunan kesadaran dan kejang. Krisis hipertensi sering terjadi pada GGT. Tindakan penurunan tekanan darah yang dilakukan segera tidak akan meninggalkan gejala sisa yang berat, tetapi bila telah terjadi perdarahan intraserebral dan intraventrikular dapat menimbulkan gejala sisa yang berat dan bahkan kematian.7

Retardasi mental
Diperkirakan terjadi peningkatan kejadian retardasi mental dengan meningkatnya gangguan fungsi ginjal pada bayi dan anak kecil yang menderita GGK pada tahun pertama kehidupan. Hal ini diduga akibat pengaruh ureum terhadap perkembangan otak dan banyaknya alumunium dalam makanan bayi. Terjadinya disfungsi otak diduga sebagai akibat keracunan aluminium, karena suatu penelitian menunjukkan kejadian retardasi mental dan disfungsi otak menurun pada bayi yang mendapat calcium binding agents yaitu kalsium karbonat sebagai pengganti aluminium containing, fosfat binding agent.2

9. Osteodistrofi ginjal
Penimbunan asam fosfat mengakibatkan terjadi hiperfosfatemia dan menyebabkan kadar ion kalsium serum menurun. Keadaaan ini merangsang kelenjar paratiroid untuk mengeluarkan hormon lebih banyak agar ekskresi fosfor meningkat dan kadar fosfat kembali normal. Jadi osteodistrofi ginjal adalah kelainan tulang pada GGK sebagai akibat gangguan absorpsi kalsium, hiperfungsi paratiroid, dan gangguan pembentukan vitamin D aktif.7
Gejala klinis osteodistrofi ginjal antara lain gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk tulang, fraktur spontan dan nyeri tulang. Apabila disertai gejala rakitis yang jelas akan timbul hipotonia umum, lemah otot, dan nyeri otot. Pada pemeriksaan radiologi dan histologi ditemukan gambaran tulang yang abnormal dengan ciri khas seperti osteomalasia dan osteofibrosis. Pemeriksaan yang paling sederhana untuk melihat gambaran osteodistrofi ginjal adalah ujung-ujung tulang panjang yaitu foto falangs, sendi lutut, dan sendi siku.2,7,8

10. Gangguan pertumbuhan
Terjadinya gangguan pertumbuhan pada pasien GGK dapat disebabkan oleh banyak faktor. Kemungkinan faktor yang paling penting adalah umur waktu timbulnya GGK, karena yang paling sering mempengaruhi pertumbuhan adalah penyakit ginjal kongenital. Hal-hal yang diduga ada hubungannya dengan gangguan fungsi ginjal usia dini, asidosis, osteodistrofi ginjal, dan gangguan hormonal.8
Keadaan asidosis dapat mengganggu pertumbuhan anak pasien GGK. Terjadinya osteodistrofi ginjal dan menurunnya nafsu makan pada pasien GGK akan menyebabkan masukan makanan dan energi tidak adekuat sehingga mengganggu pertumbuhan. Adanya gangguan sekresi hormon tumbuh dan insulin like growth factors pada pasien GGK akan mempengaruhi pertumbuhan anak karena pemberian hormon tumbuh rekombinan dapat mempercepat pertumbuhan anak tapi mekanismenya sendiri belum diketahui.8

11. Perkembangan seksual
Keterlambatan perkembangan seksual sering dijumpai pada pasien GGK. Keadaan ini merupakan akibat disfungsi gonad primer dalam memproduksi steroid gonad, disfungsi hipofisis dan gangguan pengeluaran gonadotropin. Terjadinya gangguan pengeluaran gonadotropin akan mengakibatkan terlambatnya pubertas. Keadaan ini mungkin disebabkan uremia berat.2

G. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa GGK, anamnesis merupakan petunjuk yang sangat penting untuk mengetahui penyakit yang mendasari. Namun demikian pada beberapa keadaan memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan khusus. Pemeriksaan yang diperlukan untuk mengetahui beratnya GGK adalah sebagai berikut :
1. Darah lengkap : hemoglobin, leukosit, trombosit, differential count, hapusan darah.
2. Kimia darah :
• Serum elektrolit (K, Na, Ca, P, Cl), ureum, kreatinin, serum albumin, total protein, asam urat.
• Analisa gas darah
• Kadar hormon paratiroid
3. Pemeriksaan urin : albumin/protein, sedimen urin.
4. Laju Filtrasi Glomerulus, dapat ditentukan dengan menggunakan rumus Haycock-Schwartz
LFG = ( K x h )
Pcr
 LFG : Laju Filtrasi Glomerulus
 K : konstanta sesuai dengan tinggi badan dan massa otot
 h : tinggi badan dalam cm
 Pcr : kadar kreatinin dalam plasma (mol/L atau mg/dL)
 Nilai K berbeda menurut umur
Tabel 2.10 Nilai konstanta (K) menurut umur
Umur Pcr (mg/dl)
Preterm 0,27
Neonatus 0,37
Bayi (0-1 thn) 0,45
Anak (2-12 thn) 0,55
Perempuan (13-21 thn) 0,55
Laki-laki (13-21 thn) 0,70
 Foto tangan kiri dan pelvis untuk mengetahui bone age serta terjadinya osteodistrofi ginjal.
 Thorax foto, elektrokardiografi (EKG) dan echocardiografi untuk mengetahui terjadinya hipertrofi ventrikel.
 Pemeriksaan khusus yang diperlukan sesuai dengan penyakit yang mendasari :
 Ultrasonografi ginjal
 Voidingcystourography
 Radioisotop-Scans
 Antegrade pressure flow studies
 Intravenous urogram
 Urinalisis
 Pemeriksaan mikroskop urin, kultur
 Komplemen C3, C4, antinuklear antibodi, anti DNA antibodi, anti GBN antibodies, ANCA
 Biopsi ginjal

Kadang-kadang sulit membedakan apakah anak menderita GGA yang reversible, atau GGK. Oleh karena itu sebaiknya dikenal kriteria atau indikasi kapan seorang anak harus segera dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis (lihat Tabel 3.)

Tabel 3.6
Indikasi untuk menegakkan diagnosis Gagal Ginjal
1. Abnormalitas elektrolit
2. Hiperkalemia: K+ > 6 mmol/L
3. Hipernatremia, Hyponatremia
4. Asidosis metabolik
5. Hipokalsemia, Hiperfosfatemia
6. Hipertensi Berat
7. Edema Pulmo
8. Anuria/Oliguria

Anamnesis dan pemeriksaan fisik penting untuk mengungkap penyebab gagal ginjal, meskipun pada beberapa anak hal tersebut baru bisa diungkapkan melalui pemeriksaan-pemeriksaan yang spesifik Tabel 4. Tabel 5 menunjukkan gejala-gejala yang dapat membantu membedakan GGA dan GGK, dan Tabel 6 menunjukkan pemeriksaan-pemeriksaan untuk menetapkan tingkat keparahan dan lamanya GGK.6

Tabel 4.6
Pemeriksaan-Pemeriksaan Spesifik untuk Menegakkan Diagnosa Gagal Ginjal Kronik
1. USG Saluran Renal
2. Cyctourethrogram
3. Radio-isotope scans: DMSA, MAG3, or DTPA
4. Antegrade pressure flow studies
5. Urogram Intravena
6. Urinalisis
7. Kultur dan Mikroskopi Urin
8. C3, C4, antinuclear antibody, anti-DNA antibodies, anti-GBM antibodies, ANCA
9. Biopsi Renal
10. White cell cystine level
11. Eksresi Oxalat
12. Eksresi Purin

Tabel 5.11
Perbedaaan GGA dengan GGK berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang
Gagal Ginjal Akut Gagal Ginjal Kronik
Peningkatan progresif BUN dan Cr
Riwayat ARF
Pertumbuhan normal
Tulang normal
Anemia sedang
Ukuran ginjal normal atau membesar Peningkatan stabil BUN dan Cr
Riwayat Hipertensi kronik
Pertumbuhan terhambat
Renal osteodistrofi
Anemia berat
Ukuran ginjal mengecil

Tabel 6.6
Pemeriksaan untuk Menentukan Tingkat Keparahan GGK
1. Darah Rutin
2. AGD, Urea, Kreatinin, Kalsium, Fosfat, Alkalin Fosfat, Protein Total, Albumin, Asam Urat
3. LFG
4. Rontgenografi
5. EKG atau Ekokardiografi


H. Penatalaksanaan
Secara garis besar penatalaksanaan dapat dibagi 2 golongan, yaitu pengobatan konservatif dan pengobatan pengganti. Di negara yang telah maju penanganan konservatif pasien GGK hanya merupakan masa antara sebelum dilakukan dialisis atau transplantasi, sehingga tanggung jawab dokter di sini adalah untuk menjaga pasien agar jangan mati mendadak dan agar pembuluh darah, otot jantung, retina, dan tulang harus dipertahankan seutuhnya. Sebaliknya di negara berkembang penanganan konservatif masih merupakan titik akhir dan tanggung jawab dokter di sini menjaga kualitas hidup pasien selama beberapa bulan sebelum ajalnya. Pada umumnya pengobatan konservatif masih mungkin dilakukan bila klirens kreatinin > 10 ml/menit/1,73 m2, tapi bila sudah < 10 ml/menit/1,73 m2 pasien tersebut harus diberikan pengobatan pengganti.2

1. Terapi Konservatif
Tujuan terapi konservatif gagal ginjal pra-terminal, adalah:
a) Anak merasa sehat, tidak ada keluhan atau rasa sakit yang disebabkan oleh uremia, seperti misalnya mual, muntah.
b) Merasa normal, seperti teman-temannya, mempunyai cukup energi untuk berpartisipasi dalam kegiatan sekolah dan aktivitas sosial lainnya; sehingga dapat mencapai pertumbuhan motorik, sosial, dan intelektual yang optimal.
c) Mempertahankan pertumbuhan fisik yang normal.
d) Mempertahankan agar fungsi keluarga berjalan seperti biasanya.
e) Memperlambat progresivitas penurunan LFG.
f) Mempersiapkan anak dan keluarganya untuk menghadapi keadaan gagal ginjal terminal.

Nutrisi
Malnutrisi energi protein seringkali ditemukan pada anak-anak dengan GGK. Patogenesis terjadinya malnutrisi ini multifaktorial. Faktor-faktor tersebut, antara lain adalah anoreksia, diet protein yang rendah, proses katabolisme akibat uremia yang menyebabkan pemecahan protein otot dan inhibisi sintesis protein, sekresi kortisol dan hormon paratiroid yang meningkat, resistensi insulin, asidosis metabolik, dan toksin uremia lain. Pada pasien yang mendapat terapi dialisis, terjadi pembuangan asam amino, peptida dan protein melalui dialisis, dan proses katabolisme pada hemodialisis yang akan memperberat malnutrisinya.7
Bila nutrisi tidak diperhatikan, pasien gagal ginjal akan jatuh dalam keadaan malnutrisi, dan anak-anak akan mengalami gagal tumbuh. Terapi nutrisi, berperan dalam menghambat kecepatan penurunan fungsi ginjal dan akan dapat meningkatkan perasaan well-being serta pertumbuhan.7
Intake nutrisi yang direkomendasikan untuk anak-anak dengan GGK hendaklah memperhatikan hal-hal berikut:7
1. Asupan nutrisi sebaiknya dipantau melalui cara penilaian diet secara prospektif 3 hari berturut-turut 2 kali setahun, dan lebih sering bila ada indikasi klinik.
2. Anak-anak dengan GGK cenderung kehilangan nafsu makan dan seringkali mendapatkan intake dibawah kebutuhan yang dianjurkan. EAR adalah estimasi kebutuhan rata-rata energi, protein, vitamin, mineral. Kriteria ini dipakai untuk menggantikan Recommended Daily Allowance (RDA), yang didefinisikan sebagai kecukupan kebutuhan nutrisi untuk anak sehat dengan jenis kelamin, tinggi badan dan umur yang sama. Asupan energi kurang dari 80% dari RDA telah terbukti berasosiasi dengan gagal tumbuh (Rizzoni 1984), yang dapat dipulihkan dengan meningkatkan energi menjadi 100% RDA. Asupan energi berlebih tidak memberikan manfaat, kecuali pada anak-anak dengan ratio berat terhadap tinggi badan yang rendah, yang membutuhkan asupan energi sampai 120% RDA. Untuk mencapai EAR yang sesuai umur dan energi, sebagian besar anak dengan GGK membutuhkan suplemen kalori dalam bentuk polimer glukosa atau emulsi lemak, dimana pada bayi dan anak-anak kecil, diperlukan nutrisi tambahan melalui pipa nasogastrik.
3. Untuk mencegah atau mengobati hiperparatiroidisme sekunder, kadar fosfat plasma harus dipertahankan antara mean dan -2SD untuk umurnya, dengan cara membatasi diet fosfat dan pemakaian kalsium karbonat sebagai pengikat fosfat. Sumber fosfat terbanyak adalah susu, keju dan yoghurt.
4. Pada binatang coba, diet rendah protein terbukti mampu menghambat laju penurunan fungsi ginjal. Pada anak-anak, yang kebutuhan proteinnya lebih tinggi untuk pertumbuhannya, restriksi protein ternyata tidak bermanfaat dalam menghambat laju penurunan fungsi ginjal, dan bahkan akan mengakibatkan gagal tumbuh. Anak-anak dengan GGK sebaiknya memperoleh asupan protein minimum sesuai EAR for age (lihat tabel). Tetapi bila kadar urea darah anak tetap diatas 120 mg/dl, barulah dilakukan restriksi protein secara bertahap sampai kadar ureumny menurun. Restriksi protein tidak perlu diberlakukan bila protein telah mencapai 6% dari kebutuhan total kalori. Beberapa penelitian mengenai pemberian diet protein yang dicampur dengan asam amino essensial atau analog ketoasidnya menunjukkan perbaikan keadaan umum, perbaikan pertumbuhan dan fungsi ginjal, namun diet ini sangat kompleks, mahal, rasanya tidak enak, dan belum ada penelitian yang membuktikan bahwa diet ini lebih unggul dibanding kelompok kontrol dengan makanan yang kurang kompleks.

Tabel 7.12 Kebutuhan Kalori dan Protein yang Direkomendasikan Untuk Anak dengan Gagal Ginjal Kronik.
Umur Tinggi (cm) Energi (kkal) Minimal Protein (g) Kalsium (g) Fosfor (g)
0-2 bulan
2-6 bulan
6-12 bulan
1-2 tahun
2-4 tahun
4-6 tahun
6-8 tahun
8-10 tahun
10-12 tahun
12-14 tahun L
P
14-18 tahun L
P
18-20 tahun L
P 55
63
72
81
96
110
121
131
141
151
154
170
159
175
163 120/kg
110/kg
100/kg
1000
1300
1600
2000
2200
2450
2700
2300
3000
2350
2800
2300 2,2/kg
2,0/kg
1,8/kg
18
22
29
29
31
36
40
34
45
35
42
33 0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
0,9
0,9
1,0
1,2
1,4
1,3
1,4
1,3
0,8
0,8 0,2
0,4
0,5
0,7
0,8
0,9
0,9
1,0
1,2
1,4
1,3
1,4
1,3
0,8
0,8
L= Laki-laki P=Perempuan


Keseimbangan air dan elektrolit
Penilaian secara klinik adanya dehidrasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan turgor kulit, kekeringan mukosa, tekanan darah, tekanan vena juguler, dan berat badan, yang harus selalu dilakukan pada setiap kunjungan. Anak dengan uropati obstruktif atau displasia ginjal umumnya cenderung menderita kekurangan garam natrium dan kalium, yang akan mengganggu pertumbuhannya. Suplemen natrium khlorida sebaiknya diberikan pada kasus-kasus tersebut dengan pemantauan ketat terhadap pertumbuhan, sembab, hipertensi, atau hipernatremia. Kebutuhan air disesuaikan dengan jumlah urine yang keluar.
Anak-anak dengan penyakit ginjal primer yang menimbulkan hipertensi, dianjurkan untuk membatasi asupan natrium dan air.7
Sebagian besar anak dengan GGK mampu mempertahankan homeostasis kalium. Bila terjadi hiperkalemia, perlu dipikirkan apakah tidak ada obat-obatan seperti misalnya ACE inhibitors, katabolisme, atau asidosis metabolik, sebagai penyebabnya, sebelum membatasi asupan kalium atau memberikan kalium exchange resin.

Tabel 8.13 Kebutuhan Kalori dan Protein (RDA) Berdasarkan Derajat Fungsi Ginjal
Umur/Tahun RDA LFG
Kalori kkal/kg Protein g/kg 10-20 5-10 <5
ml/menit/1,73m2
0-0,5
0,5-1
1-3
4-6
7-10
11-14
L
P
15-18
L
P 115
105
100
85
85

60
48

42
38 2,2
2,0
1,8
1,5
1,2

1,0
1,0

0,85
0,85 1,7
1,4
1,3
1,2
1,1

0,8
1,0

0,8
0,8 1,5
1,2
1,1
1,0
0,9

0,7
0,8

0,7
0,7 1,3
1,0
1,0
0,9
0,8

0,6
0,7

0,6
0,6

Keseimbangan asam – basa
Metabolik asidosis yang menetap seringkali menyebabkan gagal tumbuh pada bayi dan menimbulkan demineralisasi tulang, serta hiperkalemia. Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa perlu diberikan suplemen natrium bikarbonat dimulai dari dosis 2 mmol/kg/hari, dengan pemantauan pH dan kadar bikarbonat pada analisis gas darahnya.11

Osteodistrofi Renal
1. Kadar hormon paratiroid (PTH) meningkat dan kadar 1,25 dihydroxycholecalciferol menurun, sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan, yaitu pada LFG 50-80 ml/menit/1.73m2. Kadar fosfat plasma merupakan sebab utama terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur sel paratiroid secara independen pada kadar calcium serum dan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol endogen. Oleh karenanya kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal paling penting sebagai prevensi dan terapi hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut paling sulit dicapai dalam jangka panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan akan diet rendah fosfat yang ketat and pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi absorbsinya. Diet rendah fosfat berarti membatasi intake susu sapi dan produknya. Bila kadar fosfat plasma tetap diatas harga rata-rata untuk umur, pengikat fosfat misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari diberikan bersama makanan, dosis disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara harga rata-rata dan -2SD sesuai umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih baru, sevelamer (non-calcium/non-aluminium containing polymer) juga merupakan pengikat fosfat yang bermanfaat.
2. Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan kadar PTH. Namun, bila kadar PTH tetap tinggi dan kadar fosfat plasma normal, perlu ditambahkan vitamin D3 hidroksilasi.
3. Tipe, dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan terapi osteodistrofi renal masih merupakan kontroversi. Dianjurkan pemberian dosis rendah 1,25-dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak dengan berat kurang dari 20 kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang lebih besar, untuk menaikkan kadar kalsium plasma sampai batas normal atas: bila kadar PTH telah normal, 1,25-dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan sementara. Pemberian 1,25-dihydroxycholecalciferol secara intravena lebih efektif untuk menurunkan kadar PTH, tetapi dapat menyebabkan adynamic bone, oleh karena 1,25-dihydroxycholecalciferol pada dosis tinggi mempunyai efek antiproliferatif pada osteoblast.
4. Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya diperiksa setiap kunjungan. Kadar PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak melakukan kunjungan yang lebih jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak asimtomatik dan parameter biokimia normal, hanya perlu dilakukan pemeriksaan radiologi manus kiri dan pergelangan tangan setiap tahun untuk menilai usia tulang.9

Hipertensi
Hipertensi dapat berasal dari penyakit ginjal primer, misalnya nefropati refluks, penyakit ginjal polikistik autosomal resesif, atau karena GGK yang telah lanjut, akibat retensi natrium dan air. Pengendalian tekanan darah pada GGK, bukan saja untuk mencegah morbiditas dan mortalitas akibat hipertensi itu sendiri, melainkan juga untuk mencegah progresivitas penurunan fungsi ginjal. Bila tidak ada circulatory volume overload, sistolik dan diastolik dalam pemeriksaan berulang lebih dari 90 persentil untuk umur, perlu diberikan terapi antihipertensi untuk prevensi komplikasi hipertensi dan menghambat laju GGK. Bila ada tanda-tanda circulatory volume overload sebagai penyebab hipertensi, diberikan diuretik dari golongan furosemide dengan dosis 1-3 mg/kg dan diet rendah garam.9

Infeksi
Anak-anak dengan kelainan ginjal rentan mengalami infeksi saluran kemih berulang. Bila menderita refluks vesiko-ureter perlu diberikan antibiotik dosis rendah sebagai profilaksis.8

Anemia
Anemia pada GGK adalah anemia normokromik normositer, karena produksi eritropoietin yang tidak adekuat. Eritropoietin rekombinan (rHuEPO) telah dipakai secara luas untuk mencegah anemia pada GGK. Disamping eritropoietin masih ada faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya anemia antara lain menurunnya daya survival sel darah merah, inhibisi sumsum tulang terutama oleh PTH, kehilangan darah intestinal, dan paling sering defisiensi besi dan folat.7
Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGT dapat mempertahankan kadar hemoglobin tanpa bantuan terapi eritropoietin rekombinan, dengan cara pengaturan nutrisi yang baik, suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan memakai pengikat fosfat yang tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap terjadi, dapat diberikan eritropoietin rekombinan dengan dosis 50 unit/kg secara subkutan dua kali seminggu, dosis dapat dinaikkan sesuai respon agar mencapai target hemoglobin 10-12 g/dl. Kadar ferritin serum dipertahankan diatas 100 mcg/l agar tercapai suplemen besi yang adekuat. Anak-anak dengan pra-GGT biasanya mendapatkan suplemen besi peroral, sedangkan mereka yang telah dilakukan dialisis biasanya memerlukan suplemen besi secara intra-vena.7

Pertumbuhan
Pertumbuhan merupakan indikator yang paing sensitif untuk terapi GGK yang adekuat. Pengukuran tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, status pubertal, volume testes, dan lingkar lengan atas sangat dianjurkan untuk dilakukan secara rutin, sehingga akan dapat dideteksi secara dini setiap gangguan kecepatan pertumbuhan. Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan pertumbuhan adalah multifaktorial, seperti tercantum dalam tabel dibawah ini.6

Tabel 9.6
Faktor-Faktor yang Menyebabkan Gangguan Pertumbuhan pada Pasien GGK
1. Kurangnya masukan energi
2. Gangguan masukan energi
3. Gangguan keseimbangan air dan elektrolit, seperti defisiensi natrum kalium dan asidosis metabolik
4. Osteodistrofi ginjal
5. Hipertensi
6. Infeksi
7. Anemia
8. Abnormalitas hormon
9. Terapi kortikosteroid
10. Faktor psikososial

Pola pertumbuhan masing-masing anak dengan GGK dipengaruhi oleh umur anak, umur saat onset GGK dan terapi yang diberikan. Pada anak normal, kecepatan pertumbuhan maksimal selama tahun pertama kehidupan, pertumbuhan kemudian melambat selama masa anak-anak, dan meningkat lagi dengan pubertal growth spurt. Pertumbuhan yang tidak optimal pada salah satu atau kedua periode kritis tersebut akan mengakibatkan berkurangnya tinggi badan akhir.
Anak-anak pra-pubertas dengan GGK yang tumbuh dibawah persentil ke-3 untuk umurnya akan menunjukkan respon yang baik terhadap hormon pertumbuhan rekombinan dengan dosis supra-fisiologik.

Mempertahankan fungsi ginjal
Pada sebagian besar anak dengan GGK, fungsi ginjalnya akan terus menurun secara progresif, meskipun penyakit ginjal primernya telah tidak aktif. Progresifitas GGK berkaitan dengan kelainan histologinya yaitu glomerulosklerosis progresif, fibrosis interstitial, dan sklerosis vaskuler atau arterioler.7
Untuk mempertahankan fungsi ginjal yang berada pada suatu fase tertentu, dapat dilakukan dengan cara-cara: pengendalian hipertensi, menghilangkan proteinuria, mencegah terjadinya hiperparatiroidisme sekunder, dan diet protein yang cukup.7
Berbagai penelitian baik invivo maupun invitro membuktikan bahwa lipid mempunyai peran penting dalam progresivitas penyakit ginjal kronik. Gangguan metabolisme lipid sering ditemukan pada GGK sehingga menimbulkan keadaan hiperlipoproteinemia, kadar HDL menurun, LDL meningkat, dan VLDL kholesterol sangat menurun, disertai hipertrigliseridemia, dan gangguan apolipoprotein. Hal ini disebabkan karena terjadinya gangguan klirens lipoprotein LDL, dan menurunnya aktivitas lipolitik yang sebagian disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder dan resistensi insulin. Selain dengan manipulasi diet, beberapa penelitian juga membuktikan manfaat penggunaan zat untuk menurunkan kadar lipid darah terhadap perbaikan LFG dan aliran plasma ginjal.7

Edukasi dan persiapan
Masa terapi konservatif GGK, merupakan saat terbaik untuk melaksanakan program edukasi bagi pasien dan keluarganya, untuk menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi sehingga mereka dan keluarganya akan ikut secara aktif dalam program pengobatan tersebut.7
Masa tersebut juga dapat digunakan untuk mempersiapkan mereka menghadapi stadium gagal ginjal terminal.
Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum anak masuk dalam stadium GGT:8
1. Anak harus telah mendapatkan imunisasi lengkap sebelum dilakukan transplantasi, setidak-tidaknya 3 bulan sebelum dimulainya TPG.
2. Anak-anak dengan GGK yang mengalami disfungsi buli-buli, misalnya buli-buli neurogenik, atau katup uretra posterior harus diatasi terlebih dahulu sebelum transplantasi dilakukan.
3. Anak-anak yang membutuhkan dialisis sebelum transplantasi, tetapi tidak sesuai untuk dialisis peritoneal, hendaknya dibuatkan fistula arteri-vena untuk akses hemodialisis.

2. Terapi Pengganti Ginjal
Tujuan terapi Gagal Ginjal Terminal pada anak-anak tidak hanya untuk memperpanjang hidup anak, namun juga untuk meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan, dengan tujuan utama adalah kehidupan masa dewasa yang lebih baik.
Transplantasi ginjal yang berhasil merupakan terapi pilihan untuk semua anak dengan gagal ginjal terminal. Transplantasi ginjal dapat dilakukan dengan donor ginjal yang berasal dari keluarga hidup atau jenazah.7
Dialisis merupakan pelengkap dari transplantasi yang diperlukan pada saat sebelum atau antara transplantasi, dan bukanlah merupakan pilihan alternatif dari transplantasi. Ada 2 pilihan dasar yaitu hemodialisis atau dialisis peritoneal. Tetapi pilihan tidak selalu dapat dilakukan, bila misalnya terdapat kesulitan untuk memperoleh akses fistula A-V, maka pilihan hanyalah dialisis peritoneal, atau misalnya adanya adhesi intra-abdominal, maka dialisis peritoneal tidak bisa dipilih, kecuali hemodialisis.7
Seorang anak dipersiapkan untuk dilakukan transplantasi apabila laju filtrasi glomerulus telah menurun sampai 10 ml/menit/1.73m2. Secara ideal sebenarnya adalah melakukan transplantasi sebelum timbul gejala-gejala akibat gagal ginjal kronik dan sebelum dialisis dibutuhkan. Tetapi hal tersebut jarang bisa dilakukan karena masa tunggu untuk mendapatkan donor yang cocok tidak bisa dipastikan, masalah-masalah medis yang tidak memungkinkan anak segera menjalani transplantasi, atau yang paling sering adalah memberikan waktu yang cukup untuk pasien dan keluarganya guna mempersiapkan dan menyesuaikan diri menghadapi situasi yang baru.7
Indikasi untuk memulai dialisis adalah:
1. Timbulnya gejala sindrom uremia berupa letargi, anoreksia, atau muntah yang mengganggu aktivitas sehari-harinya.
2. Gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa, misalnya hiperkalemia yang tidak respon terhadap pengobatan konservatif.
3. Gejala kelebihan cairan yang tidak dapat diatasi dengan terapi diuretik.
4. Terjadi gagal tumbuh yang menetap meskipun telah dilakukan terapi konservatif yang adekuat.

Dialisis
Keuntungan dan kerugian dialisis peritoneal dan hemodialisis dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Di Inggeris, Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain, dialisis peritoneal lebih banyak dilakukan pada anak-anak.
Hemodialisis adalah suatu teknik untuk memindahkan atau membersihkan solut dengan berat molekul kecil dari darah secara difusi melalui membran semipermeabel. Hemodialisis membutuhkan akses sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan fistula A-V pada vasa radial atau brachial dari lengan yang tidak dominan.
Pada dialisis peritoneal, membran peritoneal berfungsi sebagai membran semi-permeabel untuk melakukan pertukaran dengan solute antara darah dan cairan dialisat. Untuk memasukkan cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu dipasang kateter peritoneal dari Tenckhoff. Ada 2 cara pelaksanaan dialisis peritoneal, yaitu:
1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialisis dilakukan malam hari dengan mesin dialisis peritoneal, sehingga pada siang hari pasien bebas dari dialisis.
2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialisis berlangsung 24 jam sehari dengan rata-rata pertukuran cairan dialisat setiap 6 jam sekali.
Meskipun hemodialisis dan dialisis peritoneal merupakan TPG yang efektif, angka mortalitas dialisis lebih tinggi daripada transplantasi untuk semua kelompok umur.
Gambar 5. Hemodialisis


Transplantasi
Merupakan terapi terbaik bagi anak-anak dengan gagal ginjal terminal oleh karena akan memberikan rehabiltasi terbaik untuk hidup yang sangat mendekati wajar. Transplantasi dilakukan dengan ginjal jenazah atau ginjal yang berasal dari keluarga hidup yang berusia relatif lebih tua, biasanya dari orang tuanya.
Di Eropa pada tahun 1984-1993 hampir 21% anak yang berusia kurang dari 21 tahun mendapat ginjal dari donor hidup, sedangkan di Amerika Utara donor hidup mencapai 50% dari seluruh donor yang diterima anak-anak yang berusia kurang dari 21 tahun pada tahun 1987-2000.6


I. Prognosis
Angka kelangsungan hidup anak-anak dengan gagal ginjal kronik saat ini semakin baik. Dari 1070 anak yang berumur kurang dari 18 tahun saat menerima ginjal donor jenazah di Inggeris dan Irandia dalam periode 10 tahun (1986-1995): 91 (9%) meninggal dengan penyebab kematian: 19% oleh karena infeksi, 4.5% lymphoid malignant disease, 4.5% uremia karena graft failure. Sedangkan data dari Amerika Utara melaporkan angka kelangsungan hidup 5 tahun setelah transplantasi donor hidup berkisar antara 80.8% pada anak-anak yang berusia kurang dari 1 tahun saat ditransplantasi, sampai 97.4% pada anak-anak yang berusia antara 6-10 tahun.6






































III. KESIMPULAN


Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) yang bersifat tidak reversibel dan terbagi dalam 4 stadium sesuai dengan jumlah nefron yang masih berfungsi. Pada anak-anak GGK dapat disebabkan oleh berbagai hal, terutama karena kelainan kongenital, glomerulonefritis, penyakit multisistem, dan lain-lain. Etiologi yang paling sering didapatkan pada anak di bawah 6 tahun adalah kelainan kongenital, kelainan perkembangan saluran kencing seperti uropati obstruktif, hipoplasia dan displasia ginjal, dan ginjal polikistik.
Gejala klinis dari penyebab awalnya dapat kita ketahui sedangkan gejala GGK-nya sendiri tersembunyi dan hanya menunjukkan keluhan non-spesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah, polidipsia, poliuria, gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan anak tampak pucat, lemah, dan menderita hipertensi. Keadaan ini dapat berlangsung bertahun-tahun, sehingga pasien telah menderita gangguan anatomis berupa gangguan pertumbuhan dan ricketsia. Namun dengan pemeriksaan yang teliti dan cermat akan ditemukan keadaan-keadaan seperti azotemia, asidosis, hiperkalemia, gangguan pertumbuhan, osteodistrofi ginjal, anemia, gangguan perdarahan, hipertensi, gangguan neurologi.
Penatalaksanaan bertujuan untuk mempertahankan fungsi ginjal yang masih normal, mempertahankan petumbuhan anak yang normal, mengusahakan kehidupan penderita menjadi normal kembali sehingga dapat melakukan aktifitas seperti sekolah dan kehidupan sosial, menghambat laju progresifitas menjadi gagal ginjal terminal, mempersiapkan penderita dan keluarga untuk menjalani terapi pengganti ginjal. Prognosis buruk bila tidak segera di transplantasi ginjal.
Sebagai penutup ingin penulis tekankan bahwa terapi GGK adalah seumur hidup, meskipun telah dilakukan transpantasi ginjal. Tetapi masa depan mereka tidaklah seburuk seperti yang dibayangkan, banyak diantara mereka sekarang telah berhasil dalam profesi dan kehidupan keluarga.











DAFTAR PUSTAKA


1. Papadopoulou ZL. Chronic renal failure. Dalam: Barakat AY, penyunting. Renal disease in children. Clinical evaluation dan diagnosis. New York:Springer-Verlag 1990; 286-305.

2. Fine RN. Recent advances in the management of the infant, child, and adolescent with chronic renal failure. Dalam: Pediatric Rev 1990; 11:277-82.

3. Hattori, S., K. Yosioka, et al. The 1998 report of the Japanese National Registry data on pediatric end-stage renal disease patients. Pediatr Nephrol 17(6) 2002; 456-61.

4. Tambunan T. Pola Penyakit ginjal kronik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jakarta 1986-1988. Dalam: Kosnadi L, Soeroso S, Suyitno H, penyunting. Naskah lengkap Simposium Nasional IV Nefrologi Anak dan Peningkatan Berkala IKA ke-6, Semarang 1989; 1-22.

5. Norman D. Structure and Development of the Kidney. In: Kanwal K Kher and William Schnaper, editors. Clinical pediatric nephrology. 2nd edition. McGraw-Hill Health, 2006. pp. 24-35.

6. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric nephrology. 3rd edition. Oxford: Oxford University Press Inc. 2003, pp. 427-45.

1. Alatas H. Gagal ginjal kronik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2 Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2002; 509-530.

2. Bergstein JM. Gagal ginjal kronik. Dalam: Wahab S, penyunting. Nelson ilmu kesehatan anak edisi 15 vol. 3. Jakarta: EGC, 2000; 1851-1855.

7. Edward CK. Chronic renal failure. In: Julia AM, editor. Oski's pediatrics: principles and practice. 3rd edition. Lippincott Williams & Willkins Publisher. 1999, Chap. 324.

8. Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation of chronic Renal Failure. In Johnson RJ, Feecally J Eds. Comprehensive Clinical Nephrology. Harcourt Publishers Limited London, 2000; section 14. 68 : 1-14.

9. Cronan K. Chronic renal failure. In: Ludwig S, editor. Textbook of pediatrics emergency medicine. 4th edition. Lippincott Williams & Willkins Publisher. 2000, Chap. 86.

10. Weiss RA. Dietary and pharmacology treatment of chronic renal failure. Dalam: Edelmann CM Jr, penyunting. Pediatric kidney disease, edisi ke-2. Boston: Little, Brown & Co, 1992; 815-23.

11. Royer P. Habib R, Mathiew, Broyer M. Major problems in clinical pediatrics vol. XI. Pediatric nephrology. Philadephia: WB Saunders, 1974.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger