Pengikut

Jumat, 20 Mei 2011

Terapi Demam Tiphoid pada Anak




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pada umumnya terapi demam tipoid meliputi nutrisi yang memadai, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, pemberian antibiotika dan mencegah serta mengatasi komplikasi yang terjadi. (1,2,3,4,5,7,8)
Pemberian antibiotika pada terapi demam tifoid merupakan keharusan yang wajib dilaksanakan sebagai terapi anti mikroba atau terapi kausatif. Pengobatan antibiotika pada penderita demam tifoid akan memperpendek perjalanan penyakit, mengurangi komplikasi dan mengurangi angka kematian kasus.
Kekambuhan terjadi pada 10 % penderita yang tidak mendapatkan pengobatan antibiotika. Manifestasi klinis kekambuhan, pada umumnya menjadi nyata kurang lebih 2 minggu setelah penghentian pengobatan dengan antibiotika dan menyerupai bentuk penyakit akut. Tetapi kekambuhan tersebut umumnya bersifat lebih ringan dan lebih singkat, ini dapat terjadi berulang-ulang pada orang yang sama.
Antibiotika sebagai obat standar yang dapat digunakan untuk terapi demam tifoid sampai saat ini adalah kloramfenikol, kotrimoksasol, ampicilin dan amoksilin. Pada beberapa dekade terakhir, munculnya strain yang resisten terhadap beberapa antibiotika tersebut mendorong beberapa ahli untuk mencari antibiotika yang lebih tepat untuk salmonella typhi.(1,2,3,5,6,7,8)

B. Tujuan Penulisan
1. Memenuhi sebagian syarat untuk perbaikan hasil ujian akhir program pendidikan profesi di bagian Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.
2. Memahami dan mengetahui beberapa madam antibiotika yang dapat digunakan dalam terapi penyakit febris typhoid.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab II ini akan diuraikan beberapa macam antibiotika yang biasa digunakan dalam terapi penyakit febris typhoid yang meliputi farmakokinetik, dosis, kadar terapetik, efek yang tak diharapkan, interaksi obat dan sebagian cara kerjanya.

A. KLORAMFENIKOL
Pada tahun 1948 Woodward T. pertama kali menggunakan kloramfenikol untuk mengobati demam tifoid dan memberi hasil yang sangat memuaskan dalam waktu singkat. Karena efektivitasnya terhadap S. typhi dan harga obat relatif murah maka kloramfenikol dipakai sebagai obat standar pada infeksi Salmonella.
Kloramfenikol berhasil diisolasi pertama kali pada tahun 1947 dari biakan streptomyces venezuelae dan antibiotika sintetis pertama kali disintesa pada tahun 1949. Kloramfenikol kristalin merupakan ikatan yang netral dan stabil dengan rumus bangun sebagai berikut :
Kloramfenikol terdiri dari kristal-kristal tak berwarna dan rasanya pahit. Selain itu kloramfenikol sangat larut dalam alkohol, dalam air kelarutannya berkurang dengan saturasi 0,25 %. Kloramfenikol suksinat sangat larut dalam air dan dihidrolisa di jaringan-jaringan sehingga dapat digunakan secara parenteral. Untuk mengurangi rasa pahit, kloramfenikol diproduksi dalam bentuk basa dalam kapsul.

1. Kemasan, Cara Pemberian, Absorbsi, Distribusi, Waktu Paruh, Ekskresi dan Dosis Kloramfenikol.
Kloramfenikol merupakan antibiotika berspektrum luas, efektif terhadap organisme gram positif dan negatif meskipun penggunaannya terbatas karena toksik. Kloramfenikol dapat dijumpai dalam bentuk kloramfenikol palmitat dan kloramfenikol sodium suksinat. Untuk terapi demam tifoid kloramfenikol dapat diberikan peroral berupa kapsul atau suspensi/sirup dari kloramfenikol palmitat. Bila penderita tidak bisa minum obat peroral dapat diberikan kloramfenikol sodium suksinat secara intravena. Pemberian secara intramuskuler masih kontroversial karena adekuat/tidaknya absorbsi belum diketahui dengan pasti. Di beberapa negara kloramfenikol dapat diberikan melalui dubur. Dosis untuk terapi demam tifoid pada anak 50-100 mg/kg berat badan (BB)/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Lama terapi 8-10 hari setelah suhu tubuh kembali normal atau 5-7 hari setelah demam turun; untuk mencegah terjadinya kekambuhan lama terapi dapat diberikan selama 14 hari penuh. Klorampenikal pada bayi, dosis kloramfenikal 25-50 mg/kg BB/hari.
Kloramfenikol peroral segera diabsorbsi secara komplit dengan konsentrasi dalam darah  10g/mL dicapai dalam 2 jam. Konsentrasi tertinggi dalam plasma 10-20 g/mL, pada umumnya konsentrasi dalam plasma berkisar 5-10 g/mL. Hampir semua bakteri gram negatif dapat dihambat oleh kloramfenikol pada konsentrasi 0,2-5 g/mL. Menurut Rowe pada kuman yang resisten terhadap kloramfenikol kadar hambat minimal dalam darah 250 mg/L sedangkan menurut Christie kadar hambat minimal > 150 g/mL dan pada kuman yang sensitif kadar hambat minimal 1-3 g/mL. Kloramfenikol palmitat dihidrolisa menjadi kloramfenikol di saluran cerna agar dapat diabsorbsi, sedangkan kloramfenikol suksinat sebagian dihidrolisa menjadi kloramfenikol bebas di hati, paru dan ginjal. Sehingga kadar kloramfenikol suksinat di darah lebih rendah daripada kloramfenikol palmitat ( 30 % dosis diekskresi sebelum dihidrolisa). Kloramfenikol didistribusi secara luas di jaringan dan cairan tubuh. Kloramfenikol dapat masuk ke cairan serebrospinal dengan kadar 50 % dari yang beredar dalam darah, selain itu obat ini dapat menembus plasenta ke sirkulasi darah janin, asi, dan cairan mata. Kloramfenikol berkaitan dengan protein plasma di sirkulasi  60 %. Waktu paruh kloramfenikol berkisar 1,5-4 jam dan dapat lebih lama pada penderita dengan penyakit hati yang parah atau bayi. Pada penderita penyakit ginjal dapat terjadi akumulasi metabolit inaktif. Kloramfenikol dinon-aktifkan di hati dengan kloramfenikol terutama melalui air kemih ( 10 % kloramfenikol aktif dan  90 % kloramfenikol inaktif). Selain itu obat ini juga dieksresi ke empedu (3 %) lalu direabsorbsi dan  1 % dieksresi melalui tinja dalam bentuk inaktif.
2. Cara Kerja Kloramfenikol pada S. typhi
Kloramfenikol merupakan antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan berspektrum luas. Dapat digunakan untuk terapi infeksi bakteri gram positif maupun negatif. Kloramfenikol masuk ke sel yang sensitif melalui proses transpor aktif. Di dalam sel obat ini berkaitan dengan subunit 50 S ribosom bakteri di dekat site of action makrolit dan klindamisin, serta menghambat sintesa bakteri dengan cara mencegah perlekatan aminocyl transfer RNA ke acceptor site di ribosom komplek mRNA. Sehingga pembentukan ikatan peptida oleh peptidil transferase (reaksi transpeptidasi) dapat dihambat. Hal ini mengakibatkan peptida pada donor site komplek ribosom tidak dapat ditransfer ke asam amino acceptor, sehingga sintesa protein berhenti. Hambatan pada sintesa protein ini mengakibatkan efek bakteriostatik primer.

Cara Kerja :
Kloramfenikol
Transpor aktif
Sel sensitif

Ikatan dengan sub unit 50s ribosom bakteri

Hambat perlekatan aminiacyl transferRNA ke acceptor site
(di ribosom kompleks mRNA)

Pembentukan ikatan peptida dengan peptidil transferase

transfer peptida di donor site ke asam amino acceptor

Sintesa protein

Bakteriostatik primer

Ada resistensi S. typhi terhadap kloramfenikol dapat terjadi melalui 2 cara yaitu :
1. Plasmid mediated S. typhi memproduksi kloramfenikol asetil transferase yang dapat menon-aktifkan obat tersebut. Plasmid ini dapat mentransfer MDR dari satu bakteri ke bakteri lain secara konjugasi (misal pada MDR S. typhi).
2. S. typhi mengalami mutasi ribosomal dan penurunan permeabilitas atau up-take sehingga sensitivitas terhadap kloramfenikol menurun (misal pada S. typhi yang resisten terhadap salah satu antibiotika).

Mekanisme terjadinya resistensi antibiotika melalui 4 jalur yaitu :
1. Penurunan permeabilitas terhadap antibiotika.
2. Proses enzimatik yaitu proses inaktivasi obat oleh enzim asetilase.
3. Modifikasi letak reseptor obat.
4. Peningkatan sintesa metabolik antagonis terhadap antibiotika.

Hal ini menyebabkan beberapa peneliti berusaha mencari obat alternatif lain dengan syarat aman bagi anak dan dewasa, harga terjangkau, dapat diberikan peroral dan efektif.

3. Keuntungan dan Kerugian Kloramfenikol
Keuntungan terapi kloramfenikol pada demam tifoid antara lain :
1. Harga murah
2. Mudah diperoleh
3. Jarang menimbulkan efek samping dalam pemakaian yang singkat
4. Demam turun dalam waktu singkat (3-4 hari terapi)
5. Meningkatkan angka kesembuhan ( 90%)
6. Menurunkan mortalitas (10-15% menjadi 1-4%)


Adapun kerugian penggunaan kloramfenikol pada demam tifoid antara lain :
1. Tidak dapat menurunkan angka kekambuhan
2. Tidak berpengaruh pada eksretor konvalesen atau karier kronis
3. Mengakibatkan anemia aplastik pada 1 : 10.000-50.000 penderita
4. Tidak dapat digunakan pada S. typhi yang resisten terhadap kloramfenikol.

4. Efek Samping dan Kontra Indikasi Penggunaan Kloramfenikol
Kloramfenikol dapat menimbulkan efek samping yang serius dan kadang-kadang fatal. Efek samping tersebut antara lain :
1. Gangguan pada saluran cerna yaitu : mual, muntah dan diare.
2. Depresi sumsum tulang yang dibagi menjadi dua yaitu :
a. Depresi terjadi karena konsetrasi kloramfenikol dalam plasma > 25 ug/mL ditandai dengan perubahan morfologi sumsum tulang (adanya vacuolated nucleated red cells di sumsum tulang), penggunaan zat besi yang berkurang, retikulositopenia, anemia, lekopenia, dan trombositopenia. Hal ini karena sintesa protein mitokondria sel sumsum tulang terhambat.
b. Anemia aplastik yang berat dan irreversible, hal ini jarang terjadi dan tidak berhubungan dengan dosis serta lama terapi kloramfenikol idiosinkrasi). Hal ini diduga karena kelainan genetik atau biokimia.
3. Gray baby syndrome ditandai dengan perut distensi, muntah, kulit berwarna kelabu, hipotermi, flaccid, sianosis, napas tidak teratur, renjatan dan pembuluh darah kolap. Hal ini berhubungan dengan konsentrasi kloramfenikol di darah yang tinggi. Pada bayi baru lahir/prematur mekanisme konjugasi asam glukuronik dan filtrasi glomerulus turun, mengakibatkan akumulasi obat.
4. Interaksi dengan obat-obat lain. Kloramfenikol memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan konsentrasi feniton, tolbutamid, klorpropamid dan warfarin, sehingga menghambat enzim mikrosomal di hati.

Penggunaan kloramfenikol dalam waktu lama dapat mengakibatkan :
1. Perdarahan, baik karena depresi sumsum tulang maupun penurunan flora normal usus yang mengakibatkan hambatan sintesa vitamin K.
2. Anemia hemolitik pada penderita defisiensi G6PD
3. Pada syaraf : neuritis optikus (dapat mengakibatkan gangguan permanen atau buta), ensefalopati, dan ototoksik.
4. Reaksi hipersensitivitas
5. Gangguan pada flora mulut dan usus yang mengakibatkan stomatitis, glositis, dan iritasi rektum.

Untuk mencegah terjadinya efek samping yang tidak diharapkan maka perlu memantau kadar kloramfenikol dalam plasma selama penggunaan obat ini dan pada penderita gangguan fungsi hati dosis obat ini diturunkan.
Kontra indikasi penggunaan kloramfenikol pada penderita demam tifoid.
1. Adanya riwayat hipersensitivitas atau toksik.
2. Tidak untuk profilaksis atau infeksi ringan
3. Adanya depresi sumsum tulang atau blood dyscrasia
4. Penyakit ginjal yang berat
5. Bayi baru lahir atau prematur

Di Pakistan pada penderita demam tifoid anak yang diobati dengan kloramfenikol (dosis 100 mg/kg BB/hari) menunjukkan angka kesembuhan 30 % dan kegagalan 68 %, penelitian Rabbani dengan dosis 50 mg/kg BB/hari menunjukan angka kesembuhan 45 % dan 55 % gagal, tetapi tidak ditemukan efek samping obat ini. Pada penelitian tersebut kesembuhan dinilai dari perbaikan klinis dan bakteriologis.

B. SEFIKSIM
Sefiksim merupakan golongan sefalosporin generasi ketiga yang dapat diberikan peroral dalam bentuk aktif. Sefalosporin pertama kali ditemukan pada tahun 1945 dari jamur Chepalosporium acremonium yang dibiakkan di laut dekat muara pantai Sardinia, dan diisolasi pertama kali pada tahun 1948 oleh Brotzu. Sediaan sefalosporin semisintetik dengan aktivitas yang lebih besar dari asalnya diperoleh dengan cara mengisolasi nukleus aktif sefalosporin C, 7-asam amino sefalosporanik dan dengan menambahkan beberapa rantai sampaing.
Sefiksim berbentuk serbuk kristal putih sampai kuning terang, sangat larut dalam air, alkohol, gliserol dan propilenglikol. Dapat larut bebas dalam 70 % sorbitol dan oktanol. Sefiksim dalam bentuk suspensi oral mempnyai pH 2,5-4,5. Rumus molekul sefiksim C10H15N5O7S2 dengan berat molekul 453,46.
Secara kimia, cara kerja dan toksisitas sefiksim hampir sama dengan penisilin tetapi lebih stabil terhadap batalaktamase bakteri sehingga mempunyai spektrum aktifitas yang lebih luas.

1. Kemasan, Cara Pemberian, Absorbsi, Distribusi, Waktu Paruh, Ekskresi dan Dosis Sefiksim
Sefiksim stabil terhadap betalaktamase bakteri, dapat diperoleh dalam bentuk trihidrat dan dosis pemberian diteruskan dengan sefiksim anhydrous. 1,12 g substansi ekuivalen dengan 1 g sefiksim anhydrous. Sediaan ini dapat dijumpai dalam bentuk kapsul dan suspensi/sirup.












Sefiksim memiliki beberapa ciri unik untuk kelompok sefalosporin, antara lain memiliki substitusi vinil pada atom C2 yang memperpanjang waktu paruh menjadi berlipat ganda dibandingkan dengan sefalosporin oral lainnya, 2-karboksimetoksiimino menambah stabilitas terhadap enzim betalaktamase yang merupakan ciri kemantapan struktur dan keampuhan obat betalaktam pada umumnya. Tambahan dari struktur 2-aminotiazil telah memperluas dan meningkatkan spektrum antimikroba dan daya pemusnah terhadap kuman.
Hanya 40-50 % dari dosis oral sefiksim diabsorbsi dari saluran cerna. Hal ini tidak dipengaruhi oleh makanan di saluran cerna, meskipun kecepatan absorbsi menurun bila ada makanan. Sefiksim dalam bentuk suspensi oral diabsorbsi lebih baik daripada kapsul. Absorbsi sefiksim relatif lambat dimana konsentrasi tertinmggi di plasma 2-3 g/mL dan 3,7-4,6 g/mL dicapai dalam 4 jam setelah pemberian sefiksim 200 dan 400 mg dosis tunggal. Pada dosis oral 200 mg kadar dalam plasma 2-2,6 g/mL dan pada 100 mg kadar dalam plasma 1-1,5 g/mL. Waktu paruh di plasma 3-4 jam dan dapat lebih lama bila ada gangguan pada ginjal. 65 % sefiksim dalam sirkulasi berikatan dengan protein plasma. Penelitian Faulkner menunjukkan konsentrasi sefiksim dalam plasma dengan dosis 8-10 mg/kg BB/hari pada anak hampir sama dengan 400 mg sefiksim pada orang dewasa.
Sefiksim tidak mengalami metabolisme di tubuh. Informasi mengenai distribusi sefiksim di jaringan dan cairan tubuh terbatas. Sefiksim dapat menembus plasenta dan diekskresi dalam bentuk utuh tanpa diubah. Ekskresi obat ini melalui air kemih sebesar 50 % dalam 24 jam. Konsentrasi maksimum di air kemih 42,9; 62,2; dan 82,7 g/mL dalam 4-6 jam. Ekskresi obat ini melalui air kemih (sampai dengan 12 jam) setelah pemberian secara oral 1,5; 3 atau 6 mg/kg BB pada anak-anak dengan fungsi ginjal yang normal. Sedangkan ekskresi sisanya terbanyak dari saluran cerna (tinja) melalui empedu. Kadar obat di empedu relatif tinggi, pada dosis 100 mg mencapai 135 g/mL.
Dosis sefiksim pada terapi demam tifoid 30 mg/kg BB/hari dibagi 2 dosis perhari selama 8 hari. Pada penelitian Bhutta digunakan sefiksim 10 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis per hari selama 14 hari.
2. Cara Kerja Sefiksim Pada S. typhi
Secara kimia, toksisitas dan cara kerja sefiksim mirip dengan penisilin. Bedanya sefiksim stabil terhadap suhu dan pH serta hidrolisa betalakamase. Hasil penelitian Shigi, Matsumoto, dan Neu, menunjukkan bahwa sefiksim stabil terhadap hidrolisa beberapa betalaktamase antara lain betalaktamase 1a, 1b, 1c, 1d, II, III, IV dan V. sefiksim bersifat bakterisidal dan bekerja dengan cara berikatan dengan satu atau lebih penicillin binding protein (PBP) yaitu PBP 3, 1a dan 1b serta dapat melakukan penetrasi ke membran luar bakteri. Hal ini dapat menghambat sintesa dinding sel dan pertumbuhan bakteri.
Dinding sel bakteri sangat esensial untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri normal. Peptidoglikan adalah komponen heteropolimerik dinding sel yang menjaga kestabilan dinding sel secara mekanis. Biosintesa petidoglikan melibatkan 30 enzim bakteri dan terdiri dari 3 tahapan yaitu :
a. Pembentukan prekusor yang terjadi di sitoplasma menghasilkan UDP (uridin difosfat)-asetilmuramil-pentapeptida yang disebut park nucleotide kemudian diikuti penambahan dipeptida, D-alanil-D-alanin.
b. UDP-asetilmuramil-pentapeptida dan UDP-asetilglukosamin berkaitan dengan uridin nukleotida untuk membentuk rantai polimer panjang.
c. Reaksi transpeptida yang terjadi di luar membran sel, dimana residu terminal glisin dari jembatan pentaglisin berikatan dengan residu ke-4 penta peptida (D-alanin), melepaskan residu ke-5 (D-alanin)
Tahap akhir sintesa peptidoglikan ini dapat dihambat oleh sefiksim.

Antibiotika betalaktam mempunyai struktur yang analog dengan substrat D-ala-D-alamiah dan diikat secara kovalen oleh PBP 3, 1a, 1b di reseptor aktif yang mengakibatkan asilasi transpeptidase sehingga terjadi hambatan reaksi transpeptidasi, akibatnya peptidoklikan dihambat.
Penelitian Curtis dkk tahun 1979 dan Curtis tahun 1981 menunjukkan bahwa hambatan PBP 3 pada sintesa sebagian dinding sel oleh antibiotika ini mengakibatkan pembentukan filamen yang panjang dan berlangsung 4-6 generasi lalu rusak. Pembentukan filamen ini diikuti kerusakan fungsi barier membran luar yang terbukti dengan adanya kebocoran betalaktamase periplasma yang cepat. Menurut Kucers dan Bennett hambatan pada sintesa dinding sel bakteri oleh sefiksim tersebut dapat menyebabkan beberapa varian defisiensi dinding sel bakteri yang disebut protoplas (tidak berdinding sel), sefreoplas (dinding sel defek) dan varian fase-L. hal ini menyebabkan dinding sel bakteri lemah, mudah robek dan akhirnya rusak oleh tekanan mekanis pada masa sitoplasma yang meningkat secara normal, sehingga akhirnya sel mati.

Cara kerja :
Sefiksim (analog D-ala-D-ala)

Ikatan demam PBP 3, 1a, 1b di reseptor aktif

Asiliasi transpeptidase Dinding sel > berpori

Hambatan transpeptidase Kontrol selular otolisin hodrolase
ditekan

Sintesa dinding sel bakteri dan
Pertumbuhan bakteri Kebocoran otolisin

Pembentukan foilamen dan Otolisis peptidoglikan
dinding sel tak sempurna

Dinding sel lemah, mudah robek
Tekanan mekanis
Masa sitoplasma
Dinding sel rusal Bakteri mati

Sel bakteri mengandung enzim yang mensintesa peptidoglikan dan otolisin (menyebabkan otolisis peptidoglikan). Sefiksim menekan kontrol seluler otolisin endogen (otolisin hidrolase) yang mengakibatkan otolisis dan kematian bakteri. Diduga hal ini disebabkan oleh hambatan sefiksim yang mengakibatkan dinding sel menjadi lebih berpori sehingga terjadi kebocoran inhibitor otolisin lebih efektif. Peptidoglikan/otolisin hidrolase endogen merupakan mediator penting pada kematian sel setelah paparan oleh antibiotika ini. Lisisnya bakteri akibat sefiksim ini tergantung pada aktivitas otolisin hidrolase. Beberapa bukti menunjukkan bahwa sefiksim yang berkaitan dengan PBP 1 menyebabkan hilangnya hambatan terhadap otolisin.
Sefiksim hanya bersifat bakterisidal bila sel bakteri sedang tumbuh dan mensintesa pada dinding sel.

3. Keuntungan Terapi Sefiksim pada Demam Tifoid
Hasil penelitian Matsumato K di Jepang pada tahun 1999 menunjukkan bahwa keuntungan sefiksim pada terapi demam tifoid adalah :
1. Mempunyai daya penetrasi ke dalam sel terinfeksi yang baik sehingga konsentrasi sefiksim lebih besar daripada kadar hambat minimal untuk S. typhi.
2. Mempunyai efikasi yang tinggi
3. Dapat diberikan pada anak-anak
4. Dapat diberikan secara oral
5. Sefiksim stabil terhadap betalaktamase dan penisilinase

Menurut Hadinegoro kelebihan sefiksim yaitu : dapat menembus jaringan dengan baik dan dapat melakukan penetrasi ke tempat inflamasi atau makrofag yang terinfeksi sehingga konsentrasinya di tempat inflamasi > MIC, efektif terhadap S. typhi (MIC 90 < 0,25 ug/ml) dan S. typhi yang resisten terhadap amoksisilin. 4. Efek Samping Sefiksim Dari beberapa laporan, efek samping sefiksim jarang terjadi. Adapun efek samping sefiksim sebagai berikut : 1. Renjatan 2. Reaksi hipersensitivitas terutama pada penderita alergi sefalosporin 3. Granulositopenia, eosinofilia, trombositopenia 4. Peningkatan SGOT, SGPT, dan laklaifosfotase 5. Gangguan fungsi ginjal 6. Gangguan pada saluran cerna terutama diare, nyeri abdomen, mual, nafsu makan turun, obstipasi 7. Gangguan pada flora normal mulut antara lain : stomatitis, kandidiasis 8. Defisiensi vitamin K yang menyebabkan hipoprotrombinemia dan tendensi perdarahan 9. Defisiensi vitamin B antara lain glositis, stomatitis, neuritis, nafsu makan turun 10. Lain-lain : sakit kepala, pusing Dosis sefiksim pada penelitian Girgis 10 mg/kg BB/hari dibagi 2 dosis selama 12 hari dengan angka kesembuhan 100 % atau dosis tunggal 25 mg/kg BB/hari selama 8 hari dengan angka kesembuhan 96 %, Memon menggunakan dosis 10-12 mg/kg BB/hari selama 14 hari dengan angka kesembuhan 95 % dan penelitian Rabbani menggunakan dosis 10 mh/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis per hari selama 14 hari dengan angka kesembuhan 93,3 %. Pada beberapa penelitian tidak ditemukan efek samping obat ini, tetapi pada penelitian Talley ditemukan efek samping berupa diare ringan (13,8 %) dan diare sedang-berat (5 %), nyeri perut (6 %), mual (7 %), muntah (1,2 %), obstipasi (9 %), sakit kepala (11,6 %) dan pusing (3 %). Pada penelitian WuDH ditemukan efek samping berupa urtikaria (1,5 %), diare (6,35 %), nyeri perut (0,4 %), mual (0,09 %), dan obstipasi (1 %). Pada penelitian Bhutta hanya 8 % penderita mengalami efek samping berupa diare ringan dan pada penelitian Grigis ditemukan mual, muntah serta nyeri perut ringan sebagai efek samping obat ini selama terapi. Pada penelitian Fam di Mesir tidak ditemukan adanya efek samping obat maupun kekambuhan pada anak-anak yang mendapat terapi sefiksim. C. CORTIMOXAZOL (TRIMETHOPRIM/SULFAMETHOXAZOL = 1 : 5) (Chemotherapeuticum dan Sulfonamid-Antibioticum, Bactericid) 1. Farmakokinentik a. Trimethoprim (TMP) BM : 290 - Ketersediaan biologik : 100 %. - Volume distribusi : 1,8 l/kg, dalam LCS sampai 50 % dari kadar dalam plasma. - Ikatan protein plasma : 44 %. - Waktu paruh plasma : 10 jam. - Eliminasi : 70 % dieliminasi renal tanpa diubah, sisanya sebagian dimetabolisme menjadi metabolit yang bersifat aktif farmakologik. b. Sulfamethoxazol (SM) BM : 253 - Ketersediaan biologik : 100 %. - Volume distribusi : 0,3 l/kg. - Ikatan protein plasma : 65 %. - Waktu paruh plasma : 11 jam. - Eliminasi : 20 % dieliminasi renal tanpa diubah, sisanya didalam hati dimetabolisme menjadi metabolit yang tidak aktif (Acetylasi dan Glucuronidasi). 2. Dosis - Pemberian po dibagi dalam pemberian setiap 8 –12 jam : a. Dewasa dan anak > 12 tahun : TMP 320 mg/hari, SM : 1600 mg/hari (dosis harian maksimal : TMP 480 mg, SM : 2400 mg).
b. Anak > 6 tahun : TMP 160 mg/hari, SM 800 mg/hari.
c. Anak > 2 tahun : TMP 80 mg/hari, SM 400 mg/hari.
d. Anak > ½ tahun : TMP 80 mg/hari, SM 400 mg/hari.
e. Anak > 6 minggu : TMP 40 mg/hari, SM 200 mg/hari.
f. Anak > 6 minggu : tidak ada pemberian TMP dan SM.

- Pemberian parenteral
Pemberian iv paling baik sebagai infus singkat dibagi dalam pemberian setiap 8 – 12 jam :
- Dewasa dan anak > 12 tahun : TMP 320 mg/hari, SM 1600 mg/hari (dosis harian maksimal : TMP 480 mg, SM 2400 mg)
- Anak > 6 tahun : TMP 160 mg/hari, SM 800 mg/hari.

3. Kadar Terapeutik di dalam Plasma
- Setelah pemberina po atau iv infus singkat sebesar 160 mg TMP dan 800 mg SM dicapai kadar didalam plasma untuk TMP sebesar 1,5 – 4,0 g/ml, dan untuk SM sebesar 40 – 100 g/ml.
- Kuman yang rentan : C. diphtheriae, H. influenzae, beberapa jenis E. coli, N. gonorrhoeae dan meningitidis, Klebsiella, Streptococcus pneumoniae, Shigella, Enterobacter, Citrobacter, Acinetobacter, P. mirabilis, Brucella, Chlamydia.
- Kuman yang resisten : Ps. Aeruginosa, jenis bacteroides.

4. Efek yang tak diharapkan
- Sakit dan Thrombophlebitis pada tempat injeksi.
- Mual, muntah, sakit perut, mencret, pada kasus berat : Colitis pseudomembranosa (terapi : Vancomycin po), Stomatitis, Glositis.
- Ulserasi Oesophagus bila minum obat dengan cairan yang tidak cukup.
- Leukopenia, Thrombopenia, Pancytopenia, sangat jarang : Agranulositosis.
- Jarang : Sakit kepala, pusing, tidak bisa tidur, pendengaran bising, Ataxia, serangan kram cerebral (terutama pada kelebihan dosis), depresi, hallusinasi.
- Jarang : Hypoprothrombinemia dan kadang terjadi dysfungsi Thrombosit (waktu Thromboplastin dan waktu perdarahan dikontrol!).
- Peninggian Kreatinin-Serum, Cylindriuria, Kristaluria (keluar kristal sulfonamid didalam urin).
- Jarang : peninggian Transaminase, hepatitis cholestatik, nekrose hati, pancreatitis.
- Penting dalam klinik : Exanthema, Urticaria, rangsangan gatal, demam, photosensibilitas, jarang : Anaphylaxie, dermatitis eksfoliativa, Stevens-Johnson-Syndrom, Vasculitis nekroticans, SLE.
- Oleh karena kandungan Natriumdisulfit dan Natriumsulfit dalam cairan infus dapat menimbulkan reaksi hypersensitifitas dan serangan Asthma akut terutama pada pasien disposisi.

5. Interaksi Obat
- Antacida menurunkan resorpsi Sulfonamid.
- Peningkatan efek dari Antikoagulant oral, Antidiabetica oral, Methotrexat, Phenytoin, Phenylbutazon.
- Pada pemberian yang bersamaan dengan Diuretica Thiazid terutama pada pasien tua meningkatkan insiden Thrombopenia.
- Meningkatkan insiden suatu Anemia megaloblastik, melalui obat yang dapat menyebabkan kekurangan Asam Folat seperti misalnya Chloroquin, Pyrimethamin (> 25 mg/minggu), Phenytoin, Phenobarbital, Primidon, Methotrexat.
- Reaksi penolakan dari Alkohol dipte Disulfiram.
- Allergi silang dari Sulfonamid dengan Antidiabetica oran (derivat Sulfonylurea) adalah mungkin.

6. Merek Preparat
- Bactricid/forte® (Tab TM 80 mg SMZ 400 mg, kaplet forte TM 160 mg SMZ 800 mg, paed tab TM 20 mg SMZ 100 mg, Syrup TM 40mg SMZ 200 mg/5 ml).
- Bactrim® (tab TM 80 SMZ 400 mg, paed tab TM 20 mg SMZ 100 mg, tab forte TM 160 SMZ 800 mg, syrup TM 40 mg SMZ 200 mg/5 ml).
- Bactrim im/iv® (Inj. im amp. 3 ml : TM 160 mg SMZ 800 mg, Inj. iv amp., 5 ml : TM 80 mg SMZ 400 mg).
- Cotrimol® (caps /10 ml syrup : TM 80 mg SMZ 400 mg).
- Decatrim® (tab TM 80 mg SMZ 400 mg, paed tab TM 20 mg SMZ 100 mg, syrup per 5 ml TM 40 mg SMZ 200 mg).
- Kotrimoksazol® (tab TM 80 mg SMZ 400 mg, paed tab TM 20 mg SMZ 100 mg).
- Ottoprim® (tab TM 80 mg SMZ 400 mg, pae TM 20 mg SMZ 100 mg).
- Primadex® (Kaplet TM 80 mg SMZ 400 mg, 5 ml syrup TM 40 mg SMZ 200 mg).
- Sanprima® (tab TM 80 mg SMZ 400 mg, 5 ml syrup TM 40 mg SMZ 200 mg).

D. AMPISILINA (Amino-Penici;;in, Bactericid)
1. Farmakokinentik BM : 349
- Ketersediaan biologik : 100 %.
- Volume distribusi : 0,3 l/kg (pada anak-anak : 0,75 l/kg). Masuk ke dalam LCS hanya pada peradangan Mening.
- Ikatan protein plasma : 20 %.
- Waktu paruh plasma : 1,5 jam (bayi baru lahir : 3,5 jam).
- Eliminasi : 80 % dieliminasi oleh ginjal dalam keadaan tak diubah, sisanya dimetabolisme di dalam hati menjadi metabolit yang tidak aktif dan sebagian dieliminasi ke dalam empedu, sirkulasi enterohepatik. Ampicillin dapat didialisa.

2. Dosis
- Pemberian iv paling baik sebagai infus singkat dibagi dalam pemberian setiap 6-8 jam :
a. Dewasa : 2-8 g/hari (sampai 15 g/hari).
b. Anak : 100-200 (sampai 400 mg/kg/hari).
- Pemberian po dalam lambung yang kosong dibagi dalam pemberian setiap 6-8 jam sekitar ½ jam sebelum makan :

a. Dewasa : 2-4 (kadang samapi 8) g/hari)
b. Anak : 100-200 mg/kg/hari.
- 1 g Ampicillin mengandung 2,7 mval Natrium.

3. Kadar Terapeutik dalam Plasma
- Pada pemberian 0,5 g Ampicillin po setelah 2 jam akan dicapai kadar di dalam plasma sebesar 3 g/ml, pada pemberian 0,5 g iv setelah 1 jam mencapai 8 g/ml. Kadar di dalam urin sekitar 50 kali lebnih tinggi.
- KHM (Kadar Hambat Minimal) < 2 g/ml : Streptococcus, Entercoccus, Meningococcus, Pneumococcus, H. Influenzae, Shigella, Listeria monocutogenes, Clostridia. - KHM < 6 g/ml : E. Coli, P. mirabilis, beberapa jenis Salmonella. - KHM > 250 g/ml : S. aureus yang membentuk -Lactamase, Ps. Aeruginosa, Jenis Proteus, Klebsiella, Acinetobacter.

4. Efek yang tak diharapkan
- Sakit dan Thrombophlebitis pada tempat injeksi.
- Mencret, pada kasus berat : Colitis pseudomembranosa (penanganan : pemberian Vancomycin po).
- Mual, muntah, lambung terasa terbakar, sakit epigastrium.
- Irritasi neuromuskuler, hallusinasi (khusus penglihatan dan pendengaran) sampai dengan serangan kram cerebral (hanya pada dosis yang tinggi dan fungsi ginjal yang menurun).
- Neutropenia toksik dan kadang Anemia hemolitik.
- Exanthema macula atau maculopapulosa yang tak mencurigakan pada sekitar 10 % dari pasien, lebih sering pada Mononukleosis infeksiosa (40-100 %) dan pada insufisiensi ginjal).
- Manifestasi allergi (keseringannya berkurang dari kiri ke kanan) seperti : Exanthem, Dermatitis exfoliativa, Stevens-Johnson-Syndrom, Angioedema, Anafilaksi.
- Jarang : Nephropathie allergik atau Nephritis interstitiel.
- Superinfeksi misalnya dengan Candida albicans.

5. Interaksi Obat
- Eliminasi Ampicliin diperlambat pad apemberian yang bersamaan dengan Uricosurica (misal : Probenecid), Diuretica dan Asam-asam lemah (misalnya Asam Acetylsalicylat, Phenylbutazon dan sebagainya).
- Pemberian yang bersamaan dengan Antacida-Aluminium tidak menurunkan ketersediaan biologik dari Ampicillin.
- Pemberian yang bersamaan dengan Allopurinol dapat memudahkan munculnya reaksi-reaksi kulit allergik.
- Mengurangi keterjaminan kontrasepsi preparat hormon.
- Allergi silang dengan Antibiotika Cephalosporin mungkin.
- Antibiotica Bacteriostatik mengurangi efek bactericidal dari Ampicillin.
- Inkompatibilitas dengan larutan Dextrose.

6. Merek Preparat
- Ampicillin® (caps 250 mg, tab 500 mg, inj. 250; 500; 1000 mg, syrup 250 mg/5ml).
- Amfipen® (tab 125; 500 mg, caps 250 mg, inj. 250; 500; 1000 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Ampi® (caps 250; 500 mg, tab 125 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Ampicen® (caps 250; 500 mg, tab 125 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Decapen® (caps 250; tab 500 mg, inj. 500; 1000 mg).
- Itrapen® (caps 250 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Kalpicillin® (tab 125; 500 mg, caps 250; 500 mg, syrup 125 mg/5 ml, inj. 250; 500; 1000 mg).
- Metapen® (caps 250; 500 mg, syrup 125 mg/5 ml).






E. AMOKSISILIN
1. Farmakokinentik BM : 365
- Ketersediaan biologik : 90 % (bersamaan dengan makan tidak berkurang).
- Volume distribusi : 0,2 l/kg (pada anak-anak : 0,75 l/kg). Masuk ke dalam LCS hanya pada peradangan Mening.
- Ikatan protein plasma : 20 %.
- Waktu paruh plasma : 1 jam (bayi baru lahir : 3,5 jam).
- Eliminasi : 80 % dieliminasi oleh ginjal dalam keadaan tak diubah, sisanya dimetabolisme di dalam hati menjadi metabolit yang tidak aktif.

2. Dosis
- Pemberian iv paling baik sebagai infus singkat dibagi dalam pemberian setiap 6-8 jam :
a. Dewasa : 3-6 (sampai 8) g/hari.
b. Anak-anak > 12 tahun : 2 (sampai 4) g/hari).
c. Anak-anak > 2 tahun : 0,5-1 g/hari.
d. Bayi dan anak kecil : sampai 0,5 g/hari.
- Pemberian po : 1,5-3,0 g/hari dibagi dalam pemberian setiap 8 jam.
- Pemberian po sirup atau suspensi : 50 mg/kg/hari dibagi dalam pemberian 6-12 jam.
- 1 g Amoksisilin menganding 3,4 mval Natrium, Amoksisilin sirup mengandung karbohidrat.

3. Kadar Terapeutik dalam Plasma
- Pada pemberian 1 g Ampicillin po setelah 1 jam akan dicapai kadar di dalam plasma sebesar 20 g/ml. Kadar di dalam urin lebih tinggi 50 kali.
- KHM (Kadar Hambat Minimal) < 2 g/ml : Streptococcus, H. Influenzae, S. Typhi, Entercoccus, Meningococcus, Pneumococcus, Listeria monocutogenes. - KHM < 16 g/ml : N. Gonorrhoeae. - KHM > 125 g/ml : Klebsiella, Bacteriodes Fragilis, beberapa S. Typhi, N. Gonorrhoeae dan keluarga Haemophilus.
- KHM > 250 mg/ml : S. Aureus, Ps. Aeruinosa, Proteus, E. Coli.

4. Efek yang tak diharapkan
- Sakit dan Thrombophlebitis pada tempat injeksi.
- Mulan, muntah, sakit perut, pada ksus yang berat : Colitis pseudomembranosis (penangnaan : pemberian po Vankomisin).
- Irritasi neuromuskuler, hallusinasi (khusus penglihatan dan pendengaran) sampai dengan serangan kejang cerebral (hanya pada dosis yang tinggi dan fungsi ginjal yang menurun).
- Neutropenia toksik dan kadang Anemia hemolitik.
- Exanthema macula atau maculopapulosa yang tak mencurigakan pada sekitar 10 % dari pasien, lebih sering pada Mononukleosis infeksiosa (40-100 %) dan pada insufisiensi ginjal.
- Allergi seperti : gatal-gatal, Urtikaria, penyakit serum, Demam (“drug Fieber”), Edema, Anafylaxie.
- Jarang : Nephropathie allergik atau Nephritis interstitiel.
- Superinfeksi misalnya dengan Candida albicans.

5. Interaksi Obat
- Eliminasi Amoksisilin diperlambat pada pemberian yang bersamaan dengan Uricosurica (misal : Probenecid), Diuretica dan Asam-asam lemah (misalnya Asam Acetylsalicylat, Phenylbutazon dan sebagainya).
- Pemberian yang bersamaan dengan Antacida-Aluminium tidak menurunkan ketersediaan biologik dari Amoksisilin.
- Pemberian yang bersamaan dengan Allopurinol dapat memudahkan munculnya reaksi-reaksi kulit allergik.
- Mengurangi keterjaminan kontrasepsi preparat hormon.
- Allergi silang dengan Antibiotika Sephalosporin, kemungkinan terjadi.
- Antibiotica Bacteriostatik mengurangi bactericidal dari Amoksisilin.
- Inkompatibilitas dengan larutan Dextrose.


6. Merek Preparat
- Abamox® (caps 250; 500 mg).
- Amobiotic® (caps 250 mg, Susp 125 mg/5 ml).
- Amoxil® (caps 250; 500 mg, tab 250 mg, syrup 125 mg/5 ml, syrup forte .250 mg/5 ml, paed. Drops 125 mg/1,25 ml, Inj. 250 mg)
- Amoxicillin® (caps 250; 500 mg, Tab 125 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Amoxsan® (caps 250; 500 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Amoxycillin® (caps 250; 500 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Decamox® (kaplet 350; 500 mg, syrup 125/5 ml, 250 mg/5 ml).
- Intermoxil® (caps 250; 500 mg, syrup 125 mg/5 ml).
- Kalmoxillin® (caps 250; 500 mg, tab 125 mg, kaplet 500 mg, syrup 125/5 ml).
- Kimoxil® (caps 250; 500 mg, syrup 125 mg/5 ml; 250 mg/5 ml)
- Ospamox® (caps 250 mg, tab 500 mg, syrup 125; 250 mg/5 ml, drops 100 mg/ml).

Minggu, 15 Mei 2011

Hitung Sodium

Sodium deficit

Jumla sodium sebagai cairan hypertonic yang seharusnya diberikan pada pasien dengan SIADH dapat dihitung melalui deficit sodium.
Deficit sodium = jumlah distribusi pNa X deficit PNa/liter
Walaupun sodium itu dapat derestricted kedalam cairan ektravakuler, perubahan pada konsentrasi sodium dalam plasma (PNa) merupakan refleksi dari perubahan osmolaritas dan distribusi cairan tubuh secara total (secara kasar jumlahnya 50 % dan 60% dari berat badan pria dan wanita). Apabila seorang wanita berat badanya 50kg , jumlah sodium yang harus diberikan untuk meningkatkan level sodium plasma dari 110 ke level relative aman yaitu 120meq per- liter sekurang-kurangnya 250 meq:

Deficit sodium = o,5 X 0,5 X (120-110) = 250meq
Jumlah sodium tersebut di atas terkandung dalam saline 3% 500 cc/ml dapat diberikan sekitar 5 jam ( 100 ml/jam )untuk meningkatkan sodium dalam plsma dengan rata-rata 2 meq / liter kehilangan sodium dalam urine dapatv dilakukan dalam penghitungan ini, selama urine masih isosmotic terhadap plasma, selama pemberian loop diuretic . kehilangan dalam keadaan isosmotik tidak akan mempengaruhi osmolaritas plasma ataupun sodium dalam plasma.
Dua hal tentang persamaan penghitungan deficit sodium yang perlu ditekankan ; pertama, ini hanya perkiraan dan pengukuran sodium plasma secara serial, perlu dilakukan untuk menilai efektifitas pengobatan/ terapi. Keadaan ini hanya rumus yang juga dapat digunakan pada pasien hiponatremik dengan hipovolemik.
Perkiraan jumlah sodium yang dibutuhkan untuk mengembalikan jumlah sodium plasma agar sesuai dengan kebutuhan , hal tersebut tidak termasuk kehilangan cairan isosmotik yang mana juga harus digantikan untuk mengembalikan cairan ke volume yang normal.
Dalam hal penambaha deficit sodium untuk terapi pada pasien SIADH dapat juga dilakukan dengan menghitung water excess, dalam contoh cairan yang harus dipertahankan dalam keadaan sodium plasma yang rendah menjadi level yang semestinya.

Water excess = total body water X(1-PNa/140)
Rumus ini, walaupun hanya sedikit berguna dalam penanganan pasien SIADH, selama kelebihan cairan bertanggung jawab terhadap hanya konsentrasi sodium plasa . hanya tahapm awal. The ensuling penambahan volume dapatb menyebabkan pengeluaran sodium dan cairan dalam urine terganggu. Pengaruh langsung dari retensi air dan kehilangan / penurunaqn konsentrasi sodium dapat menyebabkan hiponatremia. Pandangan umum bahkan retensi cairan adalah penyebab tunggal hiponatremia bias pada pasien gagal ginjal type oliguric.

Tes-Tes Darah Hati

Tes-Tes Darah Hati

Prakata
Suatu langkah awal dalam mendeteksi kerusakan hati adalah suatu tes darah sederhana untuk menentukan kehadiran dari enzim-enzim hati tertentu dalam darah. Dibawah keadaan-keadaan normal, enzim-enzim ini berada dalam sel-sel hati. Namun ketika hati luka, enzim-enzim ini ditumpahkan keluar kedalam aliran darah.
Diantara yang paling sensitif dan digunakan secara luas dari enzim-enzim hati ini adalah aminotransferase-aminotransferase. Mereka meliputi aspartate aminotransferase (AST atau SGOT) dan alanine aminotransferase (ALT atau SGPT). Enzim-enzim ini biasanya terkandung dalam sel-sel hati. Jika hati terluka, sel-sel hati menumpahkan enzim-enzim kedalam darah, menaikan tingkat-tingkat enzim dalam darah dan menandai kerusakan hati.
Definisi Aminotransferase-Aminotransferase
Aminotransferase-aminotransferase mengkatalisasi reaksi-reaksi kimia dalam sel-sel dimana suatu kelompok amino ditransfer dari suatu molekul donor ke suatu molekul penerima. Makanya, namanya "aminotransferases".
Istilah-istilah medis adakalaya dapat membingungkan, seperti dengan kasus enzim-enzim ini. Nama lain untuk aminotransferase adalah transaminase. Enzim aspartate aminotransferase (AST) juga dikenal sebagai serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT); dan alanine aminotransferase (ALT) juga dikenal sebagai serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT). Untuk menyederhanakannya, AST = SGOT dan ALT = SGPT.
Secara Normal, Dimana Adanya Aminotransferase-Aminotransferase ?
AST (SGOT) normalnya ditemukan dalam suatu keanekaragaman dari jaringan termasuk hati, jantung, otot, ginjal, dan otak. Ia dilepaskan kedalam serum ketika satu saja dari jaringan-jaringan ini rusak. Contohnya, tingkatnya didalam serum naik dengan serangan-serangan jantung dan dengan kelainan-kelainan otot. Ia oleh karenanya bukan suatu indikator yang sangat spesifik dari luka hati.
ALT (SGPT), berlawanan dengannya, normalnya ditemukan sebagian besar di hati. Ini bukan dikatakan bahwa ia berlokasi secara eksklusif dalam hati namun bahwa ia ada dimana ia paling terkonsentrasi. Ia dilepas kedalam aliran darah sebagai akibat dari luka hati. Ia oleh karenanya melayani sebagai suatu indikator yang cukup spesifik dari keadaan (status) hati.
Tingkat-Tingkat Normal Dari AST Dan ALT
Batasan normal dari nilai-nilai untuk AST (SGOT) adalah dari 5 sampai 40 unit per liter serum (bagian cair dari darah).
Batasan normal dari nilai-nilai untuk ALT (SGPT) adalah dari 7 sampai 56 unit per liter serum.
Arti Dari Kenaikkan AST Dan ALT
AST (SGOT) dan ALT (SGPT) adalah indikator-indikator yang sensitif dari kerusakan hati dari tipe-tipe penyakit yang berbeda. Namun harus ditekankan bahwa tingkat-tingkat enzim-enzim hati yang lebih tinggi dari normal tidak harus secara otomatis disamakan dengan penyakit hati. Mereka mungkin atau mereka bukan berarti persoalan-persoalan hati. Interpretasi (penafsiran) dari tingkat-tingkat AST dan ALT yang naik tergantung pada seluruh gambaran klinis dan jadi adalah terbaik dilakukan oleh dokter yang berpengalaman dalam mengevaluasi penyakit hati.
Tingkat-tingkat yang tepat dari enzim-enzim ini tidak berkorelasi baik dengan luasnya kerusakan hati atau prognosis. Jadi, tingkat-tingkat AST (SGOT) dan ALT (SGPT) yang tepat tidak dapat digunakan untuk menentukan derajat kerusakan hati atau meramalkan masa depan. Contohnya, pasien-pasien dengan virus hepatitis A akut mungkin mengembangkan tingkat-tingat AST dan ALT yang sangat tinggi (adakalanya dalam batasan ribuan unit/liter). Namun kebnyakan pasien-pasien dengan virus hepatitis A akut sembuh sepenuhnya tanpa sisa penyakit hati. Untuk suatu contoh yang berlawanan, pasien-pasien dengan infeksi hepatitis C kronis secara khas mempunyai hanya suatu peningkatan yang kecil dari tingkat-tingkat AST dan ALT mereka. Beberapa dari pasien-pasien ini mungkin mempunyai penyakit hati kronis yang berkembang secara diam-diam seperti hepatitis kronis dan sirosis.
Penyakit-Penyakit Hati Yang Menyebabkan Tingkat-Tingkat Aminotransferase Abnormal
Tingkat-tingkat AST dan ALT yang paling tinggi ditemukan dengan kelainan-kelainan yang menyebabkan kematian yang banyak dari sel-sel hati (nekrosis hati yang ekstensif). Ini terjadi pada kondisi-kondisi seperti virus hapatitis A atau B kronis , kerusakan hati yang jelas yang ditimbulkan oleh racun-racun seperti dari suatu overdosis (kelebihan dosis) dari acetaminophen (nama merk Tylenol), dan runtuhnya sistim peredaran yang lama (shock) ketika hati dirampas/dicabut dari darah segar yang membawa oksigen dan nutrisi-nutrisi. Tingkat-tingkat serum AST dan ALT pada situasi-situasi ini dapat mencakup dimana saja dari sepuluh kali batasan-batasan normal atas sampai ke ribuan unit/liter.
Kenaikan enzim-enzim hati dari ringan sampai sedang adalah hal yang biasa. Mereka seringkali secara tak terduga ditemukan pada tes-tes screening darah rutin pada individu-individu yang jika tidak adalah sehat. Tingkat-tingkat AST dan ALT pada kasus-kasus semacam ini biasanya ada diantara dua kali batas-batas normal atas dan beberapa ratus unit/liter.
Penyebab yang paling umum dari kenaikan-kenaikan yang ringan sampai sedang dari enzim-enzim hati ini adalah fatty liver (hati berlemak). Di Amerika, penyebab hati berlemak yang paling sering adalah penyalahgunaan alkohol. Penyebab-penyebab lain dari fatty liver termasuk diabetes mellitus dan kegemukan (obesity). Hepatitis C kronis juga sedang menjadi suatu penyebab yang penting dari kenaikan-kenaikan enzim hati yang ringan sampai sedang.
Obat-Obat Yang Menyebakan Tingkat-Tingkat Aminotransferase Abnormal
Serombongan besar dari obat-obat dapat menyebabkan tingkat-tingkat enzim hati yang abnormal. Contoh-contoh termasuk:
• Obat-obat penghilang sakit seperti aspirin, acetaminophen (Tylenol), ibuprofen (Advil, Motrin), neproxen (Narosyn), diclofenac (Voltaren), dan phenybutazone (Butazolidine).
• Obat-obat anti-epilepsi seperti phenytoin (Dilantin), valproic acid, carbamazepine (Tegretol), dan phenobarbital.
• Antibiotik-antibiotik seperti tetracyclines, sulfonamides, isoniazid (INH), sulfamethoxazole, trimethoprim, nitrofurantoin, dll.
• Obat-obat penurun kolesterol seperti "statins" (Mevacor, Pravachol, Lipitor, dll) dan niacin.
• Obat-obat kardiovaskuler seperti amiodarone (Cordarone), hydralazine, quinidine, dll.
• Obat-obat anti-depresi dari tipe tricyclic.
Dengan kelainan-kelainan enzim hati yang disebabkan obat, enzim-enzim biasanya menjadi normal kembali berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah menghentikan obat-obat.
Penyebab-Penyebab Yang Lebih Tidak Umum Dari Tingkat-tingkat Aminotransferase Abnormal
Penyebab-penyebab yang lebih tidak umum dari enzim-enzim hati abnormal di Amerika termasuk hepatitis B kronis, hemachromatosis, penyakit Wilson, kekurangan alpha-1-antitrypsin, celiac sprue, penyakit Crohn, radang borok usus besar, dan hepatitis autoimun. Meskipun tidak seumum seperti hepatitis C, hepatitis B dapat menyebabkan penyakit hati kronis dengan enzim-enzim hati abnormal yang terus menerus.
Hemachromatosis adalah suatu kelainan genetik (diturunkan) dimana ada suatu penyerapan yang berlebihan dari zat besi makanan yang menjurus pada akumulasi besi dalam hati dengan peradangan dan luka parut hati yang dihasilkannya.
Penyakit Wilson adalah suatu kelainan yang diwariskan dengan akumulasi tembaga yang berlebihan dalam bermacam-macam jaringan-jaringan termasuk hati dan otak. Tembaga di hati dapat menjurus pada peradangan hati kronis, dimana tembaga dalam otak dapat menyebabkan gangguan-gangguan psikiatris dan motor.
Kekurangan Alpha-1-antitrypsin adalah suatu kelainan yang diwariskan dimana kekurangan dari suatu glycoprotein (carbohydrate-protein complex) yang disebut alpha-1-antitrypsin menjurus pada penyakit paru kronis (emphysema) dan pada penyakit hati.
Hepatitis autoimun berasal dari luka hati yang ditimbulkan oleh antibodi-antibodi dan sistim pertahan tubuh sendiri yang menyerang hati.
Celiac sprue adalah suatu penyakit usus kecil dimana seorang pasien mempunyai alergi pada gluten (zat perekat dalam ketan) dan mengembangkan gas, kembung, diare, dan pada kasus-kasus yang lanjut malnutrisi. Pasien-pasien dengan celiac sprue dapat juga mengembangkan tingkat-tingkat ALT dan AST abnormal yang ringan.
Penyakit Crohn dan radang borok usus besar adalah penyakit-penyakit dengan peradangan usus-usus yang kronis. Pada pasien-pasien ini peradangan hati (hepatitis) atau saluran-saluran empedu (primary sclerosing cholangitis) juga dapat terjadi, menyebabkan tes-tes hati yang abnormal.
Jarang, enzim-enzim hati abnormal dapat menjadi suatu tanda dari kanker hati. Kanker yang timbul dari sel-sel hati disebut hepatocellularcarcinoma atau hepatoma. Penyebaran kanker-kanker ke hati dari organ-organ lain (seperti usus besar, pankreas, lambung, dll) disebut metastatic malignancies (penyakit-penyakit berbahaya metastatik).
Mengevaluasi Orang Sehat Untuk Kenaikan Yang Ringan Sampai Sedang Dari Tingkat-Tingkat Aminotransferase
Evaluasi dari pasien-pasien sehat dengan enzim-enzim hati abnormal perlu dibuat perorangan. Seorang dokter mungkin meminta data tes darah dari catatan-catatan lama untuk perbandingan. Jika catatan-catatan lama tidak tersedia, dokter mungkin mengulang tes-tes darah dalam waktu berminggu-minggu sampai berbulan-bulan untuk melihat apakah kelainan-kelainan ini tetap berlaku. Dokter akan mencari faktor-faktor risiko untuk hepatitis B dan C termasuk paparan-paparan seksual, sejarah transfusi-transfusi darah, penggunaan obat yang dapat disuntikan, dan paparan secara pekerjaan pada produk-produk darah. Suatu sejarah penyakit hati keluarga mungkin meningkatkan kemungkinan dari penyakit-penyakit yang diwariskan/diturunkan seperti hemachromatosis, penyakit Wilson, atau kekurangan alpha-1- antitrypsin.
Pola dari kelainan-kelainan enzim hati dapat menyediakan petunjuk-petunjuk yang bermanfaat pada penyebab penyakit hati. Contohnya, kebanyakan dari pasien-pasien dengan penyakit hati alkoholik mempunyai tingkat-tingkat enzim yang tidak setinggi tingkat-tingkat yang dicapai dengan virus hepatitis akut dan AST cenderung berada diatas ALT. Jadi, pada penyakit hati alkoholik, AST biasanya berada dibawah 300 unit/liter dimana ALT biasanya dibawah 100 unit/ liter.
Jika alkohol atau obat bertanggung jawab untuk tingkat-tingkat enzim hati abnormal, menghentikan alkohol atau obat (hanya dibawah supervisi dokter) harus membawa tingkat-tingkat enzim ke tingkat-tingkat normal atau mendekati normal dalam waktu berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Jika kegemukan dicurigai sebagai penyebab fatty liver, pengurangan berat dari 5% sampai 10% harus juga membawa tingkat-tingkat enzim hati ke tingkat-tingkat normal atau mendekati normal.
Jika enzim-enzim hati abnormal tetap berlaku meskipun pantangan dari alkohol, pengurangan berat badan dan penghentian obat-obat yang dicurigai yang tertentu, tes-tes darah dapat dilakukan untuk membantu mendiagnosis penyakit-penyakit hati yang dapat dirawat. Darah dapat diuji untuk kehadiran dari virus-virus hepatitis B dan C dan antibodi-antibodi mereka yang berhubungan. Tingkat-tingkat darah dari besi, kejenuhan besi, dan ferritin (pengukuran lain dari jumlah besi yang disimpan dalam tubuh) biasanya meningkat pada pasien-pasien dengan hemachromatosis. Tingkat-tingkat darah dari suatu senyawa yang disebut ceruloplasmin biasanya berkurang pada pasien-pasien dengan penyakit Wilson. Tingkat-tingkat darah dari antibodi-antibodi tertentu (anti- nuclear antibody atau ANA, anti-smooth muscle antibody, dan anti-liver and kidney microsome antibody) meningkat pada pasien-pasien dengan hepatitis autoimun.
Ultrasound dan CAT scan perut adakalanya digunakan untuk mengeluarkan atau meniadakan tumor-tumor dalam hati atau kondisi-kondisi lain seperti batu-batu empedu atau tumor-tumor yang menghalangi saluran-saluran yang mengaliri hati.
Biopsi hati adalah suatu prosedur dimana sebuah jarum dimasukkan melalui kulit diatas perut kanan bagian atas untuk memperoleh suatu helai yang tipis dari jaringan hati untuk diperiksa dibawah sebuah mikroskop. Prosedur seringkali dilakukan setelah studi ultrasound telah melokalisir hati. Tidak setiap orang dengan enzim-enzim hati abnormal perlu suatu biopsi hati. Dokter akan biasanya merekomendasikan prosedur ini jika 1) informasi yang diperoleh dari biopsi hati akan mungkin bermanfaat dalam merencanakan perawatan, 2) dokter perlu mengetahui luas dan parahnya peradangan/kerusakan hati, atau 3) untuk mengevaluasi keefektifan perawatan.
Biopsi hati adalah paling bermanfaat dalam mengkonfirmasikan suatu diagnosis dari suatu kondisi yang berpotesi dapat dirawat. Penyakit-penyakit hati yang berpotensi untuk dirawat ini termasuk hepatitis B dan C kronis, hemachromatosis, penyakit Wilson, hepatitis autoimun, dan kekurangan alpha-1-antitrypsin.
Memonitor Tingkat-Tingkat Aminotransferase
Apa yang biasanya paling bermanfaat adalah uji serial (berturut-turut) dari AST (SGOT) dan ALT (SGPT) melaui waktu untuk menentukan apakah tingkat-tingkatnya naik, tetap stabil, atau turun. Contohnya, pasien-pasien yang menjalani perawatan untuk hepatitis C kronis harus dimonitor dengan tes-tes enzim hati serial. Mereka yang merespon pada perawatan akan mengalami penurunan tingkat-tingkat enzim hati ke tingkat-tingkat normal atau medekati normal. Mereka yang mengalami kekambuhan hepatitis C setelah penyelesaian perawatan akan biasanya mengembangkan tingkat-tingkat enzim hati abnormal kembali.
Enzim-Enzim Hati Lainnya
Disamping AST dan ALT, ada enzim-enzim lain termasuk alkaline phosphatase, 5'-nucleotidase ("5 prime" nucleotidase), dan gamma-glutamyltranspeptidase (GGT) yang seringkali diuji untuk penyakit hati.
Kita telah membatasi pertimbangan dari enzim-enzim hati ini pada AST dan ALT karena mereka secara biokimia berhubungan satu dengan lainnya dan, yang lebih penting, mereka adalah dua enzim-enzim yang paling bermanfaat.

Psikotik Not Otherwise Specified dgn TB Paru



STATUS PASIEN

I. IDENTITAS
Nama : Tn. E
Jenis kelamin : Pria
Usia : 21 tahun
Agama : ISLAM
Pendidikan terakhir : SMU
Pekerjaan : Karyawan bangunan
Status Perkawinan : Belum menikah
Alamat Rumah : Petamburan RT.012/008 Tanah Abang Jakarta Pusat
Tanggal masuk RS : 2 April 2011

II. ANAMNESA
 Autoanamnesis : 4 April 2011
 Alloanamnesis (kakak kandung) : 6 April 2011, pukul 20.00 WIB

A. Keluhan Utama
Sejak 2 hari dirawat di Pagai pasien banyak berdzikir dan berbicara sendiri tentang agama.
B. Riwayat Gangguan Sekarang
Pasien konsulan dari Bangsal Pagai karena pasien sejak 2 hari saat dirawat di Pagai banyak berdzikir dan bicara sendiri tentang agama. Pasien selalu merasa gelisah, sulit tidur, melakukan gerakan yang aneh dan mengganggu tidur pasien lain tanpa alasan yang jelas.
Satu minggu SMRS pasien putus dengan pacarnya yang sudah 1,5 tahun dipacarinnya dan menanggung biaya hidup pacarnya selama berpacaran dan mengatakan pacarnya sudah meninggal dunia lalu pasien tersenyum dan mengajak dokter muda untuk berdoa supaya amal ibadahnya diterima dan diampuni dosa-dosanya. Pasien juga menceritakan bahwa pacarnya meninggal karena penyakit hati. Padahal menurut kakak kandung pasien pacarnya masih hidup. Pasien juga mendengar suara sholawatan padahal kakak dan ibunya tidak mendengar.
Pada tanggal 17 Maret 2011, pasien ingin belajar ilmu agama dan kebatinan karena menurut pasien hidup itu harus suci. Pasien ingin mempunyai kehidupan yang lebih baik dalam hal rohani dan kesucian yang tinggi dengan harapan bertemu dengan Nabi karena pasien mendengar suara yang memerintahkannya menjaga kesucian. Pasien masih melakukan sholat, namun saat berwudhu dilakukan berkali-kali. Pasien tidak lagi masuk kerja sebagai karyawan bangunan dan lebih banyak diam dan termenung di rumah membaca buku-buku agama yang baru saja dibeli.
Sebelum tampak keanehan pada pasien, dalam kesehariannya pasien adalah karyawan bangunan yang rajin yang sudah bekerja selama 2 tahun. Pasien Tamat SMA umur 19 tahun, kemudian bekerja sebagai karyawan bangunan. Pasien jarang menceritakan masalah yang dihadapinya kepada kedua orang tuanya. Setiap ada permasalahan selalu dipendam sendiri. Pasien juga memiliki banyak teman, pasien lebih senang menceritakan masalahnya kepada teman-temannya. Selain itu,pasien juga sangat ramah, menjaga silaturahmi dengan tetangganya.
Pasien tidak pernah merasa gembira yang berlebihan ataupun sedih yang berkepanjangan. Sepengetahuan keluarga, pasien tidak minum alkohol dan menggunakan obat-obatan selain yang diberikan dokter. Akan tetapi pasien merokok yang menyebabkan pasien batuk-batuk sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, berkeringat pada malam hari, mual, berat badan menurun 5 kg dalam 10 hari, dan tidak ada kelainan BAB dan BAK. Satu tahun yang lalu pasien pernah meminum obat flek, namun pasien tidak patuh dan hanya meminum obat selama 2 bulan karena menganggap penyakitnya sudah hilang. Sewaktu meminum obat flek pasien tidak mual, kesemutan, mata terlihat kuning dan BAK seperti air teh. Pasien juga tidak pernah kejang, sakit kepala berat dan muntah. Pasien juga tidak pernah mengalami kecelakaan yang membuat pasien tidak sadarkan diri.
Sebelumnya pasien belum pernah berobat di bagian psikiatri.



C. Riwayat Gangguan Sebelumnya
1. Riwayat Gangguan Psikiatri
Sebelumnya pasien belum pernah berobat di bagian psikiatri.
2. Riwayat Gangguan Medik
Tidak ada riwayat gangguan medik
3. Riwayat Penggunaan Zat
Pasien merokok sejak usia belasan tahun sampai dengan sekarang. Pasien tidak ada riwayat mengkosumsi alkohol dan penggunaan zat – zat terlarang

D. Riwayat Kehidupan Pribadi
1. Riwayat Prenatal
Tidak ada keterangan karena pasien tidak ingat
2. Masa Kanak-kanak
Riwayat tumbuh kembang pasien sesuai dengan anak seusianya. Tidak terdapat kelainan
3. Masa Remaja
Pasien mempunyai banyak teman. Pasien juga seorang yang rajin dan baik sehingga mendapat ranking 10 besar sewaktu SMA. Sewaktu SMA pasien belum pernah pacaran. Pasien tidak pernah mengkonsumsi alcohol dan obat-obatan terlarang. Pasien tidak pernah melakukan pelanggaran hukum yang serius sehingga mengakibatkan pasien berurusan dengan polisi.
4. Masa Dewasa
a. Riwayat Pernikahan
belum menikah
b. Riwayat Pendidikan dan Pekerjaan
Pendidikan terakhir pasien adalah SMU pada usia 19 tahun. Kemudian bekerja dan sampai sekarang sebagai Karyawan bangunan selama 2 tahun.
c. Agama : pasien beragama Islam
d. Aktivitas Sosial
Sebelum tampak keanehan pada pasien, dalam kesehariannya pasien adalah karyawan bangunan yang rajin. Pasien juga banyak memiliki banyak teman. Selain itu,pasien juga sangat ramah, menjaga silaturahmi dengan tetangganya

E. Riwayat Keluarga
Pasien anak kedua dari tiga bersaudara. Kedua orang tuanya sudah meninggal. Pasien belum menikah, saat ini tinggal dirumah orangtua. Kakak pasien perempuan telah berkeluarga dan tinggal bersama pasien. Adik-nya perempuan juga tinggal bersama pasien. Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami gangguan jiwa.










Ket gambar : : Laki laki : Wanita



dan : sudah meninggal


: Pasien

F. Situasi Sekarang
Pasien tinggal di rumah orangtua beserta kakak dan adiknya. Hubungan pasien dengan keluarga sebelum sakit baik dan menjaga silahturahmi dengan tetangga.

G. Persepsi Pasien Tentang Dirinya dan Kehidupannya
Pasien ingin mempunyai kehidupan yang lebih baik dalam hal rohani dan kesucian yang tinggi dengan harapan bertemu dengan Nabi.
III. STATUS MENTAL

A. DEKSRIPSI UMUM
1. Penampilan
Pasien seorang pria berusia 21 tahun dengan rambut pendek. Pasien berpakaian kurang rapi, memakai kaos lengan pendek serta celana panjang. Kebersihan diri pasien baik. Penampilan sesuai dengan usia. Tinggi 170 cm dan berat badan 51 kg.
2. Kesadaran
Compos Mentis
3. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Pasien dapat diajak berkomunikasi dengan baik dan tenang. Pasien hanya duduk sambil berdzikir.
4. Pembicaraan
Bicara spontan, suara lantang/intonasi cukup, kadang terdapat penekanan, irama teratur dengan nada agak tinggi, artikulasi jelas, pertanyaan pemeriksa dijawab dengan baik tetapi kadang tidak mau menjawab pertanyaan pemeriksa dan kesal, isi pembicaraan dapat dimengerti, namun jika ditanya lebih mendalam pasien menjawab “Gak tau saya, udah lupa. Sayakan gak mungkin inget detail semua” .
5. Sikap terhadap pemeriksa
Pada umumnya sikap pasien selama wawancara kooperatif. Pasien menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pemeriksa.

B. MOOD DAN AFEK
1. Afek : saat wawancara pasien kadang tampak emosional dan kadang tersenyum. Pasien sering menggerakkan bahunya ke atas dan ke bawah secara spontan sambil menyeringai dengan bibir terkatup sehingga suara napas yang keluar menimbulkan bunyi seperti tertahan.
2. Keserasian : pasien menceritakan 1 minggu yang lalu putus dengan pacarnya yang sudah 5 bulan dipacarinnya dan mengatakan pacarnya sudah meninggal dunia karena penyakit hati lalu pasien tersenyum dan tertawa sendiri.
3. Empati : Tidak dapat diempati.

C. FUNGSI INTELEKTUAL (KOGNITIF)
1.Taraf pendidikan, pengetahuan umum, dan kecerdasan
a. Taraf pendidikan formal : Pasien bersekolah sampai setingkat SMU
b. Taraf pengetahuan Umum : Pasien mengetahui Presiden RI saat ini
c. Taraf kecerdasan : Pasien dapat menjawab soal hitungan.
2. Daya konsentrasi
Pasien dapat berkonsentrasi selama berbicara dengan pemeriksa dari awal hingga akhir.
3. Orientasi (waktu, tempat dan orang)
Waktu : Baik. Mengetahui hari saat dilakukan wawancara
Tempat : Baik. Mengetahui sedang di rawat di RSAL
Orang : Baik, Mengetahui orang sekitarnya.
4. Daya Ingat
a. Jangka Panjang : Baik. Pasien dapat mengingat sekolah di SD sejak kecil
b. Jangka Pendek : Baik. Pasien masih dapat mengingat sarapan pagi
yang dimakannya
c. Segera : Baik. Pasien dapat mengulang kalimat yang baru
saja disampaikan pemeriksa.
5, Pikiran Abstrak
Pasien ingin mempunyai kehidupan yang lebih baik dalam hal rohani dan kesucian yang tinggi dengan harapan bertemu dengan Nabi.

D. GANGGUAN PERSEPSI
1. Halusinasi : Pasien mendengar suara yang memerintahkannya menjaga kesuciannya supaya bisa bertemu dengan Nabi. Pasien juga mendengar suara sholawatan padahal kakak dan ibunya tidak mendengar.
2. Ilusi : Tidak ada
3. Depersonalisasi : Tidak ada
4. Derelisasi : Tidak ada.

E. PROSES BERPIKIR
1. Arus Pikiran
a. Produktivitas : Pasien menjawab sesuai pertanyaan dan sesuai topik,
b. Kontimuitas :Pembicaraan lancar akan tetapi bicaranya singkat
c. Hendaya Bahasa :Tidak ada
2. Isi Pikiran
a. Preokupasi : Pasien ingin pulang dan merasa sudah tidak nyaman dengan lingkungan RSAL
b. Gangguan Pikiran : Pasien ingin mempunyai kehidupan yang lebih baik dalam hal rohani dan kesucian yang tinggi dengan harapan bertemu dengan Nabi karena pasien mendengar suara yang memerintahkannya menjaga kesucian.

F. PENGENDALIAN IMPULS
Pasien dapat mengendalikan impuls untuk tetap kooperatif saat wawancara.

G. Daya Nilai
1. Norma sosial : Pasien banyak memiliki banyak teman. Selain itu, pasien juga sangat ramah, menjaga silaturahmi dengan tetangganya
2. Uji Daya Nilai : Pasien masih dapat menarik kesimpulan dan mengambil tindakan terhadap suatu situasi. Tetapi halusinasi yang dimilikinya terkadang mempengaruhi penilaian.
3. Daya Nilai Realita : Terganggu. Mengatakan pacarnya meninggal, padahal tidak meninggal.
H. TILIKAN (INSIGHT)
Pasien tidak merasa dirinya sakit, namun pasien mengetahui bahwa dirinya sedang dirawat di RSAL dan pasien ingin cepat pulang ke rumah. Pasien terlihat belum memiliki insight mengenai penyakit yang dialaminya saat ini.

I. TARAF DAPAT DIPERCAYA
Hal-hal yang dikemukakan pasien dapat dipercaya dan terkesan tidak dibuat-buat.

IV. PEMERIKSAAN FISIK
A. INTERNA
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 88 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 37,3 ° C
Tinggi badan : 170 cm
Berat : 51 kg
Status Gizi : Kurang
Pemeriksaan Mata
- Konjungtiva : Anemis (-/-)
- Sklera : Ikterik (-/-)
Pemeriksaan Bakteriologi: BTA ++
Pemeriksaan Darah lengkap 03 April 2011
- Haemoglobin 12,8 (13 – 19 g/dl)
- Leukosit 8.700 (5000 – 10.000 /uL)
- Hematokrit 42 (P : 40 – 48 %; W : 37 – 43%)
- Trombosit 169.000 (150.000 – 400.000 /ul)
- LED 9 (P : 0 – 10, W : 0 – 15 mm/jam)
- Bilirubin total 0,8 (0,2 – 0,9 mg/dl)
- Bilirubin direct 0,24 (0,1 – 0,4 mg/dl)
- Bilirubin indirect 0,4 (0,1 – 0,5 mg/dl)
- SGOT/AST 18 ( 25 UI/L)
- SGPT/ALT 21 ( 29 UI /L)

B. Paru
Didapatkan gambaran TB paru pada rujukan/perawatan Paru dan roentgen tanggal 03 April 2011

C. NEUROLOGI
Tidak ada Rangsangan meningeal:
Tidak ada kaku kuduk,test brudzinsky negative, test kernig negative.

V. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan CSS

VI . IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA
A. Karakteristik Simptom (Gejala Khas)
Terdapat halusinasi auditorik (Hal.perintah), waham kebesaran, Inappropriate affect.
B. Gangguan Fungsi Sosial
Selama sakit pasien tidak bisa bekerja seperti biasanya.
C. Durasi
Pada pasien gejala telah berlangsung sejak 18 hari sebelum masuk RS.
D. Bukan karena gangguan skizoafektif dan gangguan mood
E. Bukan karena penggunaan zat / kondisi medik umum
F. Tidak ada riwayat gangguan perkembangan pervasif.



VII. EVALUASI MULTIAKSIAL
Aksis I : Psychotic Disorder Not Otherwise Specified
Aksis II : Tidak terdapat tanda-tanda gangguan kepribadian dan tidak ada tanda- tanda retardasi mental
Aksis III : TB Paru Kategori II
Aksis IV : Stessor diduga karena putus dengan pacarnya yang sudah 1,5 tahun dipacarinnya, selama berpacaran pasien menanggung biaya hidupnya.
Aksis V : Saat diwawancara GAF scale code 70 - 61

VIII. DAFTAR PROBLEMATIKA
A. Organobiologik : Tidak ada
B. Psikologik/prilaku : Tidak ada
C. Problem Keluarga : Tidak ada yang mengontrol pasien minum obat semenjak ibu pasien meninggal.

IX. Prognosis : Dubia ad bonam

X. Rencana Terapi
a. Medikamentosa
• OAT Kategori II ( 2HRZES/HRZE/5H3R3E3)
• Psikofarmaka
Risperidone tab 2 x 3 mg
b. Psikoterapi
• Memberikan informasi dan edukasi tentang penyakit pasien, gejala penyakit, penyebab, proses pengobatan dan resiko.
• Memberikan informasi akan pentingnya pasien minum obat secara teratur dam pentingnya dukungan keluarga untuk kebaikan pasien.



c. Sosioterapi
• Menghimbau keluarga untuk memperhatikan keadaan keseharian pasien dengan mengajaknya mengobrol. Memberikan perhatian dan bersosialisasi dengan orang-orang di sekitarnya.
• Memberi perhatian dan membuat pasien dalam keadaan nyaman.

XI. SARAN
• Meminum obat dengan teratur
• Kontrol ke Poli Psikiatri secara teratur
• Keluarga ikut dalam proses penyembuhan dan terus memberikan perhatian terhadap pasien
• Keluarga harus mendukung pasien dalam menciptakan suasana nyaman dan tenang ketika dirumah.

Materi Resusitasi Jantung Paru



RANGKUMAN
 makna resusitasi secara umum yaitu serangakaian tindakan dalam usaha memberikan pertolongan penyelamatan pada korban yang mengalami henti napas / jantung secara mendadak, tanpa membuang waktu agar korban tidak mati.
 beda RJP dan RJPO :
 Makna resusitasi yaitu upaya untuk pemulihan fungsi organ / sistem dari kegagalan akut untuk mencagah kematian.
 Contoh resusitasi : resusitasi jantung, paru, otak, metabolisme, cairan.
 RJP dimulai :
­ Apabila sudah terjadi gagal fungsi jantung tetapi tidak sampai terjadi cardiac arrest.
­ Apabila terjadi gagal napas akut atau hipoventilasi, hipoksia dan hiperkarbia.
 RJP dihentikan bila :
­ Timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif
­ Upaya resusitasi telah diambil alih oleh orang lain yang bertanggung jawab meneruskan resusitasi
­ Dokter telah mengambil alih tanggung jawab
­ Pasien dinyatakan meninggal
­ Pasien berada dalam stadium terminal penyakit yang tidak dapat disembuhkan / dipastikan fungsi serebral tidak akan pulih
 Cardiac arrest adalah ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi kebutuhan O2 ke otak dan ke organ vital lainnya secara mendadak.
 Gambaran EKG pada cardiac arrest : asistol, fibrilasi ventrikel, disosiasi elektromekanik (gambaran bizzare)
 Cara-cara airway control (penguasaan jalan napas) :
Airway control dilakukan untuk membuka + menjaga jalan napas tetap bebas + waspada terhadap keadaan klinis yang potensial menyumbat jalan napas, dapat dilakukan dengan atau tanpa alat. (Buram dkt2 blakang)
 cara-cara breathing support :
dengan alat : alat ke mulut (dg ambubag), dari mulut ke alat (pipa S, pipa ET), dari alat ke alat (ambubag/ ventilator ke ET)
tanpa alat :
1. mulut ke mulut
 dengan mempertahankan pembukaan jalan napas, penolong menutup hidung korban dengan ibu jari dan jari telunjukdari tangan yang berada pada kepala bagian depan
 penolong menarik napas dalam dan menutup rapat mulut korban dengan bibirnya kemudian memberikan dua napas penuh (1,5-2 detik tiap napas) dengan volume yang cukup untuk menaikkan dada (400-500 cc)
2. mulut ke hidung
 Dengan mempertahankan jalan napas, penolong menarik napas dalam kemudian menutup hidung korban dengan bibir dan menghembuskan udara ke dalam hidung.
 Mulut penolong diangkat dan korban dibiarkan ekshalasi secara pasif.
3. mulut ke stoma
 dilakukan pada pasien yang mengalami laringostomi atau trakeostomi.
 Mulut dan hidung pasien ditutup dengan tangan atau sungkup yang ketat.
 Mulut penolong menutup stoma dan udara dihembuskan sehingga dada mengembang
 Mulut kemudian diangkat dan korban dibiarkan ekshalasi secara pasif
 obat-obat RJP (RJPO) :
 kelompok obat primer, yaitu obat-obat untuk resusitasi jantung paru : ephineprin (adrenalin), lidokain, sulfas atropin.
 Kelompok obat sekunder, yaitu obat untuk perbaikan sirkulasi :
­ Adrenergik : isoprenalin, dopamin, dobutamin
­ Anti aritmia : bretylium tosylat, verapamil, flecainide, propanolol
­ Untuk metabolik asidosis : sodium bicarbonat
­ Lain-lain : calcium ion, nitroglycerine, furosemide.
 Cara-cara circulating support yaitu dengan memberikan sirkulasi buatan dan kompresi jantung :
Didahului dengan 2x bantuan napas awal diikuti dengan PJL, dimana :
a. 1 penolong : 15 kali PJL, 2x inflasi, frekuensi 80x/mnt
b. 2 penolong : 5 kali PJL, 1x inflasi, frekuensi 60x/mnt
Caranya : penolong berlutut disamping korban, tentukan titik tekan, letakkan tangan yang saling bertaut, sendi siku lurus, tekan sternum sedalam 4-5 cm
 Komplikasi RJP :
 Fraktur servikal atau tulang belakang - hemothorac
 Distensi lambung - kontusio paru
 Fraktur iga/sternum - pneumothorac - laserasi hati & limpa
 ALS (advanced life suport) adalah bantuan hidup lanjut yang bertujuan untuk mengembalikan sirkulasi spontan dan stabilisasi sistem kardiovaskuler yang terdiri dari pemberian obat-obatan dan cairan. Dilakukan pemasangan infus pada 2 tempat secara bersamaan dengan mulainya RJP. Bila memungkinkan dilakukan pemasangan kateter untuk memonitor central venous pressure. Terdiri dari DEF
 BLS yaitu bantuan hidup dasar yang bertujuan untuk mempertahankan pernapasan dan sirkulasi secara adekuat sehingga kondisi yang menyebabkan henti napas & henti jantung dapat diatasi, terdiri dari ABC
 Gauging adalah memonitor dan mengevaluasi RJP, pemeriksaan dan penentuan penyebab dasar serta penilaian dapat tidaknya pasien diselamatkan dan apakah usaha pertolongan perlu dilanjutkan
 Prolonged life support adalah pengelolaan intensive pasca resusitasi, harus dilakukan pertolongan sampai pasien sadar kembali atau pertolongan dihentikan setelah dapat dipastikan adanya kematian serebral atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
 Defibrilasi adalah tindakan untuk menghentikan VF atau VT tanpa denyut agar irama jantung segera kembali ke irama sinus.
Caranya pertama diberikan 3 joule/kgBB, dosis ulangan tertinggi 5 joule/kgBB dengna maksimal 400 joule.

sakit kepala kronik



Sakit kepala kronik terjadi pada 1-2 % anak-anak dan remaja. Bisa berawal dari episode tension-type headache atau episode migraine, atau tanpa riwayat sakit kepala sbelumnya. sebagaimana penyakit sakit kepala primer lainnya, penanganan tergantung tingkat terganggunya aktivitas. Ada pasien yang bisa menahan dengan baik, tapi beberapa lainnya mengalami gangguan aktivitas yang signifikan akibat sakit kepala kronik ini, sebagaiyang mana dewasa, anak-anak dan remaja dengan CDH juga berisiko pemakaian obat yang berlebihan.
CDH adalah diagnosis eksklusi, berdasarkan riwayat penyakit lengkap, pemeriksaan fisik yang normal dan neuroimaging yang juga normal. bersamaan dengan sakit kepala kronik, penderita anak-anak mungkin mengalami gejala penyerta seperti gangguan pola tidur, disfungsi otonom, kecemasan dan/atau depresi. Prinsip pengobatan meliputi identifikasi komponen migrain, pembatasan penggunaan pengobatan, mengurangi stress, penggunaannfarmakoterapi yang rasional dan menangani gejala penyerta. hasil yang sukses meliputi bisa didapatkan langkah preventatif untuk sakit kepalanya, reintegrasi ke sekolah dan partisipasi keluarga dengan menentukkan harapan yang realistis.

1. Definisi Chronic Daily Headche (CDH)
Definisi Chronic Daily Headche (CDH) didasarkan waktu lamanya sakit kepala, keluhan sakit kepala selama ≥ 15 hari dalam 1 bulan, selama 3 bulan berturut-turut, dan tanpa patologi organik yang mendasari.[1] Ada juga yang berpendapat sakit kepala > 4jam per hari. Definisi ini dikemukakan untuk penderita sakit kepala orang dewasa, tetapi telah diadopsi oleh spesialis anak, terlepas dari kenyataan bahwa sakit kepala yang paling akut pada anak-anak berlangsung selama <4 jam.
Artikel ini membahas manajemen saat CDH dalam populasi pediatriac. Sebuah pencarian MEDLINE dilakukan untuk tahun 1980-2007. Istilah pencarian yang digunakan adalah “CDH” dan 'migrain kronis.
2. Epidemiologi CDH
Gangguan sakit kepala ini cenderung mempengaruhi remaja dan orang dewasa tetapi dapat terjadi di praremaja. CDH terjadi pada 2% anak perempuan sekolah menengah dan 0,8% dari anak laki-laki sekolah menengah berusia 12-14 tahun.[2] Hal ini dapat terjadi pada sampai dengan 4% wanita muda dan sampai dengan 2% pria muda, dengan tingkat prevalensi yang serupa terlihat dalam studi dari Asia, Eropa, dan Amerika Serikat.[3] Telah ditunjukkan untuk mewakili sampai 60% kasus terlihat di klinik khusus sakit kepala anak. [4,5]

3. Kategori dan Karakteristik
Silberstein dan kawan-kawan [6,7], berdasarkan gejala yang ada telah menetapkan empat kategori yang berbeda dari CDH. Hal ini termasuk transformasi atau migrain kronik, TTH kronik, serangan baru nyeri kepala harian yang persisten, dan hemikrania kontinyu. Banyak pasien remaja dengan CDH memiliki riwayat migrain yang episodik.[8] Transformasi menjadi migrain kronis mungkin dapat terjadi selama 1 periode mingguan hingga bulanan, atau mungkin dapat terjadi tiba-tiba selama beberapa jam. Sekitar seperempat dari remaja dengan CDH tidak memiliki riwayat nyeri kepala yang signifikan. [5] Dalam kelompok yang terakhir ini, infeksi seperti mononukleosis atau cedera kepala ringan dapat memicu timbulnya serangan baru nyeri kepala harian yang persisten. Sejumlah kecil pasien memiliki riwayat TTH yang mendahului serangan CDHnya. Sekitar 1% dari pasien akan datang dengan hemikrania kontinyu. [8,9]
Pada umumnya sebagian besar pasien anak dengan CDH tampaknya akan mengeluh setidaknya dua jenis nyeri kepala.[4] . Gejala yang mencolok adalah nyeri kepala intermiten berat yang seperti serangan migrain. Hal ini cenderung terjadi di seluruh atau di bagian depan kepala. Nyeri kepala digambarkan sebagai nyeri yang berdenyut, berat, seperti mau pecah, seperti ditusuk pisau, atau dengan kapak. Penyakit ini sering berhubungan dengan adanya mual selama serangan yang terberat, dan pasien sering memiliki fotofobia, phonofobia, dan osmofobia. Tidur kadang-kadang akan membantu, tetapi ketika pasien bangun, mereka masih akan mengalami nyeri kepala yang terus-menerus. Frekuensi keparahan nyeri kepala ini bervariasi antar individu, namun biasanya mereka mengalami serangan beberapa kali dalam seminggu.
Selain nyeri kepala intermiten yang berat, pasien dengan CDH kadang-kadang akan mengeluh nyeri kepala terus menerus atau mendasar yang hadir 24 jam sehari, 7 hari seminggu ('24 / 7 '). Keparahan nyeri kepala terus menerus ini dapat meningkat atau menurun, seringkali memburuk, baik di pagi hari atau pada akhir hari sekolah. Karakteristik nyeri kepala “sepanjang waktu” tersebut adalah serangannya sama bagi mereka yang mengalami nyeri kepala berat, hanya intensitasnya jauh lebih ringan. [5]
Pasien dengan migrain yang bertransformasi tampaknya memiliki 2 tipe nyeri kepala yang berbeda. Dalam sebuah penelitian terhadap 178 pasien anak dengan CDH, nyeri kepala dasar hadir selama 27,3 ± 4,1 hari per bulan dengan rata-rata intensitas nyeri 5,9 ± 2,1 pada skala 1-10. Nyeri kepala superimpose episodik hadir selama 4,7 ± 3,8 hari per bulan dengan rata-rata intensitas nyeri 8,4 ± 1,4 dan lebih sering dikaitkan dengan gejala migrain. Setelah dilakukan regresi logistik untuk mengendalikan intensitas nyeri, satu-satunya perbedaan statistik yang signifikan antara kedua jenis nyeri kepala tersebut adalah prevalensi yang lebih rendah pada nyeri tipe tegang (tension type) dengan nyeri kepala superimpose. Hal ini menunjukkan bahwa lebih sedikit pasien yang mengalami dua jenis nyeri kepala yang terjadi secara bersamaan, anak-anak dan remaja dengan CDH memiliki sindrom yang - dalam banyak kasus - secara berkala memburuk dan berkumpul memberikan gambaran migrain yang lebih berat.[10]
Berdasarkan pengalaman, terdapat berbagai variasi karakteristik nyeri kepala. Tidak setiap penderita nyeri kepala kronis mengalami nyeri kepala setiap waktu. Pasien dengan CDH biasanya mungkin dapat mengalami alodinia. Alodinia adalah sensitivitas terhadap sentuhan pada bagian kepala atau wajah yang terjadi pada nyeri kepala yang parah. Sebagian kecil persentasi pasien yang memiliki nyeri kepala tertusuk idiopatik (ice-pick headache), dimana hal ini sangat parah, berulang, nyeri kepala seperti tertusuk yang biasanya multi fokal, terjadi dalam beberapa detik sekali terjadi, dan terjadi beberapa kali sehari.
Nyeri kepala bukan satu-satunya gejala CDH. Gejala yang sering meliputi pusing, gangguan tidur, nyeri pada tempat lain di tubuh meliputi leher, punggung dan abdomen, kelelahan, sulit konsentrasi, mood sedih dan peningkatan kecemasan. Sangat penting untuk mengenali dan mengobati gejala-gejala ini seperti juga mengobati nyeri kepala dan hindari medikasi yang dapat menyebabkan kekambuhan kondisi-kondisi ko-morbid tersebut.

4. Pertimbangan diagnosis
Salah satu peran dokter yang mengobati pasien dengan CDH adalah untuk membedakan CDH, apakah sindrom nyeri kepala primer atau akibat sekunder. Evaluasi individu muda harus meliputi riwayat yang lengkap, pemeriksaan fisik, serta pertimbangan studi neuroimaging, pemeriksaan darah dan pada beberapa pasien, pungsi lumbal. Pada pasien tertentu, tilt table testing, atau pemeriksaan tidur dapat bermakna.
Pemeriksaan fisik pasien dengan nyeri kepala kronis merupakan hal penting, namun jarang menghasilkan temuan yang abnormal. Tanda vital harus dinilai untuk menyingkirkan hipertensi. Neurofibromatosis atau sklerosis tuberus harus dilihat pada pemeriksaan kulit. Hambatan pertumbuhan pada anak kecil dapat diidentifikasi dengan melihat kurva pertumbuhan. Pemeriksaan funduskopi diperlukan untuk menyingkirkan adanya edema papil dan peningkatan tekanan intracranial. Kemungkinan kehadiran defisit fokal atau temuan neurologis dapat dievaluasi melalui pemeriksaan neurologis. Pemeriksaan spinal dapat dilakukan pada nyeri punggung dan leher pada pasien ini. Palpasi kepala dan leher dapat menyingkap titik pencetus.
Mungkin peran paling bermanfaat dari neuroimaging pada pasien CDH adalah meyakinkan pasien dan keluarga. Studi pencitraan menjadi abnormal secara signifikan jika terdapat deficit fokal pada pemeriksaan atau riwayat kejang. Terkadang, abnormalitas substansia alba, kista araknoid atau kista pineal dapat terliha. Hal ini dipercaya tidak memberikan konsekuensi klinis yang signifikan pada pasien dengan CDH. Jika pasien mempunya riwayat trauma kepala atau leher yang bermakna, khususnya pada onset CDH, angiogram resonansi magnetic leher harus dipertimbangkan untuk menyingkirkan diseksi arteri karotis. Pseudotumor serebri adalah pertimbangan yang kuat, venogram resonansi magnetik harus dipertimbangkan, karena thrombosis sinus dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
Penilaian serum informative meliputi evaluasi fungsi tiroid. Kadar hormon sekresi tiroid berguna untuk tes skrining.

5. Disabilitas dan Gangguan penyerta
Permasalahan pasien anak-anak dengan CDH, sakit kepalanya akan mengakibatkan anak akan bolos sekolah, tidak mengerjakan pekerjaan sekolah, dan permasalahan dikeluarga. Untuk tujuan penelitian, ada divalidasi alat untuk mengukur cacat sakit kepala pada anak-anak dan remaja [14] Permasalahan dalam hal kinerja sekolah dan isolasi sosial. mungkin pertanda depresi.
Pasien mungkin terbiasa untuk over-the-counter (OTC) analgesik, dekongestan, opioid, Butalbital, isometheptene, benzodiazepines, ergotamine, dan triptans [15] Efek samping yang didapat dari pengobatan analgesik adalah sakit kepala rebound. Sedangkan pada penyakit sekunder potensi yang mungkin terjadi sebagai akibat dari obat yang digunakan termasuk gastritis, insufisiensi ginjal, ergotism, dan gastroesophageal reflux.
Mengidentifikasi kondisi co-morbid adalah penting dalam meningkatkan kesejahteraan pasien. Faktor-faktor psikososial juga harus dieksplorasi. Masalah yang berkaitan dengan sekolah (bullying, ketidakmampuan belajar mungkin), konflik keluarga (orangtua break-up), kesedihan dan kehilangan (penyakit kakek, atau pecahnya hubungan pribadi), narkoba dan alkohol, dan faktor psikososial lainnya.
Pada pasien CDH tidurnya terganggu.[16] Seharusnya pasien mengetahui bahwa ada yang mendasari gangguan tidur umum adalah onset tidur yang tertunda. Pasien CDH sering tidak akan bisa jatuh tertidur selama 30 menit sampai beberapa jam. Selain itu, banyak pasien akan bangun sering pada malam hari. Kadang-kadang, mengeluh rasa sakit dan kaki gelisah pada malam hari. Kurang tidur tampaknya menjadi faktor yang kuat untuk gejala sakit kepala. Biasanya, sindrom sakit kepala tidak akan menyelesaikan sampai kualitas tidur ditingkatkan.
Pada pasien CDH banyak mengalami gejala pusing, yang berhubungan dengan perasaan lemah dan goyah, dan dengan perubahan (kabur atau kehilangan) penglihatan.[17] Pusing sering pada perubahan posisi, dan pasien akan mengeluh syncope atau menit sinkope singkat beberapa setelah berdiri. Vertigo tidak ada. Pusing ini terutama menonjol di pagi hari setelah pasien pertama bangun. Selama pemeriksaan vital sign, perbedaan dalam tekanan darah atau denyut nadi antara duduk dan berdiri mungkin perlu dicatat, pasien sering mengalami gejala ringan pusing jika berdiri selama beberapa menit. Jika terbukti takikardia signifikan dengan berdiri (sindrom takikardia ortostatik postural) dan/atau penurunan tekanan darah sistolik dengan berdiri (presyncope neurocardiogenic atau syncope. Gejala orthostatik dapat diobati dengan meningkatkan cairan anak dan asupan garam atau, bila diperlukan, dengan penggunaan antagonis β-adrenoreseptor (misalnya metoprolol) bila terdapat takikardia ortostatik signifikan, dan / atau vasopressors (misalnya midodrine) bila ada ortostatik penurunan tekanan darah.
Gangguan mood dan kecemasan sering berdampingan dengan CDH. Gangguan mood ini bisa mendahului atau mengikuti timbulnya sakit kepala. Pada beberapa pasien adalah mungkin untuk menyelesaikan gangguan mood tanpa mempengaruhi sakit kepala, dan pada pasien lainnya adalah mungkin untuk meningkatkan sakit kepala tanpa memperbaiki masalah mood. CDH harus dianggap sebagai sindrom sakit kepala primer dan bukan gangguan mood. Gejala-gejala dari kedua sakit kepala dan suasana hati perlu ditangani.
Gejala lainnya co-morbid sering termasuk sakit perut spesifik, nyeri punggung, nyeri leher, dan nyeri sendi. Seringkali tidak ada etiologi organik lebih lanjut ditemukan untuk menjelaskan gejala-gejala sakit tambahan. Semakin lama durasi sindrom CDH, yang lebih menonjol gejala-gejala nyeri lainnya kronis tampaknya menjadi.

6. Prinsip-prinsip Pengelolaan CDH
Prinsip-prinsip pengelolaan CDH termasuk mengidentifikasi dan mengobati komponen migrainous dari sindrom sakit kepala, menghapus obat yang menyebabkan sakit kepala rebound, memulai agen sakit kepala yang sesuai preventif, menekankan reintegrasi pasien ke dalam kegiatan sekolah dan keluarga, menilai prognosis, dan affording realistis harapan untuk keluarga.

6.1 Treatment
Kontrol Nyeri pada saat memburuknya sakit kepala adalah masalah yang sangat sulit bagi orang mengatasi sakit kepala kronis. Analgesik yang biasanya efektif untuk sakit kepala migrain episodik tidak sangat efektif untuk migrain atau CDH; kebanyakan pasien melaporkan bahwa analgesik tidak efektif untuk semua waktu-the-. 24/7 sakit kepala. Hal ini berguna untuk mencegah pasien dari mencoba untuk menggunakan analgesik untuk mengobati sakit kepala semua-the-waktu, karena hal ini dapat menyebabkan terlalu sering menggunakan analgesik dan sakit kepala rebound potensi analgesik. Sebaliknya, untuk episode lebih parah sakit kepala intermiten dengan migrainous, triptans kualitas atau NSAID harus diresepkan. Penggunaan senyawa yang mengandung kafein, barbiturat, atau opiat harus dibatasi atau dihindari. Pasien biasanya menemukan bahwa ketika pengobatan preventif (lihat bagian 6.2) mulai bekerja, analgesik akan menjadi lebih efektif.
Pasien yang harus menggunakan analgesik lebih dari dua kali per minggu mempunyai resiko untuk sakit kepala rebound.[9,18] Rebound sakit kepala adalah proses mempertahankan diri yang berirama dan dapat diprediksi, mengakibatkan sakit kepala persisten. Dimulainya rebound yang membahayakan. Obat ini menyebabkan efek samping, tetapi manfaat kurang. Jika efek penghentian obat ini menyebabkan kegawatan, pengobatan rawat inap mungkin diperlukan. Untuk sebagian besar pasien, penghentian obat dilakukan perlahan dan hati-hati. Dosis rendah NSAIDs dan metoclopromide dapat digunakan. Mual, muntah, dan sakit kepala meningkat sering terlihat di fase ini. Jika pasien terbiasa dengan barbiturat atau opioid, terapi rawat inap mungkin diperlukan untuk memantau kejang atau sindrom pantang narkotika. Pencegahan migrain harus dimulai setelah penghentian obat-obat analgesik.
Penarikan Cepat obat bekerja lebih baik pada orang dewasa dengan CDH daripada di populasi anak-anak[19] Mesilate Dihydroergotamine efektif untuk migrainous, dan beberapa pasien tidak merasa sakit untuk sakit kepala kronis[20]. valproate dalam formulasi intravena telah digunakan untuk membatalkan episode sakit kepala parah. [21] Akhirnya, beberapa pasien menanggapi penggunaan jangka pendek kortikosteroid oral atau intravena. [22]
Banyak penderita sakit kepala kronis akan merasa lebih baik saat dirawat di rumah sakit untuk perawatan ini, tetapi mungkin kembali ke pola sakit kepala khas mereka setelah meninggalkan rumah sakit. Rawat Inap tidak memberikan pasien dengan kesempatan untuk pendidikan tentang sakit kepala.

6.2 Pencegahan
Obat pencegahan biasanya digunakan pada pasien sakit kepala untuk mengurangi frekuensi sakit kepala migrain. Kekeliruan pencegahan jangka panjang dalam CDH karena sakit kepala hadir sepanjang waktu. Namun, dalam CDH, tujuan terapeutik yang wajar akan membuat sakit kepala parah berkurang, dan membuat sakit kepala dalam-waktu yang lebih intens.
Ada banyak pilihan untuk agen pencegahan untuk migrain episodik termasuk antagonis β-adrenoreseptor, agen kalsium channel, antidepresan, antikonvulsan, riboflavin, dan magnesium.[23] Gejala penyerta pasien akan mempengaruhi ketepatan pemilihan obat.. Misalnya, β-antagonis adrenoreseptor memperburuk depresi, asma, dan intoleransi latihan. Obat-obat itu digunakan untuk pasien depresi atau asma atau untuk atlet.[24] Topiramat adalah pilihan yang baik untuk orang yang gemuk, [25,26] sementara siproheptadin [27] atau antidepresan trisiklik [28] akan membantu pasien untuk menambah berat badan. The valproate antikonvulsan, gabapentin, dan topiramate bisa membantu pasien dengan migrain dan epilepsi.[29] valproate sangat membantu pada pasien dengan gangguan perilaku, sehingga dengan demikian dapat membantu dalam seseorang dengan kecenderungan kekerasan [30] yang lebih baru seperti antidepresan. sebagai fluoxetine [31] dan venlafaxine [32] dapat membantu mengurangi kecemasan serta depresi. Nonprescription produk obat-obatan telah digunakan juga. Feverfew, magnesium, ubidecarenone (koenzim Q-10), dan riboflavin mungkin memiliki peran dalam profilaksis migrain [33] Penggunaan menunjukkan toksin particbotulinum janji juga.
Terapi pencegahan dapat meningkatkan sakit kepala tapi tidak akan menghilangkan sakit kepala dalam jangka pendek. Setelah 1 bulan terapi yang efektif, ekspektasi yang wajar akan memiliki episode kurang sering sakit kepala parah, dan penurunan intensitas, 24 / 7 sakit kepala. Sangat jarang melihat resolusi lengkap dari sakit kepala setelah jangka waktu yang singkat. Setelah kecenderungan perbaikan terlihat, dosis obat disesuaikan untuk kontrol optimal dari sakit kepala, dan pasien dilanjutkan pada pencegahan selama minimal 6 bulan baik (tapi jarang lengkap) kontrol gejala. [34]

6.2.1 Praktis (Tapi belum terbukti) Aspek Pengobatan pencegahan
Ada beberapa studi prospektif terkontrol secara acak pada populasi anak-anak untuk memberikan bimbingan seperti apa adalah obat yang paling efektif atau aman untuk digunakan dalam CDH [23]. yang diketahui tentang dosis yang optimal.
Tidak ada konsensus pendapat seperti apa pilihan pertama atau dosis awal harus untuk terapi preventif pada pasien dengan CDH. Sama seperti pasien kami dengan epilepsi intractable medis mungkin memerlukan dosis yang lebih tinggi antikonvulsan untuk pengendalian gejala, kita tidak perlu heran jika kami CDH pasien mungkin memerlukan dosis tinggi Pencegah dibandingkan pasien dengan episode migrain. Ringkasan obat pencegahan untuk CDH disajikan dalam tabel I. Sebuah pendekatan pencegahan untuk anak-anak dan remaja dengan CDH berdasarkan pengalaman dari salah satu penulis (KJM) adalah sebagai berikut.


Banyak pasien CDH memiliki gangguan dalam tidur, terutama onsetnya, amitriptyline adalah pilihan obat yang tepat. Ini dapat diberikan saat makan malam atau beberapa jam sebelum tidur. Biasanya, dosis 0,5-1,0 mg / kg berat badan diberikan setiap malam awalnya. Dosis ini dapat dititrasi sampai 3 mg / kg / hari. Pada dosis yang lebih tinggi, tingkat amitriptyline dan temuan ECG (untuk menilai perpanjangan interval QT) harus dinilai. Pasien harus dipantau untuk takikardia, sembelit, kesedihan, berat badan, pusing, dan memburuknya sindrom kaki gelisah. Nortriptyline atau protriptyline dapat menawarkan obat penenang kurang dan mungkin kurang peningkatan nafsu makan, walaupun tidak ada penelitian terkontrol dari agen di CDH.
Antikonvulsan adalah kelas lain dari obat pencegahan yang digunakan dalam CDH. Topiramate bisa dimulai pada 0,5-1 mg / kg / hari (biasanya pada 25 atau 50 mg), dan meningkat jumlah tersebut setiap minggu sampai perbaikan dalam sakit kepala, atau target dosis 100-200 mg / hari tercapai. Beberapa pasien akan memiliki nafsu makan menurun, parestesia. Valproate juga digunakan pada dosis antara 10 dan 30 mg / kg / hari pada anak-anak. Sebuah dosis mulai yang khas dalam seorang remaja adalah 500 mg setiap malam dalam bentuk extended-release. Hal ini dapat dititrasi secara mingguan ditoleransi. Disfungsi hati dan pankreatitis adalah efek samping yang jarang tetapi berat badan sering terjadi. Perhatian yang dibutuhkan ketika digunakan pada pasien wanita karena efek teratogenik potensi valproate. Gabapentin dapat dimulai dengan dosis 300 mg dua kali sehari. Pada banyak pasien, hal ini kemudian akan dititrasi sampai dengan 300 mg setiap minggu sampai dosis yang efektif tercapai, atau sampai dosis harian maksimum 3600 mg / hari tercapai. Banyak pasien mungkin perlu dosis antara 1800 dan 3600 mg / hari. Ini mungkin membantu pada pasien yang juga mengalami sindrom gelisah kaki. Berat badan dan lekas marah kadang-kadang terlihat pada beberapa pasien yang memakai gabapentin. Ananticonvulsants lain juga mulai digunakan, termasuk levetiracetam dan pregabalin. Dosis Kisaran dan efektivitas obat ini belum ditentukan untuk CDH.
Pada pasien dengan gejala ortostatik atau tremor, antagonis β-adrenoreseptor seperti propranolol, atenolol, atau metoprolol dapat berguna. Sebuah dosis yang khas adalah 1 mg / kg / hari. Atenolol dirumuskan dalam 25 dan 50 tablet mg, dan ada bentuk-bentuk long-acting propranolol dalam tablet 60 dan 80 mg yang dapat diberikan sekali sehari. Mimpi buruk dan mudah marah terjadi pada beberapa pasien. Perhatian harus digunakan pada pasien dengan asma atau diabetes mellitus.
Verapamil dapat dimulai dengan dosis 120 mg / hari pada remaja, dan dosis khas untuk anak-anak adalah di kisaran 2-6 mg / kg / hari. Pengalaman menunjukkan bahwa obat ini sering akan menurunkan tekanan darah, dan pasien ini harus dipantau. Efek samping lainnya adalah peningkatan berat badan, pusing, dan sembelit.
Kontinum Hemicrania adalah sindrom sakit kepala jarang terjadi, terjadi pada <1% pasien CDH. Ini adalah sakit kepala sebelah persisten. Rasa sakit dapat dicirikan oleh sensasi menusuk, dan mungkin terkait dengan perubahan otonom. Dosis harian indometasin akan memperbaiki kondisi ini. Oleh karena itu, percobaan indometasin harus dipertimbangkan pada pasien CDH yang hadir dengan sakit kepala terutama sepihak. Percobaan yang layak akan indometasin 25 mg tiga kali sehari selama 3 hari, meningkat, jika diperlukan, untuk 50 mg tiga kali sehari selama 3 hari, dan kemudian, jika diperlukan, untuk 75 mg tiga kali sehari selama 3 hari. Kebanyakan pasien dengan kontinum hemicrania akan merespon dengan pendekatan ini. Indometasin harus dilanjutkan selama kebutuhan pasien, yang dapat bervariasi dari hari ke bulan. Indometasin bisa sangat iritasi pada perut, dan penggunaan bersamaan dari inhibitor pompa proton dapat dibenarkan.

Pendekatan Manajemen Tambahan
Pasien dengan CDH dapat menjadi seseorang yang lemah. Mereka mungkin telah melewatkan banyak kegiatan sekolah, menjadi terisolasi dari teman-temannya dan kegiatan usai belajar mengajar sekolah, serta menahan diri untuk berolahraga. Bila memungkin dokter harus berperan sebagai pendukung untuk memperkuat keadaan yang dibuat senormal mungkin tersebut. Hal ini dapat ditunjukan dengan ikut terlibat dalam campur tangan dengan guru pembimbing di sekolah atau mengedukasi pihak sekolah tentang sakit kepala kronis. Siswa harus mampu memiliki penjadwalan yang fleksibel dengan proses reintegrasi bertahap, mulai dari hanya 1 jam per hari. Stressor pasien dengan sakit kepala kronis yang terjadi secara dipaksakan baik saat berada di sekolah maupun di luar waktu sekolah membuat proses pemulihan menjadi sulit. Karena pasien dengan sakit kepala kronis terlihat normal, sering terjadi skeptisisme derajat berat dalam sistem sekolah yang perlu penanganan.
Pasien dengan CDH harus didorong untuk sedikit berolahraga setiap harinya. Jika pasien tersebut tidak pergi ke sekolah dan tidak bergerak, mereka berisiko lebih besar untuk mengalami gangguan tidur, depresi, dan disfungsi otonom. Cara yang seharusnya dapat dicoba adalah dengan menggunakan treadmill pada kecepatan rendah minimal 5-10 menit per hari.
Biofeedback, terapi relaksasi, hipnosis, dan terapi kognitif-perilaku (cognitif behavioral therapy / CBT) dapat bekerja dengan baik pada pasien-pasien yang termotivasi untuk berlatih dalam kegiatan sehari-hari. [35] Adanya gangguan mood dan kecemasan membutuhkan rujukan ke psikolog. Berdasarkan pengalaman kami, bahwa orang-orang yang sibuk dan terorganisir ingin mengambil kendali atas kehidupan mereka dan mampu melakukan modalitas ini dengan baik, sedangkan orang yang cenderung tidak teroganisir dan tidak mampu mengatur waktunya tidak dapat melakukan praktek sehari-hari yang ketat. Pasien dengan nyeri kronis seringkali memiliki ketegangan pada otot dan adanya pemicu utama. Rujukan ke fisioterapi merupakan bagian penting dari rencana pengelolaan.
Terdapat variabilitas musiman yang menarik dalam derajat gejala CDH. Kebanyakan pasien akan merasa lebih baik pada saat liburan musim panas, dan sering memiliki sakit kepala yang lebih berat pada awal tahun ajaran sekolah. Alasan untuk sakit kepala yang lebih berat yang sering terjadi pada awal tahun ajaran sekolah ini tidak diketahui, tetapi mungkin berhubungan dengan faktor-faktor seperti stres, kehilangan waktu tidur, cahaya terang di sekolah, berkurangnya kesempatan untuk berolahraga, berkurangnya waktu untuk relaksasi, dan kecenderungan dari beberapa remaja untuk tidak sarapan supaya dapat tiba di sekolah tepat waktu.
Hanya terdapat sedikit data yang melihat hasil keluaran CDH pada anak-anak. [9,36,37] Durasi rata-rata gejala penyakit CDH di masa kanak-kanak tidak diketahui, tetapi jarang anak-anak yang mengalami penyakit CDH yang menetap selama berbulan-bulan hingga tahunan. Menurut sebuah penelitian oleh Hershey dkk, [5] prognosis CDH pada anak-anak didasarkan pada pola-pola umum berikut: prognosis terbaik adalah pasien dengan sakit kepala yang terjadi tidak setiap hari dan tidak sepanjang hari, prognosis menengah adalah pasien dengan sakit kepala yang terjadi setiap hari tetapi tidak sepanjang hari, dan prognosis terburuk adalah pasien dengan sakit kepala sepanjang hari dan setiap hari. Pasien yang masuk dalam kategori prognosis terburuk perlu untuk ditawarkan perawatan yang lebih agresif, sedangkan mereka yang memiliki prognosis terbaik hanya memerlukan sedikit intervensi.
Harapan realistis untuk penyakit CDH sering sulit untuk diterima. Sering tidak ada jawaban langsung atau mudah terhadap isu-isu kesulitan terapi; diperlukan kerja keras, perjuangan melawan rasa sakit dan reintegrasi ke sekolah. Banyak keluarga sulit untuk memahami bahwa rasa sakit kepala dapat bertahan untuk waktu yang lama, bahwa tidak ada kelainan yang ditampilkan di tes diagnostik, dan bahwa obat yang diresepkan tidak segera efektif. Bukan suatu hal yang aneh bagi pasien dengan sakit kepala kronis untuk memeriksakan diri ke beberapa dokter karena rasa frustrasi ini. Dalam keterbatasan ini, sangat berguna untuk menggunakan waktu yang adekuat untuk membahas sifat alami CDH, bagaimana penyebab sekunder sakit kepala telah dikesampingkan, peran obat-obatan, peran biofeedback atau terapi fisik, dan bila memungkinkan menekankan keadaan senormal-normalnya.
Tindak lanjut harus dijadwalkan secara rutin sampai gejala terkontrol dengan baik. Bukan merupalan suatu hal yang aneh untuk sering membuat penyesuaian dalam pendekatan manajemen, dan mungkin diperlukan waktu berbulan-bulan sebelum pengobatan preventif atau pendekatan terapi yang tepat diidentifikasi untuk seorang pasien. Manajemen yang efektif menjadi suatu kemitraan dengan banyaknya kunjungan dan kontak. Diharapkan bahwa dengan suksesnya identifikasi sindrom ini dan manajemen farmakologis serta non-farmakologis yang agresif, penderitaan CDH untuk anak-anak dan keluarga mereka dapat diatasi atau setidaknya dikurangi.

Kesimpulan
CDH pada anak-anak dan remaja, suatu diagnosis ekslusi, sering merupakan konsekuensi dari evolusi migrain episodik atau tension type headache/TTH. Alasan untuk ini transformasi saat ini hanya berupa dugaan. Saat ini terdapat sangat sedikit literatur untuk mendukung konsensus pengobatan, dan kita tidak mengetahui apa hasil jangka panjang untuk pasien muda ini. Oleh karena itu, kawasan studi ini memohon untuk melakukan uji obat, uji coba pendekatan nonpharmacologic, dan studi hasil jangka panjang. Apakah anak-anak ini tumbuh menjadi lemah atau orang dewasa sehat, sukses dalam hidup atau menderita nyeri kepala dan memiliki masa depan yang suram? Bagaimana seseorang yang meninggalkan rumah setelah SMA mempengaruhi fungsi psikososial dan hasil akhirnya? Ini merupakan harapan kami bahwa pertanyaan-pertanyaan ini akan diteliti, jadi kita akan mampu menawarkan terapi yang baik dan saran realistis terhadap anak-anak dan orang tuanya.
Powered By Blogger