Pengikut

Minggu, 05 Februari 2012

Sejarah Balance Anesthesia




Anesthesi merupakan penurunan mekanisme neurology yang membawa informasi sensori. Disebut local anesthesia jika terjadi penurunan sensasi dari sebagian tubuh saja. Jika menurun semua sensasi disebut sebagai general. General anesthesi adalah induksi yang menyebabkan hilangnya kesadaran, dengan hilangnya sensasi nyeri di seluruh tubuh dengan pemberian obat-obat anesthesia. Anesthesia digunakan pada orang-orang yang akan dilakukan pembedahan dengan menghilangkan atau tanpa rasa nyeri yang hebat. Kata anesthesia di cetuskan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes Sr. tahun 1846.
General Anesthesia mempunyai tujuan termasuk :
1. pain relief (analgesia)
2. blocking memory procedure (amnesia )
3. producing unconsciousness
4. inhibiting normal body reflexes to make surgery safe and easier to perform.
5. relaxing the muscle of body.

Agent yang digunakan untuk general anesthesia dapat berupa gas atau cairan volatile yang disebut sebagai vaporizer, dan inhalasi dengan oksigen atau pemberian obat-obatan intravena.. Kombinasi pemberian gas anesthesi inhalasi dengan obat-obat intravena yang biasanya digunakan selama general anesthesia biasa disebut dengan balance anesthesia dan ini digunakan karena memberikan keuntungan yang efeknya bermanfaat pada setiap agent anesthesia untuk mencapai anesthesia selama pembedahan. 1
Pada tahun 1874 oleh Claude Bernard mengatakan bahwa terjadinya nyeri atau ketidaknyamanan akibat anesthesia yang kurang dalam. Penelitian ini menggabungkan bahwa digunakannya muscle relaxan sebagai balance anesthesia. Claude Bernard menemukan bahwa neuromuscular junction merupakan tempat aksi dari curare atau site of action dan juga memperkenalakna tehnik anesthesia dengan menggunakan lebih dari 1 agen anesthesia. Claude Bernard menyatakan bahwa tehnik ini disebut dengan mixed anesthesia, dan penelitiannya juga Claude Bernard meleporkan bahwa morphin menurunkan jumlah dan durasi kloroform yang diperlukan selama anesthesia. 2
Balance anesthesia digunakan juga untuk meminimalkan risiko pasien dan memaksimalkan keamanan dan kenyamanan pasien. Secara umum balance anesthesia memberikan ketenangan pada pasien dengan mengurangi nyeri,dan mengurangi efek potensial yang merugikan yang berhubungan dengan analgesic dan agent anesthesia. Ketenangan pasien sangat penting untuk memudahkan memegang pasien dan mengurangi jumlah stress yang terjadi pada pasien. Kita tahu bahwa stress dapat menyebabkan terjadinya : tachicardi, tachipnoe, hipertensi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan releasenya katekolamin. Hal ini dapat menyebabkan pasien mengalami hal-hal yang tidak diinginkan pada saat dilakukan anesthesia. Stress dan kecemasan menambah terjadinya proses noiceptif pain. Beberapa contoh obat-obatan yang digunakan untuk menenangkan pasien seperti: acepromazine, diazepam atau midazolam, dan medetomidine. Nyeri berhubungan dengan pembedahan elektif dan terjadinya trauma. Pada semua orang khususnya anak-anak nyeri dapat diperlihatkan dengan terjadinya keterlambatan penyembuhan,penurunan nafsu makan dan mencetuskan kematian. Jalan terbaik menghentikan nyeri adalah dengan menghentikan sebelum nyeri itu dimulai. Pemberian analgesic secara tepat dapat membantu memberikan kenyamanan dan dapat menurunkan dosis yang besar yang diperlukan dengan inhalasi anesthesia. Sebagai contohnya pemberian opioid (seperti morphin, buprenorphin, butherphenol dan fentanyl); NSAID
( seperti caprofen,meloxicam, ketoprofen); local anesthesia (lidocain, bupivacain); dan NDMA receptor antagonis (ketamin).
Semua obat-obatan mempengaruhi pasien. Beberapa memberikan efek negative yang besar seperti agen inhalasi pada anesthesia. Jalan terbaiknya adalah dengan protocol balanced yang diputuskan secara individual pada pasien dan prosedur yang digunakan dengan merencanakan tindakan anesthesia yang akan digunakan. Hampir semua pasien membutuhkan premedikasi dengan analgesic ± transquiliser. Pemilihan agen induksi secara tepat yang digunakan untuk induksi anesthesia secara cepat dan intubasi secara cepat. Kemudian maintenance dapat diberikan dengan inhalasi agent. Maintenace juga dapat diberikan dengan obat lain CRIs seperti propofol. 3
Balance anesthesia adalah proses dinamis yang mengabungkan berbagai agen anesthesia dalam proporsi yang optimal untuk menghasilkan 6 tujuan anesthesia yaitu ;
1. anesthesia-hypnosis, loss of consciousness
2. analgesia – pain control
3. amnesia – loss of recall
4. areflexia – muscle relaxasi
5. autonomic arefleksia- dengan menurunkan fungsi system saraf simpatik
6. anxiolisis- pre op dan intraoperatif
Pada saat ini belum ada satupun agen anesthesia yang secara tunggal mampu menghasilkan ke 6 tujuan tersebut. 2
Balanced anesthesia adalah penggunaan kombinasi obat dengan efek spesifik masing-masing untuk mencapai analgesia, relaksasi otot, unconsciousness, amnesia. Balanced anesthesia biasanya menggunakan agen berikut ini:
1. Preoperative medication, memakai anticholinergik yang menurunkan sekresi untuk mempermudah intubasi dan mencegah bradikardi karena depresi neural.
2. Sedative-hypnotics untuk merelaksikan pasien, memfasilitasi amnesia, dan mengurangi stimulasi simpatis
3. Antihistamine untuk mengurangi reaksi alergi dan sekresi
4. Narkotik untuk menghasilkan analgesia dan sedasi
5. Antiemetik untuk mengurangi nausea dan vomiting karena depresi GI
Obat tersebut diberikan sebelum anestesi untuk memfasilitasi proses, dan beberapa obat diberikan selama pembedahan untuk efek terapi dengan doses lebih rendah. Misalnya, pasien bisa diberi pelumpuh otot dan anestesi intravena kerja cepat untuk menginduksi anestesia dan diberikan gas anestesi untuk membalance selama prosedur pembedahan dan untuk menghasilkan recovery yang cepat.2
Pada tahun 1926 John S. Lundy memperkenalkan terminologi balanced anestesia yang merupakan kombinasi regional analgesia dan anestesi umum dengan beberapa agent anestesi sehingga nyeri bisa dihilangkan dengan balance beberapa agent atau teknik. Sebelumnya konsep balanced anestesi telah diperkenalkan oleh George Washington Crile yang menyatakan bahwa stimulasi fisik dapat dihilangkan dengan light general anaesthesia.5
Kerugian balanced anaesthesia adalah resiko PONV yang meningkat. Walaupun faktor lain misalnya faktor pembedahan dan penggunaan opioid bisa menyebabkan PONV, agen anestesi inhalasi juga berkontribusi terhadap kejadian PONV. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa biaya intraoperative balanced anesthesia lebih murah dibanding dengan TIVA, tapi perbedaan ini sangat sulit diukur karena banyak faktor yang bisa mempengaruhi biaya misalnya variasi obat yang digunakan, waktu recovery dan efek sampingnya.6
Dari hasil studi dikatakan bahwa hanya ada defisit postoperative minor pada fungsi psikomotor pada pasien geriatri 2 jam setelah general anesthesia selesai dengan TIVA
( remifentanyl dan propofol) atau balanced anesthesia (fentanyl dan isoflurane) pada operasi katarak dan tidak ada disfungsi psikomotor yang ditemukan 1 hari setelah general anesthesia. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa rekoveri fungsi psikomotor lebih cepat TIVA dengan remifentanil dan propofol dibandingkan dengan balanced anesthesia dengan fentanyl dan isoflurane.7

Pembedahan pada Pasien Obstetri

Pembedahan yang dilakukan pada saat kehamilan sekitar 2,2% (angka ini mungkin masih kurang karena terdapat sejumlah wanita yang menjalani pembedahan dan belum terdeteksi kehamilan) seharusnya memberikan jaminan keamanan secara simultan pada ibu dan janinnya, secara personal penatalaksanaan anestesi yang dilakukan harus selalu memahami perubahan anatomis dan fisiologis yang berhubungan dengan kehamilan dan tahap perkembangan janinnya, serta sensitivitas obat anestesi terhadap perkembangan fetus 6. Pembedahan yang dilakukan biasanya bersifat darurat seperti torsi, rupture, perdarahan kista ovarium, appendicitis akut, trauma, kholesistektom dan lain-lain atau apabila diperlukan demi kelangsungan kehamilan atau kelancaran persalinan seperti pembedahan serviks, inkompeten (Shirodkar and Mc.Donald procedur).
Terdapat beberapa faktor yang merupakan masalah yang harus dipahami oleh ahli anestesi dalam melakukan penatalaksanaan anestesi pada ibu hamil 7 :

1. Adanya perubahan anatomis dan fisiologis pada ibu hamil yang akan berpengaruh terhadap obat dan teknik anestesi.
2. Pengaruh langsung dan tidak langsung pada janin dan kelangsungan kehamilan.
3. Upaya pencegahan kelahiran bayi premature atau abortus spontan

PERUBAHAN FISIOLOGIS SELAMA KEHAMILAN 7,8,9
Perubahan anatomis dan fisiologis pada ibu hamil sebagai akibat adanya peningkatan aktivitas hormonal (progesteron, estrogen, dan beta-endorphin), metabolic (pertumbuhan hasil konsepsi) dan mekanik (rahim gravid, perubahan vaskuler dan mammae).
Perubahan Respiratorik
1. Edema mukosa jalan napas
Akumulasi cairan ekstraseluler menghasilkan edema jaringan lunak selama kehamilan terutama pada jalan napas atas. Edema laryng dapat mengurangi ukuran aperture glottis, menyebabkan sulit intubasi. Ukuran pipa endotrakheal yang lebih kecil harus di sediakan.
2. Penurunan Functional Residual Capacity (FRC)
FRC menurun 40% pada saat aterm . Closing Capacity (CC) tidak berubah. Pada posisi supine, FRC semakin turun, CC bias melebihi FRC sehingga terjadi penutupan saluran nafas lebih kecil, yang akan meningkatkan shunt dan akan meningkatkan desaturasi arteri. Selain itu karena FRC merupakan cadangan oksigen selama periode apneu, maka penurunan FRC dapat menyebabkan hipoksemia yang lebih cepat, seperti pada saat induksi anestesi. Konsumsi 02 menigkat 20% maka pada saat intubasi rentan terjadi desaturasi. Hal ini dapat diatasi dengan preoksigenasi pada wanita hamil minimal 4 menit dan denitrogenisasi dengan Facemask yang ketat selama induksi.
3. Ventilasi
Peningkatan volume semenit muncul paa akhir trimester 1. Pada saat aterm volume semenit muncul pada akhir trimester 1. Pada saat aterm volume semenit meningkat 50%, karena peningkatan tidal volume (40%) dan frekuensi napas 15%. Hal ini diduga akibat pengaruh progesterone yang meningkatkan respon ventilasi terhadap CO2. PCO2 biasanya menurun sekitar 32 mmHg akibat peningkatan ventilasi dibanding produksi CO2. Ekskresi bikarbonat di ginjal akan meningkat dalam usaha mengkompensasi hipokarbia dan pH meningkat sedikit sekitar 7,42-7,44.
Implikasi Anestesi
- Pasien cenderung mudah sekali mengalami hipoksemia terutama bila timbul apneu.
- Pre oksigenasi mutlak diperlukan saat mulai induksi anestesi.
- Induksi atau pemulihan pada ibu hamil berlangsung cepat.
- Gunakan pipa (ET) 0,5 – 1 kali nomor lebih kecil dan intubasi jangan lewat nasal.
Perubahan Karchovaskuler
1. Volume darah meningkat, volume plasma lebih meningkat dibandingkan sel darah sehingga terjadi anemia delusional relative.
2. Volume sekuncup meningkat sekitar 30% dan denyut nadi sekitar 15% menyebabkan 40% peningkatan curah jantung. Curah jantung meningkat mendadak pada masa post partum mencapai 80-100% diatas angka sebelum melahirkan.
3. Mendekati aterm, uterus membesar akan membendung aorta dan vena cava pada saat pasien tidur terlentang, menimbulkan suatu sindroma aortocaval.
4. Faktor pembekuan terutama factor VII,VIII, X, dan fibrinogen meningkat setelah trimester pertama.
Implikasi Anestesi:
- Curah jantung dan status volume harus dipertahankan agar UBF berada dalam batas normal.
- Untuk menghindari/mencegah hipotensi maka posisi pasien sebaiknya miring lateral kiri (left lateral decubitus)
Perubahan Sistem Saraf Pusat
1. Minimal Alveolar Concentration (MAC) untuk anestesi inhalasi menurun diatas 40% selama kehamilan. Penyebabnya tidak jelas tetapi mungkin berhubungan dengan hormone atau perubahan opioid endogen selama kehamilan.
2. Adanya peningkatan tekanan intraabdominal menyebabkan stasis pada vena
epidural, sehingga mudah terjadi bloody tap pada pemasangan kateter epidural
Perubahan Sistem Gastrointestinal
Uterus Gravid menyebabkan pergeseran posisi perut, menyebabkan gastric reflux dan heartburn pada 45-70% pasien. Pengosongan lambung dan penurunan tonus sphincter akan menjadi lambat sehingga resiko aspirasi lebih tinggi dikarenakan perubahan system hormonal dan faktor mekanik. Peningkatan progesterone berdampak terjadi penurunan tonus sfingter bawah esophagus sehingga mudah terjadi regurgitasi dan heart bum dan motilitas usus menurun bersamaan dengan menurunnya motilin (hormone peptide yang dapat menstimuli otot usus halus). pH asam lambung 50% dibawah 2,5 produksi asam lambung gastrin suatu hormone yang diproduksi oleh fetus dan plasenta sehingga akan meningkat pula pada trimester kedua dan tiga. Terjadi penurunan cholinesterase plasma (yang diproduksi oleh hepar) secara bermakna pada trimester 1 dan berlanjut pada saat melahirkan. Aktifitas cholinesterase terendah pada saat 24 jam setelah melahirkan.
Implikasi anestesi:
- Menekan resiko muntah dan aspirasi sebaiknya 1 jam sebelum induksi diberikan antasida, H2 bloker dan atau metoklopramide.
- Induksi dan intubasi dilakukan cepat dan halus (smooth) dan dilakukan penekanan pada os cricoid (Sellick's maneuver).
- Premedikasi dengan atropine untuk meningkatkan tonus otot polos cardioesofageal junction.
- Menghindari tekanan positif berlebihan.
- Mecegah fasikulasi dengan pelumpuh otot non depolarisasi
Perubahan Ginjal
Laju filtrasi glomerulus akan meningkat sampai 50% menyebabkan kreatinin klirens meningkat dan selanjutnya menurunkan BUN serta kadar kreatinin darah.
Ureter mengalami kompresi sehingga menyebabkan stasis aliran urine
Implikasi anestesi:
- Kadar kreatinin, asam urat, dan urea-N lebih rendah dari kadar pada wanita normal.
- Tubuh cenderung menahan air dibanding natrium pada trimester ketiga sehingga menyebabkan timbulnya udema diakhir kehamilan.
PENGARUH ANESTESI PADA KEHAMIILAN
Efek Teratogenik (Langsung)
Beberapa faktor yang menyebabkan :
1. Suatu obat atau alat anestesi menimbulkan efek teratogenik ditentukan oleh:
a. saat tepat (timing) dari pemberian obat
b. kepekaan individu terhadap obat
c. ambang dan jumlah obat yang diberikan
d. kelaziman kejadian cacat bawaan
2. Kesulitan dalam merancang model penelitian karena seringkali yang dilakukan dalam klinis berbeda dengan metode yang biasa dilakukan pada percobaan binatang.
3. Faktor social dan medis seringkali merupakan variabel yang sulit diukur
4. Pada percobaan binatang ternyata hasilnya sering berbeda diantara spesies-spesies dan juga didalam spesies itu sendiri.
5. Hasil yang didapat pada percobaan binatang belum tentu sama seperti pada manusia.
Meskipun demikian terdapat beberapa hal hasil penelitian yang patut diperhatikan sebagai pertimbangan dalam pemberian anestesi antara lain 6,7,9.
Proses Organogenesis pada manusia berlangsung pada usia kehamilan 15-56 hari (sejak konsepsi) dan lengkap pada minggu ke 13. Periode ini merupakan periode kritis untuk timbulnya cacat kehamilan.
1. Penelitian MAZZE dkk tahun 1986 menyimpulkan bahwa halothan, isofluran dan enfluran tidak terbukti dapat menimbulkan malformasi congenital pada tikus. Demikian pula penelitian Friedman tahun 1988 menyebutkan bahwa opioid (morfin, fentanyl, sufentanyl,alfentanyl), obat induksi (penthotal, metoheksital,etomidat dan ketamin ) dan obat anestesi inhalasi dosis MAC 0,75% (halothane, isofluran, enfluran) tidak menimbulkan efek teratogenik. Namun ada laporan bahwa kokain dapat menyebabkan abortus sponatan, kelambatan pertumbuhan, mikrosefali, gangguan tingkah laku, cacat urogenital dan gastroschisis.
2. Dalam suatu penelitian restrospektif telah ditemukan bahwa kelainan-kelainan berat terjadi pada 12% bayi dan ibu yang terpapar meprobamat dan 11% yang terpapar chlordiazepoksid dibanding 2,6% pada control. Demikian pula penelitian terhadap diazepam telah menunjukkan peningkatan sampai 4 kali lipat kasus bibir sumbing dengan atau tanpa palatoschisis.
3. Agen-agen hipertensi yang menghambat enzim pengubah angiotensin (ACE-INH) menimbulkan keterlambatan pertumbuhan, disfungsi ginjal, kematian janin dan oligihidramnion. Aspirin juga cukup berbahaya terhadap janin yang sedang berkembang bila diminum dalam dosis besar.
4. Percobaan telah berulang kali memperlihatkan bahwa kortison yang disuntikan kepada mencit dan kelinci pada tingkat kehamilan tertentu dapat menyebabkan palatoschisis.
5. N2O dapat menimbulkan efek teratogenik pada binatang lebih disebabkan karena mempunyai efek menurunkan aliran darah ke rahim (UBF) daripada sebagai akibat penekanan aktivitas vitamin B12 suatu koenzim dari mehionin synthetase' yang berperan dalam pembentukan DNA.
Beberapa pakar menyarankan untuk tidak menggunakan N2O pada anestesi ibu hamil trimester pertama dan kedua; namun penelitian lainnya menemukan hasil bahwa pemberian N2O 60-70% selama lebih dari empat jam tidak mempengaruhi kadar Methionin dalam plasma sehingga menguatkan kesan bahwa pemberian N2O pada ibu hamil muda tidak akan menimbulkan efek buruk pada janin. Jadi walaupun N2O menyebabkan efek teratogenik pada binatang (untuk suatu keadaan tertentu) ternyata efek teratogenik pada manusia sulit untuk dibuktikan . Demikian pula pemberian asam folat sebagai upaya pencegahan pada pasien yang akan diberikan N2O tidak jelas manfaatnya 7.
Tabel 7.1 FDA kategori Resiko janin pada pemakaian agent therapeutic6.
Kategori A: dengan penelitian Studi kontrol menunjukkan tidak ada resiko untuk fetus selama trimester pertama dan trimester selanjutnya. Resiko terkontrol (Contohnya: air)
Kategori B : dengan penelitian pada binatang menunjukkan tidak ada resiko pada fetus, namun belum ada control studi pada manusia. Tidak terdapat bukti kejadian setelah trimester 1.
Kategori C: Terjadi resiko fetus pada binatang (terattogenik dan embriocydal) namun belum terdapat control studi pada manusia, atau belum terdapat data pada hewan atau manusia untuk agent tersebut.
Kategori D : Terdapat bukti terjadinya resiko fetus pada manusia. Namun keuntungan pemakaian obat ini sudah diterima meski terdapat resiko. (contoh: Diazepam)
Kategori X : Agent dalam klas ini dikontraindikasi pada ibu hamil oleh karena berdasar penelitian pada hewan mupun manusia menunjukan efek teratogenik atau terdapat resiko pada fetus. (Contoh Thalidomide)

Obat-Obatan anestesi telah diklasifikasikan berdasarkan kategori diatas; agent induksi yang masuk golongan B adalah methohexital dan propofol, sementara ketamin, thiopental, dan etomidate masuk kategori C. Untuk golongan agent inhalasi yang poten Enflurane, Desflurane, sevoflurane masuk kategori B sementara halothane dan isoflurane masuk kategori C. Pada Pemakaian Halothane penelitian tikus dengan pemakaian 1 MAC dalam 25% oksigen selama 12 jam tahap organogenesis maka akan berakibat terjadi kelainan skeletal, eksposure lebih pendek (1 Jam) pada kelinci hanya sedikit efek terhadap outcome kehamilannya. Eksposure lama dengan konsentrasi subanestetik akan berakibat pertumbuhan retardasi tanpa anomaly. Belum ada penelitian adekuat pada manusia 6.

Lokal Anestesi6
1. Local anestesi mungkin dapat berefek langsung neurotoksis, namun sebagian besar data menganjurkan oleh karena pemakaian agent ini sedikit sekali pengaruhnya terhadap embryo maupun aksi toksis pada fetus.
2. Prokaine, lidocaine, dan tetracaine dapat berpengaruh pada embryo awal ayam dan lidocaine dapat mempengaruhi penutupan neural tube pada embrio tikus.
3. Bagaimanapun juga tidak ada data ditemukan yang menimbulkan teratogenik pada pemakaian local anestesi pada hewan intak.
4. 2 chlorprocaine dan tetracaine (categori C) : tidak didapatkan pada hewan intak dan data pada manusia sangat sedikit.
5. Bupivacaine (masuk kategori C) Terdapat data : pemakaian 5-9 kali maksimal klinikal dose akan meningkatkan hilangnya fetus dan embryo pada tikus dan kelinci, tidak terdapat bukti teratogenik. Data pada manusia sangat sedikit.
6. Informasi terkini dengan adanya ropivakaine yang memiliki sedikit efek teratogenik pada tikus dan kelinci meski pemakaiannya digunakan 5 kali dosis maksimal yang direkomendasikan. Ropivacaine ini dikategorikan B

FETAL OXYGEN
Fetal Oksigen Delivery (FOD) tergantung kandungan oksigen arteri uterine, PaO2 ibu, Hb, vdan saturasi dan uterine blood flow (UBF). Peningkatan kecil PaO2 karena hiperventilasi tidak begitu berpengaruh pada kandungan oksigen karena saturasi Hb ibu hanya sedikit berubah. Pada ibu yang anemis akan mengurangi kandungan oksigen secara bermakna, maka pada wanita hamil yang sakit kritis akan lebih bergantung pada curah jantung untuk menjaga FOD.
Haemoglobin janin mempunyai afinitas besar terhadap oksigen dibandingkan hemoglobin maternal, memungkinkan metabolisme aerobic dalam kondisi relative hipoksik. Redistribusi laju aliran darah janin ke organ vital, penurunan konsumsi oksigen sebagai respon terhadap stress hipoksia, dan kemampuan beberapa jaringan tertentu pada metabolisme anaerob merupakan upaya menjaga kandungan oksigen fetus 6.

TRANSPORT OBAT MELALUI PLASENTA
Transport obat anestesi terjadi secara pasif sebagaimanan telah digambarkan oleh hukum difusi Fick. Beberapa factor yang meningkatkan difusi cepat adalah:
1. Berat Molekul rendah (BM<600 Dalton). 2. Tingginya solubilitas lemak 3. Derajat ionisasi yang rendah (lebih banyak bentuk non-ion pada pH fisiologis akan lebih mudah berdifusi) 4. ikatan dengan protein rendah Obat sedasi, analgesia atau anestesi banyak yang berat molekulnya rendah, mudah larut lemak, relative tak terionisasi, dan sedikit ikatan dengan protein, mempermudah masuknya obat lewat plasenta. Obat pelumpuh otot relative larut dalam air dan terionisasi, berat molekulnya tinggi sehingga cenderung tidak melewati plasenta. Selama trimester pertama kehamilan obat anestesi dapat mengakibatkan teratogenesis (malformasi congenital), resiko tertinggi pada usia kehamilan pada minggu ke -3 sampai dengan minggu ke -11. Pada trimester kedua dan ketiga masa kehamilan obat anestesi dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fungsional janin, disamping itu juga dapat bersifat toksis terhadap jaringan janin yang akan mengakibatkan abortus atau kelahiran premature. Obat anestesi yang digunakan sebelum ataupun selama kehamilan dapat menimbulkan efek samping bagi bayi maupun proses persalinannya sendiri 6. Sampai dengan awal th 1940 dugaan penyebab cacat congenital terutama disebabkan karena faktor keturunan. Selanjutnya didapatkan adanya pengaruh penyakit campak jerman pada kehamilan oleh Gregg, hal ini menunjukkan bahwa ada faktor lingkungan yang mempengaruhinya. Lenz mendapatkan kelainan cacat tungkai karena pengaruh obat thalidomide pada th 1961. Sejak saat itu mulai diketahui bahwa beberapa obat dapat berpengaruh buruk pada kehamilan yang dikenal dengan teratogen. Kerentanaan terhadap teratogen berbeda-beda menurut stadium perkembangan saat paparan. Masa yang paling sensitive timbulnya cacat lahir adalah masa kehamilan minggu ke 3–8 yaitu pada saat embryogenesis. Palatoschisis dapat terbentuk pada tingkat blastokista ( hari ke 6), masa gastrulasi (hari ke 14), pada tingkat tunas tungkai dini (minggu 5) atau ketika bilah palatum sedang terbentuk (minggu 7). Meski banyak kelainan dapat terjadi pada saat embryogenesis namun cacat dapat terjadi sebelum atau setelah waktu ini, tidak ada satu waktu yang lebih aman sehingga perlu pembatasan pemberian obat-obatan anestesi baik jenis, maupun dosisnya karena manifestasi perkembangan abnormal tergantung pada dosis, saat pemberian dan lama paparan terhadap suatu obat teratogen 6 Pengaruh (tidak langsung) terhadap kehamilan Kehidupan janin di dalam rahim sangat bergantung ke pada kelancaran dan kecukupan perfusi rahim atau sirkulasi uteroplasenta dan pasento fetal. Sirkulasi uteroplasental dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya tekanan darah (ibu), hiperventilasi hebat, rasa sakit, dan lain-lain. Tekanan darah ibu hamil dapat akibat kompressi aortocaval, perdarahan atau tindakan anestesi regional (sepinal, epidural) keadaan hipoksia, hiperkarbia, dan kontraksi rahim hebat dapat menurunkan perfusi rahim. Keadaan demikian cenderung merangsang timbulnya malformasi janin bahkan kematian janin inutero. Pembedahan atau anestesi pada ibu dengan kehamilan muda cenderung menimbulkan resiko abrotus spontan 11. UAP: Uterine Artery Pressure UVP: Uterine Venous Pressure UVR: Uterine Vascular Resistance UBF berkisar 10% dari Cardiac output (600-700 cc/mnt) pada orang dewasa tidak hamil sekitar 1%, maka terdapat 3 hal utama yang mempengaruhi UBF yaitu hypotensi, vasokonstriksi, dan kontraksi uterus 7. Pada penatalaksanaan general anestesi, biasanya dilakukan hiperventilasi sebelum induksi pada saat ini terjadilah peningkatan tekanan intrathorakal dengan konsekuensinya terjadi penurunan tekanan darah, terjadi pula peningkatan afinitas Hb ibu terhadap oksigen yang akan mengakibatkan hipoksemia fetus. Thiopental 4 mg/kgBB tidak mempengaruhi otak fetus, pada dosis 5 mg/kgBB terjadi penurunan tekanan darah akibat depresi miokard sebesar 10-20%, namun cukup terkompensasi oleh heart rate, sehingga uertoplasenta tak terganggu. Pada injeksi propofol akan menurunkan stroke volume dan SVR, sehingga penggunaan pada dosis besar tidak dianjurkan. Peningkatan tekanan darah pada pemberian ketamine pada dosis <1 mg/kgBB iv tidak menunjukkan deperesi pada fetus. Pada Regional Anestesi potensial terjadi hipotensi blok simpatis. Banyak penelitian menunjukkan hipotensi tidak terjadi pada tehnik epidural tidak mengganggu UBF, gangguan DJJ, maupun status gas darah fetus. Bahkan terdapat bukti nyata menyebutkan aliran darah uterus akan meningkat dan memungkinkan terjadinya perbaikan gas darah fetus pada penatalaksanaan tehnik epidural, lebih ditekankan pada pasien-pasien dengan hipertensi. Faktor yang mendasarinya adalah terjadinya efek penghilangan vasa spasme pada sirkulasi uteroplasenta dan hiperaktifitas simpatis dengan penurunan kadar k atekolamin plasma 9. Hasil survey epidemiologis baru-baru ini menunjukkan antara lain 7 : - Pembedahan abdominal dan ginekologis dengan anestesi umum pada ibu hamil dapat menggangu kelangsungan kehamilan. - Pasien yang mengalami pembedahan saat hamil cenderung melahirkan bayi dengan berat badan rendah karena prematuritas atau gangguan pertumbuhan in utero. Penatalaksanan Anestesi A. Algoritma 9. 1. Prinsip penatalaksanaan anestesi pada ibu hamil dibawah 16-20 minggu a. Bila mungkin pembedahan ditangguhkan sampai minimal trimester kedua. b. Penilaian prabedah agar dilakukan pula oleh dokter specialis kebidanan. c. Penjelasan(informed consent) prabedah pada pasien dan keluarganya. d. Berikan antasida untuk pencegahan aspirasi. e. Monitoring dan pertahankan oksigenasi, normokarbia, normotensi, dan euglikemia. f. Pilih anestesia regional bila cocok. g. Hindari pemberian N2O konsentrasi tinggi ( konsentrasi ) pada anestesia umum. h. Catat bunyi jantung janin sebelum dan setelah tindakan. 2. Prinsip penatalaksanaan anestesi pada ibu hamil diatas 16 minggu a. Penjelasan (informed consent) pra bedah b. Diskusikan pemberian tokolitik sebagai pencegahan dengan dokter spesialis kebidanan. c. Berikan obat pencegah aspirasi. d. Pertahankan posisi pasien miring kiri sebelum, selama dan sesudah pembedahan. e. Monitoring dan pertahankan oksigenasi, normokorbia, normotensi dan euglikimia. f Gunakan monitoring janin selama pembedahan (bila mungkin) dan upayakan lingkungan intra uterin secara optimal . g. Monitor kontraksi rahim paska bedah B. Petunjuk Pelaksanaan Praktis 1. Tenangkan pasien saat kunjungan prabedah dan berikan sedasi/ premedikasi yang memadai. 2. Hilangkan rasa sakit bila ada. 3. Berikan antasida 15-30 m1 0,5-1 jam sebelum induksi anestesi. Bila perlu berikan juga ranitidit dan metoklopramit. 4. Pasien dengan kehamilan lewat trimester pertama upayakan posisinya agar rahim tidak menekan aortocaval. 5. Hindari hipotensi pada teknik anestesi regional (sepinal/epidural) dengan memberikan cairan atau loading secara cepat dan bila perlu segera berikan efedrin. 6. Lakukan pre-oksigenasi dan denitogenasi saat akan dilakukan induksi anestasi umum. 7. Antisipasi dan hindari kemungkinan aspirasi saat indusi anestesi dengan melakukan intubasi cepat sambil os cricoit ditekan. 8. Untuk mengurangi bahaya pada janin terutama pada kehamilan trimester pertama sebaiknya dipilih obat-obat yang sudah lama dikenal aman termasuk pentotal, morfin, petidin, pelemas otot dan N2O dosis rendah. 9. Hindari melakukan hiperventilasai dan pantau endtidal CO2 atau analisa darah. 10. Denyut jantung janin harus dimonitor secara berkesinambungan sebelum, selama dan setelah pembedahan. Demikian juga tonus uterus dimonitor dengan meter external tocodynamo. 11. Monitoring kontraksi rahim diteruskan sampai setelah pembedahan dan bila perlu diberikan obat tooklitik (tocolytic agent). C. Teknis Penatalaksanaan Anestesi 1. Persiapan dan penilaian pra bedah – Bila mungkin pembedahan elektif ditangguhkan sampai trimester kedua atau ketiga untuk menghindari pengaruh obat anestesi terhadap proses organogenesis. – Saat dilakukan kunjungan prabedah sebaiknya dokter spesialis anestesi dan pada umumnya sebagian besar pasien mengalami kecemasan dokter spesialis bedah memberikan penjelasan pada pasien dan keluarganya tentang kemungkinan terjadinya gangguan pada janin atau kelangsungan kehamilannya. – Pada umumnya sebagian besar pasien mengalami kecemasan atau ketakutan, maka selayaknya pasien diberikan pengertian agar tenang dan tidak takut/cemas. Berikan sedasi dan premedikasi yang memadai, misalnya opiat atau barbiturat dan anti sialogo (glikopirolat atau sulfas atrpin ). Atasi segera bila ada keluhan rasa sakit dengan analgetik atau opiat karena rasa sakit dapat menurunkan perfusi rahim. – Untuk mencegah atau menghindari aspirasi, sekitar 0,5-1 jam sebelum induksi anestesi pasien diberikan 15-30cc antasida, histamine-2 receptor blocking agent (ranitidin) dan atau metoklopramid. induksi anestesi dan intubasi dilakukan dengan cepat dan halus, os cricoid ditekan (sellick's manuvre) dan digunakan pipa endotrakhea 0,5-1 nomor lebih kecil. – Pemberian tokolitik sebagai pencegahan atas saran dari dokter spesialis kebidanan. Yang paling sering digunakan adalah indomethacin suppositoria dibanding dengan magnesium sulfat. – Bila usia kehamilan sudah lewat 24 minggu pasien diinstrusikan tidur miring selama transportasi dari ruagan. kekamar bedah dan juga sebaliknya untuk menghindari supine hypotensive syndrome akibat penekanan rahim pada vena cava inferior dan aorta. 2. Selama Pembedahan Pemantauan (monitoring ) pada ibu berupa tekanan darah, oksigenasi (FiO2 dan pulseoksimeter), pernafasan (sebaiknya dilengkapi dengan end --tidal CO2) dan suhu tubuh. Hindari hipoglikimia dengan memeriksa secara teratur kadar gula darah perioperatif. Denyut jantung janin dipantau dengan menggunakan External Doppler device. Kontraksi uterus dipantau dengan memasang alat yang disebut tocodynamometer terutama pada kehamilan muda (16-20minggu). 3. Perawatan Pascabedah Di ruang pulih pemantauan fungsi-fungsi organ vital (hemodinamik, pernafasan, diuresia, suhu dan kesadaran ) terus di lanjutkan. Demikian juga kontraksi rahim dan denyut jantung janin dipantau dengan ketat sampai lebih dari 24 jam. Sebaiknya disertakan bidan terlatih untuk memantau kemungkinan terjadinya abortus spontan portus prematur. Untuk mengatasi rasa sakit paskabedah dapat diberikan narkotik intra tekal atau Epidural, cara ini yang paling ideal. Hindari pemakaian obat analgetik golongan NSAID (Non steroid anti inflammatory ) terutama pada ibu dengan kehamilan di atas 32 minggu karena kekhawatiran duktus menutup. D. Pilihan Jenis /Teknik Anestesi Tidak ada obat ataupun teknik anestesi khusus yang dianggap paling aman untuk pembedahan pada ibu hamil daripada sekedar mempertahankan perfusi jaringan (tekanan darah dan curah jantung) dan oksigenisasi dalam batas-batas normal. Aliran darah ke plasenta menurun pada hipotensi, penggunaan ventilasi mekanik yang berlebihan, keadaan cemas dan sakit, aktivitas rahim yang meningkat dan pemberian obat-obat vasokonstriktor. Pilihan Teknik Anestesi 1. Anetesi Umum (intubasi ) - Semua obat-obat induksi, narkotik, pelemas otot dan inhalasi diaggap cukup aman, kecuali N2O yang masih kontroversi. - Induksi dan intubasi harus berlangsung cepat, lancar dan halus (smooth). - Pertahankan perfusi jaringan dan oksigenasi. 2. Anestesi Regional (Spinal/Epidural) – Bila cocok / mungkin merupakan pilihan yang lebih baik karena jumlah obat yang digunakan lebih sedikit terutama anestesi spinal. – Cegah hipotensi dengan pemberian cairan cepat (bolus) sebelum tindakan dan bila perlu berikan eferin. – Keuntungan epidural anestesi, sakit paska bedah mudah ditanggulangi. Balanced Anesthesia pada Obstetri Istilah balanced anesthesia dicetuskan oleh Lundy pada tahun 1926 dengan memberikan istilah pemakaian dua atau lebih tehnik anestesi atau obat anestesi yang akan menghasilkan efek yang spesifik untuk mencapai analgesia, amnesia, relaksasi otot dan menekan reflek otonomik dengan tetap memelihara mekanisme faal homeostasis. Pemakaian obat tunggal dalam penatalaksanaan anestesi memungkinkan diperlukan dosis besar yang dapat mengganggu keseimbangan hemodinamik. Dengan multimodal, mengkombinasikan dua atau lebih tehnik anestesia dapat diperoleh trias anestesi dengan terpelihara keseimbangan hemodinamik, stabilitas otonom dan faal homeostasis 17 . Berdasarkan Decision Making pelaksanaan anestesi pada ibu hamil ditampilkan dalam bagan sebagai berikut 18: Perubahan Fisologis Ibu hamil akan lebih beresiko terjadi aspirasi, hipoksemia, dan hipotensi. Fetus bergantung pada oksigenasi maternal dan kestabilan kardiovaskuler kehamilannya. Bila akan dilakukan tindakan operasi pada saat trimester pertama kehamilan maka akan mungkin terjadi teratogenik oleh karena obat ataupun kelahiran premature . a. Resiko aspirasi meningkat setelah usia kehamilan 14-15 minggu, maka perlu ET Cuff digunakan untuk General Endo Tracheal Anesthesia (GETA). Aortocaval kompresi mungkin dapat berakibat hipotensi dan menurunkan Uteroplacenta perfusi pertimbangkan posisi miring kiri 15° (Left Uterine Displacement). Lokal anestesi untuk RA dikurangi 30-40% karena penekanan pembuluh darah epidural. Agent inhalasi dikurangi 40% MAC karena perubahan respirasi. Hati-hati pada obstruksi airway ataupun kesulitan intubasi karena mudah terjadi hipoksemia, karena kebutuhan O2 meningkat sementara cadangan O2 menurun. b. Cegah terjadinya hipoksia, hipotensi, dan hipovolumia, lebih penting dibanding tehnik anestesinya. Pelihara PaCO2 pada 33-35torr darn HMT > 30. Suplai oksigen adekuat. Memonitor Fetus dengan Doppler Fetal Heart Rate (FHR). Utero Placenta Presure (UPP) akan menurun pada maternal hipotensi, kompresi aortocaval, hipertonus uterus, obat alfa adrenergic, dan vasokonstriksi uterus oleh karena katekolamin endogen maupun eksogen.
c. Kerusakan (hipoksia, toksin) selama 14 hari pertama kehamilan akan membunuh janin. Selama organogenesis (15-60 hari) banyak obat untuk anestesi dan premedikasi mengakibatkan teratogenik pada hewan. Agent inhalasi dan N2O menyebabkan kelainan skeletal dan palatal pada tikus. Pemakaian diazepam dapat mengakibatkan cleft palate pada manusia. Efek sitotoksik local anestesi. Stress maternal, hipoksia, hiperkarbia, dan hipoglikemia mempengaruhi morbiditas fetus. Barbiturate dan narkotik cukup aman untuk janin.
d. Gunakan obat yang terbukti aman (thiopental, muscle relaksan, morphine dan meperidine) dan dengan konsentrasi N2O rendah untuk GETA.
e. Gunakan Regional anestesi pada prosedur pembedahan dan kondisi pasien yang sesuai. Lakukan pemberian cairan prabeban 1 – 2 liter dengan larutan garam seimbang. Hati-hati pada kondisi Full Stomach, LUD, monitor FHR, Maternal BP, PaO2, dan PCO2. Berikan sodium citrate 0,3 M, 15-30 ml PO dalam 45 menit sebelum induksi. SAB akan memberikan anestesi yang maksimal dengan pembatasan jumlah obat. Atasi hipotensi dengan efedrin.

Tehnik Epidural Anesthesia dan Analgesia
Tehnik epidural digunakan secara luas untuk anestesi dan analgesia pada pembedahan didaerah thorakal dan abdomen bagian atas dengan hasil memuaskan. Anestesi epidural thorakal mampu mencegah terjadinya respon stress akibat stimulasi simpatis dan memberikan kualitas analgesia yang lebih baik dibanding analgesia secara intravena 12.
Beberapa keuntungan Epidural Thorakal adalah blockade segmental (membatasi area blockade, bila dengan pendekatan lumbal untuk operasi daerah perut atas akan membutuhkan daerah blockade yang cukup luas dengan segala konsekuensinya), blockade optimal daerah operasi dengan kebutuhan obat lokal anestesi dapat ditekan. Pemakaian obat local anestesi guna mendapatkan daerah blockade yang optimal diperlukan 3-5 cc untuk 2 – 4 segmen V Th. Penyebaran obat local anestesi berdasarkan 12,13,16:
1. Penyebaran longitudinal keatas dan kebawah.
2. Melewati foramen intervertebrale mernblokade saraf paravertebral
3. Obat berdifusi melintasi duramater, ruang subarachnoid dan memblokade akar saraf spinal atau dorsal root ganglion.
4. Obat berdifusi melalui dural cuff di sekeliling akar serabut saraf spinal,berdifusi sentripetal ke neuroaksis seanjutnya memblokade saraf spinal
5. Karena daerah epidural kaya pembuluh darah, sebagian obat akan tersebar secara sistemik .
Perubahan bentuk tulang punggung menyebabkan pilihan anestesi regional membutuhkan persiapan dan ketrampilan khusus. Keuntungan pemilihan anestesi dan analgesi epidural pada orang hamil bila dibandingkan anestesi umum disamping memberikan perdarahan yang lebih sedikit juga memperkecil pengaruh obat-obatan terhadap bayi, khususnya penghindaran dari pemakaian N2O sehingga mengurangi terjadinya gangguan terhadap hidup dan kehidupan janin. Bahkan dengan epidural kontinyu mampu memberikan kontrol nyeri yang efektif untuk mencegah gangguan pernafasan maupun stimulasi simpatis yang berpengaruh pada perfusi uteroplasenta. Dibanding dengan blok spinal, anestesi dan analgesi epidural mempunyai keuntungan pada pengaturan ketinggian analgesi, resiko terjadinya spinal headache, dan hipotensi lebih rendah. Adapun kelebihan blok spinal terletak pada kecepatan onset dan reliabilitasnya .









PEMBAHASAN
Penatalaksanaan anestesi untuk pembedahan non obstetric pada ibu hamil lebih mengutamakan keselamatan dan keamanan ibu dan janin. Meskipun penelitian yang sudah ada belum dapat menyatakan efek teratogenik penggunaan agent anestesi pada manusia namun idealnya bila prosedur operasi elektif dilakukan setelah 6 minggu post partum, seiring dengan perubahan fisiologis telah berlalu dan kesehatan janin tidak menjadi masalah. Bila memungkinkan operasi diundurkan hingga trimester kedua untuk mengurangi resiko teratogenik dan aborsi spontan. Sebelum dilakukan operasi besar dalam kehamilan trimester satu ini seharusnya terjalin kerjasama dengan perinatologist dan obstetric dalam perawatan perioperatif, diagnosis dan pengelolaan kemungkinan persalinan premature. Informed consent kepada keluarga dan pasien perlu dilakukan. Pemberian obat tokolitik sejenis inhibitor prostlagandin satu jam sebelum operasi, obat anti prostlagandin ini memiliki efek menekan inisiasi kontraksi myometrium, sementara efek sampingnya dapat mempengaruhi renal blood flow turun, dan oligihidramnion.
Tehnik balance anestesi menggunakan regional anestesi : Epidural dan General Anestesi : Intubasi untuk mendapatkan tujuan trias anestesi dengan tetap terpelihara kestabilan hemodinamik, stabilitas otonom dan faal homeostasis. Analgesia yang adekuat tanpa menggunakan agen inhalasi N2O dari epidural kontinyu dan relaksasi dari GA.
Pemilihan Tehnik anestesi Epidural diharapkan dapat mengurangi pemakaian obat sistemik yang mampu melewati sawar plasenta dan kondusif bagi perfusi uteroplasenta. Pemilihan agent local anestesi yang dinyatakan paling aman saat ini adalah ropivacaine masuk kategori B menurut FDA.
Pemakaian agent pemeliharaan menggunakan halothane (kategori C) dalam konsentrasi rendah kurang dari 1 % bukan merupakan pilihan yang ideal, lebih baik menggunakan enflurane ataupun sevoflurane ataupun prepofol kontinyu yang sudah masuk kategori B. Kontrol nyeri paska operasi menggunakan katether epidural sangat efektif, karena penderita dapat nyaman, tidak ada keterbatasan dalam gerak nafas.
Seharusnya dilakukan monitoring Fetus dan kontraksi uterus saat di ruang pemulihan untuk mengetahui apakah resiko pajanan agent anestesi telah mempengaruhi kehamilan dan kondisi janin penderita ini.

KESIMPULAN
1. Dasar penatalaksanaan anestesi ibu hamil pada pembedahan non obstetric lebih mengutamakan keselamatan ibu dan janin secara simultan.
2. Berdasarkan hasil penelitian hampir semua cukup aman untuk janin, kecuali penggunaan N2O yang masih kontroversi, tidak ada obat ataupun tehnik anestesi spesifik, seharusnya mengusahakan perfusi jaringan dan oksigenasi dalam batas normal.
3. Pemakaian tehnik regional anestesi akan menberikan keuntungan pembatasan pemakaian obat secara sistemik sehingga mengurangi pajanan pada proses kehamilan.
4. Komunikasi antar sejawat Obsgyn, Bedah, perinatologist dan anestesi mutlak diperlukan. Sekaligus Informed Conzent terhadap keluarga dan penderita mutlak diberikan sehubungan dengan resiko teratogenik dan abortus spontan yang mungkin terjadi.














DAFTAR PUSTAKA

1. Mainzer, Jacob, JR, Awareness, Muscle Relaxants And Balanced Anaesthesia, Canadian Anaesthesia Society Journal, vol. 26. No. 5, September 1979.

2. Braden, H, Dr, Anesthesia And Resucsitation, MCCQE 2000 Review Notes and Lecture Series Dyer, Angela Dr, Balanced Anesthesia, Principious de la Anestesia Balanceada, 2003

3. Atkin son R, Rushman G.B, Alfred Lee, A Synopsis of Anaesthesia Book I, 10th edition, Asian Economy, 1988.

4. Joshi,G.P, Barinholth, Which Anesthesia Regimen is Best, 2002, Department of Anesthesia and Pain Management Unyversity of Texas, Dallas, Texas.

5. Kubitz, J et all, Psychomotor Recovery in Very Old Patients After Total Intravenous or Balanced Anaesthesia for Cataract Surgery, British Journal of Anaesthesia, 2001, Vol. 86, No. 2

6. Norris MC, 2000, Handbook of obstetric anesthesia, Philadephia: Lippincott Williams & Willkins, p: 153-71.

7. Kaswiyan,2002, Penatalaksanaan Anestesi pada Ibu Hamil untuk Pembedahan Non Obstetri, dalam ; 4th Indonesian Symposium and Workshop on Neuroanesthesia,1 th Indonesian Symposium on Obstetric Anesthesia, Bandung, 2002
8. Wahyuningsih. S., 2002, Anesthesi regional untuk pembedahan Caesar, dalam; 4th Indonesian Symposium and Workshop on Neuroanesthesia,1 th Indonesian Symposium on Obstetric Anesthesia, Bandung, 2002


9. Bonica J, 1995, Maternal anatomic and physiologic alteration during pregnancy and parturian, in: Principles and practice of obstetrics analgesia and anesthesia, edited by Bonica and Mc. Donald, 2nd edition, Pensylvania: William and Wilkins, p. 45-80.
10. Depkes RI, 2000, Informatorium obat nasional Indonesia. Jakarta: PT Fajar Interpratama, 2001, hal. 511-30.
11. Morgan GE,Mikhail MS,2002, Clinical Anesthesiology,3rd edition. Lange Medical Book. p.804-818

12. Sadler TW, 1995, Embriologi kedokteran Langman. Alih bahasa: Joko Suyono, penyunting: Suyono, Jakarta: EGC, 1997, hal. 122-43.
13.Heyman HJ, 1996, Anesthesic implications of maternal physiologic changes during pregnancy. In: Physiologic and pharmacologic changes during pregnancy. In :physiologic and pramatologic bases of anesthesia , 3rd edition. Edited by Vincent J Collins. Willams and Willkins, p: 744-50.
14. Covino BG, Scott DB, Lambert DH, 1985, Handbook of Epidural anesthesia and analgesia, WB Saunders
15.Covino BG, Scott DB, Lambert DH, 1994, Handbook of spinal anesthesia and analgesia, WB Saunders.
16.Carpenter RL,Liu S, Neal Jm,1995, Epidural Anesthesia and Analgesia : Their Role in Post Operative Outcome.Review Article.Anesthesiology 82:1474-1506
17. Bailey PL, Egan TD, Stanley TH, 2000, Intravenous opioid anesthetics, Anesthesia, 4thedition. Edited by: Miller RD. New York: Churchill
18. Husain FJ, 1987, Nonobstetric surgery in pregnancy, in: Decision making in anesthesiology, edited by: Breafy LL, Smith RB. Philadepphia: BC Deker Inc, p:114-5
.
Powered By Blogger