Pengikut

Sabtu, 09 Januari 2010

Gagal ginjal akut

Disusun Oleh Mohamad Fikih FK UPN 2004
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Ginjal adalah organ vital yang berperan sangat penting dalam mempertahankan kestabilan lingkungan dalam tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan cairan tubuh, elektrolit dan asam basa dengan menyaring darah yang melalui ginjal, reabsorpsi selektif air, elektrolit, serta mengekskresikan kelebihannya sebagai kemih. Ginjal juga mengeluarkan sampah metabolisme (seperti urea, kreatinin, dan asam urat) dan zat kimia asing. Akhirnya selain fungsi regulasi dan ekskresi, ginjal juga mensekresi renin, Kegagalan ginjal dalam melaksanakan fungsi-fungsi vital ini menimbulkan keadaan yang disebut uremia atau penyakit ginjal stadium akhir (PGSA). 1
Gagal ginjal akut merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasanya dalam beberapa hari) yang menyebabkan azotermia yang berkembang cepat. Laju filtrasi glomerulus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat sebanyakn 0,5 mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya disertai oleh oliguria (keluaran urine <400 ml/hari). kriteria oliguria ini tidak mutlak tapi berkaitan dengan fakta bahwa rata-rata diet orang Amerika mengandung sekitar 600 mOsm zat terlarut. Jika kemampuan pemekatan urine maksimum sekitar 1200 mOsm/L air, maka kehilangan air obligat dalam urine menurun hingga kurang dari 400 ml/hari, pembebanan zat terlar ut tidak dapat dibatasi dan kadar BUN serta kreatinin meningkat. Namun, oliguria bukan merupakan gambaran penting pada ARF. Sepertiga hingga separuh kasus ARF, keluaran urine melebihi 400ml/hari dan dapat mencapai hingga 2 L/hari. Bentuk ARF ini disebut ARF keluaran –tinggi atau non-oligurik. ARF menyebabkan timbulnya gejala dan tanda menyerupai sindrom uremik pada gagal ginjal kronik, yang mencerminkan terjadinya kegagalan fungsi regulasi , ekskresi dan endokrin ginjal. Namun demikian, osteodistrofi ginjal dan anemia bukan merupakan gambaran yang lazim terdapat pada ARF karena awitannya akut.
ARF merupakan sindrom klinis yang sangat lazim terjadi pada sekitar pada sekitar 5% pasien rawat inap dan sebanyak 30% pasien yang dirawat di unit perawatan intensif. Beragam jenis komplikasi yang berkaitan dengan penyakit obat, kehamilan, trauma, dan tindakan bedah dapat menyebabkan ARF. Berlawanan dengan gagal ginjal kronik, sebagian besar pasien ARF biasanya memiliki fungsi ginjal yang sebelumnya normal dan keadaan ini umumnya dapat pulih kembali. Selain kenyataan ini, mortalitas akibat ARF sangat tinggi (sekitar 50%), bahkan dengan ketersediaan pengobatan dialysis, mungkin menunjukkan penyakit kritis yang biasanya turut terkait.

B. Tujuan
Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui persiapan-persiapan yang harus dilakukan terhadap pasien dengan gangguan ginjal sebelum dilakukan operasi karena merupakan faktor resiko tinggi saat operasi.





















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PENILAIAN FUNGSI GINJAL

Salah satu indeks fungsi yang paling penting adalah laju filtrasi glomerulus (GFR). GFR memberi informasi tentang jumlah jaringan ginjal yang berfungsi, salah satu cara yang paling teliti untuk mengukur GFR adalah dengan tes bersihan kreatinin. Kreatinin merupakan hasil akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir konstan dan dieksresikan dalam kemih dengan kecepatan yang sama. Karena itu kadarnya dalam plasma (serum) hampir konstan dan berkisar 0,7 sampai 1,5 per 100 ml ( nilai ini pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, karena otot pria lebih besar). Kreatinin dieksresikan dalam kemih melalui proses filtrasi dalam kemih melalui proses filtrasi dalam glomerulus, tetapi tidak direabsorpsi oleh tubulus bahkan dalam sejumlah kecil disekresikan tubulus terutama bila kadar kreatinin serum tinggi. 3
Konsentrasi kreatinin plasma dan nitrogen urea darah (BUN) juga dapat digunakan sebagai petunjuk laju filtrasi glomerulus. Konsentrasi BUN normal besarnya sekitar 10 sampai 20 mg per 100 ml, sedangkan konsentrasi kreatinin plasma besarnya 0,7 sampai per 100 ml. Kedua zat ini merupakan hasil akhir nitrogen dari metabolisme protein yang normal diekskresikan dalam kemih. Bila GFR turun seperti pada insufiensi ginjal, kadar kreatinin dan BUN plasma meningkat. Keadaan ini dikenal sebagai azotemia (zat nitrogen dalam darah). 3
Beberapa jenis obat-obatan dapat mempengaruhi sekresi kreatinin melalui tubulus yang dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi kreatinin dan penurunan bersihan kreatinin dan penurunan bersihan kreatinin tanpa perubahan LFG.3






Table 32–1. Grouping of Patients According to Glomerular Function.


Creatinine Clearance (mL/min)
Normal 100–120
Decreased renal reserve 60–100
Mild renal impairment 40–60
Moderate renal insufficiency 25–40
Renal failure < 25
End-stage renal disease1
< 10
1This term applies to patients with chronic renal failure.



Namun ada pula sumber yang menyatakan GFR pada mild renal impairment (60-89 mL/min), moderate renal insuffiency (25-40 mL/min), renal failure (15-29 mL/min), dan ESRD (<15 mL/min).1

2 NH3 + CO2 H2N-CO-NH2+ H2O

BUN (BLOOD UREA NITROGEN)
BUN (Blood Urea Nitrogen) oleh karena itu langsung dihubungkan pada katabolisme protein dan berkebalikan dengan filtrasi glomerulus. Sebagai hasil BUN bukanlah indikator yang dapat diandalkan dari GFR, kecuali katabolisme protein normal dan konstan. Lebih dari 40-50% dari filtrate normalnya direabsorpsi pasif oleh renal tubulus. Hipovolemia meningkat pada fraksi ini. 3
Konsentrasi BUN normal adalah 10-20 mg/dl. Nilai tersebut turun dapat dilihat pada permulaan pada penyakit . Nilai tersebut tinggi biasanya hasil dari penurunan GFR atau peningkatan protein katabolisme. Terakhir kemungkinan dapat disebabkan dari keadaan katabolic tinggi, degradation dari darah pada traktus GI atau perdarahan yang luas atau pada peningkatan protein. 3

SERUM KREATININ
Kreatinin merupakan produksi dari metabolisme otot. Produksi kreatinin pada seseorang relatif konstan dan seimbang dengan massa otot, berkisar 20-25 mg/kg pada laki-laki, dan 15-20 mg/kg pada wanita. Kreatinin plasma merupakan indeks GFR yang lebih cermat daripada BUN karena kecepatan produksinya terutama merupakan fungsi dari massa otot yang sedikit sekali mengalami perubahan. Sedangkan BUN terutama dipengaruhi oleh jumlah protein dalam diet dan katabolisme protein.

Figure 32–1.




The relationship between the serum creatinine concentration and the glomerular filtration rate.


BLOOD UREA NITROGEN:CREATININE RATIO
Rata-rata aliran tubular ginjal yang rendah memperbesar reabsorpsi urea namun tidak mempengaruhi kreatinin. Akibatnya, rasio perbandingan BUN dengan kreatinin serum meningkat menjadi di atas 10 : 1. Penurunan aliran tubular dapat disebabkan oleh berkurangnya perfusi ginjal atau obstruksi pada traktus urinarius. Oleh karena itu, rasio BUN : kreatinin lebih dari 15 : 1 tampak pada penurunan volume dan pada penyakit edematus yang berkaitan dengan penurunan aliran tubular (misalnya, gagal jantung, sirosis, sindroma nefrotik) dan juta pada uropati obstruktif. Peningkatan katabolisme protein juga dapat meningkatkan rasio ini. 3

KLIRENS KREATININ
Penilaian klirens kreatinin adalah metode yang sangat akurat untuk menilai seluruh gagal ginjal secara klinis (GFR). Meskipun penilaian biasanya dilakukan dalam waktu sekitar 24 jam, namun determinasi klirens kreatinin 2 jam cukup akurat dan lebih mudah dilakukan. Kerusakan ginjal ringan umumnya mengakibatkan klirens kreatinin 40–60 ml/menit. Klirens antara 25 – 40 ml/menit menghasilkan disfungsi ginjal sedang dan hampir selalu menyebabkan simptom. Klirens kreatinin kurang dari 25 ml/menit adalah indikasi nyata untuk gagal ginjal. 3
Penyakit gagal ginjal progresif memperluas sekresi kreatinin di dalam tubula proksimal. Akibatnya, dengan penurunan fungsi ginjal, klirens kreatinin secara progresif melakukan estimasi berlebihan terhadap nilai GFR yang sebenarnya. Selain itu, penjagaan GFR relatif dapat terjadi di awal perjalanan penyakit ginjal progresif yang disebabkan oleh kompensasi hiperfiltrasi di dalam nefron dan meningkatkan tekanan filtrasi glomerular. Oleh karena itu penting untuk mencari tanda-tanda lain pada pemburukan fungsi ginjal, seperti hipertensi, proteinuria, atau abnormalitas-abnormalitas lain di dalam sedimen urin. 3

URINALISIS
Urinalisis terus menjadi tes rutin yang paling sering dilakukan untuk mengevaluasi fungsi ginjal. Meskipun manfaat untuk tujuan tersebut masih menjadi persoalan, namun urinalisis dapat membantu mengidentifikasi beberapa gangguan disfungsi tubular ginjal sebagaimana juga pada beberapa gangguan nonrenal. Urinalisis rutin secara tipikal meliputi pH, gravitasi spesifik, deteksi dan hitung glukosa, protein, dan kandungan bilirubin, dan pemeriksaan mikroskopik terhadap sedimen urin. pH urin hanya bermanfaat jika pH arteri diketahui. pH urin lebih besar dari 7,0 dengan asidosis sistemik menunjukkan adanya asidosis tubular ginjal. Gravitasi spesifik berkaitan dengan osmolalitas urin; 1.010 biasanya berhubungan dengan 290 mOsm/kg. Gravitasi spesifik lebih besar dari 1.018 setelah puasa selama satu malam adalah indikatif untuk kemampuan konsentrasi ginjal yang adekuat. Gravitasi spesifik yang rendah dengan adanya hiperosmolalitas di dalam plasma adalah konsisten dengan diabetes insipidus. 3
Glikosuria adalah akibat dari baik itu ambang tubular terhadap glukosa yang rendah (normal 180 mg/dl) ataupun hiperglikemia. Proteinuria yang terdeteksi oleh urinalisis rutin dievaluasi berdasarkan koleksi urin 24 jam. Ekskresi protein urin lebih besar dari 150 mg/hari adalah signifikan. Level bilirubin di dalam urin yang terelevasi tampak bersama-sama dengan obstruksi bilier. 3
Analisis mikroskopik sedimen urin mendeteksi adanya sel darah merah atau putih, bakteria, cast, dan kristal. Sel darah merah mengindikasikan perdarahan yang disebabkan oleh tumor, batu, indeksi, koagulopati, atau trauma. Sel darah putih dan bakteri umumnya berkaitan dengan infeksi. Proses penyakit pada tingkat nefron menghasilkan casts. Kristal mengindikasikan abnormalitas pada asam oksalat, asam urik, atau metabolisme cystine. 3

B. PERUBAHAN FUNGSI GINJAL DAN EFEK OBAT ANESTESI
Sebagiaan besar obat yang biasa diberikan pada saat anestesi paling tidak sebagian berdasarkan pada ekskresi ginjal untuk eliminasi. Dengan terjadinya kerusakan ginjal, diperlukan modifikasi dosis untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Kemudian, efek sistemik azotemia dapat berpotensi aksi farmakologis pada beberapa obat ini. Observasi yang terakhir tersebut dapat mengakibatkan penurunan ikatan protein pada obat, penetrasi otak yang lebih besar oleh karena beberapa penerobosan terhadap penghalang darah otak, atau efek sinergis dengan toksin yang dipertahankan pada gagal ginjal. 3


AGEN-AGEN INTRAVENA
Propofol & Etomidate
Farmakokinetik propofol dan etomidate tidak secara signifikan dipengaruhi oleh gagal ginjal. Penurunan ikatan protein etomidate pada pasien dengan hipoalbuminemia dapat memperluas efek farmakologis.4

Barbiturat
Pasien dengan penyakit ginjal seringkali menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap barbiturat selama induksi, bahkan meskipun profil farmakokinetik tampak tidak berubah. Mekanisme tampak meningkat pada barbiturat yang bersirkulasi bebas sebagai akibat dari ikatan protein yang menurun. Asidosis juga lebih cepat memasukkan obat ini ke dalam otak dengan meningkatkan fraksi nonionisasi obat.3

Ketamine
Farmakokinetik ketamine secara minimal diubah oleh penyakit ginjal. Beberapa metabolit hepatik aktif tergantung kepada ekskresi ginjal dan secara potensial dapat terakumulasi pada gagal ginjal. Efek hipertensif sekunder dari ketamine tidak dianjurkan untuk pasien ginjal hipertensif.3

Benzodiazepine
Benzodiazepine mengalami konjugasi dan metabolisme hepatik terutama untuk eliminasi di dalam urin. Karena sebagian besar memiliki ikatan protein yang tinggi, maka peningkatan sensitivitas akan terlihat pada pasien dengan hipoalbuminemia. Diazepam dapat digunakan secara hati-hati jika ada kerusakan ginjal, karena adanya potensi akumulasi metabolit aktif.3

Opioid
Kebanyakan opioid sekarang yang digunakan pada manajemen anestesi (morfin, meperidine, fentanyl, sufentanil, dan alfentanil) mengalami inaktivasi oleh liver; beberapa metabolit ini kemudian diekskresi di dalam urin. Farmakokinetik remifentanil tidak dipengaruhi oleh fungsi ginjal oleh karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah. Dengan perkecualian morfin dan meperidine, akumulasi metabolit aktif yang signifikan tidak terjadi dengan agen ini. Akumulasi metabolit morfin (morphine-6-glucuronide) dan meperidine telah dilaporkan memperpanjang depresi respirasi pada beberapa pasien dengan gagal ginjal. Peningkatan level normeperidine, sebuah metabolit meperidine, adalah berkaitan dengan seizure. Farmakokinetik opioid agonis-antagonis yang paling sering digunakan (butorphanol, nalbuphine, dan buprenorphine) tidak dipengaruhi oleh gagal ginjal.4

Agen antikolinergik
Dosis yang digunakan untuk premedikasi, atropine dan glikopirolat umumnya dapat digunakan secara aman pada pasien dengan kerusakan ginjal. Karena 50% obat ini dan metabolit aktifnya secara normal diekskresi di dalam urin, oleh karena itu terdapat potensi akumulasi pada dosis ulangan. Scopolamine kurang tergantung pada ekskresi ginjal, namun efek sistem saraf pusat dapat diperluas oleh azotemia.3

Phenothiazine, H2 blocker & agen-agen yang berkaitan
Kebanyakan phenothiazine, seperti promethazine, dimetabolisasi menjadi komposisi inaktif oleh liver. Meskipun profil famakokinetik tidak cukup besar untuk dirubah oleh kerusakan ginjal, namun potensi efek depresan sentralnya oleh azotemia dapat terjadi. Aksi antiemetiknya bermanfaat pada nausea preopratif. Droperidol sebagian bergantung pada ekskresi ginjal. Meskipun akumulasi dapat terlihat setelah pemberian dosis besar pada pasien dengan kerusakan ginjal, namun pemberian dosis yang relatif kecil droperidol (<2,5 mg) biasanya secara klinis bermanfaat.3
Semua H2-receptor blocker sangat tergantung kepada ekskresi ginjal. Metoclopramide sebagian tidak berubah pada saat diekskresi di dalam urin, tidak ada dosis yang cocok untuk direkomendasikan dari 5-HT3 blocker pada pasien dengan insufisiensi ginjal. 3

AGEN-AGEN INHALASI
Agen-agen volatile
Agen-agen anestetik volatile adalah agen yang mendekati ideal untuk pasien dengan disfungsi ginjal, karena kurang tergantung pada ginjal untuk eliminasinya, kemampuannya untuk mengontrol tekanan darah, dan umumnya memiliki efek langsung minimal terhadap aliran darah ginjal. Meskipun pasien dengan kerusakan ginjal ringan sampai sedang tidak menunjukkan perubahan cepat atau perubahan distribusi, namun percapatan induksi dan kemunculannya dapat terlihat pada pasien dengan gagal ginjal kronik anemik berat (hemoglobin) <5 g/dl); observasi ini dapat dijelaskan dengan penurunan di dalam darah: koefisien partisi gas atau penurunan konsentrasi alveolar minimum. Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran gas < 2 l/menit) dianggap tidak sesuai untuk pasien dengan penyakit ginjal yang menjalani prosedur yang lama karena adanya potensi akumulasi fluoride.5

Nitrous oksida
Kebanyakan dokter menghilangkan atau membatasi penggunaan nitrous oksida sampai 50% pada pasien dengan gagal ginjal dalam upaya untuk menurunkan kandungan oksigen arterial pada anemia. Alasan ini dapat dibenarkan jika pada beberapa pasien anemik berat (hemoglobin <7 g/dl), terjadi peningkatan meskipun kecil pada kandungan oksigen dissolve yang menunjukkan persentase perbedaan oksiden dari arteri sampai dengan vena yang signifikan.3


RELAKSAN OTOT
Succinylcholine
Succinylcholine dapat aman digunakan pada gagal ginjal, konsentrasi potassium serum diketahui kurang dari 5 mEq/l pada saat induksi. Jika potassium serum lebih tinggi atau meragukan, maka harus digunakan relaksan otot nondepolarisasi. Meskipun penurunan level pseudocholinesterase telah dilaporkan terjadi pada beberapa pasien uremik setelah dialisis, namun jarang terlihat perpanjangan blokade muskular.6

Cisatracurium, atracurium & mivacurium
Mivacurium secara minimal tergantung pada ginjal untuk eliminasi. Pemanjangan efek secara minor dapat diobservasi oleh karena berkurangnya pseudocholinesterase plasma. Cisatracurium dan atracurium terdegradasi di dalam plasma oleh hidrolisis ester enzimatik dan eliminasi Hofmann nonenzimatik. Agen-agen ini merupakan obat-obat pilihan untuk relaksasi otot pada pasien dengan gagal ginjal.3



Vecuronium & rocuronium
Eliminasi rocuronium terutama hepatik, tetapi lebih dari 20% obat dieliminisasi di dalam urin. Efek dosis vecuronium yang besar (>0,1 mg/kg) hanya diperpanjang pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Rocuronium terutama menjalani eliminasi hepatik, namun dilaporkan terjadi perpanjangan oleh penyakit ginjal berat. 3

Curare
Eliminasi curare tergantung dari ekskresi ginjal dan bilier; 4060% dosis curare secara normal diekskresi di dalam urin. Efek memanjang yang semakin meningkat diobservasi setelah pemberian dosis ulang pada pasien dengan kerusakan ginjal yang signifikan. Dosis yang lebih kecil dan interval dosis yang lebih lama diperlukan untuk pemeliharaan relaksasi otot yang optimal. 3

Pancuronium, pipecuronium, alcuronium & doxacurium
Agen-agen ini seluruhnya tergantung kepada ekskresi ginjal (60–90%). Meskipun pancuronium dimetabolisir oleh liver menjadi intermedier yang kurang aktif, namun eliminasi paruh waktu tetap tergantung terutama kepada ekskresi ginjal (60–80%). Fungsi neuromuskular harus dimonitor secara hati-hati jika agen-agen ini digunakan pada pasien dengan fungsi ginjal abnormal. 3

Metocurine, gallamine & decamethonium
Semua tiga agen ini hampir seluruhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi dan harus dihindari untuk pasien dengan kerusakan fungsi ginjal. 3

Agen-agen reversal
Ekskresi ginjal adalah jalur eliminasi utama untuk endrophonium, neostigmine, dan pyridostigmine. Paruh waktu agen-agen ini pada pasien dengan kerusakan ginjal diperpanjang paling tidak sama dengan relaksan di atas. Problem-problem dengan reversal blokade neuromuskular yang inadekuat biasanya berhubungan dengan faktor-faktor lain. 3

C. ANESTESI UNTUK PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL
PERTIMBANGAN PREOPERATIF
Gagal ginjal akut
Sindroma ini adalah pemburukan fungsi ginjal secara cepat yang mengakibatkan retensi produk-produk sisa nitrogen (azotemia). Substansi-substansi ini, beberapa diantaranya diketahui sebagai toksin, adalah produk sampingan dari metabolisme protein dan asam amino. Produk ini meliputi urea, komposisi guanidine (termasuk kreatinin dan kreatin), urate, aliphatic amine, dan berbagai peptid dan metabolit asam amino aromatik. Kerusakan metabolisme ginjal pada sirkulasi protein dan peptid juga ikut berperan dalam penyebaran disfungsi organ.7
Berdasarkan penyebabnya azotemia dapat dibagi menjadi tipe prerenal, renal, dan postrenal. Azotemia prerenal merupakan akibat dari penurunan akut pada perfusi ginjal. Azotemia renal biasanya disebabkan oleh penyakit ginjal intrinsik, iskemia ginjal, atau nefrotoksin. Azotemia postrenal adalah akibat dari kerusakan atau obstruksi traktus urinarius. Azotemia prerenal dan postrenal keduanya pada stadium awal cepat reversibel tetapi lama kelamaan berprogresi menjadi azotemia renal. Kebanyakan pasien dewasa dengan gagal ginjal berkembang oliguria. Pasien-pasien nonoligurik (dengan output urin >400 ml/hari) terus menerus membentuk urin yang secara kualitatif buruk; para pasien ini cenderung memiliki pemeliharaan GFR yang lebih besar. Meskipun filtrasi glomerulus dan fungsi tubular dalam dua kasus tersebut mengalami kerusakan, namun abnormalitasnya cenderung tidak begitu berat pada gagal ginjal nonoligurik. 7
Perjalanan penyakit gagal ginjal akut secara luas bervariasi, namun oliguria secara tipikal berhenti setelah 2 minggu dan diikuti dengan fase diuretik yang ditandai dengan peningkatan progresif pada output urin. Fase diuretik seringkali mengakibatkan output urin yang sangat banyak dan biasanya tidak terjadi pada gagal ginjal nonoligurik. Fungsi urinary membaik setelah perjalanan penyakit beberapa minggu namun tidak dapat kembali normal sampai di atas 1 tahun. 7



Gagal ginjal kronik
Sindrom ini ditandai oleh penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversibel setelah perjalanan penyakit 3–6 bulan. Penyebab yang paling sering adalah nefrosklerosis hipertensif, nefropati diabetik, glomerulonefritis kronik, dan penyakit renal polikistik.8
Manifestasi keseluruhan sindrom ini seringkali berkaitan dengan uremia hanya tampak setelah penurunan GFR di bawah 25 ml/menit. Pasien dengan klirens di bawah 10 ml/menit (sering dikatakan memiliki penyakit ginjal stadium akhir) tergantung pada dialisis untuk bertahan sampai mereka menerima transplantasi. Dialisis dapat berbentuk hemodialisis intermiten dengan melakukan dialisis fistula arteriovena atau dialisis perineal terus menerus melalui kateter terpasang.8
Efek umum uremia biasanya dapat dikontrol dengan dialisis. Bahkan beberapa pasien yang menerima dialisis sehari pada umumnya merasa seluruhnya normal dan tidak terjadi diskolorisasi yang berhubungan dengan penyakit ginjal stadium akhir dan dialisis. Sebagian besar pasien menjalani dialisis 3 kali seminggu. Lama kelamaan beberapa komplikasi uremik dapat menjadi refraksi. Selanjutnya, beberapa komplikasi secara langsung berkaitan dengan dialisis itu sendiri. Hipotensi, neutropenia, hipoksemia, dan sindrom disequilibrium umumnya bersifat sementara dan reda dalam waktu beberapa jam setelah dialisis. Faktor-faktor yang ikut berperan dalam hipotensi selama dialisis meliputi efek vasodilatasi dari larutan dialisat asetat, neuropati otonom, dan pergantian cairan secara cepat. Interaksi sel darah putih dengan membran dialisis yang berasal dari cellophane dapat mengakibatkan neutropenia dan disfungsi pulmonary dengan perantaraan leukosit yang menimbulkan hipoksemia. Sindrom disequilibrium ditandai dengan simtom-simtom neurologis sementara yang muncul berkaitan dengan penurunan osmolalitas ekstraseluler yang lebih cepat daripada osmolalitas intraseluler.3

Manifestasi Gagal Ginjal
• Metabolik
Abnormalitas metabolik multipel, meliputi hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalemia, hipermagnesemia, hiperurikemia, dan hipoalbuminemia secara tipikal terjadi pada pasien dengan gagal ginjal yang nyata. Retensi air dan sodium dapat mengakibatkan perburukan hiponatremia dan overload cairan ekstraseluler. Kegagalan mengekskresi asam nonvolatile menghasilkan asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi. Hipernatremia dan hipokalemia adalah komplikasi yang tidak biasa terjadi.3
Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling berbahaya karena efeknya terhadap jantung. Ini biasanya terjadi pada pasien dengan klirens kreatinin kurang dari 3 ml/menit, namun dapat berkembang cepat pada pasien dengan klirens yang lebih tinggi jika dilawankan dengan muatan potassium yang besar (trauma, hemolisis, infeksi, atau potassium).3
• Hematologis
Anemia hampir selalu ada jika klirens kreatinin di bawah 30 ml/menit. Konsentrasi hemoglobin umumnya 6–8 g/dl. Penurunan produksi erithropoietin, penurunan produksi sel darah merah, dan penurunan ketahanan sel diperkirakan sebagai yang bertanggung jawab. Faktor-faktor tambahan meliputi kehilangan darah gastrointestinal, hemodilution, dan supresi sumsum tulang dari infeksi yang kambuh. Konsentrasi hemoglobin lebih dari 9 g/dl sulit dipertahankan, bahkan dengan transfusi sekalipun. Pemberian erithropoietin setidaknya dapat memperbaiki anemia. Peningkatan level 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) berkembang untuk merespon penurunan kemampuan membawa oksigen. Asidosis metabolik pada kurva disosiasi oksigen-hemoglobin juga bergeser ke arah kanan. Tanpa adanya penyakit jantung simtomatik, sebagian besar pasien dapat mentoleransi anemia. 3
Fungsi sel darah putih dan platelet menjadi rusak pada pasien dengan gagal ginjal. Secara klinik, ini dimanifestasikan sebagai perpanjangan waktu perdarahan dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Sebagian besar pasien telah mengalami penurunan aktifitas platelet faktor III dan juga perlengketan platelet dan agregasi. Para pasien yang sekarang menjalani hemodialisis juga mengalami efek residual antikoagulan dari heparin.3
• Kardiovaskular
Cardiac output cenderung meningkat pada gagal ginjal untuk mempertahankan kebutuhan oksigen disamping penurunan kapasitas membawa oksigen. Retensi sodium dan abnormalitas pada sistem renin-angiotensin mengakibatkan hipertensi arterial sistemik. Hipertrofi ventrikel kiri adalah temuan umum pada gagal ginjal kronik. Overload cairan ekstraseluler dari retensi sodium—bersama-sama dengan peningkatan kebutuhan oleh anemia dan hipertensi—menyebabkan pasien ini cenderung mudah terkena gagal jantung kongestif dan edema pulmonary. Peningkatan permeabilitas membran alveolar-kapiler juga menjadi faktor predisposisi. Blok konduksi bukan tidak biasa dan mungkin oleh karena deposisi kalsium di dalam sistem konduksi. Aritmia umum terjadi dan sebagian berhubungan dengan abnormalitas metabolik. Perikarditis uremik dapat berkembang pada beberapa pasien; para pasien dapat asimtomatik, yang muncul dengan nyeri dada, atau dapat berkembang menjadi tamponade kardiak. Secara karakteristik, pasien dengan gagal ginjal kronik juga mengembangkan percepatan vaskuler perifer dan penyakit arteri koroner.9
Penurunan volume intravaskular dapat terjadi selama fase diuretik pada gagal ginjal akut jika pergantian cairan tidak adekuat. Hipovolemia juga berkembang jika terlalu banyak cairan yang dipindahkan selama dialisis. 9
• Pulmonary
Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, mungkin pasien tergantung pada peningkatan in minute ventilation untuk mengkompensasi asidosis metabolik. Cairan ekstravaskular pulmonary seringkali meningkat dalam bentuk edema interstisial, mengakibatkan pelebaran alveolar sampai gradien oksigen arterial dan mempredisposisi hipoksemia. Peningkatan permeabilitas membran alveolar-kapiler pada beberapa pasien dapat mengakibatkan edema pulmonary bahkan pada tekanan kapiler pulmo normal; gambaran karakteristik yang mirip “sayap kupu-kupu” dapat terlihat pada foto dada. 3
• Endokrin
Toleransi glukosa yang abnormal adalah karakteristik gagal ginjal dan diperkirakan sebagai akibat dari resistensi perifer terhadap insulin; oleh karena itu pasien seringkali membawa muatan glukosa yang besar. Hiperparatiroidisme sekunder pada pasien dengan gagal ginjal kronik dapat menghasilkan penyakit tulang metabolik, yang mungkin mempredisposisi fraktur. Abnormalitas pada metabolisme lipid seringkali menimbulkan hipertrigliseridemia dan mungkin ikut berperan dalam akselerasi atherosklerosis. Tampak peningkatan level sirkulasi protein dan polipeptid yang secara normal terdegradasi di dalam ginjal; ini meliputi hormon paratiroid, insulin, glukagon, hormon pertumbuhan, luteneizing hormone, dan prolaktin. 3
• Gastrointestinal
Anoreksia, nausea, vomitus, dan ileus adinamis umumnya berkaitan dengan azotemia. Hipersekresi asam lambung meningkatkan insidensi ulserasi peptik dan perdarahan gastrointestinal, yang terjadi pada 10–30% pasien. Pengosongan gastrik yang terlambat sekunder terhadap neuropati otonom pada beberapa pasien dapat mempredisposisi aspirasi perioperatif. Pasien dengan gagal ginjal kronik juga memiliki insidensi hepatitis virus (tipe B dan C) yang tinggi, seringkali diikuti dengan disfungsi hepatik residual. 3
• Neurologis
Asterixis, letargi, gelisah, seizure dan koma adalah manifestasi dari ensefalopati uremik. Simtom-simtom umumnya berkorelasi dengan derajat azotemia. Neuropati otonom dan neuropati perifer biasa terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Neuropati perifer secara tipikal sensorik dan melibatkan ekstremitas bawah distal. 3


EVALUASI PREOPERATIF
Efek umum azotemia mandorong evaluasi menyeluruh terhadap pasien dengan gagal ginjal. Sebagian besar pasien dengan gagal ginjal akut yang membutuhkan pembedahan adalah dalam keadaan sakit kritis. Gagal ginjal mereka seringkali berkaitan dengan komplikasi postoperatif atau trauma postoperatif. Pasien dengan gagal ginjal akut juga cenderung mengalami serangan akselerasi protein. Manajemen perioperatif yang optimal tergantung dari dialisis preoperatif. Hemodialisis lebih efektif dibandingkan dialisis perineal dan dengan cepat dikerjakan melalui kateter dialisis jugular internal temporer, subclavian, atau femoral. Kebutuhan terhadap dialisis pada pasien-pasien nonoligurik dapat diakses berdasarkan basis individual. 3
Pasien dengan gagal ginjal kronik paling sering masuk ke ruang operasi karena pembuatan atau revisi fistula arteriovena dengan anestesi lokal atau regional. Tanpa melihat prosedur atau pekerjaan anestesi, diperlukan evaluasi lengkap untuk memastikan bahwa mereka berada dalam kondisi medis yang optimal; manifestasi uremia yang reversibel harus dikontrol. Dialisis preoperatif pada hari pembedahan atau sehari sebelumnya biasanya dibutuhkan. 3
Evaluasi fisik dan laboratorium harus terfokus pada fungsi kardiak dan respirasi. Tanda-tanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat dilihat. Penurunan volume intravaskular seringkali sebagai akibat dari dialisis overzealous. Perbandingan berat badan pasien sekarang dengan sebelum predialisis dan postdialisis dapat membantu. Data hemodinamika, jika ada, dan foto dada sangat bermanfaat untuk konfirmasi gambaran klinis. Analisis gas darah arteri bermanfaat untuk mendeteksi hipoksemia dan mengevaluasi status dasar asam pada pasien yang mengeluh atau tampak memiliki dispnea. Elektrokardiogram harus diperiksa secara hati-hati terhadap tanda-tanda adanya hiperkalemia atau hipokalsemia sebagaimana juga iskemia, blok konduksi, dan hipertrofi ventrikel. Ekokardiografi dapat bermanfaat untuk menilai fungsi kardiak pada pasien yang menjalani prosedur bedah major karena dapat mengevaluasi fraksi ejeksi ventrikel dan juga mendeteksi dan menghitung hipertrofi, abnormalitas gerakan dinding, dan cairan perikardial. Friction rub (gesekan) mungkin tidak terdengar pada auskultasi pada pasien dengan effusi perikardial. 3
Transfusi sel darah merah preoperatif umumnya harus diberikan hanya untuk pasien anemik berat (hemoglobin <6–7 g/dl) atau jika kehilangan darah intraopratif signifikan. Waktu perdarahan dan studi koagulasi disarankan, terutama jika dipertimbangkan anestesi regional. Penilaian elektrolit serum, BUN dan kreatinin dapat menilai keadekuatan dialisis. Penilaian glukosa bermanfaat untuk mengevaluasi potensi yang diperlukan untuk terapi insulin perioperatif. 3
Terapi obat preoperatif secara hati-hati harus dilihat kembali untuk obat-obatan dengan eliminasi ginjal yang signifikan. Penyesuaian dosis dan pengukuran level darah (jika ada) diperlukan untuk mencegah toksisitas obat. 3

PREMEDIKASI
Waspada pasien relatif stabil dapat diberikan penurunan dosis opioid atau benzodiazepine. Promethazine, 12,5–25 mg i.m, bermanfaat membantu sedasi tambahan dan karena sifat entiemetiknya. Aspirasi profilaksis dengan H2 blocker diindikasikan bagi pasien dengan neusea, vomitus, atau perdarahan gastrointestinal. Metoclopramide, 10 mg oral atau i.v perlahan-lahan, dapat bermanfaat untuk mempercepat pengosongan lambung, pencegahan nausea dan mengurangi resiko aspirasi. Medikasi preoperatif—terutama obat-obatan antihipertensif—harus dilanjutkan sampai saat operasi. 3


PERTIMBANGAN INTRAOPERATIF
Monitoring
Prosedur bedah dan juga keadaan umum pasien mengharuskan adanya peralatan monitoring. Karena adanya bahaya oklusi, tekanan darah harus dinilai dengan sebuah mangkuk di atas lengan fistula arteriovena. Monitoring intraarterial, vena sentral, dan arteri pulmonary seringkali diindikasikan, terutama pada pasien yang menjalani prosedur yang berhubungan dengan pergeseran cairan major; volume intravaskular seringkali sukar dinilai berdasarkan tanda-tanda klinis saja. Monitoring langsung tekanan darah intraarterial juga dapat diindikasikan pada pasien hipertensif dengan kontrol yang buruk tanpa melihat prosedurnya. Monitoring invasif agresif diindikasikan terutama pada pasien diabetik dengan penyakit ginjal lanjut yang menjalani operasi major; kelompok pasien ini mungkin memiliki 10 kali lipat morbiditas perioperatif daripada pasien diabetik tanpa penyakit ginjal. Yang terakhir tersebut kemungkinan mencerminkan tingginya insidensi komplikasi kardiovaskular pada kelompok pertama. 3


Induksi
Pasien dengan nausea, vomitus, atau perdarahan gastrointestinal seharusnya menjalani induksi sekuel cepat dengan tekanan cricoid. Dosis obat induksi harus dikurangi untuk pasien yang sakit kritis atau pasien yang lemah. Thiopental, 2–3 mg/kg, atau propofol, 1–2 mg/kg seringkali digunakan. Etomidate, 0,2–0,4 mg/kg, sesuai untuk pasien dengan hemodinamika yang kurang stabil. Opioid, beta blocker (esmolol), atau lidocaine dapat digunakan untuk menghambat respon hipertensif terhadap intubasi. Succinylcholine, 1,5 mg/kg dapat digunakan untuk intubasi indotrakeal jika potassium serum kurang dari 5 mEq/l. Rocuronium (0,6 mg/kg), cisatracurium (0,15 mg/kg), atracurium (0,4 mg/kg), atau mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan untuk intubasi pasien dengan hiperkalemia. Atracurium pada dosis ini pada umumnya menyebabkan pelepasan sedikit histamin. Vecuronium 0,1 mg/kg, adalah alternatif yang sesuai, namun beberapa perpanjangan efeknya harus diwaspadai. Penggunaan masker udara laringeal, jika cocok, biasanya menghindarkan respon simpatik (hipertensif) yang eksesif kadang-kadang berhubungan dengan intubasi dan perlu untuk paralisis otot. 3

Pemeliharaan
Teknik pemeliharaan ideal harus dapat mengontrol hipertensi dengan efek minimal terhadap cardiac output, karena peningkatan cardiac output adalah mekanisme kompensasi prinsipal untuk anemia. Anestetik volatile, oksida nitrit, propofol, fentanil, sufentanil, alfentanil, remifentanil, hidromorfone, dan morfine umumnya dianggap sebagai obat-obatan pemeriksaan yang memuaskan. Isoflurane dan desflurane adalah obat volatile (mudah menguap) yang sesuai karena memiliki efek yang paling sedikit terhadap cardiac output. Nitrit oksida harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel yang buruk dan mungkin tidak dapat digunakan untuk pasien dengan konsentrasi hemoglobin yang sangat rendah (<7 gr/dl) agar dapat diberikan oksigen 100%. Meperidine mungkin bukan pilihan yang baik karena akumulasi normeperidine. Morfin dapat digunakan, namun beberapa pemanjangan efeknya harus diperhatikan. 3
Ventilasi terkontrol harus dipertimbangkan untuk pasien dengan gagal ginjal. Ventilasi spontan inadekuat dengan hipercarbia progresif di bawah anestesi dapat mengakibatkan asidosis respirasi yang dapat mengeksaserbasi asidemia terdahulu, sehingga secara potensial menimbulkan depresi sirkulasi berat, dan bahaya peningkatan konsentrasi potassium serum. Alkalosis respirasi mungkin juga dapat merusak karena pergeseran disosiasi kurva hemoglobin ke arah kiri, dapat mengeksaserbasi hipokalsemia terdahulu, dan mungkin dapat mereduksi aliran darah serebral. 3

Terapi cairan
Operasi superfisial yang melibatkan trauma jaringan minimal memerlukan penggantian kehilangan cairan dengan 5% dextrose dalam air. Prosedur yang berhubungan dengan kehilangan cairan major atau pergeseran memerlukan kristaloid isotonik, koloid, atau keduanya. Injeksi Ringer Laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemik jika diperlukan volume cairan yang banyak, karena mengandung potassium (4 mEq/l); dapat digunakan saline normal. Larutan bebas glukosa umumnya dapat digunakan karena intoleransi glukosa berhubungan dengan uremia. Darah yang hilang umumnya diganti dengan paket sel darah merah. Transfusi darah baik tidak memiliki efek ataupun yang bermanfaat bagi pasien dengan gagal ginjal yang merupakan kandidat untuk transplantasi ginjal; pada beberapa pasien transfusi dapat mengurangi kemungkinan penolakan setelah transplantasi ginjal. 8

D. ANESTESI UNTUK PASIEN DENGAN KERUSAKAN GINJAL RINGAN SAMPAI SEDANG

PERTIMBANGAN PREOPERATIF
Dalam batas normal, ginjal memperlihatkan fungsi cadangan yang besar. GFR, sebagaimana ditentukan oleh klirens kreatinin, dapat berkurang dari 120 sampai dengan 60 ml/menit tanpa perubahan yang dapat diamati secara klinis di dalam fungsi ginjal. Bahkan pasien dengan klirens kreatinin 40–60 ml/menit biasanya asimtomatik. Para pasien ini hanya mengalami kerusakan ginjal ringan namun harus tetap dipikirkan sebagai penurunan reservasi ginjal. Penekanan di dalam perawatan pasien ini adalah preservasi fungsi ginjal yang tersisa, yang terbaik dikerjakan dengan mempertahankan normovolemia. 3
Jika klirens kreatinin mencapai 25–40 ml/menit, kerusakan ginjalnya adalah kerusakan sedang, dan pasien dikatakan memiliki insufisiensi ginjal: selalu terjadi azotemia signifikan dan biasa terjadi hipertensi dan anemia. Manajemen anestetik yang benar pada kelompok pasien ini sama kritisnya dengan manajemen pasien dengan gagal ginjal yang nyata. Yang terakhir terutama benar selama prosedur yang berhubungan dengan insidensi gagal ginjal postoperatif yang relatif tinggi, seperti operasi rekonstruksi cardiac dan aortik. Penurunan volume intravaskular, sepsis, obstruksi jaundice, cedera tumbuk, injeksi contrast dye terbaru, dan aminoglikosida, terapi inhibitor enzim yang merubah angiotensin, atau terapi obat antiinflamasi non steroid adalah faktor-faktor resiko major tambahan untuk kerusakan akut pada fungsi ginjal. Hipovolemia tampak menjadi faktor yang penting dalam perkembangan gagal ginjal akut postoperatif. Penekanan pada manajemen pasien ini adalah pencegahan, karena rata-rata mortalitas gagal ginjal postoperatif adalah sebesar 50–60%. 3
Profilaksis melawan gagal ginjal dengan generous hydration bersama-sama dengan solute diuresis tampak efektif dan diindikasikan pada pasien yang menjalani rekonstruksi cardiac, aortik major resiko tinggi, dan prosedur pemberian yang lain. Mannitol (0,5 g/kg) umumnya diberikan dan harus dimulai sebelum atau pada saat induksi. Meskipun kontroversial, efek manfaat manitol tampaknya berkaitan dengan solute diuresis daripada sifat antioksidannya. Cairan intravena harus diberikan secara bersama untuk mencegah penurunan volume intravaskular. Infus intravena fenoldopam atau dopamine dosis rendah dapat meningkatkan aliran darah ginjal dan membantu diuresis melalui aktivasi vasodilator D1-reseptor di dalam vakulatur ginjal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fenoldopam, tidak seperti dopamine, dapat membantu perbaikan fungsi ginjal selama operasi aortik. Dosis kecil loop diuretic biasanya diperlukan untuk membantu mempertahankan diuresis, mempertahankan output urin yang adekuat, dan mencegah kelebihan cairan. 3


PERTIMBANGAN INTRAOPERATIF
Monitoring
Pengawasan standar yang digunakan untuk prosedur yang melibatkan kehilangan cairan minimal. Untuk operasi yang berkaitan dengan kehilangan cairan atau kehilangan darah yang signifikan, monitoring output urin dan volume intravaskular setiap jam adalah hal yang kritis. Meskipun output urin yang adekuat tidak menjamin perbaikan fungsi ginjal, namun biasanya diharapkan output urin lebih dari 0,5 ml/kg/jam. Monitoring tekanan arterial juga diharapkan jika perubahan cepat terjadi pada tekanan darah, seperti pada pasien hipertensif dengan kontrol yang buruk dan pada pasien yang menjalani prosedur yang berkaitan dengan perubahan kasar pada preload atau afterload cardiac. 3

Induksi
Pemilihan agen induksi tidak sekritis volume intravaskular yang adekuat terutama untuk induksi. Induksi anestesi pada pasien dengan insufisiensi ginjal seringkali mengakibatkan hipotensi jika terdapat hipovolemia. Kecuali kalau diberikan vasoprosesor, secara tipikal hipotensi hanya berhenti setelah intubasi atau stimulasi bedah. Perfusi ginjal, yang sudah mendapatkan bahaya dari hipovolemia, selanjutnya memburuk, pertama sebagai akibat dari hipotensi dan kemudian dari vasokonstriksi ginjal yang diperantarai secara simpatik atau farmakologik. Jika diabaikan, penurunan perfusi ginjal dapat ikut berperan pada kerusakan ginjal postoperatif. Hidrasi preoperatif biasanya mencegah sekuel kejadian ini. 3

Pemeliharaan
Seluruh agen pemeliharaan dapat diterima dengan perkecualian sevoflurane diberikan dengan aliran gas rendah (<2 l/menit). Meskipun enflurane dapat digunakan dengan aman untuk prosedur singkat, namun sebaiknya dihindari pada pasien dengan insufisiensi ginjal karena banyak tersedia obat-obatan lain yang memuaskan. Perburukan fungsi ginjal selama periode ini mungkin diakibatkan oleh efek samping hemodinamika operasi (perdarahan) atau anestesi (depresi kardiak atau hipotensi), efek indirek hormonal (aktivasi hormon simpatoadrenal atau sekresi hormon antidiuretik), atau ventilasi tekanan positif (gangguan vena). Efek ini seluruhnya hampir reversibel apabila cairan intravena yang cukup diberikan untuk mempertahankan volume intravaskular normal atau sedikit meluas. Pemberian dosis vasopresor dominan α-adrenergik (phenylephrine dan norepinephrine) juga dapat bersifat merusak. Jika tekanan darah arteri, cardiac output, dan volume intravaskular adekuat, maka dapat diberikan infus dopamine dosis rendah (2–5 µg/kg/menit) terhadap pasien dengan output urin marginal dalam upaya memperbaiki aliran darah ginjal dan fungsi ginjal. :Renal dose dopamine” juga terlihat sebagian pada vasokonstriksi arteri balik ginjal selama infus casopresor α-adrenergik (norepinephrine). Fenoldopam juga memiliki efek yang sama. 3

Terapi cairan
Sebagaimana dibahas di atas, pemberian cairan yang bijaksana adalah kritis di dalam mengelola pasien dengan reservasi ginjal atau insufisiensi ginjal. Masalah kelebihan cairan harus diperbaiki, namun problem-problem jarang dialami pada pasien dengan output urin normal jika pedoman rasional dan monitor yang sesuai telah dilakukan. Oleh karena itu, konsekuensi kelebihan cairan—yaitu, kongesti pulmonary atau edema pulmonary—lebih mudah ditangani daripada yang terjadi pada gagal ginjal akut. 3

BAB III
KESIMPULAN

1. GFR memberi informasi tentang jumlah jaringan ginjal yang berfungsi, salah satu cara yang paling teliti untuk mengukur GFR adalah dengan tes bersihan kreatinin, serum kreatinin, BUN.
2. Succinylcholine dapat digunakan secara aman pada gagal ginjal jika konsentrasi potassium serum kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi.
3. Overload cairan ekstraseluler dari retensi sodium—bersama-sama dengan peningkatan kebutuhan yang disebabkan oleh anemia dan hipertensi—menyebabkan pasien dengan gagal ginjal kronik cenderung mudah terserang gagal jantung kongestif dan edema pulmonary.
4. Ventilasi terkontrol harus dipertimbangkan bagi pasien dengan gagal ginjal. Ventilasi spontan atau terkontrol dengan hipercarbia progresif yang tidak adekuat di bawah anestesi dapat mengakibatkan respirasi asidosis yang akan mengeksaserbasi acidemia terdahulu, sehingga secara potensial menimbulkan depresi sirkulasi berat, dan meningkatkan konsentrasi potassium serum yang berbahaya.
5. Pengurangan volume intravaskular, sepsis, obstruksi jaundice, cedera remuk, injeksi dye kontras, dan aminoglikosida, inhibitor enzim convertor angiotensin, atau terapi obat antiinflamasi non steroid adalah faktor-faktor resiko utama terhadap pemburukan akut pada gagal ginjal.

2 komentar:

  1. Rather useful message

    BalasHapus
  2. hopefully useful.
    useful knowledge is a noble deeds, amen.

    criticism and your suggestions are useful to note that this simple improvement.

    BalasHapus

Powered By Blogger