Jendral Soedirman Pahlawan Pembela Kemerdekaan
1916 - 1950
|
Di Bodas Karangjati lah Sudirman dilahirkan, tepatnya di kabupaten Purbalingga tanggal 24 Januari 1916. Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Guru Muhammadiyah di Solo, tapi tidak sampai tamat. Kemudian ia menjadi guru di Muhammadiyah Cilacap. Semasa mudanya Sudirman aktif dalam organisasi pramuka dan terkenal sangat disiplin.
Dimasa pendudukan Jepang, Sudirman sangat memperhatikan masalah sosial. Lalu ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Dan ia juga menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Keresidenan Banyumas.
Pada masa itu pula Sudirman mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Kemudian ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Jasa pertama Sudirman setelah kemerdekaan ialah merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Panglima Divisi V / Banyumas dengan pangkat kolonel. Bulan Desember 1945 ia memimpin pasukan TKR dalam pertempuran melawan Inggris di Ambarawa. Tanggal 12 Desember dilancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Akhirnya pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Dalam Konferensi TKR tanggal 12 Nopember 1945 Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR. Lalu tanggal 18 Desember 1945 ia dilantik oleh Presiden dengan pangkat Jenderal. Sejak itu TKR tumbuh menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sewaktu Belanda melancarkan Agresi Militer II, Jendral Sudirman sedang sakit, tetapi ia menolak saran Presiden untuk tetap tinggal didalam kota. Kurang lebih tujuh bulan ia mempimpim perang gerilya di hutan-hutan dan gunung-gunung. Banyak penderitaan yang dialaminya terutama penyakitnya sering kambuh dan tidak tersedianya obat-obatan.
Pulang dari medan gerilya, karena masih sakit, ia tidak dapat memimpin Angkatan Perang secara langsung, tetapi buah pemikirannya selalu dibutuhkan oleh Pemerintah.
Pengalima Besar Jenderal Sudirman meninggal dunia di Magelang pada tanggal 29 Januari 1950 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta.
Judul: Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman
Penulis:Dr Abdul Haris Nasution, Dr H Roeslan Abdulgani, Prof SI Poeradisastra, Sides Sudyarto DS (editor)
Kompas, 13 Maret 2003. SOEDIRMAN, salah seorang pahlawan nasional dan simbol Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukanlah nama yang asing di telinga. Ia mendapat tempat istimewa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia karena menjabat panglima angkatan bersenjata pada awal berdirinya republik ini. Namun, pengetahuan tentang Soedirman yang diberikan bangku sekolah tidak pernah cukup mendalam. Sementara ketersediaan literatur yang membahas Soedirman secara khusus jumlahnya tidak memadai.
Dalam kurun waktu 25 tahun pertama pascakemerdekaan, tercatat hanya ada satu buku saja yang menempatkan Soedirman sebagai pokok bahasan, yaitu "Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan" (1963) yang ditulis Solichin Salam. Selebihnya pembahasan tentang Soedirman selalu hanya merupakan pelengkap bagi kerangka bahasan lain seperti tentang gerakan Pemuda Muhammadiyah, kepanduan Hizbul Wathan, perang revolusi kemerdekaan, tentara, politik militer, hingga tentang Tan Malaka.
Baru sekitar tahun 1980-an mulai bermunculan buku yang membahas Soedirman secara lebih spesifik, seperti "Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman" karya SA Soekanto (1981), "Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Kisah Seorang Pengawal" (1992) yang ditulis Tjokropranolo, mantan Gubernur DKI Tahun 1977-1982, atau "Panglima Besar Jenderal Sudirman Kader Muhammadiyah" (2000) karya Sardiman AM. Meskipun cukup banyak kuantitasnya, namun sebagian besar buku yang hadir tersebut cenderung mengaitkan tokoh ini dengan dunia ketentaraan dan lebih berupa memoar atau biografi Soedirman sebagai seorang tokoh.
Sedikit saja buku seperti "Genesis of Power General Sudirman and the Indonesian Military in Politics 1945-49" (1992) yang ditulis Salim Said, yang mengupas sikap dan pandangan politik Soedirman secara lebih mendalam, baik menyangkut penentangan Soedirman terhadap langkah politik pemerintah yang menjalin kerja sama dengan Belanda, tentang langkah-langkah politis yang diambil Soedirman dalam rangka mengedepankan sikap politiknya, dan keterkaitan Soedirman dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Umumnya jika sampai pada pembahasan tentang hal tersebut, penulis-penulis cenderung "melindungi" keterlibatan Soedirman dalam peristiwa yang diyakini sebagai upaya coup d' ètat dan "membersihkan" kecenderungan ideologi kiri Soedirman dengan berbagai alasan.
Fakta sejarah tersebut memang rawan dibicarakan ketika rezim yang berkuasa bersandar pada kekuatan militer yang mengangkat Soedirman sebagai panglima besarnya. Tak ayal lagi, ketika buku yang menganalisis Peristiwa 3 Juli 1946 terbit, pemerintah Orde Baru langsung membelenggu peredarannya lewat daftar cekal Kejaksaan Agung (Kejagung). "Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman", buku yang mengangkat Peristiwa 3 Juli 1946 sebagai fokus bahasan, memaparkan pergolakan internal para elite politik Indonesia pada awal kemerdekaan dengan titik berat telaah pada pandangan dan sikap politik yang diambil Soedirman selaku panglima besar dalam menanggapi berbagai situasi politik yang berkembang saat itu.
Panglima Besar Soedirman" merupakan kumpulan beberapa tulisan, di antaranya tulisan dua pelaku sejarah bangsa ini yaitu Abdul Haris Nasution dari kalangan militer dan Roeslan Abdulgani yang mewakili unsur sipil yang turut berjuang dalam perang kemerdekaan. Selain itu, termaktub pula analisis terhadap Peristiwa 3 Juli 1946 dari SI Poeradisastra, sejarawan dan Guru Besar UI, dan rangkuman dari Sides Sudyarto DS, pemenang sayembara puisi Prasasti Ancol tahun 1977 dan mantan wartawan yang pernah bergabung di Kompas tahun 1974-1981.
Buku yang pertama kali dicetak sebanyak 5.000 eksemplar dan diluncurkan sekitar awal tahun 1984, ini tamat riwayat peredarannya di masyarakat kurang lebih enam bulan kemudian, tepatnya tanggal 28 Agustus 1984, setelah diharamkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) lewat fatwa No 167/JA/8/1984. Menurut Sides, editor buku itu yang sempat diinterogasi Kejagung sebanyak sembilan kali, tidak ada alasan formal yang menjadi landasan pencekalan buku yang bermuatan fakta sejarah tersebut.
Dalam "Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman", Nasution menuangkan pengalaman pribadi sebagai prajurit di lapangan yang langsung menerima perintah Soedirman. Sebagai seorang bawahan, ia lebih banyak menyoroti kepemimpinan Soedirman sebagai panglima besar dalam menyikapi berbagai kondisi politik bangsa dan menghindari pembahasan tentang Peristiwa 3 Juli 1946. Meskipun begitu, ia mengakui bahwa dirinya berseberangan pendapat dengan Soedirman dalam persoalan "Reorganisasi-Rasionalisasi" (Re-Ra) tentara yang merupakan imbas dari Perjanjian Renville tahun 1948.
Dalam mengulas Soedirman, Abdulgani menempatkan panglima besar tersebut dalam konteks pertikaian ideologi yang mendominasi kala itu. Meskipun dalam Peristiwa 3 Juli 1946 di Yogyakarta Soedirman dituduh membantu upaya coup d' ètat terhadap duet Soekarno-Hatta, dengan membebaskan orang-orang dari kelompok Marxisme-Leninisme independen (Tan Malaka) yang ditahan di Penjara Wirogunan, namun menurut Abdulgani tekad untuk mempertahankan kemerdekaan dan loyalitas terhadap negara tetap dipegang teguh Soedirman yang secara historis masuk dalam kelompok Islamisme, namun bukan aliran yang fanatik dan intoleran. Walaupun sempat berseberangan pandangan politik dengan pemerintah yang saat itu dikuasai kelompok Marxisme-Liberalisme moderat (Amir Sjarifuddin dan Sjahrir), Soedirman tidak memanfaatkan posisi panglima besar yang strategis untuk menggulingkan pemerintah resmi Soekarno-Hatta.
Poeradisastra sebagai seorang sejarawan berupaya obyektif dalam melihat fakta Peristiwa 3 Juli 1946. Analisis terhadap rangkaian kejadian, proses sidang di Mahkamah Agung, kesaksian Soedirman, serta pernyataan dan pembelaan dari para pelaku yang terlibat dalam peristiwa itu, seperti Iwa Koesoema Soemantri, Ahmad Soebardjo, dan M Yamin dari kubu Persatuan Perjuangan yang berafiliasi pada Tan Malaka, melahirkan satu kesimpulan bahwa telah terjadi tawar-menawar antara Soedirman dengan para anggota Kabinet Sjahrir yang secara coute que coute membentuk pra-anggapan peristiwa tersebut sebagai suatu coup d' ètat.
Meskipun Poeradisastra tidak mengingkari keterlibatan Soedirman dalam Peristiwa 3 Juli 1946, namun ia yakin Soedirman melakukan negosiasi tersebut untuk menyelamatkan keutuhan komando tentara saat itu. Sejarah membuktikan, Soedirman tetap menjaga manunggalnya tentara dengan pemerintah. Ia mengorbankan hati nuraninya yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah untuk berkompromi dengan Belanda demi persatuan negara dan membayar beban psikologisnya dengan kesehatan yang kian hari semakin memburuk.
Upaya meminta Soekarno mengubah susunan Kabinet Sjahrir dan menerima minimum program Persatuan Perjuangan 7 pasal yang dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946, memang tidak dibahas secara mendalam dalam wacana sejarah Indonesia selama ini. Padahal, peristiwa tersebut jelas melibatkan Soedirman yang disinyalir mendukung Persatuan Perjuangan yang berada di bawah komando Tan Malaka. Kedekatan dan kesamaan visi Soedirman dengan Tan Malaka yang oleh Orde Baru dituding sebagai komunis mengindikasikan ideologi yang dianut Soedirman.Hal inilah yang coba ditutupi rezim Orde Baru yang berdiri di atas kekuatan militer. Bagaimana publik akan bereaksi jika menyadari fakta bahwa Panglima Besar TNI adalah seorang sosialis! (Nurul Fatchiati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar