Pengikut
Jumat, 25 November 2011
VCT AIDS
BAB I
PENDAHULUAN
I.I LATAR BELAKANG
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah suatu kumpulan gejala yang timbul akibat infeksi HIV (Human Immuodefisiensi Virus) yang mnghancurkan kekebalan daya tahan tubuh manusia dan dapat menyebabkan infeksi oportunistik. HIV merupakan jenis retrovirus yang belum ditemukan vaksin serta penyembuhannya. Infeksi HIV dapat terjadi melalui pertukaran darah, semen, cairan vagina dan ASI.
Di Indonesia, jumlah penderita AIDS yang dilaporkan 1 Januari s.d. 31 Desember 2009 adalah 3863 kasus. Sedangkan di Semarang, berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Semarang didapatkan orang dengan HIV positif 199, dan penderita AIDS 15 orang. Faktor resiko penularan HIV di Jawa Tengah terdiri dari 69% heteroseksual, 22% IDU, 4% perinatal, 4% homoseksual dan 1% melalui tranfusi.
Masalah HIV dan AIDS adalah suatu fenomena gunung es, masalah sesungguhnya tidak sekecil yang tampak di permukaan, mengingat penularan HIV sangat mudah diantara penasun dan WPS dan semakin meningkatnya angka pengguna narkoba suntik dan WPS. Yang perlu diperhatikan jumlah ibu rumah tangga yang menderita AIDS menduduki tempat kedua tertinggi.
IMS biasa disebut penyakit kelamin, yaitu penyakit-penyakit yang sebagian besar ditularkan melalui hubungan seksual/hubungan kelamin. Jadi siapapun yang melakukan hubungan seks (baik laki-laki/perempuan) beresiko tertular IMS. Istilah Infeksi Menular Seksual lebih luas maknanya, karena menunjuk pada cara penularannya. Sedangkan PMS hanya menunjuk pada gejala/penyakit yang ada di kelamin.
Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup menonjol pada sebagian besar wilayah dunia ditinjau dari segi kesehatan, politik, maupun sosial ekonomi dan merupakan penyebab utama dari sekumpulan penyakit akut, infertilitas, cacat menetap dan kematian dengan akibat medis dan psikologis pada jutaan pria, wanita dan bayi. Data epidemiologis menunjukkan adanya hubungan erat antara Infeksi Menular Seksual (IMS) dengan penularan infeksi HIV. IMS dapat meningkatkan resiko penularan atau transmisi HIV melalui jalur seksual dan demikian juga infeksi HIV dapat mempengaruhi IMS dalam perjalanan penyakit, diagnosa, dan respon terhadap pengobatan. Mengingat hal itu maka penatalaksanaan IMS yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, diagnosis, pengobatan, penyuluhan, konseling dan penatalaksanaan mitra seksual terhadap pasien IMS mempunyai peranan yang penting dalam menanggulangi epidemik HIV tersebut. Penderita IMS serta HIV akan lebih mudah menularkan ke orang lain. Pengidap HIV yang juga IMS akan lebih cepat menjadi AIDS.
Keberadaan Human Immunodeficiency virus (HIV) dan the Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) telah menarik perhatian dunia terhadap penanggulangan dan pemberantasan IMS. Terdapat kaitan erat antara penyebaran IMS dengan penularan HIV, baik IMS yang ulseratif maupun yang non-ulsertatif, telah terbukti meningkatkan resiko penyebaran HIV melalui hubungan seksual.
Sistem melindungi tubuh terhadap serangan dari benda asing seperti Bakteri, Virus, Parasit, Jamur. Sistem ganda terdiri dari Sistem kekebalan innate (pembawaan lahir) sedangkan Sistem kekebalan acquired (didapat setelah lahir) Antibodi dibentuk terhadap benda asing yang masuk. Sel CD4 adalah tipe sel darah putih yang mengaktifkan sistem kekebalan tubuh untuk melawan penyakit.
Sedangkan Infeksi Oportunistik adalah infeksi oleh mikroorganisme umum pada individu sehat yg biasanya tidak menimbulkan problem kesehatan, akan tetapi pada pasien dengan sistem imun yg menurun akan menyebabkan penyakit yang serius. Infeksi oportunistik pada pasien HIV / AIDS banyak menimbulkan masalah bersamaan dengan ditegakkannya penyakit tersebut pada tahun 1981.
Mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh infeksi HIV dan AIDS maka perlu diadakan upaya yang meliputi pencegahan penularannya dan penanganan penderita dengan HIV positif serta penderita AIDS secara menyeluruh. Untuk mengurangi angka kesakitan IMS dan HIV-AIDS di Jawa Tengah maka PKBI Jawa Tengah dan Dinas Kesehatan dan lembaga terkait lainnya bekerja sama dengan Griya Asa dalam pelaksanaan VCT-CST. VCT-CST penting dilaksanakan karena orang dengan HIV positif dan AIDS perlu mendapatkan perhatian dan pendampingan khusus mengingat negatifnya stigma masyarakat serta tingginya tekanan sosial yang, dan diperlukannya motivasi untuk perubahan perilaku beresiko tinggi.
Voluntary HIV counseling and testing adalah sebuah proses konseling yang bersifat sukarela dan rahasia. Sukarela artinya bahwa seseorang yang akan melakukan test HIV haruslah berdasarkan antas kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan / tekanan orang lain. Rahasia artinya, apa pun hasil tes itu nantinya hasilnya hanya boleh diketahui dan diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan. VCT bukan hanya sekedar test HIV dan konseling mengenai test dan HIV. VCT merupakan vital point untuk pelayanan penderita HIV dan AIDS selanjutnya, termasuk pencegahan penularan HIV, penyakit yang berkaitan dengan AIDS, serta indeksi opurtunistik yang mungkin timbul, dukungan psikosoial dan hukum, pecegahan penularan dari ibu ke anak. Sedangkan CST merupakan perawatan dukungan dan pengobatan untuk ODHA. Pelayanan CST disesuaikan dengan kebutuhan klien atau ODHA yaitu kebutuhan biologis, psikologis, dan sosial. Layanan VCT di Griya ASA PKBI Kota Semarang dimulai pada bulan November 2006. Layanan VCT ini dibuka untuk melengkapi fasilitas Griya ASA sebagai klinik spesialis dalam pelayanan infeksi menular seksual.
II.2 TUJUAN
II.2.1 Tujuan Umum:
- Menurunkan angka kesakitan dan kematian HIV AIDS
II.2.2 Tujuan Khusus
- Semua kasus HIV yang ditemukan, dirujuk ke CST
- Membuka akses layanan yang dibutuhkan, seperti : Pelayanan medis, pelayanan sosial, pelayanan spiritual, pelayanan ekonomi, pelayanan legal, dll. Membantu mengenali perilaku atau kegiatan yang dapat menjadi sarana penularan virus HIV atau AIDS.
- Memberikan dorongan moril untuk perubahan perilaku yang lebih sehat dan aman.
- Mencegah agar semua WPS tidak mengalami stigma dan diskriminasi
- Memberikan jaminan kerahasiaan terhadap klien
II.3.MANFAAT
Adapun manfaat dilakukan VCT adalah :
1. Menerima keadaan terinfeksi HIV dan penyelesaiannya
2. Perencanaan dan perawatan untuk masa depan
3. Perencanaan dan promosi perubahan prilaku
4. Normalisasi HIV/AIDS dan mengurangi stigma dan diskriminasi
5. Pelayanan pencegahan infeksi HIV dari ibu ke bayi
6. Memfasilitasi kegiatan sebaya dan dukungan
7. Memfasilitasi pelayanan medis (infeksi oportunistik,IMS,ARV dan TB)
8. Memfasilitasi akses pelayanan sosial
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 SASARAN
• Kelompok resiko tinggi non lokalisasi : Panti Pijat, Pekerja Seksual Panggilan, Pekerja Seksual Jalanan
• Kelompok resiko tinggi lokalisasi
• Klien rujukan dari LSM lain : Graha Mitra (waria), Gesang (gay), Pasangan PS
• ODHA dan keluarganya serta masyarakat sekitarnya
II.2 TARGET
WPS (Wanita Pekerja seksual) dilakukan pemeriksaan secara teratur, 3 kali setahun.
II.3 STRATEGI
• Membuat alur pelaksanaan VCT
• Menerapkan prinsip-prinsip VCT
• Mengadakan kerjasama dengan bagian penjangkauan, screening, PMTCT dan MK dalam informasi sebagai input data.
• Mengadakan kerjasama dengan mucikari dan resos.
III.4 INTERVENSI / KEGIATAN
Alur pemeriksaan VCT Model 1 :
Gambar 1. Alur pemeriksaan VCT model 1
Alur pemeriksaan VCT Model 2 :
Gambar 2. Alur pemeriksaan VCT model 2
Kegiatan VCT :
• Pelatihan PE
• Pertemuan dengan tokoh masyarakat
• Penyuluhan mengenai pemakaian kondom
Prinsip VCT:
• Persetujuan klien (Informed Consent)
Konseling dan testing hanya dilakukan atas dasar sukarela, bersifat pribadi dan tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun.
• Kerahasiaan
Hasil testing HIV diberikan melalui tatap muka saat konseling pasca testing dan dijamin kerahasiaannya
• Tidak diskriminasi
Kita tidak akan mendapatkan perlakuan diskriminasi dalam pelayanan konseling dan testing HIV karena dilakukan dalam suasana bersahabat
• Mutu terjamin
Mutu pelayanan tak perlu diragukan, karena konseling dan testing HIV sukarela dilakukan dengan metode yang tepat.
Pelaksanaan VCT terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Konseling pre testing HIV
Yang dilakukan pada saat konseling pre testing HIV adalah:
Menjelaskan tentang proses Konseling dan Testing HIV Sukarela.
Menjelaskan tentang HIV/AIDS, pencegahan dan pengobatannya
Mencari tahu tingkat pengetahuan klien mengenai HIV dan AIDS
Menilai perilaku berisiko yang dapat menjadi sarana penularan HIV
Menjelaskan keuntungan melakukan tes HIV & kerugian jika menolak atau menunda
Menjelaskan makna hasil testing HIV positif/negatif
Memberikan penjelasan mengenai dampak pribadi, keluarga, dan social terhadap hasil testing HIV
Mendiskusikan kemungkinan tindak lanjut setelah ada hasil tes (rencana perubahan perilaku)
2. Testing HIV
Testing HIV merupakan paket dari konseling dan testing HIV sukarela untuk mengetahui status HIVnya dan dilakukan melalui proses pengambilan darah. Testing HIV hanya akan dilakukan jika klien bersedia untuk diambil darahnya dan menandatangani surat persetujuan (informed consent) tes HIV. Jika klien tidak menyetujui untuk dites, konselor akan menawarkan kepada klien untuk datang kembali sewaktu-waktu bila masih memerlukan dukungan dan/atau untuk dilakukan tes. Jika klien setuju untuk dites, dilanjutkan dengan konseling post tes setelah ada hasil laboratorium.
Tes HIV yang dapat dilakukan meliputi :
• TES ANTIBODI HIV
- Rapid tes
- ELISA
- Western Blot
• Tes Antigen
- PCR
Yang perlu diperhatikan dari hasil testing HIV adalah :
• Tanda reaktif berarti HIV sudah ada pada tubuh
• Tanda Non reaktif berarti HIV belum ada di dalam tubuh
• Indeterminate berarti perlu adanya pengulangan testing HIV karena hasil testing HIV tidak jelas
• Masa jendela berarti masa inkubasi HIV yaitu masa antara masuknya virus HIV ke dalam tubuh manusia sampai terbentuknya antibody terhadap HIV atau disebut HIV positif (umumnya 2 minggu – 6 bulan).
3. Konseling post testing HIV
Pada proses konseling post testing HIV, konselor akan :
• Membacakan hasil tes HIV klien baik positif atau negative dengan nada biasa
• Memberikan waktu bagi klien untuk memahami hasil tes dan bereaksi
• Mendampingi klien dalam mengendalikan reaksi emosional
• Menjelaskan makna reaktif atau nonreaktif
• Menjelaskan kembali cara pencegahan dan penularan HIV/AIDS, terlepas hasil tes negatif/positif
• Memberikan dukungan yang sesuai
• Membuat rencana lebih lanjut
• Rujukan konseling, MK, KDS, Layanan Kesehatan, PL, PMTCT
• Membahas tindak lanjut medis dan strategi perubahan perilaku
JIKA HASIL TEST HIV NEGATIF
Ketika hasil tes dinyatakan negatif, dapat diartikan klien tidak terinfeksi HIV atau kemungkinan masih dalam masa jendela. Petugas konseling HIV/AIDS akan membantu kita untuk :
• Menegaskan kembali cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.
• Membantu merencanakan perubahan perilaku yang lebih sehat & aman.
• Memberi dukungan untuk mempertahankan perilaku yang lebih sehat.
• Anjuran untuk melakukan VCT kembali 3 bulan berikutnya.
JIKA HASIL TEST HIV POSITIF
Jika hasil tes dinyatakan positif, petugas konseling akan menekankan bahwa hasil positif bukan akhir dari segalanya. Pada saat ini, dengan pengobatan, perawatan dan perubahan perilaku yang sehat akan membantu ODHA dapat hidup lebih lama dan lebih berkualitas. Sumber-sumber bantuan masyarakat membantu ODHA untuk mendapatkan pelayanan dari kelompok dukungan hingga ke penanganan medis. Petugas konseling HIV/AIDS akan memberitahukan di mana sumber bantuan atau merujuk pada Program Manajemen Kasus.
Manajemen kasus adalah suatu pelayanan untuk membantu ODHA yang mengkaitkan dan mengkoordinasi bantuan dari berbagai lembaga dan badan penyedia dukungan medis, psikososial, dan praktis bagi individu-individu yang membutuhkan bantuan tersebut. Selain itu, manajemen kasus juga diharapkan dapat membantu ODHA untuk mengubah perilaku hidupnya menjadi lebih sehat dan bertanggung jawab.
Petugas Lapangan memiliki beberapa tugas, yaitu menjelaskan manfaat VCT, menjelaskan prosedur dalam VCT, memberi informasi tempat layanan VCT, memotivasi KD untuk VCT, merujuk KD ke VCT. Tim yang ikut serta dalam pelayanan VCT DI Griya ASA terdiri dari 1 dokter, 2 konselor, 1 manager kasus, 1 petugas laboratorium, petugas lapangan.
Gambar 3. Manfaat konseling dan testing HIV sukarela
II.5 CST (Care Support Treatment)
Care Support Treatment memiliki arti perawatan, dukungan, dan pengobatan. Perawatan yang dimaksud adalah perawatan pada penyakit akut, kronis, dan pengobatan paliatif (tidak mengobati, hanya mengurangi penderitaan pasien) yang dilakukan oleh perawat. Dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan psikologis, sosial, ekonomi, spritual, hukum yang dilakukan oleh Konselor, Manager Kasus dan. Pengobatan yang diberikan ditujukan pada penyakit terkait HIV, Infeksi oportunistik, dan pemberian ARV yang dilakukan oleh dokter umum atau dokter spesialis.
Tujuan dari CST adalah memberi layanan perawatan, dukungan, pengobatan bagi ODHA agar dapat hidup positif/berkualitas, mengurangi kesakitan & kematian.
Gambar 4. Alur CST (Care Support Treatment)
Gambar 5. Pelayanan dan Dukungan Terpadu Bagi ODHA
Gambar 6. Alur VCT dan CST
II.6 PEMBAHASAN
II.5.1. Data
Saat ini pelayanan VCT dan CST di Griya ASA ditangani oleh 2 orang dokter, 1 orang konselor, 1 orang manajer kasus, 1 orang petugas laboratorium, dan petugas lapangan. Griya ASA juga bekerja sama dengan Rumah Sakit Panti Wiloso dan Rumah Sakit Tugu Rejo dalam pemeriksaan laboratorium.
Jumlah populasi WPS di lokalisasi Sunan Kuning hingga Mei 2010 adalah sebanyak 670 orang. Jumlah klien yang mendapatkan pelayanan manajemen kasus sampai bulan Mei 2010 adalah sebanyak 6 orang klien reaktif. Klien reaktif terdiri dari 5 orang klien WPS, dengan 3 orang WPS di Sunan Kuning, 2 orang di bebarapa panti pijat dan 1 orang dll. Jumlah Klien yang memenuhi syarat ARV tetapi belum terapi ARV ada 2 orang, klien yang sudah mendapat ARV 15 orang, klien yang putus obat ARV 1 orang.
Tabel 1. Kunjungan VCT WPS Januari 2010 - Mei 2010
WPS yang ikut pre test 338
WPS yang ikut test 338
WPS yang ikut pasca test 194
WPS positif 6
Tabel 2. Data Klien Reaktif Menurut Tipe Kelompok Dampingan di Griya ASA Januari 2010-Mei 2010
WPS Dll
SK PP JALANAN
3 2 0 1
II.5.2. Kendala
Dalam pelaksanaannya, VCT dan CST di Griya ASA juga menghadapi berbagai kendala. Dari hasil wawancara yang kami lakukan dengan konselor dan manajer kasus, diketahui beberapa permasalahan.
Keterbatasan dana dikarenakan penghentian aliran dana dari luar negri (USAID) yang mengakibatkan program screening dan VCT menjadi terhambat sehingga hanya di lakukan di wilayah lokalisasi sunan kuning sedangkan WPS yang berkerja di luar lokalisasi tidak terjangkau oleh griya ASA.selain itu akibat dana yang terhenti pasokan reagen juga terhenti sehingga setipa pemeriksaan yang menggunakan reagen harus ke rumah sakit.
Kurangnya koordinasi antara pihak rumah sakit dan pihak resos dalam hal pendataan dan pelaporan VCT yang dilakukan oleh WPS di Rumah Sakit, sehingga sering kali terjadi VCT berulang di Griya ASA.
Banyak dari WPS yang sudah menpunyai pasangan/Pacar/Suami tidak melakukan screening dan VCT sehingga Tidak di ketahui Status HIV dan IMSnya.
WPS tidak terbuka dengan mucikari mengenai status HIV mereka. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam mencegah penularan HIV. Kondisi akan lebih buruk jika WPS maupun pelanggan tidak menggunakan kondom, yang akan mempermudah terjadinya penularan.
Kurangnya kesadaran dan pengetahuan klien serta WPS tentang manfaat VCT-CST sehingga belum semua kelompok resiko tinggi yang terjangkau oleh program ini.
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Penderita HIV positif di kota Semarang semakin hari semakin meningkat. Berbagai usaha terus dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah kota Semarang, lembaga – lembaga swasta, sampai lembaga Internasional pun ikut membantu dalam memerangi angka kenaikan HIV tersebut. Namun hal tersebut dirasakan masih kurang karena dari pihak penderita sendiri belum ada kesadaran untuk menghentikan perilaku mereka yang menyebabkan resiko tinggi penularan..
Untuk menurunkan angka morbiditas IMS dan morbiditas serta mortalitas HIV dan AIDS, Griya ASA melaksanakan program VCT ( Voluntary Counseling and Testing ) – CST ( Care, Support, and Tretment ). Pelaksanaan VCT terdiri dari 3 tahap yaitu konseling pre testing, testing, dan konseling pasca testing. Sasaran VCT-CST adalah kelompok resiko tinggi non lokalisasi, kelompok resiko tinggi lokalisasi dan klien rujukan. Sedangkan CST memiliki arti perawatan, dukungan, dan pengobatan yang pelaksanaannya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak antara lain tenaga medis, konselor, manager kasus, dan buddies.
Banyak kendala yang masih sering kita temukan dalam pelaksanaan VCT – CST, kendala – kendala tersebut antara lain :
1. Ketidaksiapan klien dalam menerima hasil
2. Kurangnya kesadaran dan pengetahuan klien tentang manfaat dari VCT- CST sehingga belum semua kelompok resiko tinggi yang terjangkau oleh program ini
3. Ketidaknyamanan tempat pre konseling yang dilakukan oleh petugas lapangan.
4. Jauhnya jarak pengambilan obat dengan tempat tinggal klien
5. Kurangnya kemampuan ekonomi klien untuk pengobatan
6. Masih besarnya stigma negatif masyarakat tentang ODHA
IV.2 SARAN
1. Meningkatkan pengetahuan kelompok beresiko tinggi dengan memberikan informasi mengenai hal – hal yang berhubungan dengan IMS dan HIV serta AIDS melalui petugas lapangan sehingga diharapkan kelompok beresiko tinggi memiliki kesadaran untuk datang ke klinik untuk mendapatkan pelayanan VCT-CST.
2. Meningkatkan kerjasama antar lembaga yang bergerak dalam menangani kasus HIV dan AIDS, sehingga para ODHA mendapatkan kemudahan dalam mengakses berbagai kebutuhannya, terutama kebutuhan mengenai pelayanan kesehatan.
3. Memberi dukungan moral dan material bagi ODHA.
4. Memberi pengertian kepada keluarga dan masyarakat yang tinggal dalam lingkungan resiko tinggi perihal HIV dan AIDS dengan tujuan meluruskan pandangan masyarakat mengenai penularan HIV yang selama ini telah salah sehingga stigma masyarakat diharapkan dapat berubah.
BAB IV
ILUSTRASI KASUS
IV.1 IDENTITAS RESPONDEN
Nama : Mbak R
Usia : 38 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Asal : Malang
Pendidikan : SD
Pekerjaan : WPS
Status : Janda
Agama : Islam
Nama Mucikari : Ny. X
Alamat : Gang X, Sunan Kuning, Semarang
Lama Bekerja di SK : 4 Tahun
Alasan bekerja sebagai WPS : Kesulitan ekonomi
IV.2 HASIL WAWANCARA
Klien berinisial R, berusia 38 tahun berasal dari Malang, mengaku sudah menikah dan mempunyai 2 anak. Hingga saat ini, R sudah menjalani profesi sebagai WPS selama 4 tahun. R mengaku memilih profesi ini atas keinginan sendiri dan karena tuntutan ekonomi. Sebelum menjadi WPS, R sebagai ibu rumah tangga namun setelah bercerai R mulai bekerja sebagai WPS di sunan kuning. R juga mengatakan bahwa ia sudah berusaha mencari pekerjaan lain, namun selalu ditolak. Pada mula sebagai WPS, R sama sekali tidak tahu bahaya penularan HIV/AIDS. R mengaku ia tidak 100% menggunakan kondom saat melayani tamu, terutama pada tamu yang menolak menggunakan kondom. R merasa tidak betah bekerja di lokalisasi Sunan Kuning . Ia berniat untuk mencari pekerjaan lain . R mengetahui adanya pelatihan tata rias rambut dan menjahit, R tertarik untuk mengikutinya dengan alasan bahwa dengan mengikuti pelatihan tersebut R mendapatkan pekerjaan yang lebih layak sehingga bisa berhenti dari pekerjaan sebagai WPS. R mengaku sehari ia bisa mendapatkan 300.000-400.000. Ia rutin mengirimkan uangnya untuk biaya sekolah anaknya dan biaya hidup kedua orangtuanya. Orangtuanya mengira ia bekerja sebagai pegawai toko.
Selama bekerja di sunan kuning R rutin mengikuti screening dan VCT. Dari program oleh Griya Asa tersebut, R mendapat pengetahuan mengenai Infeksi menular seksual dan HIV. Setelah melakukan pemeriksaan VCT pada tahun 2008 diketahui bahwa hasil pemeriksaan reaktif. R mengaku takut akan keadaannya tersebut, tetapi untuk saat ini R belum dapat berhenti dari profesinya dengan alasan tuntutan ekonomi untuk membantu membiayai hidup dan sekolah anaknya. Penghasilan yang didapat dari profesi WPS besar dan cukup untuk menghidupi keluarganya. Jika sudah mempunyai uang banyak dan mendapat pasangan yang mapan, R bercita-cita untuk menikah kembali, membina keluarga baru dan membuka usaha salon.
R membersihkan vaginanya dengan sabun sirih dan mencongkelnya dengan jari. R tidak suka minum bir tetapi terpaksa meminumnya saat menemani tamunya karaoke .
R merasa kelompok resos cukup mendukungnya untuk memperhatikan kesehatan seksualnya. Selama ini, kelompok resos mendukung dan memotivasi R untuk mengikuti sekolah tiap hari kamis, melakukan VCT tiap 3 bulan sekali dan screening 2 minggu sekali. Ia tidak mendapat kondom dari kelompok resos tetapi dari temannya yang menjadi Peer Educator. R merasa mami (induk semang) tidak menuntut target penghasilan dan tidak pernah bertindak kasar. R tinggal di rumah bersama lima orang teman di lingkungan Sunan Kuning.
IV.3 MASALAH
• Tidak selalu menggunakan kondom saat melayani tamu.
• Tuntutan membiayai ekonomi keluarga yang membuat WPS tidak bisa melepaskan diri dari profesinya.
• Mengidap HIV positif.
IV.4 SARAN
1. Screening dan VCT diwajibkan untuk WPS sehingga dapat diketahui kondisi kesehatan seksual WPS .
2. Sosialisasi progam menabung bagi para WPS sehingga penghasilan yang diperoleh WPS tidak terbuang sia-sia dan dapat digunakan di kemudian hari
3. Peningkatan kegiatan pendidikan ( kuliah ) dan motivasi bukan hanya untuk WPS tetapi juga melibatkan kelompok resos
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan: Pedoman Penatalaksanaan Infeksi Menular Seksual, Jakarta, 2006
2. Hand out Program pencegahan IMS, HIV dan AIDS melalui Komunikasi Perubahan Perilaku dan pelayanan klinik IMS secara komprehensif di antara WPS se - Kota Semarang.
3. Data HIV AIDS. Diunduh dari http://www.aids-jateng.or.id, Diakses tanggal 29 Mei 2010.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
makasih informasinya,berkat artikel anda ini saya bisa mengerjakan tugas saya..thanks ya
BalasHapus