Bab I
Pendahuluan
Definisi
Kegawatdaruratan gigi adalah suatu keadaan dimana terdapat trauma terhadap mulut yang melibatkan gigi yang tercabut, rahang yang bergeser dan trauma wajah atau fraktur. Sebagai tambahan adalah perlukaan soft tissue seperti bibir, gusi, atau pipi. Perlukaan pada mulut sering menimbulkan sakit yang cukup hebat dan harus dirawat oleh dokter gigi sesegera mungkin.
Latar Belakang
Kegawatdaruratan ini menyangkut rasa sakit, perdarahan, infeksi dan estetika dimana ada keadaan-keadan tertentu yang irreversible bila tidak ditangani dengan cepat.
Batasan Masalah
Pada makalah ini hanya dibahas mengenai sakit gigi, perdarahan, komplikasi operasi, gigi yang patah, gigi yang tercabut, trauma pada wajah,
Tujuan
Kegawatdaruratan gigi dan penanganannya merupakan hal yang yang harus diketahui oleh setiap dokter karena hal tersebut dapat ditemui dalam praktek sehari-hari. Dalam hal ini praktek dokter umum. Oleh sebab itu, penulis bermaksud untuk membahas mengenai kegawatdaruratan gigi dengan tujuan agar:
1. Dokter muda mengetahui batasan kegawatdaruratan gigi
2. Dokter muda mengetahui cara mengangani kegawatdaruratan gigi sebagai seorang
dokter umum nantinya.
Bab II
Pembahasan
A. Sakit gigi
Nyeri pulpa adalah nyeri yang spontan, kuat, sering berdenyut dan dipicu oleh suhu, dan masih terasa beberapa saat setelah penyebabnya dihilangkan. Lokalisasinya pada tempat yang buruk dan nyeri cenderung menjalar ke telinga, pelipis, atau pipi. Nyeri ini dapat hilang spontan, namun pasien tetap harus diarahkan untuk menemui dokter gigi, karena dapat terjadi nekrosis pulpa dan dapat terjadi periodontitis apikalis akut (abses gigi). Perawatan endodontik (perawatan saluran akar) atau pencabutan gigi mungkin dibutuhkan.
Pembengkakan orofacial pada pasien dengan abses gigi akut.
|
Nyeri periodontitis apikalis berupa nyeri yang spontan dan hebat, berlangsung selama beberapa jam terlokalisir dengan baik dan ditimbulkan oleh proses pengunyahan. Gusi dari gigi yang bersangkutan sering teraba lunak. Absesnya dapat berbentuk (“gumboil” atau abses subperiosteal pada gusi) kadang dengan pembengkakan wajah, demam dan sakit. Infeksi pada rongga wajah dapat membahayakan saluran nafas dan harus dikonsulkan ke spesialis, untungnya hal ini jarang terjadi.
Abses gigi kronik (gumboil) pada gusi yang bersangkutan, dalam kasus ini berhubungan dengan gigi molar yang mengalami kerusakan. |
Terapi terbaiknya adalah menginsisi absesnya, memberikan antimikroba (Amoksisilin) dan analgesik. Situasi yang akut ini biasanya menyembuh tetapi absesnya dapat timbul lagi apabila pulpa yang nekrotik tersebut terinfeksi kembali, kecuali dilakukan perawatan endodontik atau pencabutan gigi. Hipersekresi sinus yang asimtomatik dapat merupakan gejala dari adanya abses kronik. Abses ini jarang terbuka sampai ke kulit.
B. Perdarahan
Perdarahan pada mulut sebagian besar disebabkan oleh gingivitis atau trauma, namun apabila berkepanjangan perlu dipertimbangkan adanya kecenderungan perdarahan.
Infeksi gigi yang tembus sampai ke kulit |
Trauma
Setelah sebuah gigi dicabut atau diekstraksi, soket gigi tersebut mengeluarkan darah secara normal selama beberapa menit, kemudian akan membeku/membentuk clot.
Perawatan darurat untuk perdarahan post ekstraksi adalah menyuruh pasien untuk menggigit kapas selama 15-30 menit
Perdarahan menetap mungkin memerlukan penutupan soket dengan bahan haemostatic atau penjahitan. Namun biasanya dilakukan pada pasien kecenderungan perdarahan
Indikasi perawatan gigi yang harus segera dirujuk ke rumah sakit, misalnya:
a. Trauma
- Fraktur wajah bagian sepertiga tengah atas.
- Fraktur mandibula, kecuali jenis yang sederhana atau hanya dislokasi
- Fraktur zigomatis, dimana terdapat bahaya kerusakan bola mata
b. Lesi Inflamasi dan Infeksi
- Infeksi pada leher atau rongga wajah
- Infeksi oral dimana pasien keracunan atau mengalami gangguan imunitas hebat
- Tuberkulosis
- Infeksi virus hebat
- Kelainan vesikobulosa yang hebat (Pemvigus), Sindroma Stevens Johnson, Nekrolisis Epidermis yang toksis
c. Kehilangan Darah
Perdarahan yang menetap atau hebat (biasanya pada pasien dengan kecenderungan
perdarahan)
d. Lain – lain
Diabetes yang tidak terkontrol
C. Komplikasi Bedah
a. Nyeri Pasca Pencabutan Gigi / Post Extraction
Beberapa kasus nyeri dan bengkak setelah ekstraksi gigi adalah biasa terjadi namun akan hilang setelah beberapa jam. Parasetamol biasanya memberikan efek analgesik yang cukup. Nyeri dari tindakan ekstraksi yang rumit mungkin bertahan lebih lama dan harus dikontrol secara teratur dengan analgesik. Jika nyeri menetap atau bertambah pasien harus kembali ke dokter gigi untuk mencari penyebabnya (seperti dry socket atau fraktur rahang).
b. Infeksi
Osteitis lokalisata (dry socket) biasanya disebabkan oleh pencabutan gigi, khususnya ekstraksi molar bawah. Setelah 2 - 4 hari, dapat terjadi nyeri yang meningkat, halitosis, rasa tidak enak, rongga gigi yang kosong (empty socket), dan terasa lunak. Infeksi ini dirawat dengan irigasi dengan air garam hangat (50°C) atau cairan chlorhexidine, kemudian menutup socket (dengan campuran yang sudah tersedia) dan berikan analgesik dan antimikroba (metronidazol). Perawatan ini tidak dapat dilakukan bila ada akar yang tertinggal, benda asing, fraktur rahang, osteomielitis, atau penyebab lain khususnya bila ada demam, nyeri yang menetap atau gangguan neurologis lain seperti rasa baal pada bibir.
Nyeri yang terus meningkat bisa menandakan adanya fraktur atau infeksi.
Aktinomikosis |
Aktinomikosis merupakan komplikasi jangka panjang yang jarang dari ekstraksi atau fraktur rahang. Dan biasanya tampak sebagai pembengkakan kronis yang keunguan. Hal ini mungkin mengindikasikan adanya penggunaan penicillin selama 3 minggu.
c. Komplikasi Antral
Bila terjadi masuknya gigi ke dalam antrum, beri antimikroba dan dekongestan hidung dan cari gigi tersebut dengan radiografi. Terapi selanjutnya memerlukan tindakan bedah.
d. Fistula Oroantral
Pasien sebaiknya tidak menghembuskan nafas kuat-kuat. Antimikroba dan dekongestan hidung dapat menolong. Jika didiagnosa lebih awal, dapat dilakukan penutupan secara primer, namun pada kasus lain perlu dikonsul ke spesialis untuk dilakukan penutupan dengan flap.
Fistula oroantral terjadi setelah pencabutan gigi molar atas. Dasar antrum sering berbatasan dengan akar dari molar dan premolar rahang atas.
|
D. Fraktur Gigi
Trauma pada gigi susu mungkin tidak memerlukan perawatan darurat gigi. Tetapi cidera yang tampaknya ringan dapat merusak gigi pengganti yang akan menjadi gigi tetap. 30% kerusakan pada gigi permanen terjadi pada usia 15 tahun.
Fraktur pada enamel tidak memerlukan perawatan darurat. Tetapi tetap memerlukan pengawasan. Kebanyakan cedera berat pada dentin harus dirawat dengan segera karena dapat menimbulkan infeksi pulpa. Perawatan darurat seperti menambal dengan material khusus pada dentin yang patah dan perawatan secara cepat oleh dokter gigi harus dilakukan pada waktu yang bersaman atau paling lambat pada keesokan harinya.
E. Gigi Avulsi
Avulsi pada gigi tetap anterior dapat ditanam kembali pada anak-anak, khususnya apabila apex pada akar belum terbentuk dengan sempurna (dibawah 16 Tahun). Avulsi pada gigi susu tidak perlu ditanam kembali. Semakin muda usia anak, maka penanaman kembali semakin cepat yaitu 15 menit dan lebih baik yaitu 98% dapat kembali normal dengan perawatan berkala.
Fraktur gigi pada kecelakaan olahraga |
Penanaman yang segera memberikan hasil yang terbaik. Jika gigi tersebut terkontaminasi, cucilah dengan larutan air garam steril, dan apabila soket terisi bekuan darah, hilangkan dengan irigasi larutan garam. Tanam kembali gigi dengan benar sesuai permukaannya (pastikan bagian labial (cembung) menghadap kedepan) dan secara manual tekan soketnya dan balut giginya. Anak tersebut harus menemui dokter gigi dalam waktu 72 jam setelah kejadian.
Jika penanaman kembali tidak dapat dilakukan segera, taruh gigi pada larutan isotonic seperti susu segar dingin yang terpasteurisasi, larutan garam atau larutan lensa kontak. Atau bila anak cukup kooperatif, letakkan gigi pada sulcus buccalis dan bawa ke dokter gigi dalam waktu 30 menit. Cairan yang tidak sesuai dan merusak adalah air (terjadi karena pemaparan yang lama dan mengakibatkan kerusakan keseimbangan isotonis), desinfektan, pemutih, dan jus buah. Penggunaan larutan minyak doxycilin sebelum penanaman kembali oleh dokter gigi dapat membantu pencegahan resorpsi akar di kemudian hari.
Balut gigi selama 7-10 hari, tidak boleh menggigit pada gigi yang dibalut., diet harus lunak dan lakukan perawatan kebersihan mulut yang baik
F. Trauma Maxillofacial
a. Dislokasi atau subluksasi pada mandibula.
Ini biasanya disebabkan oleh pembukaan rahang yang terlalu lebar. Condylus bergeser ke depan atas, anterior dari eminensia dan mulut pasien terbuka terus.
Proses pengembalian posisi dapat dilakukan dengan menghadap wajah pasien dan meletakkan ibu jari tangan kanan dan kiri yang sudah dibalut perban pada gigi molar bawah dan lakukan tekanan ke arah bawah secara bersaman dengan jari lainnya dibawah dagu, dorong dari bawah ke atas.
Apabila otot-otot mengalami spasme, dapat diberikan midazolam i.v. Apabila posisi rahang sudah kembali, hindari pembukaan rahang yang lebar. Dislokasi yang berulang dapat menunjukkan adanya sindrom Ehlers-Danlos dan Sindroma Marfan
b. Fraktur Rahang
Umumnya terjadi karena trauma dengan kecepatan tinggi seperti kecelakaan lalulintas dan kecelakaan lainnya. Tindakan yang terutama adalah membebaskan jalan nafas. Bebaskan semua trauma pada pasien sepanjang jalan nafas dengan pedoman ATLS. Masalah lain yang mengancam kehidupan seperti pendarahan intracranial, pendarahan hebat dari organ lain dan kerusakan tulang leher harus segera ditangani. Dalam pengamatan selanjutnya, perhatikan robekan pada kepala dan adanya kebocoran cairan serebrospinal.
Oklusi yang tampak bertingkat mengarah akan adanya fraktur mandibula |
Pendarahan yang berhubungan dengan fraktur rahang dapat mempengaruhi jalan nafas. Fraktur rahang sendiri jarang menyebabkan pendarahan yang hebat, kecuali berhubungan dengan palatum yang terpisah atau luka tembak.
Pendarahan dari pecahnya arteri inferior gigi biasanya berhenti dengan sendirinya. Tetapi timbul kembali pada traksi mandibula. Pendarahan maxillofacial yang hebat dapat ditamponade dengan fiksasi craniofacial,. Pendarahan dapat timbul dari fraktur tulang hidung, dimana dibutuhkan fiksasi pada hidung. Jika pendarahan berulang, pembuluh darah yang rusak harus dijahit.
Penatalaksanaan fraktur, walaupun terjadi kerusakan wajah yang parah, bukan merupakan prioritas yang utama. Namun serpihan seperti gigi yang patah, darah, atau air liur harus dibersihkan dari mulut. Dan diperlukan pembebasan jalan nafas orofaringeal.
Intubasi mungkin diperlukan pada cedera kepala, cricotiroidotomy dapat dilakukan apabila intubasi tidak dapat dilakukan, atau keadaan kontraindikasi dari intubasi nasotrakheal. Diagnosa frakturnya dari anamnesa yaitu nyeri, bengkak, memar, pendarahan (biasanya dalam mulut), adanya fragmen yang bergeser (adanya krepitasi), oklusi yang tidak rata, paresthesia dan anesthesia dari saraf yang bersangkutan dan tanda-tanda fraktur pada radiografi.
c. Fraktur Mandibula
Hal ini biasanya tidak berhubungan dengan luka atau pendarahan lain yang serius. Jika sympysis mengalami remuk, lidah dapat terdorong ke belakang dan menyumbat jalan nafas, dan ini perlu dicegah. Fraktur sederhana yang tidak bergeser dapat dirawat secara konservatif dengan diet lunak apabila gigi tidak rusak. Jika fragmen bergeser, nyeri cenderung terjadi dan fiksasi dini merupakan penatalaksanaan terbaik. Umumnya fraktur dapat ditangani dengan pembedahan dan fiksasi dengan mini plate.
d. Fraktur tengkorak bagian sepertiga tengah atas.
Ini biasanya ditimbulkan oleh trauma yang parah. Biasanya kecelakaan lalu lintas dan diklasifikasikan menurut garis fraktur Le Fort (Fraktur horizontal pada bilateral maksila).
Klasifikasi Fraktur Le Fort :
Le Fort I à bagian bawah dasar hidung segmentasi / horizontal dari processus
alveolaris (pembengkakan bibir bagian bawah)
Le Fort II à unilateral atau bilateral maksila (subzygomaticus), menyebabkan
pembengkakan wajah yang masif (ballooning) dan (Panda Facies)
Le Fort III à Seluruh maksila (suprazygomatic) dan satu atau lebih tulang wajah
terpisah dari kerangka craniofacial (terjadi pembengkakan wajah masif
dan kebocoran cairan serebrospinal melalui hidung).
Klasifikasi fraktur Le Fort (Scully et al. Oxford Handbook of Dental Patient Care. Oxford University Press, 1998) |
Mungkin terdapat pula penyumbatan jalan nafas, cedera kepala, cedera dada, robekan organ visceralis, fraktur tulang belakang dan tulang panjang. Sebagian besar fraktur sepertiga tengah dirawat dengan pembedahan dan fiksasi dengan mini plate.
e. Fraktur Zygomatic (Malar)
Sering mengenai organ-organ orbital termasuk depresi pada pipi, pendarahan subkonjungtiva lateralis, deformitas wajah, pergerakan mata yang terbatas, perubahan daya penglihatan, variasi besar dan reaksi pupil serta enophthalmus atau exophthalmus.
Fraktur yang tidak bergeser dan tidak mengalami komplikasi tidak perlu dirawat, tetapi harus diamati kembali dalam waktu 2 minggu.
Prioritas utama penanganan pasien dengan fraktur maxillofacial adalah membebaskan jalan nafasnya.
Bab III
Penutup
Kesimpulan
Pada umumnya, kegawatdaruratan gigi berhubungan dengan nyeri, pendarahan, trauma pada orofacial, dan harus ditangani oleh dokter gigi. Namun bila tidak terdapat dokter gigi, dokter umum pun harus dapat menangani kedaruratannya dan pasien harus segera diarahkan untuk menemui dokter gigi.
Saran
1. Setiap calon dokter umum harus diajarkan mengenai kegawatdaruratan gigi dan cara
pertolongan pertamanya.
2. Sediakan selalu peralatan kegawatdaruratan gigi seperti :
a. Nomor telepon dokter gigi terdekat (rumah dan kantor).
b. Larutan garam steril
c. Bulatan kapas/ gauze
d. kain dan kassa steril
e. Analgesik dan anti inflamasi seperti :
Ibuprofen à Anti inflamasi yang mempunyai efek analgesik (Hindarkan pemberian
Aspirin, karena Aspirin juga mempunyai efek antikoagulan, dimana
dapat memperparah pendarahan.
3. Setelah dilakukan pertolongan pertama, segera rujuk ke dokter gigi atau rumah sakit
terdekat.
Bab IV
Daftar Pustaka
1. Andreasen JO, Andreasen FM. Textbook and colour atlas of traumatic injuries to the teeth. Copenhagen: Munksgaard, 1994.
2. Bishop BG, Donnelly JC. Proposed criteria for classifying potential dental emergencies in Department of Defence military personnel. Mil Med 1997;162:130-5.
3. Gilthorpe MS, Wilson RC, Moles DR, Bedi R. Variations in admissions to hospital for head injury and assault to the head. Part 1: Age and gender. Br J Oral Maxillofac Surg 1999;37:294-300.
4. Nelson LP, Shusterman S. Emergency management of oral trauma in children. Curr Opin Pediatr 1997;9:242-5.
5. Roberts G, Longhurst P. Oral and dental trauma in children and adolescents. Oxford: Oxford University Press, 1996.
oke
BalasHapus