Pengikut
Senin, 26 April 2010
PENGARUH KONSUMSI KOPI PADA IBU HAMIL TERHADAP BAYI LAHIR MATI DAN KEMATIAN PADA BAYI LAHIR HIDUP SEBELUM USIA 11 TAHUN
ABSTRAK
Objektif : Untuk mempelajari hubungan antara pengaruh konsumsi kopi selama kehamilan terhadap bayi lahir mati dan kematian pada bayi lahir hidup sebelum usia 1 tahun.
Desain : Study prospektif
Tempat Penelitian :Aarhus University Hospital, Denmark 1989 – 1996.
Obyek Penelitian : 18.478 wanita hamil tunggal yang mendapat informasi yang valid tentang konsumsi kopi selama kehamilan.
Batasan Penelitian : Lahir mati (stillbirth); kelahiran janin mati pada usia kehamilan 28 minggu. Bayi mati (infant death); kematian bayi lahir hidup sebelum usia 1 tahun.
Hasil : Wanita hamil yang mengkonsumsi 8 cangkir atau lebih kopi perharinya memiliki resiko lebih tinggi terhadap lahir mati dibandingkan dengan wanita hamil yang tidak mengkonsumsi kopi. Dibandingkan dengan wanita hamil yang mempunyai kebiasaan merokok dan minum alkohol, resiko lahir mati lebih rendah pada wanita hamil yang mengkonsumsi kopi. Paritas, usia ibu, status pernikahan, tingkat pendidikan, pekerjaan, indeks massa tubuh, tidak mempengaruhi perkiraan hasil penelitian. Tidak ada hubungan yang berarti antara ibu hamil yang mengkonsumsi kopi dengan kematian bayi pada 1 tahun pertama hidupnya.
Kesimpulan : Konsumsi kopi pada ibu hamil berhubungan dengan peningkatan resiko lahir mati, tetapi tidak berhubungan dengan kematian bayi.
PENDAHULUAN
Kopi adalah stimulan yang paling umum dikonsumsi, yang berisi kafein(1), kafein walaupun merupakan komponen utama dalam kopi, tetapi dapat juga ditemukan dalam teh, coklat dan cola. Konsumsi kafein selama kehamilan memiliki hubungan dengan peningkatan resiko abortus spontan(2) (3) dan berat bayi lahir rendah(4) (5). Dosis kafein yang tinggi perhari pada kera hamil dapat meningkatkan resiko lahir mati.
Kafein meningkatkan pelepasan katekolamin dari medula adrenal. Pelepasan katekolamin ini akan menyebabkan vasokonstriksi pada sirkulasi utero plasenta sehingga terjadi hipoksia janin(7) (8). Kafein juga memiliki efek langsung pada sistem kardiovaskuler janin yang dapat menimbulkan takikardi dan aritmia.
OBJEK PENELITIAN
Kami mengundang semua ibu hamil yang akan melahirkan di Departemen Obstetrik dan Gynekologi di rumah sakit Universitas Aarhus mulai September 1989 hingga Agustus 1996 untuk berpartisipasi dalam penelitian. Hampir semua ibu hamil bergabung dengan program antenatal care, mereka melengkali dua kuesioner sebelum kunjungan pertama untuk ante natal care rutin sekitar usia kehamilan 16 minggu.
Kami menggunakan informasi dari kuesioner pertama untuk menggali data riwayat kesehatan dan riwayat obstetrik, usia ibu hamil, kebiasaan merokok sebelum kehamilan dan selama trimester pertama dan konsumsi alkohol selama kehamilan. Dari kuesioner kedua kami mengggali informasi terhadap konsumsi kopi, teh, coklat, dan kola, status pernikahan, pendidikan dan status pekerjaan. Kami menanyakan tentang informasi terbaru konsumsi kopi, teh, coklat dan kola. Ibu hamil harus menyebutkan berapa cangkir perhari mengkonsumsi kopi, teh, coklat, atau berapa botol perhari mengkonsumsi kola. Informasi tentang persalinan kami dapat dari formulir registrasi kelahiran yang diisi oleh bidan segera setelah persalinan. Sebelum data dimasukkan, semua formulir regristrasi kelahiran diperiksa secara manual dan dibandingkan dengan rekam medik catatan bidan.
Informasi tentang kelahiran mati kami dapat dari data yang kami kumpulkan pada departemen kami dan dari registrasi kelahiran Danish medical (12) (13) menurut catatan yang diambil dari identitas ibu hamil, informasi tentang kematian selama satu tahun pertama kehidupan didapat dari daftar penyebab kematian (14), yang dicatat oleh Dewan Kesehatan Nasional Danish dan dari sistem catatan sipil. Kami mendefinisikan bayi lahir mati sebagai kelahiran janin mati pada usia kehamilan 28 minggu atau lebih, sedangkan bayi mati adalah kematian pada bayi lahir hidup sebelum usia 1 tahun.
Populasi penelitian dibatasi pada kehamilan tunggal pada ibu hamil yang mengisi kuesioner pertama dan yang melahirkan setelah usia kehamilan 28 minggu (n = 25395) populasi penelitian selanjutnya dibatasi pada ibu hamil tunggal dengan informasi yang valid tentang konsumsi kopi selama kehamilan (n = 18478).
Kami menganalisa jumlah konsumsi kopi perhari sesuai kategori (0, 1-3, 4-7 dan > 8 cangkir perhari). Satu cangkir kopi mengandung sekitar 100 mg kafein, kami juga menggali informasi tentang konsumsi teh, coklat, dan kola tetapi hanya beberapa ibu hamil yang terpapar terhadap kafein dosis tinggi dari teh, coklat dan kola. Oleh karena itu kami tidak dapat mempelajari secara jelas pengaruh konsumsi kafein dari sumber selain kopi.
HASIL
Dari 18478 wanita hamil 7878 (43%) tidak mengkonsumsi kopi, 6362 (34%) mengkonsumsi 1-3 cangkir kopi perhari, 3288 (18%) mengkonsumsi 4-7 cangkir kopi perhari, 950 (5%) mengkonsumsi 8 cangkir kopi lebih.
Resiko lahir mati meningkat dengan banyaknya mengkonsumsi kopi perharinya selama kehamilan. Dimana dibandingkan dengan wanita hamil yang tidak mengkonsumsi kopi selama kehamilannya dengan wanita hamil yang mengkonsumsi 1-3 cangkir kopi perhari lahir mati meningkat 20%, 4-7 cangkir kopi perhari resiko lahir meningkat 80%. Sedangkan pada wanita hamil yang mengkonsumsi lebih dari 8 cangkir kopi perhari maka resiko lahir mati meningkat 300%.
No. Wanita Hamil Jumlah %
1.
2.
3.
4. Tidak mengkonsumsi kopi
Mengkonsumsi 1-3 cangkir kopi perhari
Mengkonsumsi 4-7 cangkir kopi perhari
Mengkonsumsi 7-8 cangkir kopi perhari 7.878
6.362
3.288
950 43
34
18
5
18.478 100
No. Wanita Hamil Lahir mati meningkat
(%)
1.
2.
3. Mengkonsumsi 1-3 cangkir kopi perhari
Mengkonsumsi 4-7 cangkir kopi perhari
Mengkonsumsi 7-8 cangkir kopi perhari 20
80
300
DISKUSI
Dari 18.478 hasil penelitian, resiko terjadinya lahir mati meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah cangkir kopi yang dikonsumsi selama kehamilan. Dari hasil penelitian ini juga didapatkan bahwa angka kematian relatif kecil dan perkiraan resiko lahir mati pada wanita yang banyak mengkonsumsi kopi adalah sebanyak 11 kasus.
Wanita yang tidak mengkonsumsi kopi selama kehamilan, resiko lahir mati lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang mengkonsumsi 1-3 cangkir kopi perhari, sedikit peningkatan terjadi pada wanita yang mengkonsumsi 4-7 cangkir kopi perhari, dan hampir 2 kali lipat resikonya pada wanita yang mengkonsumsi 8 atau lebih cangkir kopi perhari. Hasil yang didapat ini merupakan indikasi bahwa ambang batas efek yang ditimbulkan adalah antara 4-7 cangkir kopi perhari.
Wanita yang banyak mengkonsumsi kopi biasanya disertai dengan adanya kebiasaan merokok dan banyak mengkonsumsi alkohol(10) karena informasi tentang gaya hidup dan sosiodemografi ibu juga diperhatikan, hal ini sedikit merubah hubungan antara konsumsi kopi dan resiko lahir mati, dilain pihak, faktor lain seperti faktor gizi dan kebiasaan makan, mungkin dapat mempengaruhi resiko. Dan juga, pada penelitian ini dilakukan pada suatu populasi homogen yang memiliki angka kematian janin yang rendah, yang merupakan cerminan akan rendahnya resiko lahir mati. Hubungan antara konsumsi kopi dan lahir mati mungkin akan lain jika penelitian dilakukan pada suatu populasi yang memiliki angka resiko lahir mati yang tinggi.
Analisa yang bervariasi mengindikasikan adanya peningkatan resiko kematian pada bayi lahir hidup sebelum usia 1 tahun, setelah terexpos kopi pada saat janin intrauterin. Dan ternyata pada wanita yang merokok selama kehamilan tidak ditemukan hubungan yang berarti. Hal ini mungkin disebabkan karena kopi tidak berhubungan langsung dengan kematian janin, dan dalam hal ini pengurangan konsumsi kopi dalam kehamilan tidak berpengaruh terhadap kematian bayi.
Kami meneliti wanita yang mengkonsumsi kopi dengan usia kehamilan 16 minggu. Kami tidak mendapat informasi tentang besar cangkir dan jenis kopi yang dikonsumsi. Pada saat pengumpulan data informasi yang didapat tidak biasa dengan pengetahuan ibu yang mengkonsumsi kopi dengan prognosa kehamilannya. Adanya konsumsi kopi yang tinggi dan cepatnya metabolisme yang terjadi pada perokok/kami simpulkan bahwa efek fototoxie dari kafein dapat ditimbulkan dari kebiasaan merokok pada wanita hamil, tetapi bagaimanapun juga resiko lahir mati pada wanita hamil peminum kopi dengan atau tanpa kebiasaan merokok hampir sama.
REFERENSI
1. Muhajarine N, D’Arcy C, Edouard L. Prevalence and predictors of health risk behaviours during early pregnancy: Saskatoon pregnancy and health study. Can J Public Health 1997; 88: 375-379[ISI][Medline].
2. Fernandes O, Sabharval M, Smiley T, Pastuszak A, Koren G, Einarson T. moderate to heavy caffeine consumption during pregnancy and relationship to spontaneous abortion and abnormal fetal growth: a meta-analysis. Reprod Toxicol 1998; 12: 435-444[CrossRef][ISI][Medline].
3. Cnattingius S, Signorello LB, Anneren G, Clausson B, Ekbom A, Ljunger E, et al. Caffeine intake and the risk of first-trimester spontaneous abortion. N Engl J med 2000; 343 : 1839-1845[Abstract/Free Full Text].
4. Fortier I, Marcoux S, Beaulac-Baillargeon L. Relation of caffeine intake during pregnancy to intrauterine growth retardation and preterm birth. Am J Epidemiol 1993; 137 : 931-940[Abstract].
5. Golding J. Reproduction and caffeine consumption-a literature review. Early Hum Dev 1995; 43 : 1-14[CrossRef][ISI][Medline].
6. Gilbert SG, Rice DC, Reuhl KR, Stavric B. Adverse pregnancy outcome in the monkey (Macaca fascicularis) after chronic caffeine exposure. J Pharmacol Exp Ther 1988; 245 : 1048-1053[Abstract].
7. Weathersbee PS, Lodge JR. Caffeine : its direct and indirect influence on reproduction. J Reprod Med 1977; 19 : 55-63[ISI][Medline].
8. Kirkinen P, Jouppila P, Koivula A, Vuori J, Puukka M. The effect of caffeine on placental and fetal blood flow in human pregnancy. Am J Obstet Gynecol 1983; 147 : 939-942[ISI][Medline].
9. Resch BA, Papp JG. Effects of caffeine on the fetal heart. Am J Obstet Gynecol 1983; 146 : 231-232[ISI][Medline].
10. Watkinson B, Fried PA. Maternal caffeine use before, during and after pregnancy and effects upon offspring. Neurobehav Toxicol Teratol 1985; 7 : 9-17[ISI][Medline].
11. Wisborgh K, Kesmodel U, Henriksen TB, Olsen SF, Secher NJ. Exposure to tobacoo smoke in utero and the risk of stillbirth and death in the first year of life. Am J Epidemiol 2001; 154 : 322-327[Abstract/Free Full Text].
12. Kristensen J, Langhoff-Ross J, Skovgaard LT, Kristensen FB. Validation of the Danish birth registration. J Clin Epidemiol 1996; 49 : 893-897[CrossRef][ISI][Medline].
13. Knudsen LB, Borlum Kristensen F. Monitoring perinatal mortality and perinatal care with a national register : content and usage of the Danish medical birth register. Community Med 1986; 8 : 29-36[ISI][Medline].
14. Juel K,Helweg-Larsen K. The danish registers of causes of death. Dan Med Bull 1999; 46 : 354-357[ISI][Medline].
15. Bunker ML, McWilliams M, Caffeine content of common beverages. J Am Diet Assoc 1979; 74 : 28-32[ISI][Medline].
16. Anderson KV, Helweg-Larsen K, Lange AP. [Classification of perinatal and neonatal deaths. Fetal, obstetrical and neonatal causes]. Ugeskr Leager 1991; 153 : 1494-1497 [Medline]. (In Danish with English abstract).
17. Cook DG, Peacock JL, Feyerabend C, Carey IM, Jarvis MJ, Anderson HR, et al. Relation of caffeine intake and blood caffeine concentrations during pregnancy to fetal growth : prospective population based study. BMJ 1996; 313 : 1358-1362[Abstract/Free Full Text].
18. Domininguez-Rojas V, de Juanes-Pardo JR, Astasio-Arbiza P, Ortega-Molina P Gordilo-Florencio E. Spontaneous abortion in a hospital population : are tobacco and coffee intake risk factors ? Eur J Epidemiol 1994; 10 : 665-668[ISI][Medline].
(Accepted 5 December 2002)
SPINAL ANESTESI
SPINAL ANESTESI
SubArachnoid Blok merupakan salah satu teknik anestesi regional dengan cara penyuntikan obat anestesi local ke dalam ruang subarahnoid dengan tujuan untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot rangka
ANATOMI
• Kolumna vertebralis terdiri dari 7 vertebra servikalis, 12 V thorakalis, 5 V lumbal, 5 V sacral dan 4 V coccygeus
Disatukan oleh ligamentum vertebralis membentuk kanalis spinalis dimana medulla spinalis terdapat didalamnya
• Kanalis spinalis terisi oleh medulla spinalis dan pembungkusnya (meningen), jaringan lemak, dan pleksus venosus
• Sebagian besar vertebra memiliki corpus vertebra, 2 pedikel dan 2 lamina
• Kolumna vertebralis bila dilihat dari lateral berbentuk seperti kurva, pada posisi supine titik tertinggi terletak pada V C5 dan V L4-5 sedangkan terendah pada V Th5 dan V S2
Kolumna vertebralis dibagi menjadi tiga bagian
1. Kolumna vertebralis anterior, dibentuk oleh
• Ligamentum longitudinalis anterior
• Annulus fibrosus discus intervertebralis anterior
• Corpus vertebralis bagian anterior
2. Kolumna vertebralis media, dibentuk oleh
• Ligamentum longitudinalis posterior
• Anulus fibrosus discus intervertebralis posterior
• Corpus vertebralis bagian media
3. Kolumna vertebralis posterior, dibentuk oleh
• Arcus posterior
• Ligamentum supraspinosum (ligamentum nuchae pada vertebra servikalis)
• Ligamentum interspinosum
• Ligamentum flavum
Untuk menjaga dan mempertahankan medulla spinalis seluruh vertebra dilapisi oleh beberapa ligamentum
Tiga ligamentum yang akan dilalui pada prosedur spinal anestesi teknik midline adalah ligamentuim supraspinosum, ligamentum interspinosum dan ligamentum flavum
Ligamentum interspinosum bersifat elastis, pada L3-4, panjangnya sekitar 6 mm dan pada posisi fleksi maksimal menjadi 12 mm
Ligamentum flavum merupakan ligamentum terkuat dan tebal, diservikal tebalnya sekitar 1,5-3 mm, thorakal 3-6 mm sedangkan daerah lumbal sekitar5-6 mm
Medulla spinalis dibungkus oleh tiga jaringan ikat yaitu durameter, arakhnoid, dan piameter yang membentuk tiga ruangan yaitu ; ruang epidural, sudural dan subarakhnoid
Ruang subarakhnoid adalah ruang yang terletak antara arakhnoid dan piameter
Ruang subarakhnoid terdiri dari trabekel, saraf spinalis, dan cairan serebrospinal
Ruang subdural merupakan suatu ruangan yang batasnya tidak jelas, yaitu ruangan potensial yang terletak antara dura dan membrane arakhnoid
Ruang epidural didefinisikan sebagai ruangan potensial yang dibatasi oleh durameter dan ligamentum flavum
Medulla spinalis secara normal hanya sampai level vertebra L1 atau L2 pada orang dewasa. Pada anak-anak medulla spinalis berakhir pada lvel L3
Dibawah level ini elemen saraf berupa akar-akar saraf yang keluar dari conus medularis yang sering disebut dengan cauda equine terendam dalam cairan serebrospinal
Spinal anestesi biasanya diinjeksikan pada level yang lebih rendah dari L2 untuk menghindari trauma pada medulla spinalis
Pada level dibawah L2 serabut saraf lebih mobile, melayang-layang sehingga terhindar dari trauma jarum spinal
Sacus dura, ruang subarakhnoid dan subdural biasanya mencapai S2 pada dewasa dan sering sampai S3 pada anak-anak
Blood Suply
• Medulla spinalis mendapat suplai darah dari A. vertebral, a. servikal, a. interkostal dan a. lumbal
• Cabang spinal ini terbagi ke dalam a. radikularis posterior dan anterior yang berjalan sepanjang saraf menjangkau medulla dan membentuk pleksus arteri di dalam piameter
Spinal Nervus
• Saraf spinalis ada 31 pasang yaitu 8 servikal, 12 thorakal, 5 lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeal
• Pada spinal anestesi, paralysis motorik mempengaruhi gerakan bermacam sendi dan otot
• Persarafan segmental ini digambarkan sebagai berikut :
a. Bahu C6-8
b. Siku C5-8
c. Pergelangan tangan C6-7
d. Tangan dan jari C7-8, T1
e. Interkostal T1-11
f. Diafragma C3-5
g. Abdominal T7-12
h. Pinggul, pangkal paha fleksi L1-3
i. Pinggul, pangkal paha ekstensi L5, S1
j. Lutut fleksi L5, S1
k. Lutut ekstensi L3-4
l. Pergelangan kaki fleksi L4-5
m. Pergelangan kaki ekstensi S1-2
Sistem saraf otonom
1. System saraf simpatis
Mesrabut saraf pregamglion meninggalkan medulla spinalis melalui radiks saraf ventralis T1-L2
Pada bagian servikal kumpulan ganglia ini menyusun ganglia servikalis superior, media dan stellat ganglia
Pada thorak, rangkaian simpatis ini membentuk saraf splanknikus yang menembus diafragma untuk mencapai ganglia dalam pleksus koeliak dan pleksus oartikorenal
Didalam abdomen rangkaian simpatis ini berhubunagn dengan pleksus koeliak, pleksus aorta dan pleksus hypogastrik. Rangkaian ini berakhir dipelvis pada permukaan anterior sacrum
Serabut-serabut saraf post ganglionik yang tidak bermielin terdistribusi luas pada seluruh organ yang menerima suplai saraf simpatis
Daerah viscera menerima serabut postganglionic sebagian besar langsubg melalui cabang yang meninggalkan pleksus-pleksus besar
Distribusi segmental saraf simpatis visceral :
a. Kepala, leher dan anggota badan atas T1-5
b. Jantung T1-5
c. Paru-paru T2-4
d. Oesofagus T5-6
e. Lambung T6-10
f. Usus halus T9-10
g. Usus besar T11-12
h. Kandung empedu dan hati T7-9
i. Pankreas dan lein T6-10
j. Ginjal dan uereter T10-12
k. Kelenjar adrenal T8-L1
l. Testis dan ovarium T10-L1
m. Kandung kemih T11-L2
n. Prostate T11-L1
o. Uterus T10-L1
2. System saraf parasimpatis
Saraf eferen dan aferen dari system saraf simpatis berjalan melalui nervus intracranial dan nervus sakralis ke 2,3,4
Nervus vagus merupakan saraf cranial paling penting yang membawa saraf eferen parasimpatis
Mereka dirangsanga dengan sensasi seperti lapar, mual, distensi vesika, kontraksi uterus. Berbagai macam nyeri disalurkan melalui saraf ini seperti kolik atau nyeri melahirkan
Nervus vagus menginervasi jantung, paru, esophagus dan traktus gastrointestinal bagian bawah sampai ke kolon tranversum. Saraf simpatis sacral bersama saraf simpatis didistribusikan pada usus bagian bawah kolon transversum, vesika urinaria, spincter dan organ reproduksi
Blokade somatic
Dengan menghambat transmisi impuls nyeri dan menghilangkan tonus otot rangka
Blok sensoris mengkambat stimulus nyeri somatic atau visceral sementara blok motorik menyebabkan relaksasi otot
Efek enstetik local pada serabut asaraf bervariasi tergantung dari ukuran serabut saraf tersebut dan apakah serabut tersebut bermielin atau tidak serta konsentrasi obat dan lamanya kontak
Blokade Otonom
Hambatan pada serabut eferen transmisi ototnom pada akar saraf spinal menimbulkan blockade simpatis dan beberapa blok parasimpatis
Simpatis outflow berasal dari segmen thorakolumbal sedangkan parasimpatis dari craniosacral
Serabut saraf simpatis preganglion terdapat dari T1 sampai L2 sedangkan serabut parasimpatis preganglion keluar dari medulla spinalis melalui serabut cranial dan sacral
Perlu diperhatikan bahwa blok subarachnoid tidak memblok serabut saraf vagal. Selian itu blok simpatis mengakibatkan ketidakseimbangan otonom dimana parasimpatis menjadi lebih dominant
Beberapa laporan menyebutkan bahwa bias terjadi aritmia sampai cardiac arrest selama anestesi spinal. Hal ini terjadi karena vagotonia yaitu peningkatan tonus parasimpatis nervus vagus
Cerebrospinal Fluid
Serabut saraf maupun medulla spinalis terendam dalam LCS yang merupakan hasil ulktrafiltrasi dari darah dan diekskresi oleh pleksusu choroideus pada ventrikel lateral, ventrikel III dan ventrikel IV
Produksinya konstan rata-rata 500 ml/hari tetapi sebanding dengan absorpsinya
Volume total LCS sekitar 130-150 ml, terdiri dari 60-75 ml di ventrikewl, 35-40 ml sebagai cadangan otak dan 25-30 ml di ruang subarakhnoid
Mekanisme Nyeri
Tujuan utama pada SAB adalah bebas nyeri dengan cara memblok penjalaran impuls nyeri pada tingkat transmisi sehingga tidak terjadi persepsi nyeri di otak
Nyeri timbul sebagai akibat serangkaian peristiwa yang terjadi di nosiseptor atau diserabut saraf perifer atau sentral
Nyeri dapat ditimbulkan karena danya stimulus baaik itu fisik, thermal, atau kimia
Perjalanan nyeri atau nosisepsi terdiri dari 4 elemen yaitu :
1. tranduksi
2. tranmisi
3. modulasi
4. persepsi
Efek terhadap kardiovaskuler
tonus vasomotor dipengaruhi oleh serabut simpatis dari T5 sampai L1 yang mensarafi otot polos arteri dan vena
penurunan tekanan darah, penurunan detak jantung dan konstraktilitas jantung
efek ini proporsional dengan derajat simpatektomi
efek kardiovaskuler dari neuroaxial blok ini mirip dengan efek yang dihasilkan dari kombinasi alfa 1 bloker dan beta bloker dimana detak jantung dan tekanan darah turun
efek dari vasodilatasi arterial dapat diminimalisasi oleh kompensasi vasokonstriksi diatas level dari blok
efek kardiovaskuler yang merugikan ini dapat diantisipasi dengan memberikan loading cairan kristaloid 10-12 ml/KgBB
vasopresor efedrin yang memiliki efek langsung beta adrenergic dapat diberikan untuk meningkatkan denyut jantung, kontraktilitas serta efek tidak langsung dengan menyebabkan vasokonstriksi
KOMPLIKASI SPINAL ANESTESI
Komplikasi dini
1. hipotensi
2. blok spinal tinggi /total
3. mual dan muntah
4. penurunan panas tubuh
Komplikasi lanjut
1. Post dural Puncture Headache (PDPH)
2. nyeri punggung (Backache)
3. cauda equine sindrom
4. meningitis
5. retensi urine
6. spinal hematom
7. kehilangan penglihatan pasca operasi
HIPOTENSI
paling sering terjadi dengan derajat bervariasi dan bersifat individual
mungkin akan lebih berta pada pasien dengan hipovolemia
biasanya terjadi pada menit ke 20 setelah injeksi obat local anestesi
derajat hipotensi berhubungan dengan kecepatan masuknya obat local anestesi ke dalam ruang sub arakhnoid dan meluasnya blok simpatis
Hipovolemia
dapat menyebabkan depresi serius system kardiovaskuler selama spinal anestesi karena pada hipovolemia tekanan darah dipelihara dengan peningkatan simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi perifer
merupakan kontraindikasi relative anestesi spinal, tetapi jika normovolemi dapat dicapai dengan penggantian volume cairan maka spinal anestesi bias dikerjakan
Pasien hamil
sensitive terhadap blockade simpatis dan hipotensi, hal ini karena obstruksi mekanis venous return sehingga pasien hamil harus ditempatkan pada posisi miring lateral segere setelah spinal anestesi untuk mencegah kompresi vena cava
Pasien tua
Dengan hipovolemi dan iskemi jantung lebih sering terjadi hipotensi disbanding dengan pasien muda
Pencegahan
pemberian cairan RL 500-1000 ml secara intravena sebelum anestesi spinal dapat menurunkan insidensi hipotensi atau preloading dengan 1-5 L cairan elektrolit atau koloid digunakan secara luas untuk mencegah hipotensi
Terapi
autotransfusi dengan posisi head down dapat menambah kecepatan pemberian preload
bradikardi yang berat dapat diberikan antikolinergik
jika hipotensi tetap terjadi setelah pemberian cairan, maka vasopresor langsung atau tidak langsung dapat diberikan seperti efedrin dengan dosis 5-10 mg bolus iv
efedrin merupakan vasopresor tidak langsung, meningkatkan kontraksi otot jantung (efek sentral) dan vasokonstriktor (efek perifer)
Blokade total spinal
total spinal : blockade medulla spinalis smapai ke servikal oleh suatu obat local anestesi
factor pencetus : pasien menghejan, dosis obat local anestesi yang digunakan, posisi pasien terutama bila menggunakan obat hiperbarik
sesak napas dan sukar bernapas merupakan gejala utama dari blok spinal tinggi
sering disertai mual,muntah, precordial discomfort dan gelisah
apabila blok semakin tinggi penderita menjadi apnea, kesadaran menurun disertai hipotensi yang berat dan jika tidak ditolong akan terjadi henti jantung
Penanganan
usahakan jalan napas tetap bebas, kadang diperlukan bantuan napas lewat face mask
jika depresi pernapasan makin beratperlu segera dilakukan intubasi endotrakeal dan control ventilasi untuk menjamin oksigenasi yang adekuat
bantuan sirkulasi dengan dekompresi jantung luar diperlukan bila terjadi henti jantung
pemberian cairan kristaloid 10-20 ml/kgBB diperlukan untuk mencegah hipotensi
jika hipotensi tetap terjadi atau jika pemberian cairan yang agresif harus dihindari maka pemberian vasopresor merupakan pilihan seperti adrenalin dan sulfas atropin
Mual Muntah, terjadi karena
hiotensi
adanya aktifitas parasimpatis yang menyebabkan peningkatan peristalyik usus
tarikan nervus dan pleksus khususnya N vagus
adanya empedu dalam lambungoleh karena relaksasi pylorus dan spincter ductus biliaris
factor psikologis
hipoksia
Penanganan
untuk menangani hipotensi : loading cairan 10-20 ml?kgBB kristaloid atau
pemberian bolus efedrin 5-10 mg iv
oksigenasi yang adekuat untuk mengatasi hipoksia
dapat juga diberikan anti emetik
Shivering (penurunan panas tubuh)
sekresi katekolamin ditekan sehingga produksi panas oleh metabolisme berkurang
vasodilatasi pada anggota tubuh bawah merupakan predisposisi terjadinya hipotermi
Penanganan
Pemberian suhu panas dari luar dengan alat pemanas
PDPH
disebabkan adanya kebocoran LCS akibat tindakan penusukan jaringan spinal yang menyebabkan penurunan tekanan LCS
akibatnya terjadi ketidakseimbangan pada volume LCS dimana penurunan volume LCS melebihi kecepatan produksi
LCS diproduksi oleh pleksus choroideus yang terdapat dalam system ventrikel sebanyak 20 ml per jam
Kondisi ini akan menyebabkan tarikan pada struktur intracranial yang sangat peka terhadap nyeri yaitu pembuiluh darah, saraf, falk serebri dan meningen dimana nyeri akan timbul setelah kehilangan LCS sekitar 20 ml
Nyeri akan meningkat pada posisi tegak dan akan berkurang bila berbaring, hal ini disebabkan pada saat berdiri LCS dari otak mengalir ke bawah dan saat berbaring LCS mengalir kembali ke rongga tengkorak dan akan melindungi otak sehingga nyeri berkurang
PDPH ditandai dengan
Nyeri kepala yang hebat
Pandangan kabur dan diplopia
Mual dan muntah
Penurunan tekanan darah
Onset terjadinya adalah 12-48 jam setelah prosedur spinal anestesi
Pencegahan dan Penanganan
Hidrasi dengan cairan yang kuat
Gunakan jarum sekecil mungkin (dianjurkan < 24) dan menggunakan jarum non cutting pencil point
Hindari penusukan jarum yang berulang-ulang
Tusukan jarum dengan bevel sejajar serabut longitudinal durameter
Mobilisasi seawall mungkin
Gunakan pendekatan paramedian
Jika nyeri kepala tidak berat dan tidak mengganggu aktivitas maka hanya diperlukan terapi konservatif yaitu bedrest dengan posisi supine, pemberian cairan intravena maupun oral, oksigenasi adekuat
Pemberian sedasi atau analgesi yang meliputi pemberian kafein 300 mg peroral atau kafein benzoate 500 mg iv atau im, asetaminofen atau NSAID
Hidrasi dan pemberian kafein membantu menstimulasi pembenntukan LCS
Jika neyri kepala menghebat dilakukan prosedur khusus Epidural Blood Patch
a. Baringkan pasien seperti prosedur epidural
b. Ambil darah vena antecubiti 10-15 ml
c. Dilakukan pungsi epidural kemudian masukan darah secara pelan-pelan
d. Pasien diposisikan supine selama 1 jam kemudian boleh melakukan gerakan dan mobilisasi
e. Selama prosedur pasien tidak boleh batuk dan menghejan
Nyeri punggung
Tusukan jarum yang mengenaikulit, otot dan ligamentum dapat menyebabkan nyeri punggung
Nyeri ini tidak berbeda dengan nyeri yang menyertai anestesi umum, biasnya bersifat ringan sehingga analgetik post operatif biasanya bias menutup nyeri ini.
Relaksasi otot yang berlebih pada posisi litotomi dapat menyebabkan ketegangan ligamentum lumbal selama spinal anestesi
Rasa sakit punggung setelah spinal anestesi sering terjadi tiba-tiba dan sembuh dengan sendirinya setelah 48 jam atau dengan terapi konservatif
Adakalanya spasme otot paraspinosusmenjadi penyebab
Penanganan
Dapat diberikan penanganan dengan istirahat, psikologis, kompres panas pada daerah nyeri dan analgetik antiinflamasi yang diberikan dengan benzodiazepine akan sangat berguna
Cauda Equina Sindrom
Terjadi ketika cauda equine terluka atau tertekan
Tanda-tanda meliputi
Penyebab adalah traum adan toksisitas. Ketika terjadi injeksi yang traumatic intraneural, diasumsikan bahwa obat yang diinjeksikan telah memasuki LCS, bahan-bahan ini bias menjadi kontaminan sepeti deterjen atau antiseptic atau bahan pengawet yang berlebihan
Penanganan
Penggunaan obat anestesi local yang tidak neurotoksik terhadap cauda equine merupakan salah satu pencegahan terhadap sindroma tersebut selain menghindari trauma pada cauda equine waktu melakukan penusukan jarum spinal
Retensi urin
Blockade sentral menyebbkan atonia vesika urinaria sehinggga volume urine di vesika urinaria jadi banyak
Blockade simpatis eferen (T5-L1)menyebabkan kenaikan tonus sfingter yang menghasilkan retensi urin
Spinal anestesi menurunkan 5 -10% filtrasi glomerulus, perubahan ini sangat tampak pada pasien hipovolemia
Retensi post spinal anestesi mungkin secara moderat diperpanjang karena S@ dan S3 berisi serabut-serabut ototnomik kecil dan paralisisnya lebih lama daripada serabut-serabut yang lebih besar
Meningitis
Munculnya bakteri pada ruang subarakhnoid tidak mungkin terjadi jika penanganan klinis dilakukan dengan baik
Meningitis aseptic mungkin berhubungan dengan injeksi iritan kimiawi dan telah dideskripsikan tetapi jarang terjadi dengan peralatan sekali pakai dan jumlah larutan anestesi murni local yang memadai
Pencegahan
Dapat dilakukan dengan menggunakan alat-alat dan obat-obatan yang betul-betul steril
Menggunakan jarum spional sekali pakai
Pengobatan dengan pemberian antibiotika yang spesifik
Spinal hematom
Meski angka kejadiannnya kecil, spinal hematom merupakan bahaya besar bagi klinis karena sering tidak mengetahui sampai terjadi kelainan neurologist yang membahayakan
Terjadi akibat trauma jarum spinal pada pembuluh darah di medulla spinali
Dapat secara spontan atau ada hubungannnya dengan kelainan neoplastik
Hematom yang berkembang di kanalis spinalis dapat menyebabkan penekanan medulla spinalis yang menyebabkan iskemik neurologist dan paraplegi
Tanda dan gejala tergantung pada level yang terkena, umumnya meliputi :
1. mati rasa
2. kelemahan otot
3. kelainan BAB
4. kellainan sfingter kandung kemih
5. sakit pinggang yang berat
Factor resiko : abnormalitas medulla spinalis, kerusakan hemostasis, kateter spinal yang tidak tepat posisinya, kelainan vesikuler, penusukan berulang-ulang
Apabila ada kecurigaan maka pemeriksaan MRI, myelografi harus segera dilakukan dan dikonsultasikan ke ahli saraf
Banyak perbaikan neurologist pada pasien spinal hematomyang segera mendapatkan dekompresi pembedahan (laminektomi) dalam waktu 8-12 jam
Kehilangan penglihatan pasca operasi
Neuropati optic iskemik anterior (NOIA)
Penyebabnya karena proses infark pada watershed zone diantara daerah yang mendapat distribusi darah dari cabang kecil arteri sailiaris posterior brefis dalam koric kapiler
Neuropati optic iskemik posterior (NOIP)
Penyebabnya gangguan suplai oksigen pada posterior dari n. optikus diantara foramen optikumpada apeks orbita dan pada tempat masuknya arteri retina sentralis dimana n. optikus sangat rentan terhadap iskemi
Buta kortikal
Terjadi karena emboli atau proses obstruksi yang berlangsung lambat, hipotensi berat, antijantung yang akan berakibat infark pada watershed zone parietal dan oksipital
Oklusi arteri sentralis (CRAO)
Sering disebabkan oleh emboli yang terbentuk dan plak aterosklerotik yang berulserasi pada arteri karotis ipsilateral
Obstruksi vena optalmika sentralis (CRVO)
Dapat terjadi pada intraoperatif jika posisi pasien akan menyebabkan penekanan pada bagian luar mata
Pencegahan
Mencegah penekanan pada bola mata selama intaroperatif
Meminimalkan terjadinya mikro dan makro emboli selama cardiopulmonary bypass
Mempertahankan nilai hematokrit pada batas normal
Menjaga tekanan darah agar stabil
soal-soal ginekologi
Mohamad Fikih FK UPN
Gynecologic oncology: premalignant and Malignant disease of the lower genital tract – vulva, vagina, and cervix
1. Which of the following is etiologic agent (or immediate precursor lesion) for vulvar cancer?
(A) squamous cell hyperplasia
(B) atrophic dystrophy
(C) chronic granulomatous diseases
(D) chronic irritation
(E) unknown
2. A 56-year-old woman has a biopsy-proven vulvar intraepithelial neoplasia (VIN III). She undergoes a wide excision and return 3 months later with vulvar pruritus. How do you advise her?
(A) Steroid cream on the vulva will reduce the itching.
(B) She may need a repeat biopsy.
(C) There is minimal chance of cancer.
(D) There is minimal chance of recurrence.
(E) If there is a recurrence, it will regress spontaneously.
3. Which of the following characterize paget’s disease of the vulva?
(A) recurrences are infrequent after treatment
(B) frequent association with other invasive carcinomas
(C) appears as a solitary hypopigmented lesion
(D) is treated with laser vaporization
(E) occurs predominantly in premenopausal women
4. Which of the following types of vulva cancer occurs most commonly?
(A) Paget's
(B) squamous
(C) melanoma
(D) adenocarcinoma
(E) basal cell
(A)
(B)
(C)
(D)
(E) clear cell carcinoma
condyloma acuminate
adenocarcinoma
hidradenoma
urethral caruncles
5. A 48-years-old woman has a large verrucous lesion of her vulva. Such a lesion is most likely which of the following
6. Which of the following is the most common symptom of vulvar carcinoma in elderly woman?
(A) abnormal bleeding
(B) a foul smell
(C) pruritus
(D) vulvar atrophy
(E) painful intercourse
7. A blue swelling on the vulva is most likely to be which of the following?
(A) a melanoma
(B) a varicosity
(C) endometriosis
(D) a cyst of the canal of Nuck
(E) a hemangioma
8. A 1-cm vulvar carcinoma with tumor-positive unilateral nodes and no distant spread would be which FIGO (international Federation of Gynecologu and obstetrics) stage?
(A) I
(B) II
(C) III
(D) IV
(E) cannot be staged without further information
9. A 58-years-old woman has a 1-cm vulvar ulcer. A biopsy shows invasive squamous cell carcinoma with more than 1 mm of stromal invasion. Which of the following is the preferred treatment?
(A) Burow's soaks
(B) 5-fluorouracil (5-FU) cream
(C) radiotherapy
(D) radical local excision and ipsilateral inguinofemoral lymph node dissection
(E) radical hysterectomy and node dissection
10. If the lymph nodes in the preceding case are negative, the 5-years survival should be about what percentage?
A. 12%
B. 25%
C. 52%
D. 78%
E. 90%
11. Which of the following is the most common complication of radical vulvectomy?
(A) debilitating edema of the lower extremities
(B) pulmonary embolism
(C) necrotizing fasciitis
(D) breakdown of the surgical wound
(E) urinary and rectal incontinence
12. A 72 years old woman has had a radical vulvectomy for stage II squamous cell vulvar cancer. She want to know the most likely site of recurrence if thetumor comes back. Which of the following can you correctly tell her?
(A) at the site of tumor resection
(B) in the bladder or rectum
(C) in the scalene lymph nodes
(D) the chest
(E) the upper leg
13. Which of the following tumors of the vulva has the best prognosis?
(A) stage I verrucous carcinoma
(B) melanoma
(C) stage I squamous cell cancer of vulva
(D) basal cell carcinoma
(E) rhabdomyosarcoma
14. The most common method of giagnosing carcinoma of the vagina is which of the following?
(A) bleeding from the tumor bed
(B) pain with intercourse
(C) Papanicolaou smear screening
(D) incidental discovery on bimanual examination of the pelvis
(E) colposcopic prophylaxis in high-risk patients
15. The offspring of women who were exposed to the diethylstilbestrol (DES) during gestation do not have an in creased risk of which of the following?
(A) vaginal adenosis
(B) adenocarcinoma of the ovary
(C) clear cell carcinoma of the vagina
(D) squamous intraepithelial lesion of the cervix
(E) clear cell carcinoma of the cervix
16. Whichof the following malignancies tends to metastasize to the vagina most frequently?
(A) ovarian
(B) endometrial
(C) bowel
(D) bladder
(E) melanomas
17. Which of the following is a malignant tumor of the vagina of young children that appears clinically as a mass of grape-like edematous polyps?
(A) Emphysematous vaginitis
(B) squamous cell carcinoma
(C) sarcoma botryoides
(D) adenocarcinoma
(E) choriocarcinoma
18. A 72-years-old woman has carcinoma of the vagina that has reached the lateral pelvic wall. What stage is it?
(A) 0
(B) I
(C) 11
(D) III
(E) IV
19. Which of the following is the most likely histolohy of vaginal carcinoma in this woman?
(A) melanoma
(B) verrucous
(C) clear cell
(D) adenocarcinoma
(E) squamous cell
20. A 72 years old woman with a vaginal cancer is found on physical examination to have tumor extending from the lateral vaginal wall tu the pelvic sidewall. Which of the following is the BEST treatment for her?
(A) total vaginectomy
(B) upper vaginectomy
(C) chemotherapy
(D) radiation therapy
(E) exenteration
21. Which of the following is the most common method used to diagnose cervical intraepithelial neplasia (CIN)?
(A) complaints of abnormal discharge
(B) postcoital bleeding
(C) chronic pelvic pain
(D) vaginal wet preparation
(E) abnormal Pap smears
22. Which of the following is TRUE concerning the etiology of cervical dysplasia and cervical cancer?
(A) Human papillomavirus (HPV) is the major causal agent.
(B) They are associated with obesity.
(C) They are associated with nulliparity.
(D) There is a strong genetic component to the development of cervical cancer.
(E) They are the direct result of cigarette-smoking.
23. Which of the following is TRUE regarding HPV?
(A) Only 20% of sexually experienced women will be infected with HPV.
(B) The virus is transient for most women.
(C) Most women with HPV will go on to develop warts, CIN, or cancer.
(D) Other cofactors such as cigarette smoking and altered immune response have not been shown to be related to the development of cervical neoplasia.
(E) There are only 10 subtypes of HPV
24. A 40 years woman is seen for a routine examination. Her menses hae been regular, and she has no complaints. Findings, including those on pelvic examination, are normal. Ten days later, her pap smear is returned as “High-grade squamous intraephitelial laesion. “The performance of which of the following options is the BEST course of action?
(A) immediate wide-cuff hysterectomy
(B) repeated Pap smears at 3-month intervals
(C) fractional dilation and curettage (D&C)
(D) punch biopsy of anterior cervical lip
(E) colposcopy with biopsy
25. The colposcope permits one to do which of the following?
(A) view the cervix at 1 to 4 power magnification
(B) see the entire transition zone in all patients
(C) choose the most suspicious areas on the cervical portio to biopsy
(D) treat invasive cancer with a biopsy
(E) make the diagnosis of cancer
26. What does leukoplakia refer to?
(A) a microscopic lesion
(B) atrophy
(C) a cancer
(D) a white patch
(E) an ulcer
27. Conization of the cervix would be inappropriate in which of the following instances?
(A) when there is disparity between Pap smear and biopsy results
(B) when colposcopy is inadequate
(C) when microinvasion is diagnosed by biopsy
(D) when deeply invasive cancer is shown on a biopsy
(E) for treatment of biopsy-proven CIN III
28. In treating CIN III, cryotherapy has a failure rate of about what percentage?
(A) I to 5%
(B) 10 to 20%
(C) 25 to 30%
(D) 35 to 40%
(E) >40%
29. Often, the first symptom of cervical cancer is which of the following?
(A) leg pain
(B) pain with intercourse
(C) vaginal bleeding
(D) weight loss
(E) vulvar pruritus
30. Where do most cervical cancers arise?
(A) on the portio vaginalis
(B) at the internal os
(C) in the endocervix
(D) at the squamocolumnar junction
(E) at the external os
31. What percentage of clinical stage I carcinomas of the cervix will have lymphatic spread?
A. 0%
B. 5%
C. 15%
D. 25%
E. 40%
32. Which of the following factors is most indicative - of invasive cancer on colposcopic examination?
(A) white epithelium
(B) leukoplakia
(C) abnormal blood vessels
(D) punctation
(E) mosaic pattern
33. If a nonhealing ulcer is seen on the cervix, it is best evaluated by which of the following?
(A) repeat examination
(B) Pap smear
(C) punch biopsy
(D) cone biopsy
(E) vaginal steroid cream
Questions 34 and 35
A 43-years-old woman had a suspicious Pap smear and a normal pelvic examination. A colposcopically directed biopsy of a normal-appearing cervix revealed invasive carcinoma.
34. Which pf the following should should be the next step in the care of the patient?
a. Metastatic ealution
b. Conization
c. Radical hysterectomy
d. Radiation therapy
e. Both irradiation and radical hysterectomy
35. The woman had a negative metastic workup. Her clinical examination shows cancer growth shown in figure 21-1. Her preliminary clinical stage is which of the following?
a. I A
b. I B
c. II A
d. II B
e. C
36. Biopsy-proven carcinoma in situ of the uterine cerix, if otherwise untreated, will progress to invasive cancer in up to what percentage of patiens?
a. <5%>90%
37. The majority of deaths from cervical carcinoma are due to which of the following?
(A) local spread obstructing the ureters, causing renal failure
(B) brain metastasis with resultant cerebral hemorrhage
(C) hemorrhage into the pelvis from erosion of vessels by the tumor
(D) pulmonary failure secondary to metastatic disease filling the lungs
(E) bone metastasis causing crush injuries to the central nervous system
38. The 5-year survival rate for stage IV inva¬sive cervical cancer is approximately what percentage?
(A)
(B)
(C)
(D)
(E) >1%
10%
20 to 30%
50%
80%
39. Extent of spread being equal, which of the following carcinomas of the cervix has the poorest prognosis?
(A) well-differentiated, keratinizing, large cell squamous carcinoma
(B) undifferentiated, large cell squamous carcinoma
(C) differentiated, small cell squamous carcinoma
(D) undifferentiated, small cell squamous carcinoma
(E) papillary adenocarcinoma
40. Which of the following is the BEST term for a bulky, friable, papillary tumor mass growing from the cervix?
(A) exophytic
(B) endophytic
(C) nodular
(D) ulcerating
(E) edematous
41. A 34-year-old woman is 16 weeks pregnant and has a Pap smear suspicious for cancer. How do you advise her?
(A) have colposcopy with biopsy
(B) have colposcopy, but biopsy is too risky in pregnancy
(C) have a repeat Pap smear in 3 months
(D) undergo a termination of pregnancy and then undergo complete evaluation
(E) have cervical Ionization
42. Vaginal intraepithelial neoplasia is most commonly found in which part of the vagina?
(A) the upper one-third
(B) the mid-vagina
(C) the distal. vagina
(D) at the hymenal ring
(E) the posterior fourchette
43. The preferred treatment for stage I vaginal car¬cinoma confined to the upper one-third of the lateral vagina in a 29-year-old woman would be which of the following?
(A) intravaginal, 5-FU
(B) upper vaginectomy
(C) simple hysterectomy and upper vaginectomy
(D) radical hysterectomy, pelvic lymphadenectomy, and partial vaginectomy
(E) anterior exenteration
44. Which of the following are not true regarding cancer of the vulva?
(A) it is often associated with a long history of vulvar pruritus, discomfort, or a bloody discharge.
(B) It will often appear as a growth on the labia.
(C) Biopsy is necessary to make the diagnosis
(D) Often requires radical vulvectomy with a inguinofemoral lymph node dissection.
(E) The peak incidence occurs between ages 40 and 50.
45. A 45-years-old present with a history with a history of post coital spotting. Examination of the cervix reveals a raised/reddened well-circumscribed lesion next to the os. The most likely diagnosis is which of the following?
(A) carcinoma
(B) condyloma lata
(C) ectropion
(D) cervical polyp
(E) nabothion cyst
46. The treatmen of carcinoma of the cervix during pregnancy should depend on all except which of the following?
(A) the recommendation of the oncologist
(B) the religious and moral belief of the patient
(C) the trimester of the pregnancy
(D) the stage of the lesion
(E) the length of the cervix
47. A 42-years-old woman undergoes a radical hysterectomy and requires postop radiation. During the radiation. Therapy she return complaining of watery vaginal discharge and recurrent urinary tract infections. Of the following four test, which would not be helpful in the evalution?
a. intravenous pyelogram
b. cystoscopy
c. wet mount
d. sigmoidoscopy
e. inject diluted methylene blue in sterile water into the bladder and examine the vagina.
48. A 35 years old female with stage IIB squamous cell carcinoma of the cervix will receive radiation. Regarding reproductive changes, how do you advise her?
a. ovaries are radiresistant
b. fertility can be maintained
c. radiation will likely result in endometrial ablation
d. younger patients are more susceptible to radiation-induced castraction
e. there is no change in vaginal function
49. A 46 years obese woman smokes two packs of cigarettes a day. She had a radical hysterectomy with a para-aortic and pelvic lymph adnectomu for stage IB squamous cell carcinoma of the cervix. At surgery she was found to have dense pelvic small bowel adhesions from a prior ruptured appendix and appendectomy. Lymph nodes were positivefor cancer cells. In discussing postoperative radiation, you counsel her that she has an increased related complication because of which of the following?
A. obesityion
B. excision of lymph nodes
C. decreased bowel motility from adhesions
D. age
E. stage of the cancer
50. which of the following is false regarding atypical squamous cells of undetermited significance (ASCUS)?
A. the risk of CIN II or III on biopsy is 5 to 17%
B. the risk of invasive cervical cancer is 0,1%
C. represent a minority of abnormal paps per years in U>S women
D. may be related to atrophy in postmenopausal women
E. may be associated with HPV
51. of the following management options for ASCUS, which is least acceptable?
A. check for HPV high-risk subtype; if negative follow-up in 12 months with pap
B. repeat pap in 12 months
C. immediate colposcopy
D. repeat pap in 4 to 6 months
E. if atrophy is present, treat with vaginal estrogen and repeat pap
52. A 48-years-old postmenopausal woman present for routine gynecologic examination. The examination is normal, homewer the pap return atypical glandular cells (AGC). Which whould be the most appropriate management for this patient?
A. repeat pap in 4 to 6 months
B. treat with intravaginal estrogen and repeat pap
C. perform cone biopsy of the cervix
D. perform colposcopy, cervical and endometrial biopsies
E. refer to GYN Oncology
TES DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK
PENDAHULUAN
Sebelum sekitar tahun 1950, definisi atas kematian cukup jelas, yakni saat detak jantung dan pernapasan berhenti terjadi. Namun kemudian berbagai teknik ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan pernapasan walaupun pasien telah mati, sehingga muncul persepsi baru. Kematian didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan paru (Walshe, 2001). Ilmuwan, pemuka agama, pekerja kesehatan, bahkan masyarakat umum secara luas telah menyetujui bahwa seseorang dapat dikatakan meninggal apabila terjadi kematian otak. Di Amerika Serikat, kematian dapat ditentukan berdasarkan kriteria neurologis (Wijdicks, 2001).
Pada orang dewasa di Hongkong, kematian otak yang diakibatkan oleh cedera kepala berat meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus, dan 30% lainnya diakibatkan oleh perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi (Hing-yu, 1994). Di Amerika, penyebab utama kematian otak adalah cedera kepala dan perdarahan subarachnoid (Wijdicks, 2001). Batang otak dapat mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena peningkatan tekanan pada kompartemen supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi suplai darah atau integritas struktur otak. Cedera hipoksia lebih mempengaruhi korteks daripada batang otak (Hing-yu, 1994).
Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Pada tahun 1959, Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah “irreversible coma” atau koma ireversibel, untuk mendeskripsikan keadaan dari 23 orang pasien yang berada dalam kondisi koma, kehilangan kesadaran, refleks batang otak, respirasi, serta menunjukkan hasil elektroensefalogram yang datar. Pada tahun 1968, komite ad hoc di Harvard Medical School meninjau ulang definisi kematian otak dan mendefinisikan koma ireversibel, atau kematian otak, sebagai tidak adanya respon dan reseptivitas, pergerakan dan pernapasan, reflex batang otak, serta adanya koma yang penyebabnya telah diidentifikasi. Pada tahun 1976, The Conference of Medical Royal Clleges di Inggris menyatakan bahwa kematian otak adalah hilangnya fungsi batang otak yang komplet dan ireversibel. Pada tahun 1981, President’s Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research mempublikasikan panduan berkaitan dengan kematian otak (Doig, 2003).
Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau organ tubuh manusia, meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi otak, pernapasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti. Batasan mati mengandung 2 kelemahan yang pertama pada henti jantung (cardiac arrest) fungsi otak, pernapasan dan jantung telah berhenti namun sebetulnya kita belum dapat menyatakan mati karena pasien masih mungkin hidup kembali bila dilakukan resusitasi. yang kedua dengan adanya kata-kata „ denyut jantung telah berhenti“ maka ini justru kurang menguntungkan untuk transplantasi, karena perfusi ke organ-organ telah berhenti pula, yang tentunya akan mengurangi viabilitas jaringan/organ. Diagnosis MBO dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI tentang MBO. Diagnosa MBO mempunyai 2 komponen utama. Komponen pertama terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat (tabel 1) dan komponen kedua adalah tes klinis fungsi batang otak.(Sunarto 2009, IDI 1990, )
Definisi Mati
Mati klinis adalah henti napas (tidak ada geraka napas spontan) ditambah henti sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel. Pada masa dini kematian inilah, permulaan resusitasi dapat diikuti dengan pemulijan semua fungsi organ vital termasuk fungsi otak nomal, asal diberikan terapi yang optimal.
Mati biologis (kematian semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua jaringan, dimulai dengan neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sikulasi, diikuti oleh jantung, ginjal, paru, dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari.
Mati serebral (kematian kortek) adalh kerusakan ireversibel (nekrosis) serebrum, terutama neokorteks. Mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral ditambah dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah, dan batang otak.
Mati sosial (status vegetatif yang menetatap, sidroma apalika) merupakan kerusakan berat ireversibel pada pasien yang tetap atidak sadar dan tidak responsif, tetapi mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa reflek yang utuh. Ini harus dibedakan dari mati serebral yang EEGnya tenang dan dari mati otak, dengan tambahan ketiadaan semua reflek saraf otak dan upaya napas spontan. Pada keadaan vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur. ( Sunatrio. 1986, Safar P, 1984)
DEFINISI MATI BATANG OTAK
Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun mendefinisikan kematian otak dalam kata-kata adalah sulit. Di kriteria Inggris, tidak ada definisi yang jelas. Pada panduan Australian and New Zealand Intensive Care Society (ANZICS) yang dipublikasikan pada tahun 1993, kematian otak didefinisikan sebagai berikut: “Istilah kematian otak harus digunakan untuk merujuk pada berhentinya semua fungsi otak secara ireversibel. Kematian otak terjadi saat terjadi hilangnya kesadaran yang ireversibel, dan hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat secara ireversibel, atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel”. (Hing-yu, 1994).
Menurut kriteria komite ad hoc Harvard tahun 1968, kematian otak didefinisikan oleh beberapa hal. Yang pertama, adanya otak yang tidak berfungsi lagi secara permanen, yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon terhadap rangsang, tidak adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleks-refleks, yakni respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji penggelengan kepala dan uji kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya deserebrasi), refleks menelan, menguap, dan bersuara, refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap rangsang plantar. Yang kedua adalah data konfirmasi yakni EEG yang iselektris. Kedua tes tersebut dilakukan ulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa adanya hipotermia (suhu kurang dari 32,2O C) atau depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat. Penentuan tersebut harus dilakukan oleh seorang dokter. (Mernoff, 2009)
Menurut Uniform Determination of Death Act, yang diembangkan oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws, President’s Commission for the Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research, seseorang dinyatakan mati otak apabila mengalami (1) terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara ireversibel, dan (2), terhentinya semua fungsi otak secara keseluruhan, termasuk batang otak, secara ireversibel. (Mernoff, 2009)
Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak adanya denyut jantung dan usaha napas, serta pemeriksaan EKG dan uji apnea. Terhentinya fungsi otak dinilai dari adanya keadaan koma serta hilangnya fungsi batang otak berupa absennya refleks-refleks.
Menurut panduan yang digunakan di Amerika, kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan apnea (New York State Department of Health, 2005).
PEMERIKSAAN KLINIS
Banyak anggota berbagai asosiasi ahli saraf dan ahli bedah saraf telah menyusun kebijakan dan panduan praktek untuk menegakkan diagnosis kematian otak. Hanya ada sedikit perbedaan yang ada, dan selalu ada penekanan yang konsisten pada pengujian apnea dan penilaian fungsi otak sebagai metode plihan dalam menegakkan diagnosis kematian otak. Tes konfirmasi yang rutin dengan elektroensefalografi tidak lagi menjadi pilihan. Uji elektrofisiologis lain juga tidak cukup mendapat validasi dan memiliki kesulitan baik dalam pelaksanaan maupun interpretasinya.
Kebijakan dan panduan praktek tersebut diterapkan secara merata pada dewasa dan usia 2 bulan ke atas. Kematian otak pada bayi berusia kurang dari 2 bulan didiagnosis dengan pendekatan yang berbeda pada kebanyakan kebijakan dan biasanya meliputi uji apnea, uji fungsi otak berulang, elektroensefalografi, dan uji perfusi serebral (Lazar et al, 2001).
Pemeriksaan neurologis klinis tetap menjadi standar untuk penentuan kematian otak dan telah diadopsi oleh sebagian besar negara-negara di dunia. Pemeriksaan pasien yang diduga telah mengalami kematian otak harus dilakukan dengan teliti. Deklarasi tentang kematian otak tidak hanya menuntut dilakukannya tes neurologis namun juga identifikasi penyebab koma, keyakinan akan kondisi ireversibel, penyingkiran tanda neurologis yang salah ataupun faktor-faktor yang dapat menyebabkan kebingungan, interpretasi hasil pencitraan neurologis, dan dilakukannya tes laboratorium tambahan yang dianggap perlu (Wijdicks, 2001. Walshe,2001).
Diagnosis kematian otak terutama ditegakkan secara klinis. Tidak ada tes lain yan perlu dilakukan apabila pemeriksaan klinis yang menyeluruh, meliputi kedua tes refleks batang otak dan satu tes apnea, memberikan hasil yang jelas. Apabila tidak ditemukan temuan klinis, atau uji konfirmasi, yang lengkap yang konsisten dengan kematian otak, maka diagnosis tersebut tidak dapat ditegakkan (New York State Department of Health, 2005).
Pemeriksaan neurologis untuk menentukan apakah seseorang telah mengalami kematian otak atau tidak dapat dilakukan hanya apabila persyaratan berikut dipenuhi: penyingkiran kondisi medis yang dapat mengganggu penilaian klinis, khususnya gangguan elektrolit, asam – basa, atau endokrin; tidak adanya hipotermia parah, didefinisikan sebagai suhu tubuh lebih kurang atau sama dengan 32oC; dan tidak adanya bukti intoksikasi obat, racun, atau agen penyekat neuromuskuler (Wijdicks, 2001).
Menurut panduan sertifikasi kematian otak yang diterapkan di Hong Kong, yang mengacu pada beberapa referensi seperti Medical Royal Colleges in United Kingdom dan Austalian and New Zealand Intensive Care Society, sebelum mempertimbangkan diagnosis kematian otak, harus diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi. Pertama-tama, harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten dengan proses terjadinya kematian otak (yang biasanya dikonfirmasi dengan pencitraan otak). Tidak boleh ada keraguan bahwa kondisi yang dialami pasien diakibatkan oleh kerusakan struktural otak yang tidak dapat diperbaiki. Diagnosis dari kelainan yang dapat menimbulkan kematian otak harus ditegakkan dengan jelas. Diagnosis tersebut dapat jelas terlihat beberapa jam setelah kejadian intrakranial primer seperti cedera kepala berat, perdarahan intrakranial spontan, atau setelah pembedahan otak. Namun, saat kondisi pasien disebabkan oleh henti jantung, hipoksia, atau insufisiensi sirkulasi yang berat tanpa periode anoksia serebri yang jelas, atau dicurigai mengalami embolisme udara atau lemak otak maka penegakan diagnosis akan memakan waktu lebih lama.
Kondisi kedua yang dapat menjadi pertimbangan untuk menegakkan diagnosis kematian otak adalah pasien yang apneu dan menggunakan bantuan ventilator. Pasien tidak responsif, dan tidak bernafas secara spontan. Obat penyekat neuromuskuler atau lainnya harus dieksklusi dari penyebab kondisi tersebut.
Penyebab koma lain yang harus dieksklusi adalah obat depresan atau racun. Riwayat penggunaan obat harus secara hati-hati diperiksa. Periode observasi tergantung pada farmakokinetik dari obat yang digunakan, dosis yang digunakan, dan fungsi hepar serta ginjal pasien. Apabila diperlukan, tes darah dan urin serta level serum dilakukan. Bila ada keraguan tentang adanya efek dari opioid atau benzodiazepine, maka obat antagonis yang tepat harus diberikan. Stimulator saraf tepi harus digunakan untuk mengkonfirmasi intak tidaknya konduksi neuromuskuler apabila pasien menggunakan obat pelemas otot (muscle relaxant).
Hipotermia primer juga menjadi kriteria eksklusi. Suhu pasien direkomendasikan harus di atas 35O C sebelum dilakukan uji diagnostik. Selain itu, harus disingkirkan juga kondisi gangguan metabolik dan endokrin, serta hipotensi arteri (Hong Kong Society of Critical Care Medicine, 1998. Walshe,2001).
Interpretasi dari pindaian computed tomography (CT) adalah penting untuk menentukan penyebab kematian otak. Umumnya, pindaian CT menunjukkan massa beserta herniasi otak, lesi hemisferik multipel dengan edema, atau edema saja. Kompresi arteri dan vena mengakibatkan oedem sitotoksik dan tekanan intrakranial dapat meningkat akibat terhalangnya drainase cairan serebrospinal oleh aqusduktus atau ruang subarakhnoid. Perubahan ini menyebabkan herniasi berlanjut dan posisi otak menurun. Penurunan ini begitu besar sehingga cabang-cabang arteri basilaris (yang mendarahi batang otak) teregang dan mengakibatkan perdarahan intraparenkimal dan memperparah oedem. Bagaimanapun, temuan pada pindaian CT tidak menghilangkan kebutuhan untuk pemeriksaan yang teliti atas faktor-faktor lain yang mungkin menyesatkan diagnosis. Sebaliknya, hasil pindaian CT dapat menunjukkan hasil normal pada periode awal setelah henti jantung dan paru dan pada pasien dengan meningitis atau ensefalitis fulminan. Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan adanya kondisi dimana terjadi infeksi pada sistem saraf pusat.
Kriteria klinis untuk kematian otak pada dewasa dan anak adalah sebagai berikut:
Koma
Tidak ada respon motorik
Tidak ada respon pupil terhadap cahaya dan pupil berada di posisi tengah dengan dilatasi (4 – 6 mm)
Tidak ada refleks kornea
Tidak ada refleks tersedak
Tidak ada respon kalorik
Tidak ada batuk sebagai respon terhadap suction trakhea
Tidak ada refleks menghisap dan menutup mulut
Tidak ada usaha respirasi saat PaCO2 setinggi 60 mmHg atau 20 mmHg di atas nilai dasar normal
Interval antara kedua evaluasi, sesuai usia pasien:
Lahir hingga 2 bulan, 48 jam
>2 bulan hingga 1 tahun, 24 jam
>1 tahun hingga <18>2 bulan hingga 1 tahun, 1 tes konfirmasi
>1 tahun hingga <18 tahun, opsional
≥18 tahun, opsional
Pemeriksaan neurologis yang menyeluruh meliputi dokmentasi koma, tidak adanya refleks batang otak, dan apnea. Pemeriksaan refleks batang otak meliputi pengukuran jalur refleks pada mesensefalon, pons, dan medula oblongata. Saat terjadi kematian otak, pasien kehilangan refleks dengan arah rostral ke kaudal, dan medulla oblongata adalah bagian terakhir dari otak yang berhenti berfungsi. Beberapa jam dibutuhkan untuk terjadinya kerusakan batang otak secara menyeluruh, dan selama periode tersebut, mungkin masih terdapat fungsi medula. Pada kasus yang jarang dimana terdapat fungsi medula oblongata yang tetap ada, ditemukan tekanan darah normal, respon batuk setelah suction trakhea, dan takhikardia setelah pemberian 1 mg atropine.
Kedalaman koma diuji dengan penilaian adanya respon motorik terhadap stimulus nyeri yang standar, seperti penekanan nervus supraorbita, sendi temporomandibuler, atau bantalan kuku pada jari. Pemeriksaan kemudian dilanjutkan dengan ada tidaknya refleks batang otak. Bila tidak ada refleks batang otak, pemeriksaa harus menemukan adanya pupil yang oval atau bulat pada posisi tengah dengan dilatasi (4 – 6 mm) tanpa adanya respon terhadap cahaya terang. Saat kepala digelengkan dengan cepat, seharusnya tidak ada gerakan okulosefalik yang muncul. Bagaimanapun, interpretasi terhadap tes tersebut sulit, dan dapat memberi hasil yang membingungkan apabila ada cedera spinal. Tidak adanya pergerakan mata saat dirangsang harus dikonfirmasi dengan stimulasi kalorik dingin, dimana timpani diirigasi dengan air es setelah kepala dimiringkan 30 derajat. Seharusnya tidak ada deviasi tonus ke arah stimulus dingin. Adanya bekuan darah atau serumen di kanal telinga mungkin menghalangi respon pada orang yang tidak mengalami kematian otak.
Pemeriksa harus menguji adanya refleks kornea dengan menyentuh ujung kornea dengan ujung kapas pembersih untuk menghasilkan stimulus yang adekuat. Respon batuk dapat diuji dengan suction bronkhial, karena menggerakkan pipa trakhea maju mundur mungkin tidak menghasilkan rangsang yang cukup (Wijdicks, 2001).
Setelah tampak bahwa refleks batang otak tidak ada, apnea harus diuji. Oksigenasi difusi apnea adalah prosedur yang dilakukan untuk mempertahankan oksigenasi saat pengujian. Batas stimulasi maksimal pusat pernapasan di medula oblongata (yang dapat mengalami gangguan fungsi akibat cedera) telah diatur di Amerika Serikat pada tekanan parsial karbon dioksida setinggi 60 mmHg atau lebih tinggi 20 mmHg daripada nilai dasar normal. Pelepasan ventilator akan memungkinkan tekanan parsial karbon dioksida untuk meningkat di atas 60 mmHg dan pH turun di bawah 7,28 dalam waktu 8 hingga 10 menit. Pada pasien yang menggunakan bantuan ventilator, oksigenasi dipertahankan dengan memberikan preoksigenasi dan menggunakan oksigen aliran rendah (biasanya 5 hingga 6 L. menit) yang dihantarkan melalui kateter yang ditempatkan di trakhea setinggi karina.
Bila aspek-aspek pemeriksaan klinis tidak dapat dilakukan maka prosedur diagnosis pendukung dapat dipertimbangkan. Absennya aliran darah intracranial, ditunjukkan dengan pindaian radionuklida atau angiografi serebral 4-vasa, akan sangat mendukung diagnosis kematian otak. Elektroensefalografi telah terbukti tidak dapat diandalkan dalam menjadi uji pendukung untuk kematian otak dan tidak lagi disertakan dalam panduan praktek. Potensial pacuan batang otak, Doppler intracranial, pencitraan lain seperti MRI dan uji atropine kini masih dalam investigasi untuk menentukan manfaatnya dalam mendukung diagnosis kematian otak (Lazar et al, 2001).
Walaupun banyak publikasi yang membahas tentang isu kematian otak, terdapat kekurangan dalam literatur yang berbasis bukti untuk mendukung praktek di masa sekarang sehubungan dengan penentuan kematian otak. Beberapa aspek yang masih menjadi kontroversi adalah sebagai berikut:
• Keahlian dokter
Walaupun ada beberapa panduan dan ketentuan memberikan spesifikasi kualifikasi dari dokter yang terlibat dalam penentuan kematian otak, banyak yang tidak memberikan hal tersebut. tidak ada bukti di literatur untuk merekomendasikan adanya spesialisasi. Dokter yang menangani perawatan kritis, spesialis ilmu saraf, anestesiologis, dan ahli bedah trauma umumnya terlibat dalam penanganan pasien yang mengalami cedera otak. Pelatihan yang tepat yang dilengkapi dengan keahlian klinis mungkin lebih penting daripada spesialisasi dari dokter yang ada. Banyak panduan yang secara eksplisit mengeksklusi dokter yang terlibat dalam transplantasi organ dari pasien yang menjalani proses penentuan kematian otak, seperti dimandatkan oleh hukum di semua propinsi Kanada.
• Kriteria klinis
Penilaian klinis untuk menentukan kematian otak sangat mirip di kebanyakan panduan. Sementara pemeriksaan menyeluruh kadang terhambat oleh kondisi dari cedera yang dialami pasien, namun secara umum semuanya merekomendasikan tes diagnosis ansiler untuk dilakukan. Semua panduan menuntut hilangnya respon yang dimediasi saraf pusat terhadap nyeri. Sebagian pasien mungkin masih menunjukkan beberapa aktivitas spinal refleks yang mungkin dapat menyesatkan pengamat umum atau klinisi yang tidak berpengalaman. Aktivitas refleks spinal yang teramati dapat berkisar dari kedutan yang pelan hingga “Tanda Lazarus” yang lebih kompleks. Tetap adanya refleks-refleks ini tetap sejalan dengan kematian otak seperti dikonfirmasi oleh uji elektroensefalografi atau absennya aliran darah otak.
Terdapat perbedaan tipis pada berbagai panduan berkaitan dengan penilaian respon pupil terhadap cahaya dan derajat dilatasi, namun tidak ada dasar ilmiah untuk perbedaan-perbedaan tersebut yang diidentifikasi dengan jelas. Kebanyakan panduan tidak mencantumkan refleks okulosefalik atau doll’s eye. Walaupun demikian, Pallis dan Harley merekomendasikan inklusi respon doll’s eye walaupun tidak dituntut oleh hukum United Kingdom untuk penentuan kematian otak.
Penentuan apnea persisten dituntut oleh semua panduan walaupun akhir dari evaluasi tersebut tidak konsisten. Pada negara-negara yang tidak terlalu maju secara teknis, apnea yang ditentukan oleh pemutusan ventilator mungkin cukup. Bagaimanapun, kebanyakan panduan pada negara-negara barat membutuhkan dokumentasi dari batas apnea dengan analisis gas darah arteri, sementara di United Kingdom batas PaCO2 ≥50 mmHg dibutuhkan. Kebanyakan panduan Amerika Utara merekomendasikan batas apnea PaCO2 ≥60 mmHg. Beberapa panduan juga membutuhkan dokumentasi pH asam <7,28. Basis bukti untuk batas tersebut tidak ada.
• Pemeriksaan klinis berikutnya dan interval waktu
Evaluasi klinis sekunder menjadi bagian dari panduan bahkan sejak kriteria Harvard tentang kematian otak. Walaupun riwayat dari pemeriksaan sekunder in tidak terlalu jelas, namun kemungkinan kegunaannya adalah untuk meminimalkan terjadinya kesalahan teknis pada pemeriksaan.
Kebanyakan panduan klinis meminta dilakukannya dua pemeriksaan klinis dalam batas interval waktu yang ditentukan tergantung dari etiologi cedera otak. Yang paling sering, direkomendasikan adalah memberikan periode observasi selama 24 jam antar pemeriksaan. Pada pasien dengan cedera otak hipoksik – iskemik. Bagaimanapun, banyak panduan yang cenderung tidak spesifik dalam memberikan interval waktu pada kondisi klinis yang lain. Waktu interval cenderung menurun dibandingkan dengan panduan paling awal yang dikeluarkan oleh komite ad hoc Harvard Medical School. Beberapa panduan seperti yang dikembangkan oleh Australiand and New Zealand Intensive Care Society (ANZICS) memandatkan harus ada dua dokter yang menentukan kematian otak bila akan dilakukan transplantasi organ, sementara lainnya tidak. Lebih seringnya, seorang dokter dapat melakukan kedua pemeriksaan klinis. Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung posisi tersebut dalam literatur.
• Panduan yang sesuai usia
Hanya sedikit dasar ilmiah untuk pnduan yang spesifik sesuai usia. Walaupun demikian, hampir semua panduan menyebutkan bahwa protokol harus disesuaikan bila mengevaluasi neonatus dan bayi. Kebanyakan badan setuju bahwa kritria klinis dewasa dapat diterapkan pada anak dengan usia di atas 52 minggu. Bagaimanapun, pemeriksaan klinis sendiri umumnya tidak cukup untuk anak berusia di bawah satu tahun. American Academy of Pediatrics Task Force on Brain Death in Children merekomendasikan waktu interval antar pemeriksaan yang disesuaikan dengan usia pasien.
• Faktor-faktor yang menyesatkan
Telah dikeahui bahwa hipotermia, yang didefinisikan sebagai suhu inti tubuh <32O C, menginduksi hiporefleksia dan pada suhu <28O C dapat terjadi arefleksia. Walaupun demikian, derajat kesadaran dan suhu inti tubuh tidak terlalu berkaitan. Banyak panduan memasukkan batas temperature inti tubuh dalam menentukan kematian otak secara klinis, namun batas yang direkomendasikan bervariasi dari 32,2O C hingga 36,0O C tanpa dasar bukti yang jelas untuk batas-batas tersebut.
Penentuan kematian otak saat diketahui ada terapi atau intoksikasi obat yang diminum sendiri menuntut perhatian atas profil farmakokinetik dari agen yang diketahui tersebut. Bila tidak diketahui apa agen yang diberikan pada pasien, skriing obat harus dipertimbangkan, dan tes ansiler untuk mengkonfirmasu henti sirkulasi serebral direkomendasikan.
Bila semua kriteria kematian otak terpenuhi, tidak ada kebutuhan untuk melakukan tes ansiler. Namun, kadang cedera traumatik mata dan telinga sering menyertai cedera otak dan dapat ditemukan gangguan metabolik pada pasien yang mengalami cedera otak.
Panduan yan dipublikasikan berkaitan dengan tes ansiler umumnya merekomendasikan penilaian aliran darah otak keseluruhan atau elektroensefalografi. Dua tes diagnosis yang dapat mengidentifikasi henti sirkulasi serebral secara menyeluruh adalah angografi serebral dan angiografi radionuklida Tc-99m heksamethilpropilen-amin oksim (Tc-HMPAO) (Baron et al, 2006).
TES DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK
Tiga temuan utama dalam kematian otak adalah koma atau tidak adanya respon, absennya refleks batang otak, dan apnea. Pemeriksaan klinis dari batang otak meliputi tes refleks batang otak, penentuan kemampuan pasien untuk bernapas secara spontan, dan evaluasi respon motor terhadap nyeri.
1. Koma atau tidak adanya respon.
Pengujian respon motor dari ekstremitas diuji dengan stimulasi nyeri penekanan daerah supraorbita dan dasar kuku. Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah kemungkinan adanya respon motorik (“Lazarus sign”) yan dapat terjadi secara spontan selama tes apnea, seringkali pada kondisi hipoksia atau episode hipotensi, dan berasal dari spinal. Agen penyekat neuromuskuler juga dapat menghasilkan kelemahan motorik yang cukup lama.
2. Absennya refleks batang otak.
A. Pupil.
Pengujian terhadap refleks pupil dilakukan dengan menguji respon terhadap cahaya yang terang. Kematian otak akan menunjukkan pupil yang berbentuk bulat, oval, ataupun ireguler. Kebanyakan pupil pada pasien yang mengalami kematian otak akan berada pada ukuran 4 hingga 6 mm, namun ukuran dapat bervariasi dari 4 hingga 9 mm. Pupil yang mengalami dilatasi menggambarkan kematian otak, karena jalut servikal simpatis yang berhubungan dengan serat otot dilator yang tersusun radial masih dapat tetap utuh.
Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah bahwa banyak obat dapat mempengaruhi ukuran pupil. Pada dosis konvensional, atropin yang diberikan secara intravena tidak memberikan pengaruh apa-apa terhadap respon pupil. Karena tidak ada reseptor nikotinik di iris, obat penyekat neuromuskuler tidak mempengaruhi ukuran pupil. Pemberian obat topikal di mata dan trauma kornea atau bulbus okuli dapat menyebabkan abnormalitas ukuran pupil dan menyebabkannya menjadi non reaktif. Abnormalitas anatomis yang telah ada sebelumnya pada iris ataupun efek dari operasi harus dieksklusi.
B. Pergerakan okuler.
Gerakan okuler akan absen setelah dilakukan gerakan memutar kepala da tes kalorik dengan air es. Pengujian ini hanya dilakkan setelah dipastikan tidak ada fraktur atau instabilitas dari servikal atau pada pasien dengan cedera kepala. Vertebra servikal harus diperiksa dengan pencitraan untuk menunjukkan tidak adanya fraktur atau instabilitas potensial. Refleks okulosefalik yang dirangsang dengan menggerakkan kepala secara cepat dan tegas dari posisi tengah ke posisi 90 derajat kiri dan kanan, pada orang normal akan menghasilkan deviasi mata ke arah berlawanan dengan gerakan kepala. Pergerakan mata vertikal juga diuji dengan melakukan fleksi leher. Pada kematian otak, tidak akan ditemukan adanya pembukaan kelopak mata dan pergerakan mata vertikal dan horizontal.
Uji kalori dilakukan dengan kepala yang dielevasikan 30 derajat selama irigasi dari tympanum di tiap sisi telinga dengan 50 ml air es. Irigasi tympanum dilakukan paling baik dengan menggunakan kateter suction kecil di kanal auditorik eksternal dan menghubungkannya dengan siring 50 ml yang diisi dengan air es. Deviasi tonus dari mata yang muncul akibat rangsang kalorik dingin tidak akan muncul pada kematian otak. Investigator harus mengamati hingga 1 menit setelah pemberian stimulus, dan waktu antara pemberian rangsang pada tiap sisi harus minimal 5 menit.
Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan respon kalorik, yakni sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, dan agen kemoterapi. Setelah cedera kepala atau trauma fasial, edema kelopak mata atau kemosis konjungtiva dapat menghambat pergerakan bola mata. Bekuan darah atau serumen dapat juga mengurangi respon kalorik, dan uji dilakukan ulang setelah pemeriksaan inspeksi langsung tympanum. Fraktur basal dari tulang petrosus dapat menghilangkan respon kalorik secara unilateral dan dapat diidentifikasi dengan prosesus mastoideus yang ekimoses.
C. Sensasi fasial dan respon motor fasial
Refleks kornea harus diuji dengan swab tenggorok. Refleks kornea dan refleks rahang harus absen. Wajah yang mengernyit saat diberikan rangsang nyeri dapat diuji dengan memberikan tekanan dalam dengan obyek tumpul pada dasar kuku, tekanan pada daerah supraorbita, atau tekanan yang dalam pada kedua kondilus setinggi sendi temporomandibuler.
Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini adalah adanya trauma fasial yang berat sehingga dapat mengganggu interpretasi refleks batang otak.
D. Refleks faring dan trakhea
Respon tersedak, yang diuji dengan merangsang faring posterior dengan laringoskop, harus absen. Tidak adanya refleks batuk pada suction bronkhial juga harus tampak.
Dalam pemeriksaan ini, harus diperhatikan bahwa pada apsien yang diintubasi secara oral, respon tersedak mungkin sulit untuk diamati.
3. Apnea
Pada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum dilakukannya pengujian. Perubahan yang penting pada tanda vital (misalnya hipotensi yang mencolok, aritmia kardia berat) yang ditemukan pada pemeriksaan apnea dapat berkaitan dengan kurangnya pengamatan terhadap kondisi-kondisi yan dilakukan sebelum pengujian, walaupun perubahan tersebut dapat terjadi secara spontan karena asidosis yang meningkat. Sehingga, persyaratan-persyaratan berikut ini harus diperhatikan: (1) suhu inti lebih dari atau sama dengan 36,5O C (4,5O C lebih tinggi dari suhu yang menjadi persyaratan diagnosis klinis kematian otak yakni 32O C), (2) tekanan darah sistolik yang lebih tinggi atau sama dengan 90 mm Hg, (3) euvolemia (atau lebih baim apabila balans cairan positif selama 6 jam sebelumnya), (4) eukapnea (atau apabila PCO2 arteri lebih dari atau sama dengan 40 mm Hg), dan (5) normoksemia (atau apabila PO2 arteri lebih dari atau sama dengan 200 mm Hg). Oksimeter pulsa dihubungkan pada pasien.
Pengujian dilakukan dengan tahap-tahap berikut:
• Memutus hubungan dengan ventilator
• Memberikan O2 100% 6 l/menit. Pilihannya adalah dengan menempatkan kanul setinggi karina.
• Amati dengan seksama pergerakan respirasi. Respirasi didefinisikan dengan pergerakan abdomen atau dada yang menghasilkan volume tidal yang adekuat. Bila ada, respirasi dianggap ada pada uji apnea ini. Saat terjadi gerakan yang mirip dengan respirasi, maka harus diamati hingga akhir uji apnea, dmana oksigenasi berada pada level yang lebih rendah. Saat hasilnya meragukan, spirometer dapat dihubungkan dengan pasien untuk memastikan bahwa tidak ada volume tidal.
• Ukur PO2, PCO2, dan pH arteri setelah kira-kira 8 menit dan hubungkan kembali dengan ventilator.
• Bila gerakan respirasi tidak ada dan PCO2 arteri sama dengan atau lebih dari 60 mm Hg (pilihan lain adalah PCO2 yang meningkat 20 mm Hg dari PCO2 normal dasar), maka tes apnea dinyatakan positif (sehingga mendukung diagnosis klinis kematian otak).
• Bila teramati adanya gerakan respirasi, maka tes apnea dinyatakan negatif (sehingga tidak mendukung diagnosis klinis kematian otak), dan tes harus diulang.
• Bila selama tes apnea tekanan darah sistolik menjadi ≤90 mm Hg, oksimeter pulsa menunjukkan desaturasi, dan terjadi aritmia kardia, segera ambil sampel darah, hubungkan dengan ventilator, dan lakukan analisa gas darah arteri. Tes apnea memberikan hasil positif, apabila PCO2 arteri lebih dari atau sama dengan 60 mm Hg atau meningkat 20 mm Hg dari PCO2 normal dasar. Bila PCO2 kurang dari 60 mm Hg, atau peningkatannya kurang dari 20 mm Hg, hasilnya tidak dapat dipastikan. Pada kondisi ini, dimana terdapat instabilitas kardiovaskuler bersamaan dengan ketidak jelasan batasan atas PCO2 dimana terjadi stimulasi maksimal terhadap pusat pernafasan, maka tergantung pada dokter untuk memutuskan apakah diperlukan tes konfirmasi untuk memastikan diagnosis klinis kematian otak.
• Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm Hg, dan tidak ada aritmia kardia atau hipotensi signifikan, tes dapat diulang dengan apnea selama 10 menit. (Wijdicks, 1994. Wijdicks, 2001. Beterhealt,2000. Eduardo,2009)
Tes tambahan untuk konfirmasi kematian otak harus memenuhi kriteria berikut:
1. Tidak boleh ada positif palsu, sehingga saat tes mengkonfirmasi adanya kematian otak, maka tidak boleh ada pasien yang sembuh atau memiliki potensi untuk sembuh.
2. Tes harus dapat berdiri sendiri dalam menegakkan apakah kematian otak benar-benar terjadi atau tidak.
3. Tes tidak boleh dipengaruhi faktor yang dapat menyesatkan seperti efek obat atau gangguan metabolik.
4. Tes harus distandarisasi dalam hal teknologi, teknik, dan klasifikasi hasilnya.
5. Tes harus dapat diperoleh secara umum, aman, dan dengan mudah dilakukan. Tes tidak boleh terbatas pada beberapa pusa penelitian saja; idealnya ia harus dapat diterapkan pada semua Intensive Care Unit (ICU) dan teknik harus dapat diandalkan dan mudah dipelajari.
Tes-tes tambahan yang ada saat ini terutama meliputi tes elektrofisiologis (elektroensefalografi, potensial pacuan somatosensorik dan potensial pacuan pendengaran batang otak, dan respon pacuan motorik), tes aliran darah otak (angiografi serebri empat vasa, tes kedokteran nuklir aliran darah otak, Doppler transkranial, MRI, angiografi resonansi magnetik, dan pemeriksaan CT), dan pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan metabolisme, pemeriksaan oksigen vena jugularis, dan tes atropin.
Saat dilakukan secara kontinyu, pemantauan elektroensefalografi dapat menunjukkan supresi tegangan secara umum, yang dapat menunjukkan pada klinisi adanya kematian otak. Namun, EEG telalu anatomis, dan terbatas secara fisilogis. EEG merekam aktivitas hanya dari lapisan korteks yan berada tepat di bawah kulit kepala dan tidak merekam dari struktur sbkorteks, seperti batang otak atau thalamus, dan hanya memberikan cakupan yang terbatas dari permukaan cembung otak besar. Lebih jauh lagi, tidak semua frekuensi EEG tertangkap sehingga dapat memberikan hasil datar atau isoelektrik saat ada neuron yang masih hidup di batang otak atau tempat lain.
Hanya ada sedikit penelitian yang menguji validitas dari EEG dalam kaitannya dengan kematian otak. EEG juga memiliki kelemahan, dimana dapat terjadi gangguan dari faktor-faktor yang dapat menyesatkan, seperti terjadinya gambaran yang datar atau isoelektris saat terjadi overdosis barbiturat atau anestesi yang dalam, dimana keduanya merupakan kondisi yang reversibel. Sehingga, pada tes EEG dapat terjadi positif palsu maupun negatif palsu, membuat EEG menjadi suatu tes yang jauh dari ideal untuk penentuan kematian otak.
Saat diperlukan konfirmasi untuk penentuan kematian otak, tes aliran darah ke otak dianggap lebih tepat. Tes yang menunjukkan absennya aliran darah ke otak umumnya diterima sebagai penegakan kematian otak yang memiliki kepastian, karena konsep bahwa apabila otak tidak mendapatkan suplai darah selama periode waktu tertentu akan mati sudah diyakini secara luas. Tentunya kondisi hipotermia dan hipotensi transien yang reversibel harus disingkirkan. Kematian otak dapat disertai dengan baik edema jaringan ataupun efek massa yang menyebabkan tekanan intrakranial menjadi sama atau lebih dari tekanan darah sistolik dan tekanan darah arteri rata-rata. Konsekuensinya, darah tidak memasuki kompartemen intrakranial, atau hanya memasuki selama sistol, mengakibatkan tidak terjadinya perfusi ke jaringan otak, sehingga menyebabkan kematian sel neuron dan glia otak, tes aliran darah otak memberikan metode yang dapat diterima dan dapat berdiri sendiri dalam menegakkan kematian otak. Tes tersebut tidak disesatkan oleh obat, gangguan metabolik, atau hipotermia. Syarat sebelumnya adalah bahwa tekanan darah sistemik harus adekuat, dimana pasien tidak dalam kondisi syok. Tes aliran darah otak meliputi angiografi empat vasa (karotis dan vertebral), TCD, MRI, dan MRA, angiografi CT, dan tes kedokteran nuklir. Tes yang lebih akurat untuk perfusi lebih dipilih, yakni angiografi dan CT emisi foton tunggal (SPECT), dibandingkan dengan pencitraan sirkulasi otak dua dimensi.
Tes perfusi jarang memberikan hasil negatif palsu, dimana ditemukan perfusi struktur arteri atau vena pada pasien yang telah dikonfirmasi mengalami kematian otak secara patologis dan klinis. Ini terutama terjadi pada kondisi dimana tekanan intrakranial menurun akibat mekanisme dekompresi, seperti kraniektomi dekompresif, fraktur tengkorak, pintasan ventrikuler atau anak dengan tengkorak yang masih rapuh. Negatif palsu tersebut jarang terjadi. Harus diingat bahwa adanya aliran darah tidak serta merta mengeksklusi kemungkinan kematian otak. Harus diingat bahwa dalam melakukan tes konfirmasi kematian otak, negatif palsu tidak lebih bermasalah daripada positif palsu, karena lebih berbahaya apabila seseorang secara keliru dinyatakan mengalami kematian otak daripada bila seseorang dinyatakan tidak mati otak padahal sesungguhnya telah terjadi kematian otak.
Tes yang menjadi standar emas tes konfirmasi kematian otak adalah angiografi serebral empat vasa. Tes ini invasive dan harus dilakukan dengan memndahkan pasien ke departemen radiologi. Absennya pengisian darah intrakranial dari arteri karotis interna atau vertebra harus didahului oleh tekanan intrakranial yang melebihi tekanan darah arteri rata-rata.
Selain tes konfirmasi, tidak ada tes lain yan dapat dipertimbangkan secara serius. Tes atropin misalnya, hanya memberikan penilaian dari fungsi medulla yang terbatas. Atropin adalah obat antikolinergik yang akan menghilangkan tonus vagus yang tersisa, seperti dibuktikan dengan peningkatan denyut jantung. Pada kematian otak, tes atropin akan menyebabkan peningkatan denyut jantung <3%. Karena nukleus vagus motor dorsal berada di medulla, tes ini hanya memberikan penilaian yang terbatas dari fungsi medulla kaudal. Walaupun ini merupakan bagian dari otak yang akan tersisa pada kematian otak, tes ini hanya memberikan penilaian yang sangat terbatas.
Penentuan saturasi oksigen vena pada bulbus jugularis (di mana rasio antara saturasi oksigen vena sentral dan bulbus jugularis <1) terbukti memiliki sensitivitas setingi 96,6% dan spesifisitas 9,3% pada kematian otak, namun Young et al menemukan satu orang yang hidup dengan rasio yang kurang dari 1. Tes ini tidak didapatkan di semua pusat pelayanan kesehatan, dan membutuhkan keterampilan khusus untuk insersi kateter. (Young et al. 2006)
KESIMPULAN
Berbagai teknik yang ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan pernapasan walaupun pasien telah mati telah memunculkan persepsi baru tentang definisi kematian sebagai hilangnya fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan paru, dimana kematian dapat ditentukan berdasarkan kriteria neurologis. Kematian otak kebanyakan diakibatkan oleh cedera kepala berat dan perdarahan intrakranial.
Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan apnea. Pada pasien, harus diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi. Harus ditemukan kondisi cedera otak berat yang konsisten dengan proses terjadinya kematian otak, tidak bernafas secara spontan, dan hasil yang negatif pada pemeriksaan refleks-refleks batang otak.
Saat ini masih banyak kontroversi berkaitan dengan penentuan kematian otak, karena masih kurangnya literatur atau panduan yang berbasis bukti.
KOMENTAR :
1. Buat tabel yang sederhana tentang kematian otak dibeberapa negara : persamaan dan perbedaannya
2. Buat tabel sederhana tentang pemeriksaan kematian otak ( Cara – caranya ) di Indonesia
3. Kesimpulan : TAMBAH tentang pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan.
4. Kalau sudah diperbaiki kirim kembali ke saya ( sudah diprint biar bisa ditanda tangani )
DAFTAR PUSTAKA
Thomas M Walshe, The diagnosis of brain death. N Engl J Med 2001 Apr 19 344 1215-1221
Eelco F. M. Wijdicks, The diagnosis of brain death , review articles, N Engl J Med, vol. 344, no. 16- april 19 2001.
So Hing-Yu, MBBS, FANZCA FFICANZCAFHKAM(Anesthesiology), UPDATE ARTICLE Brain Death, Honng Kong Practitioner 16 (II) November 1994.
Christopher James Doig MD, Brain death: resoving inconsistencies in ethical declaration of death, Can J ANESTH 2003/ 50:7 / pp 725-731.
Pernyataan IDI tentang mati. Surat Keputusan PB IDI No 231/PB/A.4/90.
Sunatrio S. Penentuan Mati . Bagian Anestesiologi FKUI/RSCM ,2006.
Safar P. Resusitasi Jantung Paru Otak. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1984:185.
Sunatrio S: Penentuan mati/Pengakhiran resusitasi dan euthanasia pasif di ICU. Lokakarya tentang Mati & Euthanasia pasif, PKGDI 1986.
Stephen T. Mernoff, MD, Brain Death: Neurologist’s Perspective, clinical Assistant profesor of neurology, brown medical school,neurorehabilitation program, rehabilitation hospital of rhode island.
Guidelines For Detremining Brain Death, New York State Departement of Health, December 2005
Neil M.Lazar. Sham Shemie et al. Bioethics For Clinicians 24. Brain Death. C MAJ Mar 20,2001;164 (6).
Guidelines On Certification Of Brain Death, The Hong Kong Society Of Critical Care Medicine, journal of the Royal College of Physicians of London 1995, 29:381-2.
Leonard Baron MD, et al. Neuroanestesia and Intensive Care. Brief Review: History, Concept And Controversies In The Neurological Determination Of Death. CAN J Anesth 2006/53;6/pp 602-608.
Carlos Eduardo Reis MD. MEDSTUDENTS-NEUROLOGY: Brain Death Criteria
Betterhealth Channel. Article Brain Death; WWW.betterhealth.vic.gov.au.
G. Bryan Young MD FRCPC. Et al. Brief Review: The Role Of Ancillary Tests In The Neurological Determination Of Death. CAN J Anesth 2006/53;6/pp 620-627.
PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS
PENDAHULUAN
ANATOMI JALAN NAFAS
Jalan Nafas Supraglotis
Laring
Jalan Nafas Subglotis
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN ANATOMI JALAN NAFAS NORMAL
Prediksi
Preparasi
PERLENGKAPAN UNTUK PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS SULIT
TEHNIK JALAN NAFAS LANJUTAN
KERETA PERLENGKAPAN JALAN NAFAS SULIT
PENDEKATAN UNTUK ANESTESI JALAN NAFAS
Pilihan Pemberian
LATIHAN
KESIMPULAN
PENDAHULUAN
Pentingnya penatalaksanaan jalan nafas tidak dapat dipandang mudah. Seorang dokter anestesi adalah orang yang paling mengerti dalam penatalaksanaan jalan nafas. Kesulitan terbesar dari seorang dokter anestesi adalah bila jalan nafas tidak dapat diamankan. Penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas yang normal adalah kunci penting dalam latihan penanganan pasien. Pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit penting untuk dilakukan penanganan. Berbagai penelitian melaporkan bahwa 1 - 18% pasien memiliki anatomi jalan nafas yang sulit. Dari jumlah ini 0,05 - 0,35% pasien tidak dapat diintubasi dengan baik, bahkan sejumlah lainnya sulit untuk diventilasi dengan sungkup. Jika kondisi ini ditempatkankan pada seorang dokter yang memiliki pasien sedang sampai banyak maka dokter tersebut akan menemui 1 – 10 pasien yang memiliki anatomi jalan nafas yang sulit untuk diintubasi. Efek dari kesulitan respirasi dapat berbagai macam bentuknya, dari kerusakan otak sampai kematian. Resiko tersebut berhubungan dengan tidak adekuatnya penatalaksanaan jalan nafas pasien yang dibuktikan pada jumlah kasus-kasus malpraktek yang diperiksa oleh American Society of Anesthesiologist Closed Claims Project. Pada kasus-kasus yang sudah ditutup tersebut terhitung bahwa jumlah terbanyak insiden kerusakan otak dan kematian disebabkan oleh kesulitan respirasi. Tujuan dari bab berikut adalah mendiskusikan dasar-dasar dari anatomi jalan nafas dan penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit.
ANATOMI JALAN NAFAS
Secara sistem, jalan nafas dimulai dari bagian luar yaitu mulut dan hidung kemudian berakhir di alveolar. Pemahaman mengenai anatomi jalan nafas dapat membantu penatalaksanaan pasien selama periode operatif. Pada bagian berikutnya akan dilakukan peninjauan mengenai dasar anatomi jalan nafas dan fungsionalnya. Anatomi jalan nafas akan didiskusikan dalam beberapa bagian yaitu jalan nafas supraglotis, laring dan jalan nafas subglotis.
Jalan Nafas Supraglotis
Hidung
Hidung berfungsi melembabkan dan menghangatkan udara saaat udara masuk kedalam hidung. Udara yang masuk dari hidung dibatasi dengan ukuran dari turbin pada lubang hidung, dimana didalamnya banyak terdapat pembuluh darah, sehingga pada pemasukan endotracheal tube atau bronchoscope melalui hidung dapat menyebabkan banyak perdarahan. Septum nasal kadang berdeviasi pada beberapa orang sehingga menyebabkan salah satu lubang hidung akan menyempit dibandingkan dengan sisi sebelahnya. Nasofaring kemudian terbuka dan menyambung dengan orofaring. Cabang dari Nervus V yang akan menginervasi sensorik pada hidung.
Faring
Ruang pada bagian posterior rongga mulut dapat dibagi dalam nasofaring, orofaring, dan hipo faring. Jaringan limfoid pada sekitar faring dapat mempersulit proses intubasi dengan endotracheal tube karena jaringan tersebut menutupi jalan masuk. Otot internal dari faring membantu proses menelan dengan mengangkat palatum. Sedangkan otot eksternalnya merupakan otot konstriktor yang membantu mendorong makanan masuk kedalam esophagus. Gerakan otot ini dapat mempengaruhi jalan masuk dari endotracheal tube pada pasien yang akan dilakukan intubasi sadar ataupun pada pasien yang teranestesi ringan. Persarafan sensorik dan motorik dari faring berasal dari Nervus Kranial IX kecuali pada Muskulus Levator Veli Palatini yang dipersarafi oleh Nervus Kranial V.
Penyumbatan jalan nafas dapat terjadi pada daerah faring. Ini terjadi pada saat timbulnya pembengkakan yang akan membatasi masuknya udara. Penyumbatan tersebut terjadi pada daerah Palatum Molle yang kemudian menepel pada dinding nasofaring. Contoh lidah dapat jatuh kebelakang dan kemudian akan menyumbat jalan nafas dengan menempel pada dinding posterior orofaring. Kondisi ini dapat terjadi pada pasien yang tersedasi dan teranestesi ataupun pada pasien sewaktu tidur. Penyumbatan terjadi akibat penurunan tonus otot dan penurunan fungsi lumen faring. Pada pasien yang bernafas spontan, penurunan fungsi lumen jalan nafas dapat berhubungan dengan meningkatnya frekuensi respirasi dan menghasilkan jumlah tekanan negatif yang besar dibawah tingkat obstruksi. Keadaan ini dapat menjadi lebih buruk dengan penyumbatan yang timbul akibat adanya tekanan negatif yang menekan jaringan lunak ke daerah yang kolaps. Permasalahan seperti ini terdapat pada pasien dengan obstuktive sleep apnea.
Laring
Laring memiliki bentuk yang rumit yang berfungsi yaitu melindungi jalan nafas bawah, sebagai salah satu organ untuk fonasi, dan membantu proses pernafasan. Semua fungsi tersebut bergantung pada proses interaksi antara kartilago, tulang, dan jaringan lunak yang merupakan komponen dari faring dan laring. Laring memiliki 9 kartilago yaitu Epiglotis, Tiroid, Krikoid, Sepasang Aritenoid, Sepasang Cuneiformis dan Sepasang Corniculata. Laring memiliki otot-otot ekstrinsik dan intrinsik. Persarafan sensorik dan motorik dari jalan nafas bagian atas juga banyak.
Struktur Laring
Bentuk struktur laring terdapat pada gambar 6-1. Tulang Hyoid akan menggantung pada laring dan menempel pada tulang Temporal melalui ligament Stylohyoid.
Kartilago Laring
Kartilago Tiroid : Merupakan kartilago terbesar dari laring dan memiliki sudut yang lebih tajam pada laki-laki sehingga memberikan bentuk menonjol dan panjang. Memberikan nada rendah pada pita suara. Kartilago ini melekat pada membrane Hyoid di bagian atas dan berartikulasi dengan kartilago Krikoid di bagian bawah. Bagian batang Epiglottis dan ligamen Vestibular melekat pada permukaan bagian dalamnya.
Kartilago Krikoid : Berbentuk cincin utuh dengan bagian belakang yang lebih lebar melekat pada Esophagus. Sudut anterior melekat pada kartilago tiroid melalui membrane Cricotiroid. Membran Cricotiroid tidak memiliki pembuluh darah sehingga dapat menjadi akses jalan nafas dalam keadaan gawat darurat dengan cara insisi di bagian tengahnya atau dengan menusukan jarum pada bagian tengahnya.
Kartilago Aritenoid : Berbentuk pyramidal, Aritenoid adalah tempat tambatan bagi beberapa otot internal laring dan juga bagi pita suara. Kartilago Cuneiformis dan Corniculata melekat pada kartilago ini melalui ligamennya.
Epiglotis : Merupakan stuktur bentuk kartilago yang besar berbentuk tetesan air atau daun atau sadel sepeda. Sifatnya flesibel dengan ukuran yang berbagai macam. Terletak vertical dibelakang tulang Hyoid dan melekat pada ligamen Hyoepiglotis. Dasar epiglottis melekat pada Aritenoid melalui lipatan Aryepiglotis. Mukosa dari Epiglotis berjalan ke anterior dan lateral membentuk ruang antara lipatan Faringoepiglotis yang disebut Valecula. Ruang ini merupakan tempat jatuhnya benda asing seperti makanan dan juga merupakan tempat yang tersedia untuk meletakan ujung dari bilah laringoskop Macintosh.
Interior Laring
Bagian dalam laring merupakan struktuk bentuk yang rumit juga. Lekukan pada laring dari faring berbentuk hampir tegak lurus. Rongga laring dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Vestibula memanjang dari lengkung laring kearah lipatan vestibular yang disebut sebagai pita suara palsu. Ventrikel laring memanjang dari pita suara palsu sampai ke pita suara asli. Daerah antara pita suara saat menutup dan kartilago Aritenoid disebut Rima Glotis. Bagian ini adalah bagian yang paling dangkal dari jalan nafas atas pada orang dewasa. Infraglotis laring memanjang dari pita suara sampai bagian atas trakea dibatasi oleh membrane Cricotiroid dan kartilago Krikoid. Daerah ini adalah daerah yang paling dangkal pada jalan nafas anak (gambar 6-2).
Otot-Otot Laring
Otot-otot ekstrinsik laring bekerjasama dengan bagian laring lainnya untuk bergerak pada proses menelan. Otot-otot ini termasuk Sternohyoid, Sternothyroid, Thyrohyoid, Thyroepiglottis, Stylopharingeus, dan Konstriktor Pharingeal Inferior. Otot-otot dalam laring meng aduksi pita suara untuk menutup pada saat menelan dan abduksi pada saat inspirasi serta mengubah tegangan pada pita suara selama proses fonasi. Otot-otot dari laring ini adalah :
Oblique Arytenoid ; Menutup Rima Glotis.
Tranverse Arytenoid ; Adduksi Arytenoid, menutup Rima Glotis.
Lateral Cricoarytenoid ; Adduksi pita suara.
Posterior Cricoarytenoid ; Abduksi pita suara.
Cricithyroid ; Tegangan pada pita suara.
Thyroarytenoid ; Relaksasi tegangan pada pita suara.
Vocalis ; Relaksasi pita suara.
Penutupan pada laring adalah proses yang penting. Laring dfapat ditutup pada tiga bagian : lipatan Aryepiglottis, pita suara palsu dan pita suara asli. Laring akan menutup selama proses menelan dimana akan terjadi tiga tahap pada proses tersebut : pertama, makanan akan didorong kearah posterior faring oleh lidah, kedua, tahap menelan, proses respirasi akan berhenti, otot palatoglosal berkontraksi dan orofaring tertutup dari nasofaring dan laring dengan kerjasama antara beberapa otot yang menarik laring superior agar epiglottis menutup laring. Pada tahap ketiga proses penelanan makanan yang membawa makanan masuk ke Esophagus.
Persarafan Laring
Struktur laring mempunyai persarafan sensorik dan motorik (tabel 6-1), Fungsi motorik sebagai adduksi (penutupan pita suara), abduksi (membuka pita suara) dan tegangan (menegangkan pita suara untuk mengeluarkan suara dengan nada tinggi). Semua persarafan sensorik dan motorik dari otot-otot intrinsic laring berasal dari percabangan Nervus Vagus. Nervus Laringeal Superior adalah cabang dari Nervus Vagus yang berjalan di sisi dalam Arteri Carotis sebelum terbagi menjadi cabang external dan internal. Cabang internal yang besar masuk kedalam membrane Thyroid dan Os. Hyoid. Cabang ini kemudian akan mempersarafi sensorik dari laring. Cabang eksternal dari Nervus Laringeal Superior membawa serabut motorik dari Nervus Assesory Spinalis. Cabang ini berjalan sepanjang kartilago Thyroid mempersarafi otot Cricothyroid. Nervus Laringeal Rekurens meninggalkan Vagus di daerah dada kemudian berjalan di bagian alur tracheoesophageal. Nervus Laringeal Rekurens mempersarafi motorik dari semua otot-otot intrinsik dari laring kecuali otot Cricothyroid. Reflex laryngeal dapat terstimuli di daerah laring atau supraglotis dan dapat menyebabkan tertutupnya pita suara sampai dengan terjadinya laringospasme. Untuk memblok sensorik dari mukosa laring dibutuhkan blok daripada Nervus Laringeal Superior sampai dengan pita suara ditambah dengan blok pada Nervus Laringeal Rekurens atau dengan pemberian anestesi lokal dengan injeksi transtracheal atau dengan spray pada mukosa di bawah pita suara. Blok motorik komplit untuk memfasilitasi intubasi dibutuhkan blok pada Nervus Laringeal Rekuren karena nervus ini mempersarafi fungsi motorik dari semua nervus intrinsik dari laring kecuali untuk otot Cricothyroid. Blok pada saraf ini dapat dilakukan dengan transtracheal atau injeksi pada Cricothyroid atau secara topikal dengan spray.
Stimulasi dari struktur supraglotis dapat menyebabkan penutupan glottis atau laringospasme. Stimuli ini dapat berupa sentuhan panas atau kimiawi. Respon ini biasanya cepat. Laringospasme adalah suatu keadaan dimana glottis menutup rapat setelah timbulnya rangsangan.
Jalan Nafas Subglotis
Jalan nafas subglotis memanjang dari kartilago Cricoid sampai alveolar. Rangkuman lengkap mengenai anatomi ada diluar bab ini, bagaimanapun diskusi-diskusi mengenai anatomi dari bronkus mayor akan dibahas.
Trachea
Trakea dimulai dari kartilago Cricoid dan memanjang sampai T 5 (Panjang ±10 – 20 cm). Kartilago tracheal adalah cincin yang tidak utuh bulat dengan bagian posterior berbentuk datar tanpa kartilago. Percabangan bronkus ada ke kiri dan ke kanan dimana pada bronkus kanan sudut percabangannya lebih landai pada orang dewasa sehingga pada saat intubasi endotracheal tube lebih mudah masuk ke bronkus kanan.
Bronkus Lobaris
Paru kanan dan kiri mempunyai anatomi lobus yang berbeda (tabel 6-2). Paru kanan mempunyai tiga lobus yaitu atas, tengah dan bawah sementara paru kiri mempunyai dua lobus yaitu atas dan bawah. Tinggi lobus paru kanan lebih tinggi daripada paru kiri. Perbedaan ini berguna pada pembedaan antara kiri dan kanan pada saat dilakukan bronchoscopy.
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN ANATOMI JALAN NAFAS NORMAL
Penguasaan jalan nafas dengan sungkup dan bag adalah hal yang penting untuk melakukan tindakan anestesi yang aman dan merupakan tindakan dasar yang digunakan untuk melakukan ventilasi pada pasien yang bernafas spontan ataupun pada pasien yang telah diberi pelumpuh otot. Gerakan menyingkirkan lidah dan jaringan lunak lain pada jalan nafas supraglotis anterior akan membantu membuka jalan nafas. Berbagai tindakan tersebut antara lain Chin Lift, Jaw Thrust, Head Tilt dan alat untuk membantu jalan nafas oral ataupun nasal (gambar 6-4).
Kesulitan ventilasi dengan sungkup dapat diperkirakan pada beberapa pasien. Berbagai faktor yang dilaporkan berhubungan dengan kesulitan ventilasi dengan sungkup diantaranya adalah:
Jenggot yang tebal.
Index Massa Tubuh >26.
Ompong.
Usia >55 tahun.
Riwayat Snoring.
Beerbagai tindakan bantuan untuk melakukan intubasi pasien normal dapat dilakukan untuk mempermudah visualisasi laring. Beberapa hal utama untuk mempersiapkan tindakan untuk membantu intubasi pada pasien dengan anatomi jalan nafas normal adalah fleksi dari leher, cervical bawah dan ekstensi dari kepala pada sendi Atlantooccipital. Posisi ini sering disebut sebagai “Sniffing Position” dan ini adalah cara yang terbaik untuk mengerti mengenai tiga bagian sudut utama pada jalan nafas. Pada jalan nafas orang dewasa, Sudut panjang dari mulut terletak horizontal, pararel dengan lantai pada keadaan berdiri. Sudut panjang dari faring terletak hampir vertical. Sedangkan sudut panjang laring terletak vertical dari arah posterior ke anterior. Penjajaran dari ketiga sudut ini menyebabkan pita suara dapat terlihat dari mulut (Gambar 6-5).
Pasien dengan keterbatasan pergerakan cervical akan menyebabkan intubasi sulit karena adanya keterbatasan posisi anterior dari laring.
Penggunaan laryngeal mask airway (LMAs) dapat menjadi alternative untuk penatalaksanaan jalan nafas tipe intermediate. Pada banyak pasien penggunaan LMA dapat digunakan secara aman untuk menggantikan intubasi endotracheal. Ada beberapa aturan mengenai penggunaan LMA untuk penatalaksanaan pasien dengan anatomi jalan nafas yang sulit yang akan dibahas berikutnya. Terakhir, ada beberapa aturan untuk penggunaan LMA dalam keadaan gawat darurat atau kondisi trauma, bahkan jika tindakan tersebut akan dilakukan oleh paramedis.
PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS SULIT
Idealnya, semua pasien mempunyai anatomi jalan nafas normal, sehingga pasien manapun saat pasien menjalani tindakan medis yang membutuhkan pengendalian jalan nafas tidak akan memiliki resiko diatas. Karena hal ini bukan hal yang relistik maka seorang dokter anestesi harus mempunyai cara untuk mengetahui dan menangani pasien-pasien dengan anatomi jalan nafas abnormal. Secara sederhana, penatalaksanaan pasien dengan kesulitan jalan nafas adalah dengan tiga “P” yaitu :
Prediksi.
Preparasi
Practice
Prediksi
Mengetahui kondisi pasien dengan resiko anatomi jalan nafas sulit akan membuat dokter anestesi dapat mempertimbangkan berbagai pilihan cara penatalaksanaan jalan nafas beserta dengan persiapan-persiapannya. Hal ini penting karena pada beberapa tehnik yang dilakukan (akan dibahas berikutnya) akan sulit dilakukan jika terjadi perdarahan pada jalan nafas, dan beberapa pasien bahkan menjadi apneu yang kemudian berpotensi menjadi hipoksia saat dilakukan induksi anestesi. Beberapa cara umum yang dapat dipakai untuk memprediksi adanya intubasi sulit atau tidak yaitu dengan pemeriksaan fisik. Yang utama adalah mengevaluasi tes prediksi karena dibutuhkan beberapa klarifikasi.
Kesulitan intubasi dikatakan dapat terjadi bila seorang dokter anestesi tidak dapat memasukan endotracheal tube pada waktu dan cara yang tepat. Dapat dikatakan bahwa dibutuhkan lebih dari satu kali percobaan untuk melakukan intubasi. Bagaimanapun juga sulit intubasi dapat dihubungkan dengan derajat terlihat atau tidaknya penglihatan dari laringoskop (gambar 6-6). Dikatakan sulit intubasi apabila pada penglihatan terlihat derajat III atau IV.
Derajat I : Pita suara terlihat.
Derajat II : Hanya sebagian pita suara terlihat.
Derajat III : Hanya epiglottis yang terlihat.
Derajat IV : Epiglottis tidak terlihat samasekali.
Pada penelitian sebelumnya sudah ada perbandingan macam-macam tes untuk memprediksi cara-cara terbaik untuk menetukan intubasi sulit. Ada berbagai faktor yang harus dievaluasi dalam memeriksa pasien untuk dilakukannya intubasi endotracheal.
Riwayat Pasien: Kebanyakan pasien tidak mengetahui riwayat intubasi sebelumnya jika pada pasien tersebut saat dilakukan intubasi sebelumnya tidak memiliki kesulitan intubasi. Tetapi bagaimanapun juga pasien yang memiliki riwayat intubasi yang sulit yang sudah diketahui oleh pasien tersebut kemungkinan besar akan mengalami intubasi sulit terus. Kondisi-kondisi yang dapat menimbulkan intubasi sulit adalah:
Sindrome congenital, termasuk Sindrom Down, Goldenhar, Treacher Collins, Pierre Robin dan Mucopolysacharidoses, dll.
Penyakit Tulang, termasuk Rheumatoid Arthritis, Ankylosing Spondylitis, Fiksasi atau Fraktur Mandibula, Ankylosis sendi Temporomandibular.
Kelainan Jaringan Lunak, termasuk Obesitas, Tumor, Hemangioma, Abses, Infeksi Jalan Nafas seperti Epiglotitis, Perdarahan.
Trauma pada wajah dan leher, luka baker, perubahan-perubahan post operasi termasuk bekas luka, perubahan akibat radiasi.
Bentuk gigi: Gigi Insisivus depan yang menonjol dapat mempersulit melihat laring selama dilakukannya intubasi, perhatian khusus diberikan pada pasien yang memiliki gigi yang terbelah yang dapat memuat bilah laringoskop.
Pergerakan sendi temporomandibular: Dapat dinilai dari bukaan mulut yang kemudian ditentukan dengan mengukur jarak interincisor dan kemampuan untuk prognasi. Jarak Interincisor paling tidak harus muat untuk dilewati bilah standar laringoskop.
Derajat Orofaringeal: lebih umum disebut sebagai derajat Mallampati; Dilakukan evaluasi dengan membuka mulut agar terlihat faring. Penilaian dari derajat 3-4 adalah merupakan kemungkinan besar akan terjadi intubasi sulit (Gambar 6-7).
Lebar palatum: Pasien dengan palatum yang panjang dan dangkal memiliki anatomi jalan nafas yang sulit.
Jarak thyromental: adalah jarak dari sumbu anterior mandibula sampai dengan puncak kartilago thyroid. Semakin pendek maka anterior laring akan semakin terlihat.
Luas ruang mandibula: adalah faktor yang penting untuk dievaluasi, selama intubasi lidah dan jaringan lunak lain didasar mulut akan terdorong ke anterior ke ruang mandibula dan menyebabkan akan terlihatnya laring. Pasien dengan ruang mandibula yang kecil seperti pada pasien obesitas atau pasien dengan infeksi akan mempersulit untuk terlihatnya laring selama intubasi.
Lemak tubuh juga harus dievaluasi terutama lemak pada daerah leher yang tebal dan luas serta kelainan anatomi lain yang membuat pergerakan kepala menjadi terbatas seperti tumpukan lemak diantara scapula.
Pergerakan leher dinilai berdasarkan pergerakan fleksi dan ekstensinya. Pergerakan kepala pada persendian atlantooccipital dinilai juga. Pergerakan yang terbatas pada sendi ini akan membuat laring terlihat ke anterior.
Penilaian tes-tes tersebut telah dilakukan di semua literatur. Semakin banyak faktor yang dinilai, maka semakin akurat hasil prediksi untuk penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit. Semakin banyak hasil prediksi negatif dari pemeriksaan tersebut maka kemungkinan adanya kesulitan anatomi jalan nafas akan semakin tinggi. Jika semua faktor penilaian anatomi jalan nafas adalah normal maka tingkat kesulitan untuk intubasi akan semakin rendah.
Pemeriksaan jalan nafas dapat dilakukan dengan berbagai cara. “The American Society of Anesthesiologist (ASA) Task Force on Difficult Airway Management” telah mengumumkan pemeriksaan secara ekstensif untuk menemukan hal-hal yang diwaspadai yang berhubungan dengan kesulitan intubasi (tabel 6-3). Satu set cara yang berhasil baik untuk dilakukannya evaluasi terdapat dibawah ini, pasien dengan posisi duduk atau setengah duduk dinilai:
Lemak Tubuh, terutama distribusinya disekitar leher dan kepala.
Jarak Thyromental, Ruang mandibular, “Saya akan meletakan tangan saya dibawah dagu anda”.
Gigi, bukaan mulut dan ruang oral-faringeal: “Buka mulut anda selebar-lebarnya;”jika skor Mallampati bukan 1 atau 2 pasien disuruh bersuara.
Pergerakan sendi temporomandibular: “ Santai. Sekarang gerakan dagu anda kedepan sampai gigi bawah anda melebihi gigi atas anda”.
Flexi leher: “ Gerakan kepala anda sampai dagu anda menempel pada dada anda”.
Ekstensi kepala: “ Saya akan meletakan tangan saya dibelakang leher anda, kemudian dorong kepala anda sejauh anda bisa, seolah-olah anda ingin melihat ke langit-langit.
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dengan posisi sniffing. Jika tidak ada kelainan dalam pemeriksaan maka intubasi akan mudah dilakukan, namun jika dari hasil pemeriksaan abnormal, maka akan dijumpai intubasi sulit. Contohnya Jika pasien dapat memflexikan kepala namun tidak dapat mengekstensikan kepalanya maka laring pada pasien tersebut kemungkinan akan ke anterior. Hal ini sering terjadi pada pasien yang memiliki kelainan degeneratif sendi, rheumatoid arthritis, atau obesitas. Beberapa poin penting untuk diketahui dari literature yaitu:
Pada seorang dokter anestesi yang sibuk, tiap tahunnya ia pasti akan menjumpai beberapa pasien dengan kesulitan jalan nafas dan beberapa diantaranya bahkan akan sulit untuk diventilasi.
Prediksi sulit intubasi akan lebih akurat bila semua faktor-faktor yang mempengaruhi sulit intubasi sudah diperiksa.
Pasien dengan riwayat sulit intubasi harus diperlakukan sebagai pasien yang diprediksi untuk intubasi sulit. Beberapa dokter anestesi berpendapat bahwa pasien-pasien seperti ini harus didaftarkan ke kegawat daruratan medis atau sejenisnya.
Jika hasil pemeriksaan pasien dalam batas normal maka kemungkinan intubasi akan lebih mudah. Beberapa pasien yang diperkirakan akan sulit diintubasipun akan mudah diintubasi.
Hal penting, pada beberapa pasien yang diperkirakan normal, anatomi jalan nafas normal, dapat menjumpai kesulitan juga. Karena hal-hal tersebut maka dokter anestesi harus selalu siap untuk menangani pasien-pasien dengan anatomi jalan nafas sulit.
Preparasi
Persiapan yang adekuat untuk menangani pasien dengan jalan nafas yang sulit membutuhkan pengetahuan dan juga perlengkapan yang tepat. Pengetahuan yang dibutuhkan untuk penanganan pasien ini adalah pengetahuan lanjutan yang sama untuk penatalaksanaan semua pasien, kecuali adanya beberapa tambahan tertentu. ASA sudah menetukan beberapa tambahan secara algoritma untuk penatalaksanaan jalan nafas sulit. Algoritma tersebut adalah:
1. Menentukan gejala dan manifestasi klinik dari penatalaksanaan masalah dasarnya :
a. Ventilasi sulit.
b. Intubasi sulit.
c. Kesulitan dengan pasien yang tidak kooperatif.
d. Sulit untuk ditrakeostomi.
2. Secara aktif mencari kesempatan untuk menangani kasus-kasus penatalaksanaan jalan nafas sulit.
3. Mempertimbangkan kegunaan dan hal-hal dasar yang mungkin dilakukan sebagai pilihan penatalaksanaan :
A. Intubasi sadar Versus Intubasi setelah Induksi pada GA.
B. Pendekatan tehnik intubasi non invasif Versus Pendekatan tehnik intubasi invasif.
C. Pemeliharaan ventilasi spontan Versus Ablasi ventilasi spontan.
4. Membuat strategi utama dan alternatifnya (Gambar 6-8).
Keberhasilan aplikasi dari algoritma tergantung pada pengenalan pada pasien yang memiliki anatomi jalan nafas, ventilasi ataupun kooperatif yang sulit. Dokter anestesi harus memiliki berbagai macam pertimbangan dalam metode-metode penatalaksanaan jalan nafas (Sadar atau tidak, jalan nafas surgical atau tidak). Penatalaksanaan yang baik tergantung pada oksigenasi atau ventilasi yang adekuat pada saat mengendalikan jalan nafas. Dari algoritma tersebut jelas disebutkan pilihan-pilihan yang harus diambil pada saat penatalaksanaan agar dapat memperoleh ventilasi dan oksigenasi yang baik. Beberapa perlengkapan yang tersedia dapat membantu melaksanakan intubasi sulit menjadi berhasil diintubasi ( seperti fiberoptic, retrograde, dll ) atau tidak bisa diventilasi menjadi bisa diventilasi ( Transtracheal jet, LMA ). Perlengkapan yang dipilih harus berdasarkan pada keahlian dari masing-masing dokter anestesi tersebut. Jumlah pilihan tersebut sangat banyak dan beberapa pilihan akan didiskusiskan berikut ini.
PERLENGKAPAN UNTUK PENATALAKSANAAN JALAN NAFAS SULIT
Jalan Nafas
Dapat berupa oral ataupun nasal, dapat membantu mengubah tidak bisa diventilasi menjadi bisa diventilasi.
Stylets, Intubasi Guides and Bougies
Ini adalah merupakan kawat standar yang digunakan untuk membuat endotracheal tube menjadi kaku, sehingga mempermudah intubasi ke dalam laring. Stylets sangat berguna untuk intubasi pada laring yang lebih ke anterior. Berguna juga untuk membantu proses “Blind Intubasi” dengan transiluminasi pada laring. Stylets untuk intubasi juga didesain untuk ventilasi dengan ujung tengahnya yang dapat membantu membuat “Jet Ventilation” atau membantu verifikasi karbon dioksida pada saat stilet tersebut di letakkan di jalan nafas.
Airway Exchange Catheter
Kateter ini membantu proses oksigenasi dan membantu memantau jumlah karbon dioksida selama pemasangan endotracheal tube. Dapat digunakan bersama dengan “Jet Ventilation” untuk meningkatkan oksigenasi selama pemasangan endotracheal tube.
Specialized Forceps
Forsep ini digunakan untuk memandu proses pemasangan endotracheal tube masuk ke laring atau untuk membantu meretraksi lidah selama intubasi fiberoptic.
Laringoscopy
Laringoscopy ini dibuat dengan berbagai macam perlengkapannya. Laringoskop direct vision rigid dilengkapi dengan berbagai bentuk dan ukura bilah. Pada pasien tertentu memiliki kecocokan dengan bentuk bilah tertentu. Contoh, Pasien yang memiliki epiglottis yang panjang dan menjuntai lebih cocok menggunakan bilah lurus daripada bilah Macintosh. Laringoskop semidirect rigid mempunyai prisma pada bilahnya sehingga bisa melihat struktur laring pasien yang tidak bisa dilihat secara langsung namun terlihat melalui prisma tersebut. Laringoskop fiber optis rigid seperti Bullard dan Upsher scopes dapat memvisualisasi laring melalui fiberopticnya. Scopes ini sangat berguna pada pasien dengan laring yang lebih ke anterior. Keuntungan dari intubasi dengan laringoskop fiberoptic rigid termasuk :
Penggunaan Scopes rigidnya sama dengan laringoskop biasa
Kurva lengkungnya lebih pendek
Lebih tahan lama daripada scopes fiberoptic flexible.
Kerugian intubasi dengan laringoskop fiberoptic rigid :
Melihat endotracheal tube masuk ke laring melalui fiberoptic tetapi tidak melalui scope-nya.
Tehnik penggunaannya lebih sulit atau kurang lazim dipergunakan.
Ukuran batas pasien berhubungan dengan ukuran besar bilah.
Fiberoptic Bronchoscopic Intubation
Fiberoptic Bronchoscopic Intubation (FBI) menggunakan bronchoscopes flexible untuk intubasi. Banyak perusahaan sudah membuat scopes untuk intubasi dengan bentuk lebih panjang dan lebih kecil diameternya dari ukuran standard diagnostic bronchoscopes. Keuntungan dari FBI termasuk:
Endotracheal tube masuk ke trakea dengan penglihatan langsung melalui scope.
Tidak terbatas pada ukuran besar pasien karena scope-nya memiliki berbagai macam ukuran.
Untuk kepentingan terapi seperti penempatan bronchial blockers dan double lumen endotracheal tube. Selain itu dapat digunakan juga untuk mengangkat sekret dari bronkus.
Kerugian FBI termasuk:
Tehnik penggunaannya sulit untuk dipelajari.
Perlengkapannya mudah rusak dan mahal
Kesulitan penggunaan FBI termasuk:
Darah dan sekret dapat mengaburkan penglihatan.
Mudah untuk “menyasar” didaerah jalan nafas, terutama daerah midline.
Anatominya berubah.
Permasalahan khusus dengan FBI:
Endotracheal tube dapat tergantung pada struktur laring.
Scope dapat terputar di laring.
Lensanya dapat berkabut.
Saran intubasi dengan fiberoptic
Berapa banyak? Secara umum dibutuhkan 10 kali percobaan intubasi untuk bisa menggunakan broncoscope dengan lancer. Kurang lebih 25 kali terbiasa intubasi pada pasien normal dan lebih baik lagi jika bisa melakukan intubasi sulit.
Bagaimana cara belajar menggunakannya? Harus terbiasa menggunakan Scope-nya. Belajar untuk memegang dan menggerakan scope-nya dengan cara yang sama setiap waktu. Teropong atau scope diletakan ditengah diantara kedua tangan agar pergerakan dari teropong dapat sesuai kearah yang kita gerakan. Memasukan scope ke faring diusahakan agar posisinya tetap di garis tengah. Intubasi nasal karena posisi nasal yang ditengah menyebabkan scope tetap ditengah. Struktur pada jalan nafas atas harus dikenali; maju 8-10 cm. ujung scope digerakan ke atas/anterior kemudian diflexikan untuk melihat laring, kemudian scope diputar ke distal dan diposisikan di tengah didepan pita suara. Untuk melewati pita suara ujung dari scope dikembalikan ke posisi semula agar dapat masuk ke trakea. Kemudian posisikan scope diatas karina tanpa menyentuhnya karena dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk. Masukan endotracheal tube ke dalam trakea dengan tampilan gambar di scope tetap pada karina. Jika endotracheal tube tidak bisa masuk, coba dilakukan tehnik dibawah pada berikut ini. Jangan memaksakan/memasukan endotracheal tube dengan kekerasan karena dapat menyebabkan kerusakan pada jalan nafas ataupu pada scope.
Tehnik anestesi: Dimulai dari pasien normal, setelah pasien ditidurkan, dilumpuhkan dan diventilasikan oleh asisten dengan menggunakan sungkup. Kemudian meningkat pada pasien tidur, bernafas spontan, dengan atau tanpa anestesi regional pada jalan nafas. Kuasai hal-hal ini dulu sebelum melakukan FBI pada pasien sadar, tersedasi, bernafas spontan. Anestesi regional pada jalan nafas akan membantu memfasilitasi intubasi pada pasien sadar atau tersedasi.Anestesi yang adekuat untuk intubasi membutuhkan blok baik sensorik maupum motorik dari permukaan laring dan otot-ototnya. Hal ini membutuhkan blok dari Nervus Laringesus Superior dan Nervus Laringeus Rekuren. Ada beberapa resiko untuk anestesi regional pada jalan nafas. Blok pada Nervus Laringeus Superior akan memblok sensorik dari dasar lidah dan epiglottis sehingga dapat terjadi aspirasi pada pasien oleh karena masuknya benda asing yang dimuntahkan pasien. Ini terjadi karena reflek untuk menutup pada laring sudah terblok sehingga laring tidak dapat berfungsi normal. Biasanya blok pada Nervus Laringeus Rekuren menyebabkan timblulnya blok motorik pada otot Laringeal adductor dan mencegah reflek menutup sehingga benda asing yang dimuntahkan pasien juga dapat masuk dan terjadi aspirasi. Resiko yang lebih buruk dapat terjadi pada saat terjadinya aspirasi benda dalam lambung saat dilakukannya anestesi regional pada jalan nafas. Karena alasan ini anestesi regional pada jalan nafas menjadi kontra indikasi pada pasien dengan lambung penuh atau pada pasien dengan penyakit reflux esophageal.
Perlengkapan intubasi: Terdapat beberapa alat yang dapat digunakan. Intubasi dengan menggunakan scope dapat dilakukan saat ruang orofaring terbuka. Sungkup intubasi juga tersedia sehingga kita dapat intubasi saat dilakukannya ventilasi oleh rekan kerja kita. The Cuffed Oropharingeal Airway (COPA) juga dapat digunakan, dan pasien juga tetap dapat diintubasi saat dilakukannya ventilasi. Bagaimanapun juga ujung dari scope harus didorong melewati cuff dari COPA untuk dapat memvisualisasi pita suara, setelah itu baru diintubasi. Kita juga dapat melakukan intubasi dengan menggunakan LMA. Cara terbaik untuk melakukan endoskopi adalah dengan meminta bantuan dari rekan kerja untuk melakukan jaw thrust atau menarik lidah pasien untuk membantu kita.
Kemungkinan masalah yang akan timbul: Beberapa pasien mungkin akan membutuhkan tehnik tertentu untuk dilakukannya intubasi. Masalah yang sering timbul adalah menempatkan ujung dari scope pada trakea sebab kemungkinan yang sering timbula adalah ET tidak dapat masuk, penyebab hal ini antara lain: Ujung dari ET yang tersangkut pada tulang rawan atau letak scope pada posisi faring posterior. Jika dilakukan pemaksaan maka kemungkinan akan timbul cedera pada jalan nafas dan ini tidak menyelesaikan masalah. Yang harus dilakukan adalah menarik scope perlahan sambil mempertahankan trakea tertap terlihat dan masukan ET lagi. Yang harus disadari adalah jika karina sudah terlihat maka intubasi masih harus terus dilanjutkan dan bukan berhenti sampai disitu saja. Endotracheal tube dapat tidak masuk saat dilakukannya intubasi nasal dan ini dapat menimbulkan perdarahan yang dapat menggagalkan endoskopi fiberoptic. Endotracheal tube yang terlalu besar untuk pasien ataupun pita suara pasien yang tertutup juga dapat mempersulit intubasi.
Pasien yang kecil: Jika endotracheal tube terlalu terlalu kecil untuk bisa dilewati scope maka dibawah penglihatan langsung dapat dipasangkan guide wire (Dari ureteral stent atau perlengkapan retrograde intubation) pada ujung suction dari bronchoscope untuk masuk kedalam trakea. Setelah itu singkirkan bronchoscope dan tinggalkan wire tetap didalam trakea. Masukan endotracheal tube dengan bantuan wire tersebut sementara dilakukannya visualisasi dari laring dengan bronchoscope.
Latihan dengan menggunakan bronchoscope untuk intubasi pada kondisi pasien tidak sadar dan dilumpuhkan. Biasanya dibutuhkan 10-20 kali latihan intubasi agar dapat mengintubasi pasien normal dengan baik. Jika hal ini sudah berhasil maka tehnik tersebut ditingkatkan pada pasien dengan kondisi tidak sadar dan bernafas spontan. Dengan latihan terus menerus (kurang lebih 40 kali intubasi) maka seorang dokter dapat melakukan intubasi dengan baik pada pasien dengan anatomi jalan nafas abnormal, bahkan pada pasien sadar.
Aturan Pemasangan Laringeal Mask Airway pada penatalaksanan jalan nafas sulit
LMA dapat membantu mengubah kondisi pasien yang tidak bisa diventilasi menjadi bisa diventilasi. LMA menjadi salah satu cara intubasi aman pada jalan nafas alternatif pasien sadar atau juga dengan trakeostomi. Bagaimanapun juga bila ventilasi sudah dapat diyakinkan maka tehnik jalan nafas yang lain dapat dilakukan dengan aman. The Intubating Laryngeal Mask Airway (ILMA) adalah salah satu perlengkapan untuk penatalaksanaan pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Penempatan endotracheal tube dapat dilakukan dengan baik pada hampir semua pasien dengan alat ini, bahkan pada percobaan intubasi pertama. Penggunaan ILMA harus dipertimbangkan pada penanganan awal pasien dengan anatomi jalan nafas sulit yang tidak diduga karena dapat membantu mengendalikan jalan nafas pasien. Jika ILMA tidak tersedia, maka LMA masih dapat digunakan untuk membantu intubasi pasien, sebagai blind intubasi atau dengan airway exchange catheters atau dengan fiberoptic bronchoscopes (tabel 6-4).
Blind Intubation dengan endotracheal tube melalui laryngeal mask airway
Tempatkan LMA dan pastikan ventilasi melalui LMA.
Berikan lumbrikasi pada ET melalui LMA, putar 90ยบ dari posisi normal agar mudah melewati LMA; Pada jarak 20 cm, putar ET kembali ke posisi normal.
Masukan ET ke dalam trakea, kembangkan cuff, dan pastikan ventilasi.
Amankan ET dan LMA pada tempatnya atau potong dan pisahkan LMA agar ET dapat diposisikan dengan aman.
Intubasi fiberoptic melalui laryngeal mask airway
Tempatkan LMA dan pastikan ventilasi melalui LMA.
Berikan lumbrikasi pada ET kemudian ET diposisikan di bronchoscope.
Masukan bronchoscope melewati LMA, kemudian masuk ke trakea. ET akan masuk bersama dengan bronchoscope.
Pastikan posisi ET terlihat dan tarik bronchoscope.
Amankan ET dan LMA pada tempatnya atau potong dan pisahkan LMA agar ET dapat diposisikan dengan aman.
Passage of Intubating Guide melalui laryngeal mask airway
Tempatkan LMA dan pastikan ventilasi melalui LMA.
Masukan Ventilating atau non ventilating guide melalui LMA – Ventilating guide dapat memberikan verifikasi posisi dari guide dengan capnometry sebelum endotracheal tube masuk.
Pindahkan LMA, masukan ET dengan ukuran yang tepat melalui guide kemudian angkat intubating guide.
Pastikan posisi ET di trakea dengan bronchoscope, capnometry dan ventilasi.
Amankan ET.
Laringeal Mask Airway dapat memventilasi pasien sewaktu dilakukannya tehnik penatalaksanaan jalan nafas lainnya
Trakeostomi.
Retrograde wire-guide intubation.
Kesulitan pemasangan laryngeal mask airway pada penatalaksanaan jalan nafas sulit
Epiglottis dapat jatuh menutupi sewaktu pemberian jalan nafas dan keterbatasan ukuran ruang untuk memasukan alat lain kedalam trakea. Hal ini dapat terjadi meskipun pasien dapat diventilasi.
Batang dari LMA dapat membatasi jalan masuk alat lainnya.
Endotracheal tube mungkin terlalu pendek untuk masuk kedalam trakea melalui LMA.
Kombinasi LMA dan endotracheal tube sulit untuk diamankan dan dapat terlepas keluar dari trakea.
Adanya resiko aspirasi dari benda-benda yang berasal dari lambung. Pemasangan proseal dapat menurunkan resiko ini.
TEHNIK JALAN NAFAS LANJUTAN
Intubasi Retrograde: Jalan masuk dari endotracheal tube dapat dibantu oleh guide wire melalui membrane krikotiroid menuju jalan nafas atas dengan cara retrograde. Tehnik ini dapat dipergunakan dengan menggunakan alat Bantu yang sudah disediakan dalam kotak perlengkapan yang tersedia. Dengan latihan, tehnik ini dapat dilakukan dengan jangka waktu yang tidak lama.
Ventilasi Transtracheal Jet: Dalam hubungannya dengan jalan nafas yang potensial, jet ventilation masuk kedalam trakea dengan menembus membran krikotiroid yang kemudian akan memberikan ventilasi yang adekuat pada pasien yang tidak mungkin untuk dilakukannya intubasi. Jet ventilation membutuhkan sumber gas dengan tekanan yang tinggi agar dapat berfungsi efektif, seperti flush gas dari mesin anestesi atau dari katup sumber gas oksigen yang terdapat di dinding. Transtrcheal Jet Ventilation dapat menjadi penyelamat hidup namun harus dilihat juga sebagai salah satu jembatan untuk melakukan penatalaksanaan jalan nafas alternative. Ada beberapa resiko terhadap tehnik ini yaitu diantaranya adalah barotrauma dan emfisema subkutis.
Chricothyroidotomi: Jalan nafas dapat melewati membrane cricotiroid dengan membuat insisi pada membrane ini atau dengan menusukan jarum dan guide wire. Endotracheal tube kemudian dapat masuk ke trakea dan kemudian pasien dapat diventilasi. Beberapa set alat perlengkapan ini sudah tersedia untuk mempermudah tehnik ini dilakukan.
Trakeostomi: Pada beberapa pasien trakeostomi harus dilakukan sebagai jalan nafas alternatif, kadang juga dilakukan pada pasien yang sadar. Pendekatan pembedahan ini merupakan salah satu cara agar pasien dapat diventilasi.
KERETA PERLENGKAPAN JALAN NAFAS SULIT
Perlengkapan yang dibutuhkan untuk menangani pasien dengan anatomi jalan nafas sulit harus sudah dikuasai. Banyak instistusi yang sudah menggunakan oerlengkapan ini sebagai perlengkapan standar. Contoh : Setiap ruang operasi sudah memiliki pengatur oksigen/pengatur jet ventilator tergantung pada mesin anestesi. Ini berhubungan dengan sumber oksigen dan siap untuk digunakan. Perlengkapan standar selanjutnya termasuk kereta perlengkapan jalan nafas sulit. Kereta ini diletakan di antara ruang operasi utama dan juga di ruang obstetrik. Kereta ini memuat berbagai perlengkapan pilihan untuk penanganan pasien dengan jalan nafas sulit. Pada modifikasi kereta, bagian belakang kereta tersebut dapat diletakan pelindung bronchoscope fiber optic. Pengatur silinder oksigen tergantung disamping kereta. Perlengkapan untuk penanganan pasien dengan jalan nafas sulit dapat diambil pada laci-laci kereta tersebut. Perlengkapan di laci tersebut diantaranya:
Laci 1 : Kateter suction Yankauer; Handle Laringoskop (besar dan kecil); Bilah laringoskop (Mac 3, 4, Miller, @, 3); Plester; Klem tube; Forsep Magill.
Laci 2 : Obat-obatan; Jarum suntik; Cairan infuse; Gel lumbrikasi; antifog solution.
Laci 3 : Berbagai perlengkapan seperti : Swivel adapters; stylets; dll.
Laci 4 : Laringoscope fiber optic rigid.
Laci 5 : Sungkup oksigen; guide wires (0,035); endotracheal tube (ukuran 2-9); Cricothyrotomi set; Perlengkapan retrograde intubation.
Laci 6 : LMA ( ukuran 1-5); Disposable ambu bag; Oral airways; nasal trumpets; oral airways untuk fiberoptic intubation; gum elastic bougie.
Perlengkapan tersebut harus sudah dipersiapkan dan disediakan untuk penanganan pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Bagaimanapun juga memiliki perlengkapan tersebut tidaklah cukup namun harus menguasai berbagai cara penggunaan perlengkapan tersebut dengan baik. Untuk penguasaan perlengkapan ini membutuhkan banyak latihan.
PENDEKATAN UNTUK ANESTESI JALAN NAFAS
Hanya pasien yang koma ataupun pasien yang sangat kooperatif yang bisa tidak membutuhkan anestesi. Tetapi pada umunya pasien membutuhkan beberapa jenis anestesi agar dapat memanipulasi jalan nafas dengan baik.
Anestesi umum : Dapat diberikan intravena ataupun inhalasi dan harus dilakukan dengan hati-hati. Pada pasien yang bernafas spontan akan lebih mudah bagi dokter anestesi untuk mengetahui letak laringnya dengan mengikuti gelembung udara yang dihembuskan pasien. Pada dasarnya pernafasan spontan dapat menyediakan potensial jalan nafas yang lebih baik daripada jika diberikan pelumpuh otot. Pengendalian jalan nafas dengan atau tanpa pelumpuh otot dapat terapkan pada beberapa pasien. Pendekatan ini membutuhkan lebih bayak prosedur yang harus dilakukan agar pasien dapat diventilasi dan dioksigenasi lebih baik.
Anestesi topikal : Dapat dilakukan pada semua pasien. Ada beberapa perlengkapan yang digunakan untuk melakukan anestesi lokal diantaranya : Self grabbing forsep, penyemprot, gelas obat, jarum suntik (agar bisa mendepositkan obat anestesi lokal di pita suara), penjepit lidah dan kaca. Untuk memberikan anestesi di jalan nafas yang adekuat maka persarafan yang terletak di jalan nafas harus dimengerti. Anestesi harus mencakup tiga persarafan di jalan nafas yaitu Nervus Trigeminus untuk daerah nasofaring, Nervus Glossofaringeus untuk daerah orofaring dan Nervus Laringeus yang merupakan cabang dari Nervus Vagus untuk daerah epiglottis dan laring. Ketiga blok pada saraf ini dapat dilakukan dengan pemberian anestesi topikal, lokal ataupun injeksi. Topikal anestesi dilakukan dengan membasahi daerah permukaan dengan cairan anestesi, dapat juga dengan nebulizer pada jalan nafas, atau dengan penyemprotan atau dengan injeksi cairan anestesi lokal di jalan nafas. Berbagai cara dan tehnik anestesi dapat dilakukan, tetapi hanya sedikit yang dapat melakukan cara-cara ini:
Cocaine, cairan 2-4%. Menimbulkan anestesi lokal yang baik dan menyebabkan vasokontriksi serta dapat dikendalikan penggunaannya. Durasi 30-60 menit.
Lidocaine, cairan 2-4%. Dosis dapat dinaikkan sampai 200 mg pada orang dewasa. Menimbulkan anestesi lokal yang baik dan vasokontriksi jika epinefrin/phenilepinefrin ditambahkan. Durasi 60-180 menit.
Benzocaine, spray atau tablet. Menimbulkan onset yang cepat. Relatif anestesi lokal yang baik. Durasi 30-60 menit. Hati-hati pada penderita methemoglobinemia pada pemberian dengan dosis besar.
Pilihan Pemberian
Cairan anestesi lokal yang diberikan melalui nebulizer : Lidocaine 4%, 2 mL dalam perlengkapan mesin nebulizer saat pasien sadar, lebih baik dilakukan di area preoperatif. Menimbulkan anestesi pada jalan nafas yang baik, jika pasien inspirasi dalam maka anestesi akan terjadi sampai ke trakea.
Tehnik langsung dengan penyemprotan : Biasanya dilakukan pada pasien di ruang operasi. Tehnik ini dilakukan dengan menarik lidah pasien sehingga pita suara dapat dianestesi. Cara lain adalah dengan menggunakan bronchoscope fiberoptic untuk dapat langsung melihat pita suara sehingga mempermudah penyemprotan pada pita suara.
Tehnik anestesi langsung menggunakan tampon kassa : Anestesi lokal dengan membasahi permukaan mukosa dengan kassa tampon yang diberi cairan anestesi kemudian ditekan pada daerah pillar tonsil untuk memblok Nervus Glossofaringeus atau bisa juga dengan memasang forseps khusus untuk menekan kapas pada pillar tonsil tersebut.
Blok Nervus Glossopharyngeal dapat juga dilakukan dengan nebulizer atau dengan penyemprotan atau dengan injeksi langsung dengan jarum yang bengkok.
Penusukan transtracheal untuk pemberian cairan anestesi lokal pada jalan nafas : Dilakukan dengan penusukan jarum atau cateter intravena melalui dinding anterior trakea. Secara umum melalui membrane Cricothyroid. Sudut jarum mengarah ke kaudal untuk menghindari resiko trauma pada pita suara. Kemudian dilakukan aspirasi sampai ada udara masuk (membuktikan bahwa jarum sudah berada di intratracheal). Secara cepat kemudian disemprotkan cairan anestesi lokal sebanyak 2-4 mL. Hal ini akan menyebabkan timbulnya batuk yang akan membantu proses penyebaran zat anestesi lokal tersebut sampai ke pita suara dan epiglottis.
Blok Nervus Laringeal Superior : Bentuk dari laring memiliki persarafan sensorik dan motorik. Fungsi-fungsi motorik tersebut adalah adduksi (menutup pita suara), abduksi (membuka pita suara) dan penengangan (menghasilkan nada sura tinggi). Semua persarafan sensorik dan motorik dari struktur Nervus Laringeus berasal dari Nervus Vagus (tabel 6-1).
Reflek laryngeal dapat terstimuli pada daerah laring atau di supraglottis sehingga menimbulkan reflek menutupnya pita suara dan timbulnya laringospasm. Blok sensorik dari mukosa laring membutuhkan blok dari Nervus Laringeal Superior untuk memblok atas dari pita suara dan blok pada Nervus Laringeus Rekuren untuk blok bagian bawah pita suara. Blok Nervus laringeus dapat dilakukan dengan pendekatan pemberian lateral ataupun midline. Penekanan os Hyoid kearah yang diinginkan dilakukan untuk memfasilitasi pendekatan lateral. Pemberian cairan anestesi injeksi dengan pola kipas. Pada penusukan dan penarikan jarum suntik tersebut di membrane cricothyroid akan membasahi persarafan didaerah tersebut. Motor blok yang komplit (untuk melakukan intubasi contohnya) membutuhkan blok Nervus Laringeus rekuren karena nervus ini mempersarafi semua fungsi motorik dari laring kecuali otot cricotiroid, dan biasanya dilakukan dengan transtecheal atau spray anestesi lokal pada cricothyroid.
LATIHAN
Penggunaan berbagai perlengkapan yang tersedia dan menguasai perlengkapan tersebut adalah jalan satu-satunya untuk dapat menangani pasien dengan anatomi jalan nafas sulit. Seorang dokter anestesi harus dapat menggunakan berbagai perlengkapan ini dan harus mengambil bagian dalam pertemuan-pertemuan ilmiah agar dapat mengajarkan penggunaan alat-alat tersebut. Dengan begitu maka dokter anestesi tersebut juga akan latihan untuk menggunakan alat tersebut pada pasien normal. Sudah diketahui bahwa penggunaan alat tersebut pada pasien tidak sadar serta lumpuh dapat mempermudah pemula untuk belajar menggunakan alat-alat ini pada saat dibutuhkan. Sebagai contoh, Bronchoscope fiberoptic yang fleksible dapat digunakan untuk intubasi pasien dengan anatomi jalan nafas normal sebagai cara untuk memperahli diri. Dengan pendekatan yang hati-hati, maka pasien sebagai subyek tidak akan memiliki efek samping dari intubasi tersebut. Pendekatan yang sama dapat dilakukan pada tehnik lain yang ingin digunakan untuk latihan.Hal ini hanya akan menyita sedikit waktu bagi kasus yang sedang ditangani dan ketika bertemu dengan pasien yang memiliki jalan nafas yang abnormal maka kita akan terbiasa dan akan berhasil menguasai jalan nafasnya.
KESIMPULAN
Penatalaksanaan yang baik pada pasien dengan anatomi jalan nafas abnormal bergantung pada prediksi, preparasi, dan pratice. Cara terbaik untuk memastikan penatalaksanaan pasien dengan jalan nafas sulit adalah dengan mengenali kesulitan-kesulitan jalan nafas tersebut. Prediksi yang tepat adalah hal yang penting untuk dapat melakukan dan merencanakan tehnik intubasi yang aman. Preparasi termasuk mempunyai dan menggunakan rencana alternatif pada penanganan pasien jika pada rencana penanganan yang pertama gagal. Ini adalah keuntungan jika berlatih menggunakan penuntun seperti algoritma jalan nafas sulit ASA. Kita harus tahu kapan waktu yang tepat untuk menukar tehnik yang berbeda jika tehnik yang pertama tidak berhasil dilakukan. Persiapan untuk pasien dengan jalan nafas yang sulit adalah termasuk memiliki semua perlengkapan yang dibutuhkan pada lokasi yang mudah dijangkau, contohnya kereta perlengkapan untuk jalan nafas sulit. Persiapan juga termasuk latihan, Karena semua alat perlengkapan yang dibuat untuk membantu dokter anestesi dalam mengintubasi pasien dengan jalan nafas sulit dibutuhkan penguasaan dari perlengkapan tersebut. Latihan ini harus dalam kondisi situasi yang tidak gawat darurat. Latihan yang adekuat akan membuat dokter anestesi menguasai berbagai perlengkapan, dan ini adalah hal yang penting.
Pada beberapa pasien tehnik tertentu dapat lebih berhasil dari tehnik yang lain karena itu dokter anestesi harus memiliki lebih dari satu pilihan penatalaksanaan pada jalan nafas sulit. Saran praktis : Penanganan pasien akan lebih mudah jika pasien masih dapat dioksigenasi, prediksi yang tepat membuat lebih banyak pilihan penanganan, dan harus memiliki lebih dari satu pilihan penanganan. Pilihlah tehnik yang ingin dikuasai dan latih pada pasien normal untuk lebih menguasai tehnik tersebut. Dan terakhir jangan takut untuk meminta bantuan.
Langganan:
Postingan (Atom)