Pengikut

Selasa, 23 Agustus 2011

NUTRISI DAN INFLAMASI (PERIODINITIS)

NUTRISI DAN INFLAMASI (PERIODINITIS)

Latar Belakang

Inflamasi mendasari berbagai penyakit kronis. Tujuan dari dukungan nutrisi pada penyakit tersebut adalah untuk menyediakan energi yang cukup dan nutrisi untuk memenuhi peningkatan kebutuhan sintesis protein fase akut, mediator inflamasi, pertahanan antioksidan dan dukungan perbaikan jaringan dan pemulihan fungsi selular.

Kesimpulan

Inflamasi sistemik mengubah pemanfaatan berbagai nutrisi (lemak, karbohidrat dan protein) dan meningkatkan konsumsi selular antioksidan vitamin dan mineral yang penting. Beberapa nutrisi memainkan peran langsung dalam resolusi peradangan. Hubungan ini menimbulkan pertimbangan peran diet ajuvan dalam sejarah alami periodontitis.

Implikasi klinis

Sedikit yang diketahui mengenai peran gizi dalam periodontitis. Dengan kemajuan pesat dalam biologi molekular dan genomik nutrisi pada khususnya, para ilmuwan kesehatan mulut dapat menunjukan studi penting mengenai hal ini.

Kata Kunci.

Gizi; peradangan; periodontal penyakit

Inflamasi adalah respon perlindungan yang penting oleh suatu organisme terhadap tantangan musuh (misalnya, infeksi, trauma), dan memainkan peran sentral dalam banyak penyakit kronis.1-3 Ketika organisme terkena bakteri, organism akan aktif terlibat dalam respon pengaturan untuk memerangi bakteri. Respon ini meliputi akumulasi sel darah putih (leukosit fagositik) di jaringan yang terkena dan pelepasan produk oleh sel-sel yang melawan bakteri dan merekrut leukosit dan mediator inflamasi ke daerah tersebut.2-4 Leukosit yang teraktivasi mengeluarkan spesies oksigen reaktif (ROS) sebagai bagian serangan mereka dan menyebabkan kerusakan jaringan secara langsung atau tidak langsung dengan merangsang produksi sitokin pro-inflamasi seperti interleukin-1 (IL-1) dan tumor nekrosis faktor-alfa (TNF-α) .5 Mediator perubahan inflamasi lokal termasuk Nitrit Oksida dan lipid metabolit.1 Respom terhadap tantangan eksternal ini tampaknya memainkan peran penting dalam perkembangan penyakit kronis, terutama aterosklerosis.

Respons inflamasi dapat berkontribusi terhadap terjadinya aterosklerosis dengan mengubah fungsi pembuluh darah, destabilisasi plak aterosklerotik, atau mengerahkan efek inflamasi dan trombosi ke plak aterosklerotik.6 Terdapat bukti bahwa variasi genetik dalam beberapa sitokin pro-inflamasi dapat berkontribusi untuk variasi dalam respon inflamasi yang dialami oleh seseorang dan kerentanan berikutnya untuk penyakit seperti periodontitis dan penyakit arteri koroner.

INFLAMASI : JEMBATAN ANTARA PERIODONTAL DAN PENYAKIT SISTEMIK

Penyakit periodontal (PD) adalah salah satu kondisi peradangan kronis paling umum yang sering terlihat pada orang dewasa.4 Proses infeksi kronis diperburuk oleh faktor-faktor risiko seperti diabetes, genetika (terutama IL-1 genotipe), kekurangan gizi dan merokok.3,7-9 Seperti dalam proses menular lainnya, bakteri mulut mengeluarkan produk metabolisme normal seperti asam lemak dan lipopolisakarida, yang mengarah pada produksi berbagai mediator inflamasi, termasuk IL-1 dan TNF-α. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa PD berat dikaitkan dengan peningkatan mediator inflamasi yang signifikan dalam tingkat serum (misalnya, C-reaktif protein [CRP], fibrinogen, haptoglobin, sitokin pro-inflamasi) dibandingkan dengan tingkat kontrol.10-13 Dalam penelitian ini, peningkatan kebersihan mulut mengurangi kadar mediator inflamasi serum.10, 12 Studi pada primata yang bukan manusia telah mengkonfirmasikan bahwa bahkan ketika tantangan bakteri yang tersisa utuh, kerusakan jaringan periodontal dapat berkurang jelas dengan obat yang khusus memblokir produksi sitokin pro-inflamasi seperti IL-1 dan TNF-α.14.

PERAN NUTRISI DALAM MEMODULASI INFLAMASI

Efek utama inflamasi sistemik atau inflamasi lokal yang berat adalah adanya respon fase akut (APR). Sitokin-sitokin proinflamasi yang diproduksi sebagai respon terhadap inflamasi lokal berjalan melewati darah dan merangsang sel-sel hati untuk mensintesis dan mensekresikan protein fase akut (APPs), seperti CRP. APR ini yang merupakan penghubung interaksi antara nutrisi dengan proses imunitas pada infeksi. Inflamasi sistemik memunculkan perubahan pada komposisi tubuh, mengubah penggunaan berbagai makronutrien (yaitu, lemak, karbohidrat dan protein) dan meningkatkan konsumsi vitamin dan mineral penting (yaitu, mikronutrien) di tingkat seluler. Inflamasi sistemik juga memicu terjadinya pemecahan protein dan lemak serta berkurangnya massa otot. Selain itu proses ini juga merangsang hati untuk memproduksi lebih banyak APP. Perubahan-perubahan ini meningkatkan kebutuhan tubuh akan nutrisi dari makanan, terutama pada orang-orang dengan gizi kurang.

APR juga memicu produksi APP dengan meningkatkan pengeluaran berbagai mediator inflamasi, proliferasi sel-sel imun dan beberapa perubahan metabolik. Dalam prosesnya, mikronutrien seperti vitamin A, zat besi, tembaga, selenium dan zinc akan terbagi ke dalam jaringan-jaringan, terbuang dari tubuh atau terhalang dari penggunaannya oleh sel. Sintesis beberapa APP dapat meningkat hingga 50 persen pada keadaan dimana jumlah seruloplasmin dan beberapa komponen pelengkap menjadi sebanyak 1.000 kali lipat pada kasus yang berhubungan dengan adanya CRP dan amiloid A serum.

Sitokin-sitokin pro-inflamasi merangsang APR dan memicu perubahan utama pada metabolisme protein dan asam amino. Asam amino yang dilepaskan dari otot dan jaringan lain mungkin tidak mencukupi untuk sintesis APP dan protein-protein esensial, dengan demikian, harus ditambah dari sumber-sumber makanan. Dalam keadaan tertentu, dapat terjadi peningkatan kebutuhan asam amino tertentu seperti arginine (substrat untuk sintesis nitrat oksida), asam amino sulfur, sistein dan metionin. Proses perbaikan jaringan setelah proses inflamasi juga dapat meningkatkan kebutuhan akan asam amino glisin non esensial, yang merupakan komponen penting dari kolagen.

Peningkatan produksi ROS mengharuskan terjadinya peningkatan kebutuhan akan nutrisi yang terlibat dalam mekanisme pertahanan antioksidan, seperti zinc, tembaga dan selenium. Keadaan inflamasi memicu penurunan kadar sistemik sejumlah glutathione (mengurangi glutation [GSH]). Fungsi GSH termasuk sebagai antioksidan defensif dan pengaturan imunitas. Vitamin piridoksal fosfat (B6) dan riboflavin (B2) penting dalam mengatur kadar GSH. Selenium memiliki fungsi oksidasi-reduksi yang penting, dan enzim-enzim GSH yang bergantung selenium terlibat dalam proses mengurangi perusakan lipid dan hydroperoksida fosfolipid menjadi produk-produk yang berbahaya.

Selama proses inflamasi, banyak mikronutrien lainnya—seperti beta karoten dan vitamin A, C dan E—dapat berkurang. Mitokondria memberikan kontribusi yang signifikan terhadap beban intraseluler terhadap ROS, dan penelitian telah menunjukkan bahwa vitamin C memasuki mitokondria dimana mikronutrien ini melindungi mitokondria dari kerusakan oksidatif. Selain perannya dalam berbagai fungsi imunitas, vitamin-vitamin ini juga terlibat dalam pemeliharaan integritas struktural dan fungsional jaringan epitel dan sebagai parameter fisiologis atau metabolik yang relevan terhadap kesehatan periodontal.

Umumnya, asam lemak tak jenuh ganda omega-3 (n-3 PUFA), yang ditemukan dalam ikan-ikan seperti salmon dan kacang-kacangan seperti walnut, ditambah dengan asam lemak tak jenuh tunggal yang ditemukan dalam alpukat, minyak zaitun dan minyak canola, dapat mengurangi produksi sitokin-sitokin pro inflamasi. Asupan makanan PUFA n-3 yang memadai meningkatkan konsentrasi jenis asam lemak yang menekan (men-downregulate) proses inflamasi (seperti, asam eicosapentaenoic dan asam docosahexaenoic) di dalam jaringan. Penelitian menunjukkan bahwa metabolit n-3 PUFA dapat berfungsi sebagai "sinyal berhenti" untuk mencegah kerusakan jaringan yang diperantarai oleh neutrofil. Penelitian-penelitain pada hewan menunjukkan tanda positif adanya efek modulasi n-3 PUFA pada inflamasi ginggiva. Penelitian-penelitian pada manusia terbatas adanya dan masih kurang dapat dipercaya.

NUTRISI DAN PENYAKIT PERIODONTAL

Seperti telah kami jelaskan di atas, inflamasi memicu terjadinya stres oksidatif pada Oksigen-oksigen Reaktif (ROS), dimana kejadian ini meningkatkan penggunaan vitamin-vitamin dan mineral-mineral antioksidan. Bukti puncak adanya hubungan antara penyakit-penyakit periodontal berat dan biomarker-biomarker inflamasi sistemik dengan dislipidemia dan disfungsi endotel dapat dimengerti bahwa nutrisi dapat memberikan peranan yang penting dalam proses inflamasi periodontal maupun inflamasi sistemik. Dengan meningkatnya pengetahuan ilmiah mengenai genomik-genomik nutrisi, ilmuwan kesehatan mulut sekarang memiliki kesempatan untuk belajar mengenai interaksi gen nutrien dan bagaimana diet berpengaruh dalam mekanisme yang mendasari terjadinya inflamasi pada periodontitis berat. Pada orang sehat yang tidak mengalami kekurangan gizi, kebutuhan nutrisi dapat dipenuhi melalui pola makan yang seimbang. Namun, perubahan pola diet yang lebih konsisten seperti mengkonsumsi makanan yang tinggi akan vitamin dan mineral dan makanan yang kaya akan n-3 PUFA mungkin dapat memberikan efek yang positif pada kesehatan jaringan periodontal. Selain itu, dokter-dokter kesehatan mulut memiliki peran penting dalam mendukung diet yang sehat bagi pasien-pasiennya untuk meningkatkan kesehatan baik oral maupun sistemik.

KESIMPULAN

Inflamasi sistemik mengubah pemanfaatan lemak, karbohidrat dan protein dan mempercepat konsumsi metabolik akan vitamin-vitamin antioksidan dan mineral-mineral utama. Karena peran nutrien-nutrien utama ini dalam memodulasi inflamasi maupun proses penyembuhan luka, para ilmuwan dan dokter kesehatan mulut telah memusatkan perhatian yang lebih pada hubungan antara nutrisi dan penyakit periodontal.

Rabu, 17 Agustus 2011

Jendral Sudirman (tema kemerdekaan)

Jendral Soedirman Pahlawan Pembela Kemerdekaan
1916 - 1950

Di Bodas Karangjati lah Sudirman dilahirkan, tepatnya di kabupaten Purbalingga tanggal 24 Januari 1916. Pendidikan terakhirnya adalah Sekolah Guru Muhammadiyah di Solo, tapi tidak sampai tamat. Kemudian ia menjadi guru di Muhammadiyah Cilacap. Semasa mudanya Sudirman aktif dalam organisasi pramuka dan terkenal sangat disiplin.
Dimasa pendudukan Jepang, Sudirman sangat memperhatikan masalah sosial. Lalu ia mendirikan koperasi untuk menolong rakyat dari bahaya kelaparan. Dan ia juga menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Keresidenan Banyumas.
Pada masa itu pula Sudirman mengikuti pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor. Kemudian ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Jasa pertama Sudirman setelah kemerdekaan ialah merebut senjata pasukan Jepang di Banyumas.
Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (
TKR
) terbentuk, ia diangkat menjadi Panglima Divisi V / Banyumas dengan pangkat kolonel. Bulan Desember 1945 ia memimpin pasukan TKR dalam pertempuran melawan Inggris di Ambarawa. Tanggal 12 Desember dilancarkan serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Akhirnya pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Dalam Konferensi TKR tanggal 12 Nopember 1945 Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR. Lalu tanggal 18 Desember 1945 ia dilantik oleh Presiden dengan pangkat Jenderal. Sejak itu TKR tumbuh menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sewaktu Belanda melancarkan Agresi Militer II, Jendral Sudirman sedang sakit, tetapi ia menolak saran Presiden untuk tetap tinggal didalam kota. Kurang lebih tujuh bulan ia mempimpim perang gerilya di hutan-hutan dan gunung-gunung. Banyak penderitaan yang dialaminya terutama penyakitnya sering kambuh dan tidak tersedianya obat-obatan.
Pulang dari medan gerilya, karena masih sakit, ia tidak dapat memimpin Angkatan Perang secara langsung, tetapi buah pemikirannya selalu dibutuhkan oleh Pemerintah.
Pengalima Besar Jenderal Sudirman meninggal dunia di Magelang pada tanggal 29 Januari 1950 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Pembelengguan Sebuah Fakta Sejarah

Judul: Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman
Penulis:Dr Abdul Haris Nasution, Dr H Roeslan Abdulgani, Prof SI Poeradisastra, Sides Sudyarto DS (editor)
Kompas, 13 Maret 2003. SOEDIRMAN, salah seorang pahlawan nasional dan simbol Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukanlah nama yang asing di telinga. Ia mendapat tempat istimewa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia karena menjabat panglima angkatan bersenjata pada awal berdirinya republik ini. Namun, pengetahuan tentang Soedirman yang diberikan bangku sekolah tidak pernah cukup mendalam. Sementara ketersediaan literatur yang membahas Soedirman secara khusus jumlahnya tidak memadai.

Dalam kurun waktu 25 tahun pertama pascakemerdekaan, tercatat hanya ada satu buku saja yang menempatkan Soedirman sebagai pokok bahasan, yaitu "Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan" (1963) yang ditulis Solichin Salam. Selebihnya pembahasan tentang Soedirman selalu hanya merupakan pelengkap bagi kerangka bahasan lain seperti tentang gerakan Pemuda Muhammadiyah, kepanduan Hizbul Wathan, perang revolusi kemerdekaan, tentara, politik militer, hingga tentang Tan Malaka.

Baru sekitar tahun 1980-an mulai bermunculan buku yang membahas Soedirman secara lebih spesifik, seperti "Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman" karya SA Soekanto (1981), "Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Kisah Seorang Pengawal" (1992) yang ditulis Tjokropranolo, mantan Gubernur DKI Tahun 1977-1982, atau "Panglima Besar Jenderal Sudirman Kader Muhammadiyah" (2000) karya Sardiman AM. Meskipun cukup banyak kuantitasnya, namun sebagian besar buku yang hadir tersebut cenderung mengaitkan tokoh ini dengan dunia ketentaraan dan lebih berupa memoar atau biografi Soedirman sebagai seorang tokoh.

Sedikit saja buku seperti "Genesis of Power General Sudirman and the Indonesian Military in Politics 1945-49" (1992) yang ditulis Salim Said, yang mengupas sikap dan pandangan politik Soedirman secara lebih mendalam, baik menyangkut penentangan Soedirman terhadap langkah politik pemerintah yang menjalin kerja sama dengan Belanda, tentang langkah-langkah politis yang diambil Soedirman dalam rangka mengedepankan sikap politiknya, dan keterkaitan Soedirman dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Umumnya jika sampai pada pembahasan tentang hal tersebut, penulis-penulis cenderung "melindungi" keterlibatan Soedirman dalam peristiwa yang diyakini sebagai upaya coup d' ètat dan "membersihkan" kecenderungan ideologi kiri Soedirman dengan berbagai alasan.

Fakta sejarah tersebut memang rawan dibicarakan ketika rezim yang berkuasa bersandar pada kekuatan militer yang mengangkat Soedirman sebagai panglima besarnya. Tak ayal lagi, ketika buku yang menganalisis Peristiwa 3 Juli 1946 terbit, pemerintah Orde Baru langsung membelenggu peredarannya lewat daftar cekal Kejaksaan Agung (Kejagung). "Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman", buku yang mengangkat Peristiwa 3 Juli 1946 sebagai fokus bahasan, memaparkan pergolakan internal para elite politik Indonesia pada awal kemerdekaan dengan titik berat telaah pada pandangan dan sikap politik yang diambil Soedirman selaku panglima besar dalam menanggapi berbagai situasi politik yang berkembang saat itu.

Panglima Besar Soedirman" merupakan kumpulan beberapa tulisan, di antaranya tulisan dua pelaku sejarah bangsa ini yaitu Abdul Haris Nasution dari kalangan militer dan Roeslan Abdulgani yang mewakili unsur sipil yang turut berjuang dalam perang kemerdekaan. Selain itu, termaktub pula analisis terhadap Peristiwa 3 Juli 1946 dari SI Poeradisastra, sejarawan dan Guru Besar UI, dan rangkuman dari Sides Sudyarto DS, pemenang sayembara puisi Prasasti Ancol tahun 1977 dan mantan wartawan yang pernah bergabung di Kompas tahun 1974-1981.

Buku yang pertama kali dicetak sebanyak 5.000 eksemplar dan diluncurkan sekitar awal tahun 1984, ini tamat riwayat peredarannya di masyarakat kurang lebih enam bulan kemudian, tepatnya tanggal 28 Agustus 1984, setelah diharamkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) lewat fatwa No 167/JA/8/1984. Menurut Sides, editor buku itu yang sempat diinterogasi Kejagung sebanyak sembilan kali, tidak ada alasan formal yang menjadi landasan pencekalan buku yang bermuatan fakta sejarah tersebut.

Dalam "Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman", Nasution menuangkan pengalaman pribadi sebagai prajurit di lapangan yang langsung menerima perintah Soedirman. Sebagai seorang bawahan, ia lebih banyak menyoroti kepemimpinan Soedirman sebagai panglima besar dalam menyikapi berbagai kondisi politik bangsa dan menghindari pembahasan tentang Peristiwa 3 Juli 1946. Meskipun begitu, ia mengakui bahwa dirinya berseberangan pendapat dengan Soedirman dalam persoalan "Reorganisasi-Rasionalisasi" (Re-Ra) tentara yang merupakan imbas dari Perjanjian Renville tahun 1948.

Dalam mengulas Soedirman, Abdulgani menempatkan panglima besar tersebut dalam konteks pertikaian ideologi yang mendominasi kala itu. Meskipun dalam Peristiwa 3 Juli 1946 di Yogyakarta Soedirman dituduh membantu upaya coup d' ètat terhadap duet Soekarno-Hatta, dengan membebaskan orang-orang dari kelompok Marxisme-Leninisme independen (Tan Malaka) yang ditahan di Penjara Wirogunan, namun menurut Abdulgani tekad untuk mempertahankan kemerdekaan dan loyalitas terhadap negara tetap dipegang teguh Soedirman yang secara historis masuk dalam kelompok Islamisme, namun bukan aliran yang fanatik dan intoleran. Walaupun sempat berseberangan pandangan politik dengan pemerintah yang saat itu dikuasai kelompok Marxisme-Liberalisme moderat (Amir Sjarifuddin dan Sjahrir), Soedirman tidak memanfaatkan posisi panglima besar yang strategis untuk menggulingkan pemerintah resmi Soekarno-Hatta.

Poeradisastra sebagai seorang sejarawan berupaya obyektif dalam melihat fakta Peristiwa 3 Juli 1946. Analisis terhadap rangkaian kejadian, proses sidang di Mahkamah Agung, kesaksian Soedirman, serta pernyataan dan pembelaan dari para pelaku yang terlibat dalam peristiwa itu, seperti Iwa Koesoema Soemantri, Ahmad Soebardjo, dan M Yamin dari kubu Persatuan Perjuangan yang berafiliasi pada Tan Malaka, melahirkan satu kesimpulan bahwa telah terjadi tawar-menawar antara Soedirman dengan para anggota Kabinet Sjahrir yang secara coute que coute membentuk pra-anggapan peristiwa tersebut sebagai suatu coup d' ètat.

Meskipun Poeradisastra tidak mengingkari keterlibatan Soedirman dalam Peristiwa 3 Juli 1946, namun ia yakin Soedirman melakukan negosiasi tersebut untuk menyelamatkan keutuhan komando tentara saat itu. Sejarah membuktikan, Soedirman tetap menjaga manunggalnya tentara dengan pemerintah. Ia mengorbankan hati nuraninya yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah untuk berkompromi dengan Belanda demi persatuan negara dan membayar beban psikologisnya dengan kesehatan yang kian hari semakin memburuk.

Upaya meminta Soekarno mengubah susunan Kabinet Sjahrir dan menerima minimum program Persatuan Perjuangan 7 pasal yang dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946, memang tidak dibahas secara mendalam dalam wacana sejarah Indonesia selama ini. Padahal, peristiwa tersebut jelas melibatkan Soedirman yang disinyalir mendukung Persatuan Perjuangan yang berada di bawah komando Tan Malaka. Kedekatan dan kesamaan visi Soedirman dengan Tan Malaka yang oleh Orde Baru dituding sebagai komunis mengindikasikan ideologi yang dianut Soedirman.Hal inilah yang coba ditutupi rezim Orde Baru yang berdiri di atas kekuatan militer. Bagaimana publik akan bereaksi jika menyadari fakta bahwa Panglima Besar TNI adalah seorang sosialis! (Nurul Fatchiati)

Minggu, 14 Agustus 2011

Trauma Lahir

I.1 Latar Belakang

Anak adalah harapan keluarga sebagai penerus generasi dan pengisi masa depan bangsa. Guna mendapatkan anak yang sehat jasmani, rohani dan sosial, diperlukan lingkungan keluarga yang baik. Terpenuhinya kebutuhan dasar anak (asah-asih-asuh) oleh keluarga akan memberikan lingkungan yang terbaik bagi anak, sehingga tumbuh kembang anak menjadi seoptimal mungkin. Tetapi tidak semua bayi lahir dalam keadaan sehat. Beberapa bayi lahir dengan gangguan pada masa prenatal, natal dan pascanatal. Keadaan ini akan memberikan pengaruh bagi tumbuh kembang anak selanjutnya.(1)

Pada saat persalinan, perlukaan kelahiran kadang-kadang tidak dapat dihindarkan dan lebih sering ditemukan pada persalinan yang terganggu oleh salah satu sebab. Penanganan persalinan secara sempurna dapat mengurangi frekuensi peristiwa tersebut. (2)

Insidensi trauma lahir diperkirakan sebesar 2-7 per 1000 kelahiran hidup. Walaupun insiden telah menurun pada tahun-tahun belakangan ini, sebagian karena kemajuan di bidang teknik dan penilaian obstetrik, trauma lahir masih merupakan permasalahan penting, karena walaupun hanya trauma yang bersifat sementara sering tampak nyata oleh orang tua dan menimbulkan cemas serta keraguan yang memerlukan pembicaraan bersifat suportif dan informatif. Beberapa trauma pada awalnya dapat bersifat laten, tetapi kemudian akan menimbulkan penyakit atau akibat sisa yang berat. (3,4)

I.2 Tujuan

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang dapat menimbulkan trauma lahir pada bayi dan akibat yang ditimbulkannya.

BAB II

I S I

II.1 Definisi

Trauma lahir adalah trauma pada bayi yang diterima dalam atau karena proses kelahiran. (5) Istilah trauma lahir digunakan untuk menunjukkan trauma mekanik dan anoksik, baik yang dapat dihindarkan maupun yang tidak dapat dihindarkan, yang didapat bayi pada masa persalinan dan kelahiran. Trauma dapat terjadi sebagai akibat ketrampilan atau perhatian medik yang tidak pantas atau yang tidak memadai sama sekali, atau dapat terjadi meskipun telah mendapat perawatan kebidanan yang terampil dan kompeten dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tindakan atau sikap orang tua yang acuh tak acuh. (3,4)

Pembatasan trauma lahir tidak meliputi trauma akibat amniosentesis, tranfusi intrauteri, pengambilan contoh darah vena kulit kepala atau resusitasi.(4)

II.2 Insidensi

Insidensi trauma lahir sekitar 2-7 per 1000 kelahiran hidup. Sebanyak 5-8 per 100.000 lahir meninggal akibat trauma mekanik dan 25 per 100.000 lahir meninggal akibat trauma anoksik. (3)

Faktor predisposisi terjadinya trauma lahir antara lain :(4,6,7)

1. makrosomia

2. prematuritas

3. disproporsi sefalopelvik

4. distosia

5. persalinan lama

6. persalinan yang diakhiri dengan alat (ekstraksi vakum dan forceps)

7. persalinan dengan sectio caesaria

8. kelahiran sungsang

9. presentasi bokong

10. presentasi muka

11. kelainan bayi letak lintang

II.3 Kelainan pada Bayi Baru Lahir Akibat Trauma Lahir

Beberapa kelainan pada bayi baru lahir akibat trauma lahir adalah sebagai berikut :

1. Cedera tulang

a. fraktur tulang tengkorak

Kebanyakan fraktur tulang tengkorak terjadi akibat kelahiran pervaginam sebagai akibat penggunaan cunam atau forceps yang salah, atau dari simpisis pubis, promontorium, atau spina ischiadica ibu pada persalinan dengan diproporsi sefalopelvik. Yang paling sering adalah fraktur linier yang tidak menimbulkan gejala dan tidak memerlukan pengobatan, serta fraktur depresi yang biasanya kelihatan sebagai lekukan pada kalvarium yang mirip lekukan pada bola pingpong. Semua fraktur ini harus direposisi untuk menghindari cedera korteks akibat tekanan yang terus-menerus dengan menggunakan anesthesi lokal dalam minggu pertama dan segera setelah kondisi bayinya stabil. (2,4,7,8)

b. Fraktur klavikula

Fraktur ini mungkin terjadi apabila terdapat kesulitan mengeluarkan bahu pada persalinan. Hal ini dapat timbul pada kelahiran presentasi puncak kepala dan pada lengan yang telentang pada kelahiran sungsang. Gejala yang tampak pada keadaan ini adalah kelemahan lengan pada sisi yang terkena, krepitasi, ketidakteraturan tulang mungkin dapat diraba, perubahan warna kulit pada bagian atas yang terkena fraktur serta menghilangnya refleks Moro pada sisi tersebut. Penyembuhan sempurna terjadi setelah 7-10 hari dengan imobilisasi dengan posisi abduksi 60 derajat dan fleksi 90 derajat dari siku yang terkena. (2,4,8)

c. Fraktur humeri

Kelainan ini terjadi pada kesalahan teknik dalam melahirkan lengan pada presentasi puncak kepala atau letak sungsang dengan lengan membumbung ke atas. Pada keadaan ini biasanya sisi yang terkena tidak dapat digerakkan dan refleks Moro pada sisi tersebut menghilang. Prognosis penderita sangat baik dengan dilakukannya imobilisasi lengan dengan mengikat lengan ke dada, dengan memasang bidai berbentuk segitiga dan bebat Valpeau atau dengan pemasangan gips. Dan akan membaik dalam waktu 2-4 minggu. (2,4,6,8)

d. Fraktur femoris

Kelainan ini jarang terjadi, dan bila ditemukan biasanya disebabkan oleh kesalahan teknik dalam pertolongan pada presentasi sungsang. Gejala yang tampak pada penderita adalah pembengkakan paha disertai rasa nyeri bila dilakukan gerakan pasif pada tungkai. Pengobatan dilakukan dengan melakukan traksi pada kedua tungkai, walaupun fraktur hanya terjadi unilateral. Penyembuhan sempurna didapat setelah 3-4 minggu pengobatan. (2,4,8)

e. Fraktur dan dislokasi tulang belakang

Kelainan ini jarang ditemukan dan biasanya terjadi jika dilakukan traksi kuat untuk melahirkan kepala janin pada presentasi sungsang atau untuk melahirkan bahu pada presentasi kepala. Fraktur atau dislokasi lebih sering pada tulang belakang servikal bagian bawah dan torakal bagian atas. Tipe lesinya berkisar dari perdarahan setempat hingga destruksi total medulla spinalis pada satu atau lebih aras (level) cerebral. Keadaan bayi mungkin buruk sejak kelahirannya, disertai depresi pernafasan, syok dan hipotermia. Kalau keadaannya parah dapat memburuk dengan cepat sampai menimbulkan kematian dalam beberapa jam. Pada bayi yang selamat, pengobatan yang dilakukan bersifat suportif dan sering terdapat cedera permanen. (2,4,9,10)

2. Perdarahan intra kranial

a. Perdarahan subdural

Kelainan terjadi akibat tekanan mekanik pada tengkorak yang dapat menimbulkan robekan falks cerebri atau tentorium cerebelli, sehingga terjadi perdarahan. Hal ini biasanya ditemukan pada persalinan dengan disproporsi sefalopelvik dengan dipaksakan untuk lahir pervaginam dan lebih sering ditemukan pada bayi aterm dari pada bayi prematur. (2,4,6,8)

b. Perdarahan subependimal dan intraventrikuler

Kejadian ini lebih sering disebabkan oleh hipoksia dan biasanya terdapat pada bayi-bayi prematur. (2,4)

c. Perdarahan subarakhnoidal

Perdarahan ini juga ditemukan pada bayi-bayi premmatur dan mempunyai hubungan erat dengan hipoksia pada saat lahir. (2,4)

Bayi dengan perdarahan intra kranial menunjukkan gejala-gejala asfiksia yang sukar diatasi. Bayi setengah sadar, merintih, pucat, sesak nafas, muntah dan kadang-kadang kejang. Bayi dapat meninggal atau hidup terus tanpa gejala-gejala lanjut atau dengan gejala-gejala neurologik yang beraneka ragam, tergantung pada tempat dan luasnya kerusakan jaringan otak akibat perdarahan. (2,4,6,8)

Tindakan pada perdarahan intra kranial adalah sebagai berikut : (8)

- kelainan yang membawa trauma harus dihindari dan kalau ada disproporsi harus dilakukan sectio caesaria

- bayi dirawat dalam inkubator

- temperatur harus dikontrol

- kalau perlu diberikan tambahan oksigen

- sekret dalam tenggorokan diisap keluar

- bayi jangan terlampau banyak digerakkan dan dipegang

- kalau ada indikasinya, vitamin K dapat diberikan

- konvulsi dikendalikan dengan sedativ

- kepala jangan direndahkan, karena tindakan ini bisa menambah perdarahan

- jika pengumpulan darah subdural dicurigai, pungsi lumbal harus dikerjakan untuk mengurangi tekanan

- diberikan antibiotik sebagai profilaktik.

3. Perlukaan jaringan lunak

a. Perlukaan kulit

Kelainan ini mungkin timbul pada persalinan yang mempergunakan alat-alat seperti cunam atau vakum. Infeksi sekunder merupakan bahaya yang dapat timbul pada kejadian ini. Karena itu, kebersihan dan pengeringan kulit yang terluka perlu diperhatikan. Bila perlu dapat juga digunakan obat-obat antiseptik lokal. Biasanya diperlukan waktu 6-8 minggu untuk penyembuhan. (2,4,8)

b. eritema, ptekiae, abrasi, ekimosis dan nekrosis lemak subkutan

Jenis persalinan yang sering menyebabkan kelainan ini yaitu presentasi muka dan persalinan yang diselesaikan dengan ekstraksi cunam dan ekstraksi vakum. Kelainan ini memerlukan pengobatan khusus dan menghilang pada minggu pertama. (2,4.8)

c. Caput Succedaneum

Kelainan ini biasanya ditemukan pada presentasi kepala, sesuai dengan posisi bagian yang bersangkutan. Pada bagian tersebut terjadi edema sebagai akibat pengeluaran serum dari pembuluh darah. Caput Succedaneum tidak memerlukan pengobatan khusus dan biasanya menghilang setelah 2-5 hari. (2,4,8)

d. Cephal hematoma

Istilah cephal hematoma mengacu pada pengumpulan darah di atas tulang tengkorak yang disebabkan oleh perdarahan subperiosteal dan berbatas tegas pada tulang yang bersangkutan dan tidak melampaui sutura-sutura sekitarnya. Kelainan dapat terjadi pada persalinan biasa, tetapi lebih sering paada persalinan lama atau persalinan yang diakhiri dengan alat, seperti ekstraksi cunam atau vakum. (2,4,6)

Gejala lanjut yang mungkin terjadi yaitu anemia dan hiperbilirubinemia. Kadang-kadang disertai dengan fraktur tulang tengkorak di bawahnya atau perdarahan intra kranial. (2)

Bila tidak ditemukan gejala lanjut, cephal hematoma tidak memerlukan perawatan khusus. Kelainan ini dapat menghilang dengan sendirinya setelah 2-12 minggu. Pada kelainan yang agak luas, penyembuhan kadang-kadang disertai kalsifikasi. (2,4)

e. Perdarahan subaponeurotik

Perdarahan ini terjadi di bawah aponeurosis akibat pecahnya vena-vena yang menghubungkan jaringan di luar dengan sinus-sinus di dalam tengkorak. Perdarahan dapat terjadi pada persalinan yang diakhiri dengan alat, dan biasanya tidak mempunyai batas tegas, sehingga kadang-kadang kepala berbentuk asimetris. Kelainan ini dapat menimbulkan anemia, syok, atau hiperbilirubinemia. Pemberian vitamin K dianjurkan pada perdarahan ringan. (2,4,6)

f. Trauma m. sternokleidomastoideus

Kelainan ini didapat pada persalinan sungsang karena usaha untuk melahirkan kepala bayi. Kepala serta leher bayi cenderung miring ke arah otot yang sakit dan jika keadaan dibiarkan, otot sembuh, tetapi dalam keadaan lebih pendek dari normal. Sebelum hal itu terjadi, perlu dilakukan fisioterapi dengan cara pengurutan setempat dan peregangan leher secara pasif ke sisi yang berlawanan. Jika keadaan memetap perlu dilakukan operasi. (2,48)

g. Perdarahan subkonjungtiva

Keadaan ini sering ditemukan pada bayi, baik pada persalinan biasa maupun pada yang sulit. Darah yang tampak di bawah konjungtiva biasanya diabsorpsi lagi setelah 1-2 minggu tanpa diperlukan pengobatan apa-apa. (2,4,6)

4. Perlukaan susunan saraf

a. Paralisis plexus brachialis

Kelainan ini dibagi atas : (2,4,8)

- paralisis Duchenne – Erb, yaitu kelumpuhan bagian-bagian tubuh yang disarafi oleh cabang-cabang C5 dan C6 dari plexus brachialis. Pada keadaan ini ditemukan kelemahan untuk fleksi, abduksi, serta memutar ke luar disertai hilangnya refleks biseps dan Moro.

- Paralisis Klumpke, yaitu kelumpuhan bagian-bagian tubuh yang disarafi oleh cabang C8-Th 1 dari plexus brachialis. Disini terdapat kelemahan oto-otot fleksor pergelangan, sehingga bayi kehilangan refleks mengepal.

Kelainan ini timbul akibat tarikan yang kuat di daerah leher pada saat lahirnya bayi, sehingga terjadi kerusakan pada plexus brachialis. Hal ini ditemukan pada persalinan sungsang apabila dilakukan traksi yang kuat dalam usaha melahirkan kepala bayi. Pada persalinan presentasi kepala, kelainan dapat terjadi pada janin dengan bahu lebar. (2,4,8)

Penanggulangannya dengan jalan meletakkan lengan atas dalam posisi abduksi 90° dan putaran ke luar. Siku berada dalam fleksi 90° disertai supinasi lengan bawah dengan ekstensi pergelangan dan telapak tangan menghadap ke depan. Posisi ini dipertahankan untuk beberapa waktu. Penyembuhan biasanya setelah beberapa hari, kadang-kadang 3-6 bulan. (2,4,6)

b. Paralisis nervus facialis

Kelainan ini terjadi akibat tekanan perifer pada nervus facialis saat kelahiran. Hal ini sering tampak pada bayi yang lahir dengan ekstraksi cunam Kelumpuhan perifer ini bersifat flasid, dan bila kelumpuhan terjadi total, akan mengenai seluruh sisi wajah termasuk dahi. Kalau bayi menangis, hanya dapat dilihat adanya pergerakan pada sisi wajah yang tidak mengalami kelumpuhan dan mulut tertarik ke sisi itu. Pada sisi yang terkena gangguan, dahinya licin, mata tidak dapat ditutup, lipatan nasolabial tidak ada dan sudut mulut kelihatan jatuh. Kelainan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa tindakan-tindakan khusus.(2,4,6,8)

c. Paralisis nervus frenikus

Gangguan ini biasanya terjadi di sebelah kanan dan menyebabkan terjadinya paralisis diafragma. Kelainan sering ditemukan pada kelahiran sungsang. Kelainan ini biasanya menyertai paralisis Duchenne – Erb dan diafragma yang terkena biasanya diafragma kanan. Pada paralisis berat bayi dapat memperlihatkan sindroma gangguan pernafasan dengan dispneu dan sianosis. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan röntgen foto torak atau fluoroskopi dimana diafragma yang terganggu posisinya lebih tinggi. Pengobatan biasanya simptomatik. Bayi harus diletakkan pada sisi yang terkena gangguan dan kalau perlu diberi oksigen. Infeksi paru merupakan komplikasi yang berat. Penyembuhan biasnya terjadi spontan pada bulan ke-1 samapi ke-3. (2,4,8)

d. Kerusakan medulla spinalis

Kelainan ini ditemukan pada kelahiran letak sungsang, presentasi muka atau presentasi dahi. Hal ini terjadi akibat regangan longitudinal tulang belakang karena tarikan, hiperfleksi, atau hiperekstensi pada kelahiran. Gejala yang ditemukan tergantung dari bagian medulla spinalis yang terkena dan dapat memperlihatkan sindroma gangguan pernafasan, paralisis kedua tungkai, retensio urine, dan lain-lain. Kerusakan yang ringan kadang-kadang tidak memerlukan tindakan apa-apa, tetapi pada beberapa keadaan perlu dilakukan tindakan bedah atau bedah saraf. (2,4,8,9,10)

e. Paralisis pita suara

Kelainan ini mungkin timbul pada setiap persalinan dengan traksi kuat di daerah leher. Trauma tersebut dapat mengenai cabang ke laring dari nervus vagus, sehingga terjadi gangguan pita suara (afonia), stridor pada inspirasi, atau sindroma gangguan pernafasan. Kelainan ini dapat menghilang dengan sendirinya dalam waktu 4-6 minggu dan kadang-kadang diperlukan tindakan trakeotomi pada kasus yang berat. (2)

5. Perlukaan lain

a. Perdarahan intra abdominal

Kelainan ini dapat terjadi akibat teknik yang salah dalam memegang bayi pada ekstraksi persalinan sungsang. Gejala yang dapat dilihat ialah adanya tanda-tanda syok, pucat, anemia, dan kelainan abdomen tanpa tanda-tanda perdarahan yang jelas. Ruptur hepar, lien dan perdarahan adrenal merupakan beberapa faktor yang dapat menimbulkan perdarahan ini. Operasi serta transfusi darah dini dapat memperbaiki prognosis bayi.(2,4,8)

BAB III

KESIMPULAN

1. Trauma lahir adalah trauma pada bayi yang diterima dalam atau karena proses kelahiran.

2. Faktor risiko trjadinya trauma lahir pada bayi baru lahir diantaranya yaitu makrosomia, prematuritas, disproporsi sefalopelvik, distosia, persalinan lama, persalinan yang diakhiri dengan alat (ekstraksi vakum dan forceps), persalinan dengan sectio caesaria, kelahiran sungsang, presentasi bokong dan presentasi muka.

3. Kelainan yang dapat timbul akibat trauma lahir pada bayi bari lahir yaitu:

  1. cedera tulang yang meliputi: fraktur tulang tengkorak, fraktur klavikula, fraktur humerus, fraktur femoris, fraktur dan dislokasi tulang belakang.
  2. Perdarahan intra kranial, misalnya perdarahan subdural, perdarahan subependimal dan intraventrikuler serta perdarahan subarachnoidal.
  3. Perlukaan jaringan lunak yang meliputi: perlukaan kulit, eritema, ptekiae, abrasi, ekimosis, nekrosis lemak subkutan, cephal haematoma, caput succedenium, perdarahan subaponeurotik, trauma m. sternocleidomastoideus dan perdarahan subkonjunctiva.
  4. Trauma susunan saraf yang dapat menyebabkan paralisis plexus brachialis, paralisis n. facialis, paralisis n. frenikus, kerusakan medulla spinalis dan paralisis pita suara.
  5. Perlukaan lain misalnya perdarahan intra abdominal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunatmadja I., Deteksi Dini Gangguan Tumbuh Kembang Bayi Risiko Tinggi, dalam Temu Muka dan Konsultasi : Deteksi dan Stimulasi Dini Bayi Risiko Tinggi, Jakarta, 2000.

2. Wiknjosastro H., Perlukaan persalinan, dalam Ilmu Kebidanan, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 1997 : 716-722.

3. Monheit, Silverman, Fodera, Birth Injury Birth Trauma, http://www.google.com., 2002.

4. Behrman R., Vaughan V., Trauma lahir, dalam Nelson- Ilmu Kesehatan Anak, Ed. XII, EGC, Jakarta, 1994 : 608-614.

5. Rima M et all, Kamus Kedokteran Dorland, Ed.XXVI, EGC, Jakarta, 1996 : 1951.

6. Hasan R., Alatas H., Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, Jakarta, 1985 : 1069-1071.

7. Bagian Obstetri dan Ginekologi, Obstetri Operatif, FK Unpad, Bandung, 1977 : 37-85

8. Oxorn H., Bayi Baru lahir, dalam Ilmu Kebidanan : Patologi & Fisiologi Persalinan, Yayasan Esentia Medika, 1996 : 660-681.

9. Nygaard D., Traumatic Birth Syndrom, http://www.yahoo.com., 2001

10. Plasker E., Traumatic Birth Syndrom, http://www.google.com., 2002

Powered By Blogger