Pengikut

Kamis, 14 Januari 2010

Keracunan Bahan Insektisida


KERACUNAN BAHAN INSEKTISIDA

Ada 3 macam yaitu :
1. Insektisida Halogen
Antara lain : halobenzene dan derivatnya
- DDT : Dichlorodiphenyl Trichlorethane
- Endrin, Dieldrin
2. Cholinesterase inhibitor insektisida
Antara lain :
- Malathion
- Carbaryl, Carbamates (baygon)
3. Insektisida lain :
Antara lain :
- Barium
- Dinitrophenol (dinitro cresol)
- Nicotine
- Thallium

1. HALOBENZEN INSEKTISIDA
Suatu bahan kimia sintetis yang stabil sampai beberapa bulan setelah dipakai. Larut dalam lemak tak larut dalam air. DDT salah satu yang dijual di pasaran. Dosis yang dapat ditolerir : 0,05 p.p.m. Dosis fatal : 3 gr.
Gejala Klinik.
Keracunan biasa akut.
- Bila tertelan 5 gr atau lebih ½ jam kemudian akan muntah, lemah dan diare
- Tertelan lebih 20 gr maka kelopak mata berkedip-kedip, tremor otot dan kejang-kejang, klonik berat, nadi normal, pernafasan menjadi cepat lalu melambat.
Pemeriksaan laboratorium
Urine : dijumpai DDT
Darah : dijumpai DDT
Pengobatan :
- Muntahkan
- Diberi aktif charcoal diikuti lavage lambung dengan 2 s/d 4 liter air. Jangan diberi lemak atau minyak, lavage intestinal dengan 20% manitol (200 ml). Dengan menggunakan endoskopi.
- Kulit yang terkena dicuci dengan sabun dan air mengalir
- Pemberian oksigen dan pernafasan buatan bila nafas lambat
- Untuk kejang diberi diazepam 10 mg i.v. pelan-pelan
- Untuk tremor diberi Phenobarbital 100 mg.
- Jangan diberi stimulan seperti epinephrine karena dapat membuat ventrikel fibrilasi.

Prognosis
Bila kejang berat prognosis dubia. Bila ringan membaik 24 jam, tetapi bisa sampai 4 minggu.

DIELDRIN ENDRIN :

Bahan sintesis larut dalam lemak tak larut dalam air. Digunakan membunuh lalat, nyamuk dan serangga lain.
Dosis fatal di tikus : Dieldrin : 40 mg/kg
Endrin : 5 mg/kg

Gejala Klinik :
Pada keracunan akut :
- Tremor
- Ataxia
- Kejang-kejang
- Gagal nafas
- Gagal ginjal : anuria

Laboratorium :
- Terdapat proteinuria, hematuria
- Gangguan fungsi liver
Pengobatan : sama dengan keracunan DDT
Prognosis : dubia

2. CHOLINESTERASE INHIBITOR INSEKTISIDA
Malathion, Carbaryl, baygon
Terdiri dari 2 unsur kimia yaitu Organophosfat dan Carbamat
Dosis fatal : 120 mg
Organofosfat mengaktivasi enzym acetyl cholin esterase. Carbamat sama dengan cholin esterase.
Gejala klinis :
Pada keracunan akut setelah masuk ke badan 30 s/d 60 menit.
- Ringan : Anorexia
Sakit kepala
Lemas
Tremor lidah, kelopak mata
Miosis
- Sedang : Mual
Muntah
Air liur banyak
Berkeringat
Nadi lambat
Perut kram
- Berat : Cianosis, kejang, coma
Pupil : pin point
Diare.
Kesulitan bernafas
Edema pulmonum
Jantung berhenti/Block
Pemeriksaan Laboratorium
- Kadar cholinesterase di plasma dan sel darah merah turun 30 s/d 50%
- Didapat bahan racun di urine

Pengobatan
Pada keracunan akut
- Airway harus lancar
- Pernafasan buatan dan oksigen, keadaan berat dengan respirator
- Cuci bagian yang terkena racun dengan air dan sabun
- Muntahkan dan lavage
- Antidotum :
1) Atropin sulfat 2 mg (8 ampul) ulang tiap 10 menit sampai atropinisasi yaitu
Muka merah
Mulut kering
Pupil dilatasi
Nadi cepat
Total atropin 12 mg dalam 2 jam pertama
2) Cholinesterase reaktivator, yaitu : Pralidoxime 1 gr i.v pelan-pelan diulang 30 menit sampai nafas membaik.
- Sekret disaluran nafas dikeluarkan dengan suction atau Bronchial toilet. Dapat diberi aminophyllin.
- Kejang diberi diazepam.

Prognosis :
Bila pengobatan baik, 4 s/d 6 jam dapat tertolong.






KERACUNAN PEPTISIDA LAIN
a.l. : Barium, Nicotine, Thalium

1. BARIUM
Garam barium carbonat, hidrochloride digunakan sebagai insektisida. Dapat juga cairan Barium digunakan untuk kontras pada pemeriksaan Radiologi, seperti : OMD, Colom in loop. Dosis fatal 1 gr.

Gambaran Klinik :
- Muntah, diare, sakit perut
- Tremor, lemas
- Sulit bernafas
- Arithmia jantung
- Kejang
- Meninggal karena gagal jantung atau gagal nafas

Pemeriksaan lain :
- EKG terlihat gambaran VES, SVES
- Jumlah eritrosit meningkat
- Hipokalemi
- Asidosis respirator

Pengobatan :
Pada keracunan akut
- Beri oksigen
- Pernafasan buatan
- Antidotum : Beri 10 cc sodium sulfate i.v. pelan-pelan. Diulangi tiap 15 menit sampai gejala hilang.
- Pasang NGT : Beri juga 30 gr sodium sulfat dalam 250 cc air dan ulang 1 jam kemudian.
- Infus NaCl 0,9% dengan kecepatan 1 liter tiap 4 jam. Beri Furesemid 10 s/d 40 mg i.v. tiap 4 s/d 6 jam. Monitor jumlah urine.
- Bila hipokalemi diberi Kalium oral atau infus 1 s/d 2 Meq/kgBB selama 8 jam
- Bila sakit perut hebat diberikan morphine 5 s/d 10 Meq s.c.

Prognosis :
Baik bila pemberian Mg sulfat atau sodium sulfat tak terlambat. Pulih dalam 24 jam

2. NICOTINE
Didapat dari extrak tembako. Dosis fatal : 40 mg (1 tetes). Batas maksimal diperolehkan 0,5 mg/m3.

Gambaran Klinik :
Pada keracunan akut, asam tembakau, debu tembakau atau insektisida spray.
Dosis kecil (kontaminasi kulit, inhalasi)
- Stimulasi pernafasan
- Mual, muntah, diare
- Kepala sakit
- Takikardi
- Hipertensi
- Banyak keringat dan liur banyak (hypersalivosit
Dosis besar (tertelan cairan insektisida nicotine)
- Semua gejala diatas
- Rasa terbakar di tenggorokkan, mulut danlambung
- Kejang
- Pernafasan melambat
- Aritmia jantung
- Coma
- Meninggal antara 5 menit s/d 4 jam


Pengobatan :
- Cuci dengan air mengalir dan sabun pada kulit yang terkena
- Muntahkan/buat muntah
- Diberi activated charcoal
- Gastric lavage
- Pernafasan buatan, oksigen
- Antidotum :
 Diberikan sulfat atropin maksimal dosis sampai atropinisasi
 Phentolamine 1 s/d 5 mg i.m. atau i.v. Monitor tekanan darah.

Prognosis :
Bila dapat bertahan lebih dari 4 jam biasanya dapat pulih.

3. THALIUM
Thallium untuk membunuh semut sebagai peptisida. Dosis fatal 1 gr. Dosis maximal diperbolehkan pada insektisida 0,1 mg/m3.

Gambaran Klinik :
Pada keracunan akut karena tertelan atau diabsorbsi kulit :
- Sakit hebat pada kedua kaki dan tangan
- Ptosis
- Ataxia
- Rambut rontok s/d botak
- Panas
- Pilek dan bersin
- Conjunctivitas
- Mual, muntah, perut sakit
- Tremor
- Sianosis
- Kejang
- Edema paru, Bronchopneumoni
- Gagal ginjal dengan anuria
Pada keracunan menahun, kecuali botak, amenorrhoe dan aspermia.

Pemeriksaan laboratorium :
Pada urine didapat proteinuria, dan sel darah merah. Pada darah didapat peningkatan leukosit, eosinophil dan lymphosit.

Pengobatan :
1. Diberi actived charcoal setelah dibuat muntah dan gastric lavage
- Diberi laxan antara lain 30 ml Castor oil, dilakukan clysma tinggi, ulangi tiap 12 jam.
- Cuci dengan sabun dan air mengalir bagian kulit yang terkena.

2. Antidotum :
- Potasium chloride 5-25 gr/hari diminum
- Potassium ferric hexa cyanoferrate atau Prussian blue diberikan dengan endoskopi sampai duodenum 10 gr 2 kali sehari.

3. Dapat juga dengan sodium Thio sulfate larutan 10% dosis 10 cc i.v., infus glucose 5% dan NaCl 0,9% maintenance cairan di badan, makanan yang cukup.
Monitor urine harus lebih 1000 cc.

Prognosis :
Bila belum terjadi kerusakan otak dapat dalam waktu 2 bulan atau lebih sembuh kembali.






DAFTAR BACAAN

1. Dreisbach H. Robert : Handbook of Poisoning, Tenth Edition. Maruzen Asian Edition.

2. Sukmana Nanang : Intoksikasi Narkotika (Opiat), Majalah Kedokteran Indonesia Edisi Khusus, KPPIK FKUI, 2005, 317 – 321. Volume 55, No. 3, Maret 2005.

3. Sukmana Nanang : Keracunan Narkotik Akut, Penatalaksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam, Pusat Informasi dan Penerbitan IPD-FKUI, 2000, 41-49.

4. Hawari Dadang : Al Quran; Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Dana Bhakti Primayasa, 1996, 131-193.

Migran Pada Anak



BAB I
PENDAHULUAN

I.a. Latar Belakang
Nyeri kepala adalah nyeri atau sakit sekitar kepala, termasuk nyeri di belakang mata serta perbatasan antara leher dan kepala bagian belakang (Oleson & Bonica, 1990). Sakit kepala bisa merupakan keluhan primer atau sekunder. sakit kepala primer yaitu keluhan sakit kepala merupakan diagnosis utama, bukan disebabkan karena adanya penyakit lain, sedangkan sakit kepala sekunder yaitu sakit kepala merupakan gejala ikutan karena adanya penyakit lain seperti hipertensi, radang sinus, premenstrual disorder, dll.1
Klasifikasi klinis nyeri kepala (Anthony, 1988) : 1
a.Sakit kepala akut :
i.Intrakranial : 1.Meningitis / ensefaliti
2.Perdarahan subaraknoid
3.Hematoma subdural
4.Tumor intrakranial
ii.Ekstrakranial : 1.Migrain
2.Sakit kepala cluster
3.Sakit kepala post trauma
4.Glaucoma
5.Neuritis optika
6.insufisiensi serebro-vaskuler
iii.Sistemik : 1.Hipertensi
2.Feokromositoma
3.Reaksi terhadap penghambat MAO
b.Sakit kepala subakut :
1.Hematoma subdural
2.Arteritis temporalis
3.Abses otak
4.Tumor
5.Sinus trombosis
6.Hipertensi intrakranial benigna
c.Sakit kepala menahun :
1.Migren/ sakit kepala tegang
2.Tumor jinak
Struktur jaringan kepala yang peka nyeri dan tidak peka nyeri (Dalessio, 1984; Oleson & Bonica, 1990) : 1
1. Peka Nyeri :
• Intrakranial : Sinus cranial dan vena aferen, Arteri dari duramater, Arteri dari dasar otak dan cabang cabang utamanya, Bagian dari duramater (sekitar pembuluh darah besar).
• Ekstrakranial : Kulit, kulit kepala, fasia, otot mukosa; Arteri (vena kurang peka), Saraf-saraf (N. trigeminus, N. vagus, saraf servikal kedua dan ketiga)
2. Tak Peka Nyeri : Parenkim otak, Ependima, pleksus khoroideus, Pia mater, araknoid, bagian dari dura, Tengkorak (periost: sedikit peka).

Sakit kepala merupakan persoalan yang lazim dalam pediatri. Pengaruh sakit kepala tersebut adalah pada prestasi akademik anak, ingatan, kepribadian, dan hubungan antar-pribadi, demikian juga kehadiran sekolah, tergantung pada etiologi, frekuensi dan intensitasnya. Bayi dan anak memberikan respon terhdaap sakit kepala dengan cara yang tidak dapat diramalkan. Sebagian besar anak yang baru belajar jalan tidak dapat menceritakan sifat sakit kepalanya, tetapi agaknya mereka dapat menjadi sangat peka, mudah marah, muntah, lebih senang pada ruangan gelap karena fotofobia, atau menggosok mata dan kepalanya secara berulang-ulang. Sebab-sebab sakit kepala yang paling penting pada anak, salah satunya adalah migrain.1

I.b. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menguraikan masalah migrain ditinjau dari definisi, etiologi, patogenesis, faktor-faktor predisposisi, pembagian, diagnosis, penatalaksanaan, pencegahan dan prognosis serta untuk memenuhi syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto.2









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.a. Definisi
Kata "migraine" merupakan bahasa Perancis, yang berasal dari bahasa Yunani "migren-hemicranium" yang berarti sakit kepala sesisi.3
Migrain adalah suatu kondisi kronis yang dikarakterisir oleh sakit kepala episodik dengan intensitas sedang sampai berat yang berakhir dalam waktu 4-72 jam (International Headache Society). Nyeri kepala biasanya bersifat unilateral, umumnya disertai anoreksia, mual dan muntah dengan intensitas, frekuensi dan lamanya yang berbeda-beda. Migraine juga merupakan suatu kelainan yang multikompleks dan memerlukan penelitian dan analisa yang cermat. Gejala-gejala pada beberapa penderita kadang-kadang sukar sekali untuk dikontrol, tetapi dengan pendekatan yang sistematik dan teliti, banyak penderitanya yang dapat ditolong.Jadi yang perlu diperhatikan pada pasien adalah memperhatikan gejala serangan migraine yang kemudian disusul dengan memperbaiki fungsi pasien dengan mengoptimalkan self care dan penggunaan obat lain. 3
Migrain dapat diklasifikasikan menjadi subkelompok, termasuk migrain biasa, migrain klasik, varian migrain dan migrain terkomplikasi.

II.b.Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti faktor penyebab migrain. Dari penyelidikan yang sudah ada, diduga sebagai ganguan neurologis, perubahan sensitivitas sistem saraf dan aktivasi sistem trigeminal vaskular.3
1. Gangguan neurologis
Setiap orang mempunyai ambang migrain yang berbeda-beda, sesuai dengan reaksi neurovaskular terhadap perubahan mendadak dalam lingkungan. Dengan tingkat kerentanan yang berbeda-beda maka akan ada sebuah ketergantungan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi pada berbagai tingkat saraf.
2. Perubahan sensitivitas sistem saraf
Proyeksi difus locus ceruleus ke korteks serebri dapat mengalami terjadinya oligmia kortikal dan mungkin pula terjadinya spreading depression.
3.Aktivasi trigeminal vaskular
Mekanisme migraine berwujud sebagai refeks trigeminal vaskular yang tidak stabil dengan cacat segmental pada jalur nyeri. Cacat segmental ini yang memasukkan aferen secara berlebihan yang kemudian akan terjadi dorongan pada kortibular yang berlebihan. Dengan adanya rangsangan aferen pada pembuluh darah, maka menimbulkan nyeri berdenyut.Kemungkinan lain terntang patogenesis migraine didasarkan atas inflamasi neurogenik di dalam jaringan intrakanal. Terdapat beberapa hal yang dapat memperberat keluhan migraine. Berikut ini adalah jenis keadaan yang dapat memperberat keluhan migraine, diantaranya adalah :
1. Stress, diburu waktu, marah atau adanya konflik
2. Bau asap atau uap, asap rokok, perubahan udara dan cahaya yang
menyilaukan
3. Menstruarsi, pil KB, pengobatan hormon estrogen
4. Kurang tidur atau terlalu lama tidur
5. Lapar dan minuman keras
6. Latihan fisik yang teralu banyak
7. Pemakaian obat-obatan tertentu, seperti : simetidin, kokain, fluoksetin, indometasin, nikotin, nifedipin.
8. makanan yang mengandung tiramin, food additive (MSG, aspartam), coklat, kopi.3
II.c. Epidemiologi
Prevalensi migrain beranekaragam bervariasi berdasarkan umur dan jenis kelamin. Migraine dapat tejadi dari mulai kanak-kanak sampai dewasa. Resiko mengalami migraine semakin besar pada orang yang mempunyai riwayat keluarga penderita migraine.4


Gambar 1. Migrain berdasarkan umur dan usia

Anak termuda yang dilaporkan mengalami migrain adalah berusia 1 tahun. Insiden migrain pada anak usia sekolah antara 7 – 15 tahun adalah 4% pada studi di Swedia. Anak perempuan lebih mungkin mengalami migrain ketika remaja, sementara laki-laki terjadi pada usia di bawah 10 tahun. 4

II.d. Klasifikasi
Migrain dapat diklasifikasikan menjadi subkelompok, termasuk migrain biasa, migrain klasik, varian migrain dan migrain terkomplikasi. 4
Migrain Biasa
Migrain ini tidak disertai dengan aura dan merupakan tipe migrain yang paling lazim pada anak. Sakit kepalanya adalah berdenyut atau mengketok-ketok, dan cenderung terlokalisasi pada daerah temporal atau bifrontal. Migrain pada anak seringkali bukan sakit kepala sebelah (hemikranial) dan kurang berat jika dibandingkan dengan migrain pada orang dewasa. Sakit kepala biasanya berlangsung selama 1-3 jam, meskipun nyeri ini dapat berlangsung selama 24 jam. Tanda khas migrain masa anak adalah rasa mual dan muntah yang berat, yang dapat lebih menyusahkan daripada sakit kepalanya. Muntah dapat disertai dengan sakit perut dan demam, dengan demikian keadaan seperti appendisitis dan infeksi sistemik dapat secara salah terancukan dengan diagnosis primer. Gejala tambahan meliputi kepucatan yang amat sangat, fotofobia, kepala terasa ringan, dan kesemutan tangan dan kaki. Riwayat keluarga, terutama pada pihak ibu,ada sekitar 90% anak dengan migrain biasa. Salah satu aspek terpenting dalam patofisiologi migraine adalah kelainan yang terkait genetik dimana penelitian pada kembar dan sejumlah populasi secara familial menunjukan relasi yang kuat bahwa migrain, terutama tanpa aura, merupakan kelainan multifaktor yang disebabkan kombinasi genetik dan faktor eksternal. Migraine yang bersifat familial ini terkait dengan kromosom 19P13.4
Migrain Klasik
Migrain ini disertai dengan aura yang mendahului mulainya sakit kepala. Aura visual jarang ada pada anak dengan migrain, tetapi bila aura ini terjadi dapat berupa pandangan kabur, skotoma (daerah penglihatan mengurang dalam medan penglihatan), fotopsia (sorotan cahaya), fortifikasi spektra (garis zig-zag putih yang terang), atau distorsi obyek ireguler. Beberapa penderita juga mengalami vertigo dan kepala terasa ringan selama fase sakit kepala ini. Gejala sensoris meliputi kesemutan perioral dan mati rasa tangan dan kaki. 5
Varian Migrain
Varian ini meliputi muntah siklik, keadaan kebingungan akut, dan vertigo paroksismal benigna. Muntah siklik ditandai dengan penyakit muntah berat yang terjadi berulangkali, setiap bulan yang mungkin begitu berat sehingga terjadi dehidrasi dan kelainan elektrolit, terutama pada bayi. Pada mulanya gejala sistemik seperti demam, sakit perut, dan diare tidak ada, tetapi gejala ini dapat menjadi menonjol bersama dengan hilangnya cairan berlebihan akibat muntah. Muntah dapat berlarut-larut dan menetap selama beberapa hari. Anak tampak pucat dan ketakutan tetapi tidak kehilangan kesadaran. Setelah periode tidur yang dalam, anak bangun dan mulai bermain lagi dan makan-makanan kebiasaan mereka seolah-olah tidak pernah mengalami muntah. Keadaan kebingungan akut disertai hiperaktivitas, disorientasi, tidak responsif, gangguan memori, muntah, dan lesu. Episode kebingungan akut dapat menetap selama beberapa jam dan secara khas sadar secara spontan pasca tidur; penderita tidak ingat pada keadaan kebingungannya. Keadaan ini sebagai komponen migrain akut yang mungkin akibat dari migrain otak terlokalisasi karena peningkatan permeabilitas vaskular selama sakit kepala.5
Migrain Terkomplikasi
Migrain terkomplikasi merujuk pada perkembangan neurologis selama sakit kepala yang berlangsung setelah berhentinya sakit kepala. Adanya tanda neurologis bersama dengan sakit kepala menunjukkan kemungkinan lesi struktural yang mendasari dan memerlukan penelitian menyeluruh. Ada tiga subset migrain terkomplikasi. Migrain basilar tanda batang otak menonjol pada penderita ini, karena vasokonstriksi arteri basilar dan arteri serebralis posterior. Gejala utama termasuk vertigo, tinitus diplopia, pandangan kabur, skotoma, ataksia, dan sakit kepala oksipital. Pupil dapat dilatasi dan ptosis. Perubahan pada kesadaran yang disertai kejang-kejang menyeluruh dapat terjadi. Setelah serangan terdapat penyembuhan sempurna gejala dan tanda neurologis. Ada riwayat keluarga yang positif kuat untuk migrain pada sebagian besar anak. Banyak yang mengalami migrain klasik ketika remaja atau dewasa. Trauma kepala yang relatif kecil dapat mempercepat episode migrain basilar. Migrain ophtalmoplegik relati jarang pada anak. Pada penderita ini berkembang kelumpuhan saraf ketiga ipsilateral sampai sakit kepala saat terjadi serangan, karena perubahan pasokan darah pada saraf okulomotorius. Amaurosis fugax, kebutaan monokuler, akut, reversibel, dapat juga menjadi varian migrain terkomplikasi. Migrain hemiplegik merujuk pada mulainya tanda sensoris atau motorik unilateral selama episode migrain. Hemisindroma lebih lazim pada anak dibandingkan dewasa dan dapat ditandai dengan mati rasa wajah, lengan dan kaki, kelemahan unilateral, dan afasia. Lebih dari satu serangan tidak lazim pada kelompok usia pediatric. Tanda neurologis dapat sementara atau menetap selama beberapa hari. Migrain hemiplegik pada anak yang lebih tua atau remaja mempunyai prognosis yang lebih baik, dan seringkali ditemukan riwayat keluarga positif kejadian hemiplegik yang serupa. Hemiplegik akut dapat merupakan manifestasi awal migrain dan dapat terulang, mengenai satu sisi dan kemudian sisi yang lain. Seringkali episode vasokonstriksi yang disertai dengan iskemia dapat mengakibatkan luka otak ireversibel sehingga berakibat retardasi mental dan epilepsi pada subkelompok anak ini.6
II.e. Patofisiologi
Saat serangan migren 79% pasien menunjukkan cutaneus allodynia(CA) di daerah kepala ipsilateral dan kemudian dapat menyebar kedaerah kontralateral dan kedua lengan. Allodynia biasanya terbatas pada daerah ipsilateral kepala, yang menandakan sensitivitas yang meninggi dari neuron trigeminal sentral (second-order) yang menerima input secara konvergen. Jika allodynia lebih menyebar lagi, ini disebabkan karena adanya kenaikan sementara daripada sensitivitas third order neuron yang menerima pemusatan input dari kulit pada sisi yang berbeda.7
Pada penderita migren, disamping terdapat nyeri intrakranial juga disertai peninggian sensitivitas kulit. Sehingga patofisiologi migren diduga bukan hanya adanya iritasi pain fiber perifer yang terdapat di pembuluh darah intrakranial, akan tetapi juga terjadi kenaikan sensitisasi set saraf sentral terutama pada sistem trigeminal, yang memproses informasi yang berasal dari struktur intrakranial dan kulit. Pada beberapa penelitian terhadap penderita migren dengan aura, pada saat paling awal serangan migren diketemukan adanya penurunan cerebral blood flow (CBF) yang dimulai pada daerah oksipital dan meluas pelan2 ke depan sebagai seperti suatu gelombang ("spreading oligemia) dan dapat menyeberang korteks dengan kecepatan 2-3 mm per menit. hal ini berlangsung beberapa jam dan kemudian barulah diikuti proses hiperemia. Pembuluh darah vasodilatasi, blood flow berkurang, kemudian terjadi reaktif hiperglikemia dan oligemia pada daerah oksipital, kejadian depolarisasi set saraf menghasilkan gejala scintillating aura,kemudian aktifitas set saraf menurun menimbulkan gejala skotoma. Peristiwa kejadian tersebut disebut suatu cortical spreading depression (CDS). CDS menyebabkan hiperemia yang berlama didalam duramater, edema neurogenik didalam meningens dan aktivasi neuronal didalam TNC (trigeminal nucleus caudalis) ipsilateral. Timbulnya CSD dan aura migren tersebut mempunyai kontribusi pada aktivasi trigeminal, yang akan mencetuskan timbulnya nyeri kepala. Pada serangan migren, akan terjadi fenomena pain pathway pada sistem trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang kemudian diikuti peninggian Ca sebagai penghantar yang menaikkan aktivasi proteinkinase seperti misalnya 5-HT, bradykinine, prostaglandin, dan juga mengaktivasi enzym NOS. Proses tersebutlah sebagai penyebab adanya penyebaran nyeri, allodynia dan hiperalgesia pada penderita migren.8

Gambar 2. Cortical Spreading Depression
Fase sentral sensitisasi pada migren, induksi nyeri ditimbulkan oleh komponen inflamasi yang dilepas dari dura, seperti oleh ion potasium, protons, histamin,5HT(serotonin), bradikin, prostaglandin di pembuluh darah serebral, dan serabut safar yang dapat menimbulkan nyeri kepala. Pengalih komponen inflamasi tersebut terhadap reseptor C fiber di meningens dapat dihambat dengan obat2an NSAIDs(non steroid anti inflammation drugs) dan 5-HT agonist, yang memblokade reseptor vanilloid dan reseptor acid-sensittive ion channel yang juga berperan melepaskan unsur protein inflamator).8


Gambar 3. Pain pathway sistem trigeminovaskular

Fase berikutnya dari sensitisasi sentral dimediasi oleh aktivasi reseptor presinap NMDA purinergic yang mengikat adenosine triphosphat (reseptor P2X3) dan reseptor 5-HT pada terminal sentral dari nosiseptor C fiber. Nosiseptor C-fiber memperbanyak pelepasan transmitter. Proses sensitisasi di reseptor meningeal perivaskuler mengakibatkan hipersensitivitas intrakranial dengan manifestasi sebagai perasaan nyeri yang ditimbulkan oleh berbatuk, rasa mengikat dikepala, atau pada saat menolehkan kepala. Sedangkan sensitivitas pada sentral neuron trigeminal menerangkan proses timbulnya nyeri tekan pada daerah ekstrakranial dan cutaneus allodynia. Sehingga ada pendapat bahwa adanya cutaneus allodynia (CA) dapat sebagai marker dari adanya sentral sensitisasi pada migren. 8
Selain mekanisme di atas, salah satu aspek terpenting dalam patofisiologi migraine adalah kelainan yang terkait genetik dimana penelitian pada kembar dan sejumlah populasi secara familial menunjukan relasi yang kuat bahwa migraine (terutama tanpa aura) merupakan kelainan multifaktor yang disebabkan kombinasi genetik dan faktor eksternal. Migraine yang bersifat familial ini terkait dengan kromosom 19P13. 8
II.f. Gejala Klinis
Gambaran klinik penyakit ini dapat dibagi atas 4 fase.1,7
1. Fase I : Prodromal
Sebanyak 50% pasien mengalami fase prodromal ini yang berkembang pelan-pelan selama 24 jam sebelum serangan. Gejala berupa terasa ringan pada kepala, tidak enak, iritabel, memburuk bila makan makanan tertentu seperti makanan manis, mengunyah terlalu kuat, sulit/malas berbicara.
2. Fase II : Aura
Gangguan penglihatan yang paling sering dikeluhkan pasien. Khas pasien melihat seperti melihat kilatan lampu blits (photopsia) atau melihat garis zig zag disekitar mata dan hilangnya sebagian penglihatan pada satu atau kedua mata (scintillating scotoma). Gejala sensoris yang timbul berupa rasa kesemutan atau tusukan jarum pada lengan, dysphasia. Fase ini berlangsung antara 5 – 60 menit. Sebanyak 80% serangan migraine tidak disertai aura.
3. Fase III : Headache
Nyeri kepala yang timbul terasa berdenyut dan berat. Biasanya hanya pada salah satu sisi kepal tetapi dapat juga pada kedua sisi. Sering disertai mual muntah tidak tahan cahaya (photofobia) atau suara (phonofobia). Nyeri kepala sering memburuk saat bergerak dan pasien lebih senang istrahat ditempat yang gelap dan ini sering berakhir antara 2 – 72 jam.
4. Fase IV : Postdromal
Saat ini nyeri kepala mulai mereda dan akan berakhir dalam waktu 24 jam, pada fase ini pasien akan merasakan lelah, nyeri pada ototnya kadang kadang euphoria. Setelah nyeri kepala hilang.

II.g. Diagnosis
Diagnosis migraine dapat dibuat berdasarkan riwayat dan pemeriksaan. Pada umumnya pemeriksaan neurodiagnostik tidak diindikasikan. Tetapi pada riwayatnya, dapat ditemukan gambaran migraine awal yang meliputi nyeri kepala unilateral, adanya aura peringatan (sering visual) dan mual atau muntah. Menurut Headache Classification Subcommittee, 2004, menyatakan diagnosis migraine diketahui dengan mengamati adanya serangan berulang nyeri kepala, dengan intensitas, frekuensi dan durasi yang sangat bervariasi, onset serangan biasanya unilateral yang disertai anoreksia dan kadang-kadang mual dan muntah; beberapa didahului atau berkaitan dengan gangguan mood, sensorik dan motorik yang nyata; dan sering familial/keturunan, disertai kriteria tambahan yaitu fotofobia dan fonofobia dengan durasi 4-72 jam. 8
Tidak ada tes laboratorium yang dapat mendukung penegakan diagnosis migraine. Gejala migraine yang timbul perlu diuji dengan melakukan pemeriksaan lanjutan untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain dan kemungkinan lain yang menyebabkan sakit kepala. Pemeriksaan lanjutan tersebut adalah :8
1. MRI atau CT Scan, yang dapat digunakan untuk menyingkirkan tumor dan
perdarahan otak.
2. Punksi Lumbal, dilakukan jika diperkirakan ada meningitis atau perdarahan
otak.

Indikasi untuk CT Scan pada anak dengan sakit kepala :
1. Tanda neurologis abnormal
2. Kegagalan sekolah, perubahan perilaku baru, penurunan percepatan pertumbuhan linier
3. Sakit kepala membangunkan anak saat tidur, dengan penigkatan frekuensi dan keparahan.
4. Sakit kepala periodik dan kejang terjadi bersama, terutama bila kejang mulainya setempat.
5. Migrain dan kejang terjadi pada episode yang sama, dan gejala vaskular mendahului kejang (20%-50% risiko tumor atau malformasi arteriovenosus).
6. Sakit kepala cluster pada anak; setiap anak <5 atau 6 tahun yang keluhan utamanya sakit kepala.
7. Gejala atau tanda neurologis setempat berkembang selama sakit kepala (yaitu, migrain terkomplikasi).
8. Gejala atau tanda neurologis setempat (kecuali gejala penglihatan migrain klasik) terjadi selama aura, dengan lateralisasi tetap; tanda setempat aura yang menetap atau berulang pada fase sakit kepala.
9. Penglihatan kelabu pada puncak sakit kepala sebagai ganti aura.
10. Sakit kepala yang terjadi setelah batuk pada anak atau remaja.
II.h. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada prestasi akademik anak, ingatan, kepribadian, dan hubungan antar-pribadi, demikian juga kehadiran sekolah. Namun pada migrain hemiplegik dapat berakibat retardasi mental dan epilepsi karena episode vasokonstriksi yang disertai dengan iskemia.8
II.i. Diagnosis Banding
Adapun beberapa diagnosa yang serupa dengan migrain, yaitu :9
a. Cluster headache
Sakit kepala unilateral yang rekuren yang hampir selalu pada sisi kepala yang sama, sakit kepala yang khas dirasakan pada regio okulomotor atau okulotemporal dan kadang-kadang menjalar ke rahang atas.
b. Background vascular headache
Merupakan varian cluster headache yang bersifat kronik, terus menerus, biasanya unilateral dengan intensitas sakit yang bervariasi dengan berdenyut pada waktu istirahat atau pada saat mulai kerja.
c. Epilepsi
merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked) dan berkala. Kelainan neurologis pada migrain dapat mirip dengan epilepsi fokal, gambaran klinis kelainan vaskular seperti angioma atau aneurisma, atau proses tromboembolik.9

II.j. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada migrain dibagi menjadi dua, yaitu terapi farmakologis dan non-farmakologis. Terapi farmakologis terdiri dari terapi abortif yang bertujuan mengatasi nyeri atau gejala pada saat serangan dan terapi profilaksis yang bertujuan mencegah serangan. Terapi profilaksis diperlukan jika serangan terjadi lebih dari 2-3 kali dalam sebulan, serangan berat dan menyebabkan gangguan fungsi serta terapi simptomatik gagal atau menyebabkan efek samping yang serius.10
Terapi abortif10
1. Asetaminofen
• Efektif jika pemberian pada saat serangan.
• Dosis : <12 years: 10-15 mg/kg/24 jam
>12 years: 325-650 mg PO

2. NSAIDs
• Menghambat sintesis prostaglandin, agregasi platelet dan pelepasan 5-HT
• Dosis : Ibuprofen 10-20 mg/kg/24 jam
Naproxen 2,5-5 mg/kg/24 jam
Terapi profilaksis10
1. Propanolol
• Dosis :
Anak : mulai 10 mg 2-3x/hari, maksimum 20 mg 3x/hari
Dewasa : mulai 10-20 mg 3x/hari, maksimum 80 mg3x/hari.
• Efek samping : mual, insomnia, lesu, bradikardi, hipertensi.
• Kontraindikasi : asma, aritmia jantung, depresi, diabetes.

2. Fenitoin
• Dosis :3-5 mg/kg/24jam, sesuaikan untuk mempertahankan kadar serum pada 40-80 µmol/L.
• Efek samping : hirsutisme, hiperplasia gingiva, ataksia, reaksi kulit, kadang-kadang hepatotoksisitas.
3. Fenobarbital
• Dosis : 2-5mg/kg/24jam, tidak melebihi kadar serum 130µmol/L.
• Efek samping : hiperaktivitas, jangka perhatian pendek pada 20% anak.
• Kontraindikasi : kemungkinan efek samping pada anak hiperaktif atau perkembangan terlambat.
4. Amitriptilin
• Dosis :
Anak : tidak diperbolehkan
Remaja : 25-50mg/kg/24 jam
• Efek samping : pusing, lelah, retensi urin, konstipasi, penambahan berat, mulut kering.
5. Siproheptadin
• Dosis :
Anak : 0,2-0,4 mg/kg/24 jam dalam 2-3 dosis terbagi
Remaja : 4-6 mg/24 jam
• Efek samping : belajar terganggu, mengantuk, nafsu makan bertambah, penambahan berat badan.
6. Metisergid
• Dosis :
Anak : tidak dianjurkan pada anak dibawah umur 10 tahun
Remaja : 2mg 2-3x sehari sesudah makan, jangan menggunakan lebih dari 3 bulan
• Efek samping : mual, pusing, mengantuk, fibrosis retroperitoneum pada penggunaan yang lama
• Kontraindikasi : dibatasi pada penderita dengan sakit kepala berat bila regimen obat lain gagal.
Terapi non-farmakologis dengan menghindari faktor pencetusnya biasanya pada anak-anak berupa diet makanan yang tidak mengandung tiramin (pada coklat, keju) karena pada penderita migrain tertentu dapat hipersensitivitas terhadap zat tersebut.
Manajemen perilaku juga merupakan metode yang efektif untuk terapi migrain pada beberapa anak dan remaja. Umpan balik biologis dan hipnosis diri merupakan pengganti pengobatan farmakologi di beberapa senter karena efek samping obat yang tidak diinginkan dan kecemasan bahwa beberapa obat dapat menimbulkan ketergantungan kimia. Umpan balik biologis dapat dikuasai oleh sebagian besar anak yang berusia diatas 8 tahun dan telah efektif dalam beberapa trial klinis.Beberapa penelitian migrain pada anak menunjukkan penurunan yang bermakna dalam frekuensinya dan tidak ada perubahan dalam intensitas sakit kepala pada mereka yang diobati dengan hipnosis diri dibandingkan dengan mereka yang menggunakan plasebo atau propanolol.10
II.k. Prognosis
Prognosis migrain yang terjadi pada anak umunya baik karena akan mereda dengan bertambahnya usia, namun pada beberapa kasus seperti migrain hemiplegik akan terjadi defisit neurologis yang menetap.10
















BAB III
PENUTUP

III.a. Kesimpulan
Migraine merupakan ganguan yang bersifat familial dengan karakteristik serangan nyeri kepala yang episodic (berulang-ulang) dengan intensitas, frekuensi dan lamanya yang berbeda-beda. Nyeri kepala biasanya bersifat unilateral, umumnya disertai anoreksia, mual dan muntah. Migrain pada anak dapat diklasifikasikan menjadi subkelompok, termasuk migrain biasa, migrain klasik, varian migrain dan migrain terkomplikasi.
Anak termuda yang dilaporkan mengalami migrain adalah berusia 1 tahun. Insiden migrain pada anak usia sekolah antara 7 – 15 tahun adalah 4% pada studi di Swedia. Anak perempuan lebih mungkin mengalami migrain ketika remaja, sementara laki-laki terjadi pada usia di bawah 10 tahun.
Berdasarkan etiologinya migrain diduga sebagai ganguan neurologis, perubahan sensitivitas system saraf dan aktivasi system trigeminal vaskular.10

III.b. Saran
Migrain pada anak merupakan penyakit yang tidak mengancam jiwa tetapi diperlukan kepedulian dan perhatian dari pihak orang tua dan anak untuk dapat mengenal serangan dan menghindari faktor pencetus terjadinya migrain sehingga terapi tidak selalu harus diberikan secara medikamentosa.10




DAFTAR PUSTAKA
1. Dian Ibnu Wahid. Chepalgia-headache. Maret 2009. [cited 2009 May 8]. Available from : http://diyoyen./2009/03/chepalgia-headache.com
2. Dr.Yuda Turana,Sps. Migrain Diagnosis dan Tatalaksana. 14 Maret 2008. [cited 2009 May 16]. Available from : www.medicaholistik.com
3. Behrman, Richard E. MD., Wahab, Samik. Prof. Dr. SpA. Sistem Saraf dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, 2000, edisi 15, vol 3, 2073-2075, (EGC, Jakarta)
4. Djieto. Migraine. 16 Februari 2009. [cited 2009 May 17]. Available from : www.scribd.com
5. Zullies Ikkawati. Sakit Kepala. 1 Februari 2009. [cited 2009 May 8]. Available
6. Ahmad H. Asdie, Pernodjo Dahlan. Migrain dan Sakit Kepala dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 2007, edisi IV, jilid II, 934-936, (FKUI, Jakarta) from : http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/headache.pdf
7. Hasan Sjahrir. Mekanisme Terjadinya Nyeri Kepala Primer dan Prospek Pengobatannya. 2004. [cited 2009 May 8]. Available from : http://library.usu.ac.id/download/fk/neurologi-hasan.pdf.
8. William C Robertson Jr, MD. Migraine Headache Pediatric Perspective. 11 September 2008. [cited 2009 May 20]. Available from : www.emedicine.com
9. Dr. Rusepno Hasan, dkk. Epilepsi dalam Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jilid II. Hal 855-62. Cetakan kesebelas Jakarta: 2005
10. William C Robertson Jr, MD. Migraine Headache Pediatric Perspective: Treatment and Medication. 11 September 2008. [cited 2009 May 20]. Available from : www.emedicine.com

Selasa, 12 Januari 2010

Refraksi dan Kelainannya



REFRAKSI



Refraksi mata adalah pembiasan sinar-sinar di dalam mata, dimana mata dalam keadaaan istirahat. Pembiasan atau perubahan arah sinar terjadi karena sinar-sinar berjalan dari medium yang satu melewati medium lain yang kepadatannya berbeda-beda.
Media refraksi semuanya bersifat transparan dan terdiri dari kornea, kamera okuli anterior, lensa, kamera okuli posterior, badan kaca dan retina. Yang berperan paling besar adalah kornea dan lensa.
Mata dapat dianggap sebagai kamera potret, dimana sistem refraksinya menghasilkan bayangan kecil yang terbalik di retina. Rangsangan ini diterima oleh batang dan kerucut di retina, yang diteruskan melalui saraf optik (N.II) ke kortex serebri pusat penglihatan, yang kemudian tampak sebagai bayangan tegak.
Pada orang normal susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi.
Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti Pungtum Prosksimum merupakan titik terdekat dengan akomodasi maksimum bayangan masih bisa dibias pasa retina. Pungtum Remotum adalah titik terjauh tanpa akomodasi, dimana bayangan masih dibias pada retina.

AKOMODASI
Akomodasi adalah kemampuan lensa mata untuk menambah daya bias lensa dengan kontraksi otot siliar, yang menyebabkan penambahan tebal dan kecembungan lensa sehingga bayangan benda pada jarak yang berbeda-beda akan terfokus di retina.
Dikenal beberapa teori akomodasi seperti :
Teori akomodasi Helmholtz: Dimana zonula Zinn mengendur akibat kontraksi otot siliar sirkular, mengakibatkan lensa yang elastis mencembung. Ini merupakan proses aktif.
Teori akomodasi Tscherning: Dasarnya adalah bahwa nucleus lensa tidak dapat berubah bentuk sedang yang dapat berubah bentuk adalah bagian lensa superficial atau kortex lensa. Pada waktu akomodasi terjadi tegangan pada zonula Zinn sehingga nucleus lensa terjepit dan bagian lensa superfisial menjadi cembung. Ini merupakan proses pasif.


PRESBIOPIA

Presbiopia adalah kemunduran kemampuan lensa mencembung karena bertambahnya usia, sehingga memberikan kesukaran melihat dekat tetapi untuk melihat jauh tetap normal.
Gangguan akomodasi pada usia lanjut dapat terjadi akibat :
- Kelemahan otot akomodasi
- Lensa mata tidak kenyal atau berkurang elastisitasnya akibat sklerosis lensa.
Akibat gangguan akomodasi ini, maka pada pasien yang berumur 40 tahun atau lebih, akan memberikan keluhan setelah membaca yaitu berupa lelah, berair dan sering terasa perih.
Pada pasien presbiopia diperlukan kacamata baca atau adisi untuk membaca dekat yang berkekuatan tertentu, dimana bagian atas lensa untuk melihat jauh sedang bagian bawah untuk melihat dekat, biasanya :

+ 1,0 D untuk usia 40 tahun
+ 1,5 D untuk usia 45 tahun
+ 2,0 D untuk usia 50 tahun
+ 2,5 D untuk usia 55 tahun
+ 3,0 D untuk usia 60 tahun

Pemeriksaan adisi untuk membaca perIu disesuaikan dengan kebutuhan jarak kerja pasien pada waktu membaca, pemeriksaan sangat subjektif sehingga angka-angka di atas tidak merupakan angka yang tetap.


EMETROPIA

Emetropia berasal dari kata Yunani, emetros yang berarti ukuran normal atau dalam keseimbangan wajar, sedang arti opsis adalah penglihatan. Mata dengan sifat emetropia adalah mata tanpa adanya kelainan refraksi. Pada mata ini daya bias mata adalah normal, dimana sinar yang sejajar atau jauh difokuskan oleh system optik mata tepat di daerah macula lutea tanpa mata melakukan akomodasi.
Pada mata emetropia terdapat keseimbangan antara kekuatan pembiasan sinar dengan panjangnya bola mata. Kesimbangan dalam pembiasan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan kelengkungan kornea dan panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding media refraksi lain. Lensa memegang peranan terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat. Panjang bola mata seseorang dapat berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar atau mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang atau lebih pendek) bola mata, maka sinar normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai Anomali Refraksi (ametropia) dapat berupa myopia, hipermetropia atau astigmatisme.


ANOMALI REFRAKSI

Anomali refraksi atau ametropia adalah kelainan refraksi mata, di mana sinar sejajar yang datang tidak terfokus pada retina karena ketidakseimbangan kekuatan pembiasan media penglihatan dengan panjang bola mata.
Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk kelainan:
Miopia
Hipermetropia
Astigmatisme
Presbiopia
Kelainan refraksi ini dapat dikoreksi dengan memakai kacamata ataupun lensa kontak.

MIOPIA
Miopia adalah bentuk anomali refraksi, dimana sinar-sinar pada mata yang istirahat akan dibiaskan pada satu titik di depan retina.
Dikenal beberapa bentuk myopia seperti :
a. Miopia refraksi, bertambahnya indeks bias media penglihatan dimana lensa menjadi lebih cembung sehingga pembiasan lebih kuat.
b. Miopia aksial, miopia akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan kelengkungan kornea dan lensa yang normal.
Menurut derajat beratnya miopia dibagi dalam :
Miopia sangat ringan sampai dengan - 1.00 D
Miopia ringan - 1.00 s/d – 3.00 D
Miopia sedang - 3.00 s/d – 6.00 D
Miopia tinggi - 6.00 s/d –10.00 D
Menurut perjalanan myopia dikenal bentuk :
a. Miopia stasioner, myopia yang menetap setelah dewasa
b. Miopia progresif, myopia yang bertambah terns pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata.
c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan.
Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman maksimal.
Penyulit yang dapat timbul pada pasien miopia adalah terjadinya ablasi retina dan juling. Juling biasanya esotropia yang dapat terjadi akibat mata berkovergensi terus menerus atau eksotrofi ke luar yang dapat disebabkan karena fungsi satu mata telah berkurang (ambliopia).

HIPERMETROPIA
Hipermetropia adalah suatu bentuk anomali refraksi di mana sinar¬-sinar sejajar akan dibiaskan pada satu titik di belakang ratina pada mata dalam keadaan istirahat. Penyebabnya adalah karena daya pembiasan mata terlalu lemah (Hipermetropia refraktif), atau akibat sumbuh mata terlalu pendek (Hipermetropia aksial).
Hipermetropia dikenal dalam bentuk :
a. Hipermetropia manifes ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.
b. Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh.
c. Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif.
d. Hipertropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa sikloplegia diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.
e. Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya didapat sesudah diberikan sikloplegia.
Gejala yang ditemukan pada hipermetropia adalah penglihatan dekat dan jauh kabur, sakit kepala, silau dan kadang rasa juling atau lihat ganda.
Pengobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi hipermetropia manifes dimana tanpa sikloplegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal (6/6). Bila terdapat juling ke dalam diberikan kacamata koreksi hipermetropia total.
Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan maksimal.

Penyulit yang dapat terjadi adalah esotropia dan glaucoma. Esotropia terjadi akibat pasien selamanya melakukan akomodasi. Glaucoma sekunder terjadi akibat hipertrofi otot siliar pada badan siliar yang akan mempersempit sudut bilik mata.

ASTIGMATISME

Astigmatisme adalah suatu kelainan refraksi dimana sinar yang sejajar tidak dibiaskan dengan kekuatan yang sama pada seluruh bidang pembiasan sehingga focus pada retina tidak pada satu titik. Ini disebabkan karena :
- Kelainan kornea, perubahan lengkung kornea dengan atau tanpa pemendekan atau pemanjangan diameter anterior posterior bola mata, dapat merupakan kelainan kongenital atau aquisita (kecelakaan, peradangan kornea atau post operasi).
- Kekeruhan di lensa, biasanya pada katarak insipiens atau imatur.
Dikenal 5 macam astimatisme yaitu :
1. Astigmatisme miopikus simpleks
2. Astigmatisme miopikus kompositus
3. Astigmatisme hipermetropikus simpleks
4. Astigmatisme hipermetropikus kompositus
5. Astigmatisme mikstus

Koreksi
Dimulai dahulu dengan lensa S ( - ) atau S ( + ), sampai visus sebaik-baiknya, bila tidak ada kemajuan barn diberikan lensa "Fogging" untuk menghilangkan akomodasi, disusul pemberian lensa S ( - ) bila visusnya belum dapat dikoreksi dengan sempurna.
Cara subyektif seperti yang diuraikan di atas dapat dicapai dengan :
Cara coba-coba (Trial and error technique)
Cara pengabur (Fogging technique)
Cara dengan silinder silang (Cross cylinder technique)

PRESBIOPIA
Adalah kelainan refraksi dimana pungtum proksimum, telah begitu jauh, sehingga pekerjaan dekat yang halus seperti membaca, menjahit sukar dilakukan.
Proses ini merupakan keadaan fisiologis, terjadi pada setiap mata, tidak usaha dianggap suatu penyakit.

Gejala subyektif
Keluhan timbul pada penglihatan dekat. Pupil miosis, tanda astenopia; mata sakit, lekas capai, lakrimasi.
Terjadi biasanya mulai pada umur 40 tahun
PEMERIKSAAN

Uji pinhole
Uji lubang kecil ini dilakukan untuk mengetahui apakah berkurangnya tajam penglihatan diakibatkan oleh kelainan refraksi atau kelainan organik.
Pada mata pasien yang telah dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan terbaik, diminta untuk terus menatap baris huruf paling bawah pada kartu Snellen yang masih terlihat. Pada mata tersebut dipasang lempeng pinhole. Melalui lubang kecil yang terdapat di tengahnya pasien kemudian disuruh membaca. Bila ketajaman penglihatan bertambah berarti pada pasien terdapat kelainan refraksi yang belum dikoreksi baik. Bila ketajaman penglihatan berkurang berarti pada pasien tersebut terdapat kekeruhan media penglihatan .

Uji Refraksi
Pemeriksaan refraksi dilakukan dengan pemeriksaan mata satu persatu. Pasien duduk pada jarak 5 atau 6 meter dari kartu Snellen. Satu mata kemudian ditutup. Pasien disuruh membaca huruf kartu Snellen dari atas ke bawah. Bila kemampuan baca berada pada huruf terkecil pada baris yang menunjukkan angka 20, maka dinyatakan tajam penglihatan tanpa kacamata adalah 6/20. selanjutnya ditambah lensa sferis +0,5 dioptri untuk menghilangkan akomodasi pasien. Bila akibat penambahan ini terjadi hal berikut :
Penglihatan bertambah jelas, maka mungkin pada mata ini terdapat refraksi hipermetropia. Pada mata ini kemudian perlahan-lahan ditambah kekuatan lensa positif dan ditanyakan apakah tajam penglihatan bertambah baik atau terlihat huruf yang berada di baris lebih bawah. Lensa positif ditambah kekuatannya sehingga tajam penglihatan menjadi maksimal atau 6/6.
Bila penglihatan bertambah kabur, maka mungkin pasien menderita myopia. Pada mata tersebut ditambahkan lensa negatif yang makin dikurangi secara perlahan-Iahan sampai terlihat huruf pada kartu Snellen pada baris yang menunjukkan tajam penglihatan 6/6.
Bila setelah pemeriksaan tersebut di atas tetap tidak tercapai tajam penglihatan maksimal, mungkin pasien mempunyai kelainan refraksi astigmatisme. Pada keadaan ini dilakukan uji pengaburan (fogging technique).

Cara pengaburan (fogging technique)
Setelah pasien dikoreksi untuk hipermetropia atau myopia yang ada, maka tajam penglihatannya dikaburkan dengan lensa positif, sehingga tajam penglihatan berkurang 2 baris pada kartu Snellen, misalnya dengan menambah lensa sferis positif 3. pasien diminta melihat kisi-kisi juring astigmatisme, dan ditanyakan garis mana yang paling jelas terlihat. Bila garis juring pada 90° yang jelas, maka tegak lurus padanya ditaruh sumbu lensa silinder atau lensa silinder ditempatkan dengan sumbu 180°. Perlahan-lahan kekuatan lensa silinder ini dinaikkan sampai garis juring kisi-kisi astigmatisme vertical sama tegasnya atau kaburnya dengan juring horizontal atau semua juring sama jelasnya bila dilihat dengan lensa silinder yang ditambahkan. Kemudian pasien diminta melihat kartu Snellen dan perlahan-¬lahan ditaruh lensa negatif sampai pasien melihat jelas pada kartu Snellen.

Uji presbiopia
Biasanya dilakukan pada pasien yang berusia lebih dari 40 tahun.
Pasien dirusuh memegang kartu baca dekat atau Jaeger dalam jarak baca.Kemudian pasien disuruh membaca, kemudian lensa sferis + 1,0 D diletakkan didepannya. Bila pasien telah dapat membaca, maka derajat presbiopia pasien adalah +1,0 bila belum dapat membaca huruf pada Jaeger1, maka lensa positif dinaikkan +0,25 D secara perlahan-Iahan, sehingga tajam penglihatan bertambah baik pada pembacaan kartu Jaeger.

Retinopati diabetika


II.4 PATOFISIOLOGI


Retinopati diabetika merupakan mikroangiopati, sebagai akibat dari gangguan metabolik, yaitu defisiensi insulin dan hiperglikemi. Peningkatan gula drah sampai ketinggian tertentu, mengakibatkan keracunan sel-sel tubuh, terutama darah dan dinding pembuluh darah, yang disebut glikotoksisitas. Peristiwa ini merupakan penggabungan irreversible dari molekul glucose protein badan, yang disebut glikosilase dari protein.
Dalam keadaan normal glikosilase ini hanya sekitar 4-9%, sedang pada penderita diabetes mencapai 20%. Glikosilase ini dapat mengenai ini dan dinding pembuluh darah, yang secara keseluruhan dapat menyebabkan meningkatnya viskositas darah, gangguan aliran darah, yang dimulai pada aliran didaerah sirkulasi kecil, kemudian disusul dengan gangguan pada daerah sirkulasi besar dan menyebabkan hipoksi jaringan yang diurusnya.
Kelainan-kelainan ini didapatkan juga di dalam pembuluh-pembuluh darah retina yang dapat diamati dengan melakukan :
1. “ Fundus fluorescein angiography “.
2. Pemotretan dengan memakai film berwarna.
3. Oftalmoskop langsung dan tak langsung.
4. Biomikroskop (slitlamp) dengan lensa kontak dari Goldman.
Mula-mula didapatkan kelainan pada kapiler vena, yang dindingnya menebal dan mempunyai afinitas yang besar terhadap fluoresein. Keadaan ini menetap untuk waktu yang lama tanpa mengganggu penglihatan. Dengan melemahnya dinding kapiler, maka akan menonjol membentuk mikroaneurisma. Mula-mula keadaan ini terlihat pada daerah kapiler vena disekitar macula, yang tampak sebagai titik-titik merah pada oftalmoskopi. Adanya 1-2 mikroaneurisma sudah cukup mendiagnosa adanya retinopati diabetika.





II.5 Klasifikasi
Menurut perjalanannya, retinopati diabetika dibagi menjadi retinopati diabetika type non proliferatif dan retinopati diabetika type proliferatif.
1. Retinopati diabetika non proliferatif
Retinopati diabetika non proliferatif merupakan stadium awal dari keterlibatan retina akibat diabetes mellitus yang ditandai dengan adanya mikroaneurisma, hemoragik dan eksudat dalam retina. Dalam stadium ini terjadi kebocoran protein, lipid atau sel-sel darah merah dari pembuluh-pembuluh kapiler retina ke retina. Bila proses ini sampai terjadi di makula yaitu bagian yang memiliki konsentrasi tinggi sel-sel penglihatan maka akan menimbulkan gangguan pada ketajaman penglihatan.
Retinopati diabetika non proliferatif terdiri atas :
A. Retinopati diabetika background
Retinopati diabetika dasar merupakan refleksi klinis hiperpermeabilitas serta inkompetensi dindind-dinding pembuluh darah. Pada kapiler terbentuk tonjolan kecil bulat-bulat dinamakan pembuluh darah. Pada kapiler terbentuk tonjolan kecil bulat dinamakan mikroaneurisma, sedang vena retina mengalami pelebaran. Pada retina terjadi perdarahan dengan bentuk nyala api ( flame hemorages ) dan bentuk bercak ( blot hemorrhages ).
Kapiler yang bocor mengakibatkan sembab retina terutama di macula, sehingga retina menebal dan terlihat berawan. Walaupun cairan serosa terserap, masih ada presipitat lipid kekuningan dalam bentuk eksudat keras (hard eksudat). Jika fovea menjadi sembab atau iskemis atau terdapat eksudat keras maka tajam penglihatan sentral akan menurun sampai derajat tertentu. Pada tahap ini umumnya tidak progresif.
B. Retinopati diabetika preproliferatif
Dengan bertambahnya progresifitas sumbatan mikro vascular maka gejala ikemia melebihi gambaran retinopati dasar. Perubahannya yang khas adalah adanya sejumlah bercak mirip kapas (multiple cotton wool spots) atau yang sering disebut sebagai eksudat lunak atau soft eksudat yang merupakan mikro infark lapisan serabut saraf.
Gejala yang lain adalah kelainan vena seperti ikalan (loops), segmentasi vena (boxcar phenomenon) dan kelainan mikrovaskular intraretina, yaitu pelebaran alur kapiler yang tidak teratur dan hubungan pendek antara pembuluh darah (shunt) intra retina. Pada angiongrafi fluoresin dengan jelas terlihat adanya bagian yang iskemis, non perfusi kapiler dan defek pengisian kapiler.

Perkembangan retinopati diabetika non proliferatif adalah sebagai berikut :
b.1. Kelainan mula-mula adalah rusaknya barier (sawar ) darah retina ( sel endotel kapiler retina dan sel epitel pigmen ). Kebocoran ini akibat kenaikan kadar gula darah. Secara histologis terjadi penebalan membrane basalis kapiler dan hilangnya perisit ( dalam keadaan normal satu perisit ).
b.2. Terjadi microaneurisma, dimulai sebagai dilatasi kapiler pada daerah yang kehilangan perisit dengan dinding tipis, mula-mula pada sisi vena kemudian juga pada sisi arteri.
b.3. Selanjutnya endotel mengalami proliferasi sehingga terjadi akumulasi material pada membrane basalis sekitar mikroaneurisma.
b.4. Meskipun membrane basalis tebal, tetapi karena permeable terhadap air dan molekul besar, maka terjadi timbunan air dan lipid pada retina. Apabila kerusakan barier ringan akan terjadi timbunan cairan pada retina terutama macula ( bintik kuning ) dengan demikian terjadi penurunan visus dan kelainan persepsi warna.
b.5. Terjadi pula dilatasi vena, yang kadang-kadang ireguler.
b.6. Apabial dinding kapiler lemah, maka akan menyebabkan perdarahan intra retina. Perdarahan bisa berbentuk apabila letaknya dalam, atau berbentuk seperti nyala ( frame shaped ) apabila letaknya superfisial atau perdarahan subhyaloid apabila terletak antara retina dan badan kaca.
b.7. Selain terjadi perubahan retina vascular seperti yang disebutkan di atas juga terjadi abnnormalitas koriokapilaris yang berupa penebalan membrane basalis.
Gejala klinik :
- Makula edema
- Mikroaneurisma
- Penimbunan air dan lipid
- Haemorhage intra retinal
- Daerah hipoksia atau iskemia
- Eksudat lunak

2. Retinopati diabetika proliferatif
Iskemia retina yang progresif merangsang pembentukan pembuluh darah baru ( neovaskularisasi ) yang rapuh sehingga dapat mengakibatkan kebocoran serum dan protein dalam jumlah yang banyak. Biasanya terdapat di permukaan papil optic di tepi posterior daerah non perfusi. Pada iris juga bisa terjadi neovaskularisasi disebut rubeosis.
Pembuluh darah baru berproliferasi di permukaan posterior badan kaca ( corpus vitreum ) dan terangkat bila badan kaca bergoyang sehingga terlepas dan mengakibatkan hilangnya daya penglihatan mendadak.
Retinopati diabetika proliferatif terbagi dalam 3 stadium :
Stadium 1 : Aktif : Disebut stadium “florid”, basah, kongestif dekompensata lesi intra retina menonjol, peradarah retina, eksudat lunak, neovaskularisasi progresif cepat, proliferasi fibrosa belum ada atau minimal, dapat terjadi perdarahan vitreus, permukaan belakang vitrus masih melekat pada retina bisa progresif atau menjadi type stabil.
Stadium 2 : Stabil : Disebut stadium kering atau “quiescent”, lesi intra retina minimal, neovaskularisasi dengan atau tanpa proliferasi fibrosa, bisa progresif lambat atau regresi lambat.
Stadium 3 : Regresi : Disebut juga stadium burned out, lesi intra retina berupa perdarahan, eksudat atau hilang, neovaskularisasi regresi, yang menonjol adalah jaringan fibrosa.
Gejala klinik :
- Makula edema
- Eksudat
- Vitreus haemorhage ( perdarahan vitreus )
- Neovaskularisasi
- Ablasi retina
- Jaringan ikat vitreo retinal
- Perdarahan di subhyaloid

II.6 Pemeriksaan Penunjang
Semua penderita diabetes mellitus yang sudah ditegakkan diagnosanya segera dikonsulkan ke dokter spesialis mata untuk diperiksa retinanya. Jika didapatkan gambaran retinopati diabetika segera lakukan pemeriksaan di bawah ini :
1. Angiografi Fluoresein
Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan sirkulasi darah retina serta penyakit-penyakit yang mengenai retina dan khoroid. Pemeriksaan ini akan menunjukkan aliran darah yang khas dalam pembuluh darah saat cairan fluoresein yang disuntikkan intra vena mencapai sirkulasi darah di retina dan khoroid. Angiongrafi fluoresein akan merekam gambaran rinci yang halus dari fundus pada bagian yang berukuran lebih kecil dari kemampuan daya pisah ( minimum separable ) penglihatan mata masih dapat diperiksa dengan pembesaran rekaman angiografi fluoresein.
Gambaran retinopati diabetika dengan angiografi fluoresein :
a. Retinopati Background, bentuk juvenile
Disini ditemukan proliferasi dan hipertrofi venula retina disertai pelebaran cabang-cabang vena berbentuk kantong dan aneurisma kapiler. Terdapat area iskemik terbatas.
b. Retinopati Background terlihat mikroaneurisma, perdarahan bentuk bintik-
bintik. Endapan lemak pada polus posterior, kadang tersusun dalam bentuk rangkaian bunga ( retinopati circinata ), biasanya pembuluh darah retina beraneka ragam dan dindingnya terlihat menebal ( sklerosis ).
Pada retinopati background terlihat mikroaneurisma, perdarahan bentuk bintik-bintik dan bercak, eksudat keras berwarna kuning yang terdiri atas protein dan lipid yang terdapat di lapisan pleksiform luar yang dikemudian hari juga terjadi makulopati. Jika pasien mengidap hipertensi kardiovaskular, bercak yang mirip kapas timbulnya akan lebih awal.
c. Retinopati proliferatif
Pada stadium ini terdapat pembentukan pembuluh darah baru yang mengakibatkan neovaskularisasi yang tumbuh menonjol di depan retina terutama pada permukaan belakang badan kaca yang mengalami ablasi.
2. Elekroretinografi
Pada pemeriksaan ini dilakukan perekaman kegiatan listrik retina yang sangat berguna untuk memperoleh gambaran yang tepat mengenai fungsi retina yang masih tersisa.
3. Pemeriksaan tajam penglihatan.
4. Pemeriksaan kejernihan lensa.
5. Pemeriksaan tekanan bola mata.

II.7 Pengobatan
Terapi retinopati diabetic ada dua yaitu fotokkoagulasi sinar laser dan vitrektomi. Fotokoagulasi panretina argon, tekniknya dengan menembakkan sinar laser pada retina yang rusak dengan tidak mengenai bagian sentral yang dibatasi oleh discus dan pembuluh vascular temporal utama diharapkan dapat menutup kebocoran pembuluh darah disekitar macula, menimbulkan regresi dan hilangnya neovaskularisasi. Pada kasus sulit dan tidak berhasil ditangani dengan koagulasi sinar laser diperlukan tindakan pembedahan misalnya vitrektomi digunakan untuk terapi perdarahan vitreus dan pelepasan retina yang tidak teratasi. Vitrektomi adalah tindakan bedah mikro yang dikerjakan dengan bius umum dikamar operasi. Dalam hal ini vitreus yang penuh darah akan dikeluarkan dan diganti dengan cairan jernih. Sekitar 70% penderita yang menjalani operasi vitrektomi akan mengalami perbaikan penglihatan. Harapan perbaikan setelah operasi vitrektomi lebih besar pada kasus yang pernah menjalani fotokoagulasi laser dan pada kasus dengan macula yang masih melekat.






BAB III
KESIMPULAN


Retinopati diabetika adalah proses degenerasi akibat hipoksia di retina karena penyakit diabetes mellitus yang tak terkontrol dan diderita lama.
Retinopati diabetika merupakan mikroangiopati yang terjadi sebagai akibat gangguan metabolic yaitu defisiensi insulin dan hiperglikemia.
Klasifikasi retinopati diabetika menurut perjalanannya :
1. Retinopati diabetika type non proliferatif.
a. Retinopati diabetika background
b. Retinopati diabetika preproliferatif
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis retinopati diabetika adalah angiografi fluoresein dan elektroretinografi.
Terapi retinopati diabetika ada dua yaitu fotokoagulasi sianr laser dan vitrektomi.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam mengurangi risiko kebutaan akibat DM adalah dengan sedisiplin mungkin mematuhi regulasi makan dan olahraga yang baik.

PROTOKOL PENATALAKSANAAN KANKER RONGGA MULUT

PROTOKOL PENATALAKSANAAN
KANKER RONGGA MULUT

I. PENDAHULUAN
A. BATASAN
Kanker rongga mulut adalah kanker yang berasal dari mukosa atau kelenjar liur pada dinding rongga mulut dan organ dalam mulut.
Batas-batas rongga mulut:
• Depan : tepi vermilion bibir atas dan bawah
• Atas : palatum durum dan molle
• Lateral : bukal kanan dan kiri
• Bawah : dasar mulut dan lidah
• Belakang : arkus faringeus anterior kanan kiri, dan uvula, arkus glossopalatinus kanan kiri, tepi lateral pangkal lidah, papilla sirkumvalata lidah.
Ruang lingkup kanker rongga mulut meliputi daerah spesifik di bawah ini:
a. bibir
b. lidah 2/3 anterior
c. mukosa bukal
d. dasar mulut
e. ginggiva atas dan bawah
f. trigonum retromolar
g. palatum durum,
h. palatum molle
Tidak termasuk kanker rongga mulut ialah:
a. sarkoma dan tumor ganas odontogen pada maksila atau mandibula
b. sarkoma jaringan lunak dan syaraf perifer pada bibir atau pipi
c. karsinoma kulit bibir atau kulit pipi

B. EPIDEMIOLOGI
1. Insidens dan frekuensi relatif
Berapa besar insidens kanker rongga mulut di Indonesia belum kita ketahui dengan pasti. Frekuensi relative di Indonesia diperkirakan 1,5-5% dari seluruh kanker. Insidens kanker rongga mulut pada laki-laki yang tinggi terdapat di Perancis yaitu 13,0 per 100.000, dan yang rendah di Jepang yaitu 0,5 per 100.000, sedangkan perempuan yang tinggi berada di India yaitu 5,8 per 100.000 dan yang rendah berada di Yugoslavia yaitu 2,0 per 100.000 (Renneker, 1988). Angka kejadian kanker rongga mulut di India sebesar 20-25 per 100.000 atau 40% dari seluruh kanker, sedangkan di Amerika dan di Eropa sebesar 3-5 per 100.000 atau 3-5 % dari seluruh kanker.kanker rongga mulut paling serng mengenai lidah (40%), mulut (15%), dan bibir (13%).
2. Distribusi kelamin
Kanker rongga mulut lebih banyak terdapat pada laki-laki daripada perempuan dengan perbandingan 3/2-2/1
3. Distribusi umur
Kanker rongga mulut sebagian besar timbul pada usia diatas 40 tahun (70%).
4. Distribusi geografis
Kanker rongga mulut tersebar luas diseluruh dunia. Yang tinggi insidensnya di Perancis, India sedang yang rendah di Jepang
5. Etiologi dan faktor resiko
Etiologi kanker rongga mulut adalah paparan dengan karsinogenik yang banyak terdapat pada rokok dan tembakau.
Resiko tinggi mendapat kanker rongga mulut terdapat pada perokok, nginag/susur, peminum alkohol, gigi karies, higiene mulut yang jelek.

II. KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI
A. TIPE HISTOLOGI
No. TIPE HISTOLOGI ICD. M
1. Squamous cell carc. 5070/3
2. Adenocarcinoma 8140/3
3. Adenoid cyst. Carc 8200/3
4. Ameloblastic carc 9270/2
5. Adenolymphoma 8561/3
6. Mal. Mixed tumor 8940/3
7. Pleomorphic carc 8941/3
8. Melanoma maligna 8720/3
9. Lymphoma maligna 9590/3-9711/3

Sebagian besar (±90%) kanker rongga mulut berasal dari mukosa yang berupa karsinoma epidermoid atau karsinoma se skuamosa dengan differensiasi baik, tetapi dapay juga berdifferensiasi sedang, jelek, atau anaplastik. Bila gambaran patologis menunjukan suatu rabdomiosarkoma, fibrosarkoma, malignant fibrokistoma, ataupun jaringan tumor lunak lainnya, perlu diperiksa dengan teliti apakah tumor tersebut benar tumor ganas rongga mulut (C00-C06) ataukah suatu tumor ganas jaringan pipi, kulit, atau tulang yang mengadakan invasi ke rongga mulut.

B. DERAJAT DIFERENSIASI
Derajat differensiasi
Grade Keterangan
G1 DIFFERENSIASI BAIK
G2 DFFERENSIASI SEDANG
G3 DIFFERENSIASI JELEK
G4 TANPA DIFFERENSIASI
ANAPLASTIK

C. LAPORAN PATOLOGI STANDART
Yang perlu dilaporkan pada hasil pemeriksaan patologis dari specimen operasi meliputi:
1. tipe histology tumor
2. derajat diferensiasi (Grade)
3. pemeriksaan TNM untuk menentukan stadium patologis (pTNM)

T : tumor primer
• ukuran tumor
• adanya invasi ke dalam pembuluh limfe/ darah
• radikalitas operasi
N : nodus regional
• ukuran kgb yang ditemukan
• level kgb yang positif
• jumlah kgb yang posiif
• invasi tumor keluar kapsul kgb
• adanya metastase ekstra nodul
M : metastas jauh

III. KLASIFIKASI STADIUM KLINIS
Menentukan stdium kanker rongga mulut dianjurkan memakai system TNMdari UICC 2002. tatalaksana terpi sangat tergantung dari stadium. Sebagai ganti stadium untuk melukiskan beratnya penyakit kanker dapat pula dipakai pola luas ekstensi penyakit.

Stadium karsinoma rongga mulut:
st T N M TNM KETERANGAN
0 Tis N0 M0 T0 Tidak ditemukan tumor
Tis Tu mor insitu
1 T1 N0 M0 T1 ≤ 2cm
T2 2-4cm
II T2 N0 M0 T3 ≥ 4cm
T4a




T4b
Bibir : infiltrasi tulang, n. Alveolaris inferior, dasar mulut dan kulit.
Rongga mulut: infiltrasi ke tulang, otot lidah(ekstrinsik/deep), sinus maksilaris,kulit
Infiltrasi musticator space, pterygoid plates, dasar tengkorak, a. Karotis interna
III T3 N0 M0
T1 N1 M0 N0 Tidak terdapat metastase regional
T2 N1 M0 N1 Kgb ipsilateral single, ≤ 3cm
T3 N1 M0 N2a Kgb ipsilateral singel, ≥ 3cm-6cm
N2b Kgb ipsilateral multipel, ≤ 6cm
IV A T4
TIAP T N0, N1, N2 M0
M0 N2C Kgb bilateral/kontralateral, ≤6cm
N3 Kgb > 6cm
IV B TIAP T N3 M0
IV C TIAP T TIAP N M1 M0 Tidak ditemukan metastase jauh
M1 Metastase jauh





LUAS EKSTENSI KANKER
NO. LUAS EKSTENSI
1. KANKER INSITU
2. KANKER LOKAL
3. EKSTENSI LOKAL
4. METASTASE JAUH
5. EKSTENSI LOKAL DISERTAI METASTASE JAUH




IV. PROSEDUR DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan klinis
a. Anamnesa
Anamnesa dengan cara kuisioner kepada penderita dan keluarganya.
1. keluhan
2. perjalanan penyakit
3. factor resiko dan etiologi
4. pengobatan yang telah diberikan
5. bagaimana hasil pengobatan
6. berapa lama keterlambatan
b. Pemeriksaan fisik
• Status general
Pemeriksaan umum dari kepala hingga kaki
Tentukan tentang :
a. Penampilan
b. Keadaan umum
c. Metastase jauh
• Status lokalis
Dengan cara : inspeksi dan palpasi bimanual
Kelainan dalam rongga mulut diperiksa dengan cara inspeksi dan palpasi dengan bantuan spatel lidah dan penerangan dengan menggunakan lampu senter atau lampu kepala. Seluruh rongga mulut dilihat mulai dari bibir sampai orofaring posterior. Perabaan lesi rongga mulut dilakukan dengan memasukkan 1-2 jari ke salam rongga mulut. Untuk menentukan dalamnya lesi dilakukan dengan perabaan bimanuil. Satu- dua jari tangan kanan atau kiri dimasukkan ke dalam rongga mulut dan jari-jari tangan lainnyameraba lesi ari luar mulut.

Untuk dapat inspeksi lidah dan orofaring maka ujung lidah yang telah diberi kasa 2x2 inchdipegang dengan tangan kiri pemeriksa dan ditarik keluar rongga mulut dan diarahkan kekanan dan kekiri untuk melihat permukaandorsal, vemtral, dan lateral lidah, dasar mulut, dan orofaring. Inspeksi bisa lebih baik lagi jira menggunakan cermin pemeriksa.
Tentukan lokasi tumor primer, bagaimana bentuknya, berapa besar dalam sentimeter, berapa luas infiltrasinya, bagaimana operabelitasnya.

• Status regional
Palpasi apakah terdapat pembesaran kelenjar getah bening leheripsilateral atau contra latera. Bila ada pembesaran tentukan lokasinya, jumlahnya, ukurannya, dan mobilitassnya
2. pemeriksaan radiografi
a. X-foto polos
• X-foto mandibula AP, lateral, Eisler, panoramic, oklusal, dikerjakn pada tumor ginggiva mandibula, atau tumor yang melekat pada mandibula
• X-foto kepala lateral, waters, oklusal, dikerjakan pada tumor ginggiva, maksila, atau tumor yang melekat pada maksila
• X-foto Hap dikerjakan pada tumor palatum durum
• X-foto thorax, untuk mengetahui adanya metastase paru
b. Imaging (dibuat hanya atas indikasi)
• USG hepar untuk melihat metastase di hepar
• Ct-scan atau MRI untuk menilai luas ekstensi tumor lokoregional
• Scan tulang, kalau diduga ada metastase ke tulang
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin seperti: darah, urine, SGOT/SGPT, alkali fosfatase, BUN/kreatinin, albumin, globulin, serum elektrolit, faal hemostasis, untuk menilai keadaan umum dan persiapan operasi.
4. Pemeriksaan patologi
Semua penderita kanker rongga mulut atau diduga sebagai kanker rongga mulut harus diperiksa patologis dengan teliti.
Specimen harus diambil dari biopsy tumor
Biopsy jarum halus (FNA) untuk pemeriksaan sitologis dapat dilakukan pada tumor primer atau pada tumor metastase kelenjar getah bening leher.
Biopsy eksisi : bila tumor kecil, 1cm, atau kurang eksisi yang dkerjakan adalah eksisi luas seperti tindakan opersi definitive (1cm dr tepi tumor)
Biopsy insisi : atau biopsy cakot ( punch biopsy) menggunakan tang alligator, bila tumor besar atau inoperable.

Yang harus diperiksa dalam sediaan histopatologi ialah tipe, differensiasi, dan luas invasi dari tumor.
Tumor besar yang diperkirakan operable :
Biopsy sebaiknya dikerjakan dengan anestesi umum dan sekaligus dapat dikerjakn eksplorasi bimanual untuk menentukan luas infiltrtif tumor (staging)
Tumor besar yang diperkirakan inoperable:
Biopsy dikerjakan dengan anestesi blok local pada jarigan normal di sekitar tumor. (anestesi infiltrasi pada tumor tidak boleh dilakukan untuk mencegah penyebaran sel kanker.
Macam diagnosis yang ditegakkan :
1. diagnosa pertama: gambaran makroskopis penyakit kankernya sendiri, yang merupakan diagnosa klinis.
2. diagnosa komplikasi: penyakit lain yang diakibatkan oleh kanker itu.
3. diagnosa sekunder: penyakit lain yang tidak ada hubungannya dengan kanker yang diderita, tetapi dapat mempengaruhi pengobatan, atau prognosa
4. diagnosa patologi : gambaran mikroskopis dari kanker tersebut.

V. PROSEDUR TERAPI
Penanganan kanker rongga mulut sebaiknya dilakukan secara multidisiplin yang melibatkn beberapa bidang spesialis, yaitu:
• Oncologic surgeon
• Plastic and reconstructive surgeon
• Radiation oncologist
• Medical oncologist
• Dentist
• Rehabilitation specialists
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penanganan kanker rongga mulut ialah dengan eradikasi dari tumor, pengembalian fungsi dari rongga mulut serta aspek kosmetik/penampilan penderita.
Beberapa factor yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan macam terapi adalah :
a. umur penderita
b. keadaan umum penderita
c. fasilitas yang tersedia
d. kemampuan dokternya
e. pilihan penderita

Untuk lesi kcil T1-T2, tindakan operasi atau radiasi saja dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi. Dengan catatan bahwa radioterapi saja pada T2 memberikan angka kekembuhan yang cukup tinggi daripada tindakan operasi.
Untuk T3-T4 trapi kombinasi operasi dan radioterpi memberikan hasil yang lebih baik. Pemberian neo-adjuvant radioterpi dan atau kemoterapi sebelum tindakan operatif dapat diberikan pada kanker rongga locally advanced (T3-T4).
Radioterapi dapat diberikan secara interstitial atau eksternal, tumor yang eksofitik dengan ukuran kecil akan lebih banyak berhasil daripada tumor yang endofitik dengan ukuran besar.
Peran kemoterapi pada penanganan kanker rongga mulut masih belum banyak, dalam tahap penelitan, kemoterapi hanya dipakai sebagai neo-adjuvant preoperatif atau adjuvant post operative untuk sterilisasi kemungkinan adanya mikrometastase.
Sebagai pedoman terapi untuk kanker rongga mulut:
ST T.N.M OPERASI RADIOTERAPI KEMOTERAPI
I T1N0M0 Eksisi radikal atau Kuratif, 50-70 Gy Tidak dianjurkan

II T2N0M0 Eksisi radikal Atau Kuratif, 50-70 Gy Tidak dianjurkan

III T3N0M0
T1,2,3N1M0 Eksisi radikal dan Post op 30-40 Gy (DAN) CT

IVA T4N0M0
TIAP T,N2M0 Eksisi radikal dan Post op 30-40 Gy
IVB TIAP T N3M0
-OPERABEL
-INOPERABEL Eksisi radikal dan Post op 30-40 Gy
Paliatif, 50-70 GY (DAN) CT
IVC TIAP T TIAP N M1 paliatif paliatif PALIATIF

RESIDIF LOKAL Operasi u/ residif post RT RT u/ residif post op CT
METASTASE Tidak dianjurkan Tidak dianjurkan CT




Karsinoma bibir
T1 : eksisi luas atau radioterapi
T2 : eksisi luas bila mengenai komisura, radioterapi akan memberikan kesembuhan dengan fungsi dan kosmetik lebih baik
T3 : eksisi luas +deseksi suprahioid+radioterpi pasca bedah

Karsinoma dasar mulut
T1 : eksisi luas atau radioterapi
T2 : tidak lekat dengan periosteum → eksisi luas
Lekat dengan periosteum → eksisi luas dengan mandibulektomi marginal
T3,4 :eksisi luas dengan mandibulektomi marginal + diseksi supraomohioid+ radioterapi pasca bedah
Karsinoma lidah
T1,2 : eksisi luas dan radioterapi
T3,4 : eksisi luas + diseksi supraomohioid+ radioterapi pasca bedah

Karsinoma bukal
T1,2 : eksisi luas bila mengenai komisura, radioterapi akan memberikan kesembuhan dengan fungsi dan kosmetik lebih baik
T3,4 : eksisi luas + diseksi supraomohioid+ radioterapi pasca bedah
Karsinoma ginggiva
T1,2 : eksisi luas dengan mandibulektomi marginal
T3 : eksisi luas dengan mandibulektomi marginal + diseksi supraomohioid+ radioterapi pasca bedah
T4(Infiltrasi tulang/ cabut gigi setelah ada tumor) : eksisi luas dengan mandibulektomi marginal + diseksi supraomohioid+ radioterapi pasca bedah
Karsinoma palatum:
T1 : eksisi luas sampai periosteum
T2: eksisi luas sampai tulang dibawahnya
T3 : eksisi luas sampai tulang dibawahnya + diseksi supraomohioid+ radioterapi pasca bedah
T4 (infiltrasi tulang) : maksilektomi infrastruktural parsial/total tergantung luas lesi + diseksi supraomohioid+ radioterapi pasca bedah
Untuk karsinoma rongga mulut T3,T4 penanganan N0 dapat dilakukan diseksi leher selektif atau radioterapi regional pascabedah. Sedangkan N1 yang didapatkan pada setiap T harus dilakukan diseksi leher radikal. Bila memungkinkan eksisi luas tumor primer dan diseksi leher tersebut harus dilakukan secara end-blok.
Pemberian radioterapi regional pasca bedah tergantung hasil pemeriksaan patologis metastase kelenjar getah bening tersebut(jumlah kelenjar getah bening yang positif metastase, penembusan kapsul kelenjar getah bening/ekstra getah bening)

A. TERAPI KURATIF
Terapi kuratif untuk kanker rongga mulut diberikan pada kanker rongga mulut stadiumI,II,III.
1. Terapi utama
Terapi utama untuk stdium I dan II ialah operasi atau radioterapi yang masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Sedangkan untuk stadium III, IV yang masih operable ialah kombinasi antara operasi dengan radioterapi pasca bedah.
Pada terapi kuratif harus diperhatikan :
a. menurut prosedur yang benar, karena jika salah maka hasilnya tidak menjadi kuratif
b. fungsi mulut untuk bicara, minum, makan, menelan, bernafas tetap baik
c. kosmetis cukup untuk diterima
• operasi
Indikasi operasi :
1. kasus operabel
2. umur relatif muda
3. keadaan umum baik
4. tidak terdapat ko-morbiditas yang berat

Prinsip dasar operasi tumor rongga mulut:
1. pembukaan harus cukup luas untuk dapat melihat seluruhbtumor dengan ekstensinya
2. eksplorasi tumor, untuk menilai luas ekstensi tumor
3. eksisi luas tumor
a. tumor tidak menginvasi tulang, eksisi luas 1-2 cm diluar tumor
b. menginvasi tulang eksisi luas disertai reseksitulang yang terinvasi
4. diseksi KGB regional(RND = radical neck Disection atau modifikasinya), kalau terdapat metastase KGB regional. Diseksi ini dikerjakan secara enblok dengan tumor primer jika memungkinkan.
5. tentukan radikalitas opersi durante operasi dar tepi sayatan dengan pmeriksaan potong beku. Kalau tidak radikal buat garis sayatan baru yang lebih luas sampai bebas tumor
6. rekonstruksi defak yang terjadi

• radioterapi
indikasi radioterapi :
1. kasus operabel
2. T1,2 tempat tertentu ( lihat diatas)
3. kanker pangkal lidah
4. umur relatif tua
5. ada ko-morbiditas yang berat
radioterapi dapat diberikan engan cara:
1. Teleterapi memakai ortovoltase, cobalt 60, Linec dengan dosis 5000-7000rads
2. Brakiterapi , sebagai booster dengan implantasi intratumoral, jarum irridium192 atau radium 224 dengan dosis 2000-3000rads
2. Terapi tambahan
a. radioterapi
Radioterapi tambahan diberikan pada kasus dengan terapi utamanya operasi.
1. radioterapi pasca bedah
diberikan pada T3 dan T4a setelah operasi, kasus yang tidak dapat dilakukan eksisi radikal, radikalitas diragukan atau terjadi kontaminasi lapangan operasi dengan sel kanker.
2. radioterpi pre-bedah
radioterpi pre-bedah diberikan pada kasus yang operabilitasnya diragukan atau yang inoperabel.
b. operasi
operasi dilakukan pada kasus yang terapi utamanya radioterapi yang setelah operasi radioterapi menjadi operabel atau timbul esidif setelah radioterapi
c. kemoterapi
kemoterapi dilakukan pada kasus kontaminasi lapangan operasi oleh sel kanker, kanker stadium III atau IV atau timbul residif setelah operasi dan atau radioterapi.


3. terapi komplikasi
a. terapi komplikasi penyakit
Pada umumnya stadium I sampai II belum ada komplikasi penyakit, tetapi dapat menjadi komplikasi karena terapi.
Terapinya tergantung dari komplikasi yang ada, misal:
1. nyeri; analgetik
2. anemia; hematinik
3. infeksi; antibiotik
4. dll
Terapi komplikasi terapi
1. komplikasi operasi; menurut jenis komplikasi
2. komplikasi radioterapi; menurut jenis komplikasi
3. komplikasi kemoterapi; menurut jenis komplikasi

4. terapi bantuan
Dapat diberikan nutrisi yang baik, vitamin, dsb
5. terapi sekunder
Kalau ada penyakit sekunder, diberikan terapi sesuai jenis penyakitnya
B. TERAPI PALIATIF
Terapi paliatif adalah untuk memperbaiki kualitas hidup penderrita dan mengurangi keluhannya terutama untuk penderita yang tidak dapat disembuhkan lagi.
Terpi paliatif diberikan pada penderita kanker rongga mulut yang :
1. stadium IV yang telah menunjukkan metastase jauh
2. terdapat komordibitas yang berat dengan haprapan hidup yang pendek
3. terpi kuratif yang gagal
4. usia sangat lanjut

keluahan yang harus dipaliasi antara lain:
1. lokoregional
a. ulkus di mulut atau di leher
b. nyeri
c. sukar makan, minum, menelan
d. mulut berbau
e. anoreksia
f. fistula oro-kutan
2. sistemik
a. nyeri
b. batuk
c. sesak nafas
d. BB menurun
e. Sukar berbicara
f. Badan lemah

Terapi utama
1. tanpa meta jauh, radioterp dengan dosis 5000-7000rads, kalau perlu kombinasi dengan operasi
2. ada metastase jauh, kemoterapi
kemoterapi yang dapat dilakukan adalah
a. karsinoma epidermoid
obat-obat yang dapat dipakai: Cisplatin, methotrexate, bleomycin, Cyclophosphamide, adryamycin dengan angka remisi 20-40 % misal:
a). Obat tunggal : metrotrexate 30 mg/m2 2xseminggu
b). Obat kombinasi: V : Vincristin : 1,5 mg/m2 hl
B : Bleomycin: 12 mg/m2 hl diulang tiap 2-3 minggu
M : Metrotrexate : 20 mg/m2 h3, 8

b. adenokarsinoma:
obat-obat yang dapat dipakai antara lain: Flourouracil, Mithomycin-C, Ciplatin, Adyamycin, dengan angka remisi 20-30%. Misal:
a). Obat tunggal : Flourouracil
dosis permulaan : 500 mg/m2
dosis pemeliharaan : 20 mg/m2 tiap 1-2 minggu


b). Obat kombinasi:
F : flourouracil : 500 mg/m2 h1,8,14,28
A : adryamycin : 50 mg/m2 h1,21 diulang tiap 6 minggu
M : Metrotrexate : 10 mg/m2 h1
Terapi tambahan
Kalau perlu: operasi, kemoterapi, radiasi
Terapi komplikasi
1. nyeri; analgetik sesuai dengan ”Step Ladder WHO”
2. sesak nafas; trakeostomi
3. sukar makan; gastrostomi
4. infeksi; antibiotik
5. mulut berbau; obat kumur
6. dsb
Terapi bantuan
1. nutrisi yang baik
2. vitamin
Terapi sekunder
Jika terdapat penyakit sekunder maka terapinya sesuai penyakit yang bersangkutan

Leukoplakia/ Eritroplakia

Hitngkan factor penyebab
Sitologi eksfoliatif(papnicoleau)

Klas 1
klas II klas III klas IV Klas V

3bln
Ulangan sitologi biopsy
Bila 2x ulangan sitologi
Hasil tetap klas I -III



Suspek karsinoma rongga mulut, N0,M0


<> 1 CM

BIOPSI EKSISIONAL BIOPSI INSISIONAL
(EKSISI LUAS)
Ganas tdk ganas
GANAS TDK GANAS
Operable inoperable/meragukan eksisi
TDK RADIKAL
RADIKAL T1 T2 T3
Kemoth/ dan atau radoth/
Re-eksisi/ radioth/ eksisi luas eksisi luas lokal preoperatove
Radioth/local deseksi kgb leher
selektivadioth/lokoregional operabel inoperabel
` tdk radikal radikal radioth/lokoregional
+sitostatika
Re eksisi/ meta kgb (+) meta kgb (-)
radith lokal
radioth/lokoregio T low grade T high grede
+ sitostatika
Radioth local radioth/ lokoregional

VI. PROSEDUR FOLLOW UP
Jadwal follow up dianjurkan sebagai berikut :
1. dalam 3 tahun pertama : setiap 3 bln
2. dalam 3-5 tahun : setiap 6 bulan
3. setelah 5 tahun : setiap tahun s/d seumur hidup
pada follow up tahunan, penderita harus diperiksa secara lengkap, fisik, x-foto thorax, USG hepar dan bone scan untuk menentukan penderita benar-benar terbebas dari kanker atau tidak.
Pada follow up ditentukan:
1. lama hidup dalam tahun atau bulan
2. lama interval bebas kanker dalam tahun dan bulan
3. keluhan penderita
4. status umum dan penampilan
5. status penyakit :
a. bebas kanker
b. metastase
c. residif
d. timbul kanker atau penyakit baru
6. komplikasi penyakit
7. tinakan atau terapi yang telah diberikan

























PROTOKOL PENATALAKSANAAN KANKER KULIT
Kanker kulit dibedakan menjadi kelompok melanoma dan kelompok non melanoma. Kelompok non-melanoma dibedakan menjadi karsinoma sel basal, karsinoma sel skuamosa, dan karsinoma adneksa kulit. Dalam penatalaksanaan kanker kullit harus pula diketahui lesi pra kanker antara lain actinik keratosis, kerati acantoma, bowen’s disease, erytroplasia of Queyrat, xeroderma pigmentosum.

PENATALAKSANAAN MELANOMA MALIGNA
I. PENDAHULUAN
Merupakan neoplasma maligna yang berasal dari sel melanosit, disamping pada kulit dapat pula terjadi pada nukosa.
Dapat terjadi pada berbagai usia, terutama paling banyak pada usia 35-55 tahun, insidensi pada pria=wanita.
Faktor resiko terjadinya melanoma maligna antara lain : congenital nevi > 5% dari luas permukaan tubuh, riwayat melanoma sebelumnya, faktor keturunan, dysplasia nevi syndrom, terdapat 5 nevi dengan diameter > 5 mm, terdapat 50 nevi berdiameter >2mm, riwayat terpapar sinar matahari, terutama pada masa kanak-kanak, ras kulit putih, rambut berwarna merah, mata berwarna biru, frecles/bintik-bintik kulit, tinggal didaerah tropis, psoralen sunscreen, xeoderma pigmentosum.
Melanoma merupakan kanker kulit yang sangat ganas, dapat metastase luas dalam waktu singkat melalui aliran limfe dan darah ke alat-alat dalam.
II. KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI
1. Lentigo melanoma maligna (LMM)
2. superficial spreading Melanoma(SSM)
3. Nodular malgnant Melanoma (NMM)
4. Acral Lentigenous melanoma (ALM)
5. Melanoma yang tidak terklasifikasi
III. STADIUM KLINIS
AJCC EDISI 2002
TUMOR PRIMER (T)
Tx :Tumor primer tidak dapat diperiksa
T0 : tidak ditemukan tumor primer
Tis : melanoma insitu
T1 : melanoma dengan tebal ≤ 1,0mm atau tanpa ulserasi
T1a : melanoma dengan tebal ≤ 1,0mm, dan level II atau III tanpa ulserasi
T1b : melanoma dengan tebal ≤ 1,0mm, dan level IV atau V atau ada ulserasi
T2 : melanoma dengan tebal 1,01 - 2,0 mm, dengan atau tanpa ulserasi
T2a: melanoma dengan tebal 1,01 - 2,0 mm, tanpa ulserasi
T2b: melanoma dengan tebal 1,01 - 2,0 mm, dengan ulserasi
T3 : melanoma dengan tebal 2,01 - 4,0 mm, dengan atau tanpa ulserasi
T3a: melanoma dengan tebal 2,01 - 4,0 mm, tanpa ulserasi
T3b: melanoma dengan tebal 2,01 - 4,0 mm, dengan ulserasi
T4 : melanoma dengan tebal ≥ 4,0mm, dengan atau tanpa ulserasi
T4a: melanoma dengan tebal ≥ 4,0mm, tanpa ulserasi
T4b: melanoma dengan tebal ≥ 4,0mm, dengan ulserasi

KELENJAR GETAH BENING REGIONAL (N)
Nx : Kelenjar getah bening regional tidak dapat diperiksa
N0 : tidak ada metastase kelenjar getah bening regional
N1 : metastase ke 1 kGB
N1a: metastase mikroskopis, occult secara klinis
N1b: metastase makroskopis tampak secara klinis
N2 : Metastase ke 2-3 KGB regional atau metastase intra limfatik regional tanpa metastase ke KGB
N3 : metastase > 4 KGB regional, atau metastase kgb yang bersatu atau metastase in-transit atau lesi satelit dengan metastase KGB regional

METASTASIS JAUH (M)
Mx : Metastase jauh tidak dapat diperiksa
M0 : tidak ditemukan metastase jauh
M1 : metastase jauh
M1a : metastase ke kulit, jaringan sub k T1a N0 M0
utan, atau ke KGB yang jauh
M1b : Metastase ke paru
M1c : Metastase ke tempat visceral lainnya atau metastase ke tempat manapun yang disertai peningkatan kadar LDH (Lactic Dehydrogenase) serum





















Stadium klinik Stadium histopatologik
Stadium 0
Stadium 1A
Stadium 1B

Stadium IIA

Stadium IIB

Stadium IIC
Stadium III


Stadium IV Tis N0 M0
T1a N0 M0
T1b N0 M0
T2a N0 M0
T2b N0 M0
T3a N0 M0
T3b N0 M0
T4a N0 M0
T4b N0 M0
Tiap T N1 M0
Tiap T N2 M0
Tiap T N3 M0
Tiap T tiap N M1
ST.0
St. 1A
St. 1B

St. IIA

St. IIB

St. IIC
St. IIIA

St. IIIB




St. IIIC


St. IV
pTis N0 M0
PT1a N0 M0
PT1b N0 M0
PT2a N0 M0
PT2b N0 M0
PT3a N0 M0
PT3b N0 M0
PT4a N0 M0
PT4b N0 M0
PT1-4a N1a M0
PT1-4a N2a M0
PT1-4b N1a M0
PT1-4b N2a M0
PT1-4a N1bM0
PT1-4a N2b M0
PT1-4a/b N2c M0
PT1-4b N1b M0
PT1-4b N2b M0
Tiap PT N3 M0
Tiap PT tiap N M1

Klasifikasi clark
Tingkat 1 : sel melanoma terletak diatas membrana basalis epidermis (insitu)
Tingkat 2 : invasi sel melanoma sampai ke lapisan papila dermis
Tingkat 3 : invasi sel melanoma sampai ke perbatasan antara lapisan papilaris dengan retikularis dermis
Tingkat 4 : invasi sel melanoma sampai ke lapisan retikularis dermis
Tingkat 5 : invasi sel melanoma sampai ke lapisan jaringan subkutis

Klasifikasi Breslow
Golongan 1 : Kedalaman (ketebalan) tumor <> 1,5mm

IV. PROSEDUR DIAGNOSIS
Anamnesa
Keluhan utama : tahi lalat yang cepat membesar, tumbuh progresif, gatal, mudah berdarah, dan disertai tukak

Pemeriksaan Fisik
• Tumor dikulit, berwarna coklat muda sampai hitam, bemtuk nodul, plaque, disertai luka
• Terkadang tidak berwarna
• Lesi bersifat : asimetris (tidak teratur) atau Border ( tepi tidak teratur), colour (bervariasi), Diameter ( Umumnya > 6mm), Elevation ( Permukaaan tidak teratur)
• Pemeriksaan KGB regional
• Pemerikasaan ke metastase jauh ke paru dan hati
Pemerikasaan penunjang
1. radiologi
• Rutin : X foto Thorax, USG abdomen(hati, para aorta, para iliaca)
• Atas indikasi : X foto tulang di daerah lesi dan CT-scan
2. sitologi : FNA, inprint sitologi
3. patologi :
a. biopsi : jenis histologi dan differensiasi sel
b. pmx spesimen operasi:
• tumor primer : besar tumor, jenis histopatologi,derajat differensiasi sel, luas dan dalamnya infiltrasi, radikalitas operasi
• nodus regional : jumlah kelenjar yang ditemukan dan yang positif, infasi tumor ke kapsul atau ke ekstra nodul, tinggi level metastase
4. biopsi, prinsip harus komplit. Dilakukan biopsi terbuka oleh karena dibutuhkan informasi mengenai kedalaman tumor, biopsi tergantung dari anatomical sitenya.
1). A. Bila diameter > 2Cm
B. bila secara anatomi sulit, (terutama didaerah wajah) dilakukan insisional biopsi
2). Bila <> 2 s/d 5 cm
T3: tumor dengan ukuran terbesar ≥ 5 cm
T4 : tumor menginvasi struktur ekstradermal dalam, seperti kartilago, otot skelet dan tulang

N= KGB regional
Nx : KGB regional tidak dapat diperiksa
N0 : tidak ditemukan metastase KGB regional
N1 : Terdapat metastase KGB regional

M= metastase jauh
Mx : metastase tidak dapat diperiksa
N0 : tidak ditemukan metastase jauh
N1 : Terdapat metastase jauh

Stadium
Stadium 0 : Tis N0 M0
Stadium 1: T1N0M0
Stadium 2: T2/ T3 N0M0
Stadium 3: T4 N0 M0
Tiap T N1 M0
Stadium 4: Tiap T tiap N M0

IV. PROSEDUR DIAGNOSTIK
1. ANAMNESA
Penderita mengeluh adanya lesi di kulit yang tumbuh menonjol, mudah berdarah, dan pada bagian atasnya terdapat borok yang seperti bung kol.
2. PEMERIKSAAN FISIK
Suatu lesi eksofitik, endofitik, infiltratif, tumbuh progresif, mudah berdarah dan pada bagian akral terdapat ulkus dengan bau khas.
3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. RADIOLOGI : Xfoto tulang didaerah lesi, CT-Scan, MRI atas indikasi
2. Biopsi u/ pmx. Histipatologi:
Lesi <> 2cm dilakukan biopsi insisiona

V. PROSEDUR TERAPI

LESI PRIMER SCC


OPERABEL INOPERABEL


TUBUH & CANTUS NASOLABIAL FOLD RADIOTERAPI
EKSTREMITAS PERIORBITAL, PERIAURIKULER

EKSISI LUAS
SAVETY MARGIN MMS
1-2 CM

PROTOKOL PENATALAKSANAAN TUMOR / KANKER TIROID

PROTOKOL PENATALAKSANAAN TUMOR / KANKER TIROID

I. PENDAHULUAN
Tumor / kanker tiroid merupakan neoplasma system endokrin yang terbanyak dijumpai. Berdasarkan dari “Pathological BasedRegistration”di Indonesia kanker tiroid merupakan kanker dengan insidensi tertinggi urutan ke sembilan ;
Penanganan pertama untuk suatu kanker adalah kesempatan terbaik untuk pasien mencapai tingkat “kesembuhan” optimal. Demikian pula halnya untuk kanker tiroid.
Untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam penatalaksanaan tumor/kanker tiroid sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, perlu merevisi protokol yang telah ada sehingga dapat menjadi panduan bersama dan dapat :
• Menyamakan persepsi dalam penatalaksanaan tumor/kanker tiroid,
• Bertukar informasi dalam bahasa dan istilah yang sama,
• Menjadi tolak ukur mutu pelayanan,
• Menunjang pendidikan bedah umum dan pendidikan bedah onkologi,
• Bermanfaat untuk penelitian bersama.

II. KLASIFIKASI HISTOPATOLOGI
Klasifikasi Karsinoma Tiroid menurut WHO :
Tumor epitel maligna
• Karsinoma folikulare
• Karsinoma papilare
• Campuran karsinoma folikulkare-papilare
• Karsinoma anaplastik (undifferentiated)
• Karsinoma sel skuamosa
• Karsinoma tiroid medulare
Tumor non-epitel maligna
• Fibrosarkoma
• Lain-lain
Tumor maligna lainnya
• Sarkoma
• Limfoma maligna
• Haemangiothelioma maligna
• Teratoma maligna
Tumor sekunder dan unclassified tumors
Rosal J. membedakan tumor tiroid atas adenoma folikulare, karsinoma papilare, karsinoma folikulare, “hurthle cell tumors”, “clear cell tumors”, tumor sel skuamos, tumor musinus, karsinoma medulare, karsinoma berdiferensiasi buruk dan “undifferentiated carcinoma”
Untuk menyederhanakan penatalaksanaan Mc Kenzie membedakan kankertiroid atas 4 tipe yaitu karsinoma papilare, karsinoma folikulare, karsinoma medulare dan karsinoma anaplastik.
Klasifikasi Klinik TNM Edisi 6 – 2002
T-Tumor Primer
Tx Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak didapat tumor primer
T1 Tumor dengan ukuran terbesar 2 cm atau kurang masih terbatas pada tiroid
T2 Tumor dengan ukuran terbesar lebih dari 2 cm tetapi tidak lebih dari 4 cm masih terbatas pada tiroid
T3 Tumor dengan ukuran terbesar lebih dari 4 cm masih terbatas pada tiroid atau tumor ukuran berapa saja dengan ekstensi ekstra tiroid yang minimal (misalnya ke otot sternotiroid atau jaringan lunak peritiroid)
T4a Tumor telah berkestensi keluar kapsul tiroid dan menginvasi ke tempat berikut : jaringan lunak subkutan, laring, trachea, esophagus, n. laringeus recurren
T4b Tumor menginvasi fasia prevertebrata, pembuluh mediastinal atau arteri karotis
T4a* (karsinoma anaplastik) Tumor (ukuran berapa saja) masih terbatas pada tiroid
T4b* (karsinoma anaplastik) Tumor (ukuran berapa saja) berekstensi keluar kapsul tiroid
Catatan :
Tumor multifokal dari semua tipe histologi harus diberi tanda (m) (ukuran terbesar menentukan klasifikasi), contoh : T2(m)
Semua karsinoma tiroid anaplastik/undifferentiated termasuk T4
Karsinoma anaplastik Intratiroid – resektabel secara bedah
Karsinoma anaplastik ekstra tiroid – irreektabel secara bedah
N Kelenjar Getah Bening Regional
Nx Kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0 Tidak didapat metastasis ke kelenjar getah bening
N1 Terdapat metastasis ke kelenjar getah bening
N1a Metastasis pada kelenjar getah bening cervicallevel VI (pretrakheal dan paratrakheal, termasuk prelaringeal dan delphian)
N1b Metastasis pada kelenjar getah bening cervical unilateral, bilateral atau kontralateral atau ke kelenjar getah bening mediastinal atas/superior
M Metastasis jauh
Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat Metastasis jauh
Terdapat empat tipe histopatologi mayor:
• Papillary carcinoma (termasuk dengan fokus folikular)
• Follicular carcinoma (termasuk yang disebut dengan Hurthle cell carcinoma)
• Medullary carcinoma
• Anaplastic/undifferentiated carcinoma
Stadium klinis
Karsinoma Tiroid Papilare atau Folikulare Umur < 5 Tahun
Stadium I Tiap T Tiap N M0
Stadium II Tiap T Tiap N M1
Papilare atau Folikulare umur ≥ 5 Tahun danMedulare
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T2 N0 M0
T1,T2,T3 N1a M0
Stadium IVA T1,T2,T3 N1b M0
T4a N0,N1 M0
Stadium IVB T4b Tiap N M0
Stadium IVC Tiap T Tiap N M1
Anaplastik/Undifferentiated (Semua kasus stadium IV)
Stadium IVA T4a Tiap N M0
Stadium IVB T4b Tiap N M0
Stadium IVC Tiap T Tiap N M1




III. PROSEDUR DIAGNOSTIK
A. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
1. Pengaruh usia dan jenis kelamin
Risiko malignansi : apabila nodul tiroid terdapat pada usia dibawah 20 tahun, dan diatas 50 tahun jenis kelamin laki-laki mempunyai risiko malignansi lebih tinggi
2. Pengaruh radiasi didaerah leher dan kepala
Radiasi pada masa kanak-kanak dapat menyebabkan malignansi pada tiroid kurang lebih 33 – 37%
3. Kecepatan tumbuh tumor
• Nodul jinak membesar tidak terlalu cepat
• Nodul ganas membesar dengan cepat
• Nodul anaplastik membesar sangat cepat
• Kista dapat membesar dengan cepat
4. Riwayat gangguan mekanik di daerah leher
Keluhan gangguan menelan, perasaan sesak, perubahan suara dan nyeri dapat terjadi akibat desakan dan atau infiltrasi tumor
5. Riwayat penyakit serupa pada famili/keluarga
Bila ada, harus curiga kemungkinan adanya malignansi tiroid tipe medulare
6. Temuan pada Pemeriksaan Fisik
• Pada tumor primer dapat berupa suatu nodul soliter atau multiple dengan konsistensi bervariasi dari kistik sampai dangan keras bergantung kepada jenis patologi anatomi (PA)nya
• Perlu diketahui ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening regional
• Disamping ini perlu dicari ada tidaknya benjolan pada kalvaria, tulang belakang, klavikula, sternum dll, serta tempat metastasis jauh lainnya yaitu di paru-paru, hati, ginjal dan otak
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
• Human thyroglobulin, suatu penanda tumor (“tumor marker”) untuk keganasan tiroid; jenis yang berdiferensiasi baik, terutama untuk fellow up
• Pemeriksaan kadar FT4 dan TSHS untuk menilai fungsi tiroid
• Kadar calcitonin hanya untuk pasien yang dicurigai karsinoma medulera
2. Pemeriksaan radiologis
• Dilakukan pemeriksaan foto paru posteroanterior, untuk menilai ada tidaknya metastasis. Foto polos leher antero-posterior dan lateral dengan metode “soft tissue technique” dengan posisi leher hiperekstensi, bila tumornya besar. Untuk melihat ada tidaknya mikrokalsifikasi
• Esofagogram dilakukan bila secara klinis terdapat tanda-tanda adanya infiltrasike esofagus
• Pembuatan foto tulang dilakukan bila ada tanda-tanda metastasis ke tulang yang bersangkutan
3. Pemeriksaan ultrasonografi
Diperlukan untuk mendeteksi nodul yang kecil atau nodul di posterior yang secara klinis belum dapat dipalpasi. Disamping itu dapat dipakai untuk membedakan nodul yang padat dan kistik serta dapat dimanfaatkan untuk penuntun dalam tindakan biopsi aspirasi jarum halus
4. Pemeriksaan sidik tiroid
Pemeriksaan sidik tiroid : bila nodul menangkap yodium lebih sedikit dari jaringan tiroid yang normal disebut nodul dingin (cold nodule), bila sama afinitasnya maka disebut nodul hangat (warm nodule) danbila afinitasnya lebih maka disebut nodul panas (hot nodule).
Karsinoma tiroid sebagian besar adalah nodul dingin. Sekitar 10 – 17% struma dengan nodul dingin ternyata adalah suatu keganasan.
Bila akan dilakukan pemeriksaan sidik tioridharus dihentikan selama 2 – 4 minggu sebelumnya
Pemeriksaan sidik tiroid ini tidak mutlak diperlukan, jika tidak ada fasilitasnya tidak usah dikerjakan
5. Pemeriksaan sitologi melalu biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH)
Keberhasilan dan ketepatan pemeriksaan bajah tergantung dari 2 hal yaitu : faktor kemampuan pengambilan sampel dan faktor ketepatan interpretasi oleh seorang sitolog sehingga angka akurasinya sangat bervariasi.
Ketepatan pemeriksaan sitologi untuk kanker tiroid anaplastik, medulare dan papilare hamper mendekati 100% tetapi untuk jenis folikulare hampir tidak dapat dipakai karena gambaran sitologi untuk adenomatous goiter, adenoma folikuler dan adeno karsinoma folikuler adalah sama, tergantung dari gambaran invasike kapsul dan vaskular yang hanya dapat dilihat dari gambaran histopatologi.
6. Pemeriksaan histopatologi
• Merupakan pemeriksaan diagnostik utama jaringan diperiksa setelah dilakukan tindakan lobektomi atau isthmolobektomi
• Untuk kasus inoperable, jaringan yang diperiksa diambil dari tindakan biopsi insisi
Secara klinis, nodul tiroid dicurigai ganas apabila :
 Usia dibawah 20 tahun atau diatas 50 tahun
 Riwayat radiasi daerah leher sewaktu kanak-kanak
 Disfagia, sesak nafas, perubahan suara
 Nodul soliter, pertumbuhan cepat, konsistensi keras
 Ada pembesaran kelenjar getah bening leher
 Ada tanda-tanda metastasis jauh

IV. PENATALAKSANAAN NODUL TIROID
Pertama-tama dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna.
Bilanodul tersebut suspek maligna dibedakan atas apakah kasus tersebut operabel atau inoperabel. Bila kasus yang dihadapi inoperabel maka dilakukan tindakan biopsi insisi dengan pemeriksaan histopatologi secara blok parafin. Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi.
Bila nodul tiroid suspek maligna tersebut operabel dilakukan tindakan isthmolobektomi dan pemerikasaan potong beku (VC).
Ada 5 kemungkinan hasil yang didapat :
1. Lesi jinak
Maka tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi.
2. karsionoma papilare
dibedakan atas risiko tinggi dan resiko rendah berdasarkan klasifikasi AMES.
 Bila risiko rendah tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi.
 Bila risiko tinggi dilakukan tindakan tiroidektomi total.
3. karsinoma folikulare
Dilakukan tindakan tiroidektomi total.
4. Karsionoma medulera
Dilakukan tindakan tiroidektomi total.
5. Karsionoma anaplastik
 Bila memungkinkan dilakukan tindakan tiroidektomi total.
 Bila tidak memungkinkan, cukup dilakukan debulking dilanjutkan dengan radiasi eksterna ataukemo-radioterapi.
Bila nodul tiroid secara klinis suspek benigma dilakukan tindakan FNAB (biopsy aspirasi jarum halus). Ada 2 kelompok hasil yang mungkin didapat yaitu :
1. hasil FNAB suspek maligna, “Foliculare Pattern” dan “Hurtle Cell”. Dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaaan potong beku seperti diatas.
2. hasil FNAB benigma
Dilakukan terapi supresi TSH dengan tablet Thyrax selama 6 bulan kemudian dievaluasi, bila nodul tersebut mengecil diikuti dengan tindakan observasi dan apabila nodul tersebut tidak ada perubahan atau bertambah besar sebaiknya dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku seperti diatas.
Bila di pusat pelayanan kesehatan tidak terdapat fasilitas pemeriksaan potong beku maupun maka dilakukan tindakan lobektomi/isthmolobektomi dengan pemeriksaan blok parafin dan urutan penanganan nodul tiroid dapat mengikuti bagan dibawah ini.


















Bagan Penatalaksanaan Nodul Tiroid





































Penatalaksanaan kanker tiroid dengan metastasis regional.
Dipastikan terlebih dahulu apakah kasus yang dihadapi operabel atau inoperabel. Bila operabel tindakan yang dipilih adalah dengan radioterapi eksternal atau dengan kemo-radioterapi dengan memakai adriamicin. Dosis 50-60 mg/m2 luas permukaan tubuh (LPT).
Bila kasus tersebut operabel dilakukan panilaian infiltratif kelenjar getah bening terhadap jaringan sekitar.
Bila tidak ada infiltrasi dilakukan tiroidektomi total (TT) dan “Functional RND”
Bila ada inflitrasi pada mAscesorius dilakukan TT + RND standar.
Bila ada infitrasi pada vena dugularis interna tanpa infiltrasi pada mAscesorius dilakukan TT + RND modifikasi 1.
Bila ada infiltrasi hanya pada m Sternocleldomastoideus dilakukan TT + RND modifikasi 2.
Bagan Penatalaksanaan Kanker Tiroid dengan Metastasis Regional



Penatalaksanaan kanker tiroid dengan metasasis jauh
Dibedakan terlebih dahulu apakah kasus yang dihadapi berdiferensiasi baik atau buruk.
Bila berdiferensiasi buruk dilakukan kemoterapi dengan Adriamicin.
Bila berdiferensiasi baik dilakukan TT + radiasi interna dengan I kemudian dinilai dengan sidik seluruh tubuh bila respon (+) dilanjutkan dengan terapi supresi / subtitusi.
Syarat untuk melakukan radiasi interna adalah : tidak boleh ada jaringan tiroid normal yang akan bersaing dalam afinitas terhadap jaringan radioaktif. Ablation jaringan tiroid itu bias dilakukan dengan pembedahan atau radio ablation dengan jaringan radioaktif.
Bila respon (-) diberikan khemoterapi adriamicin
Pada lesi metastasisnya, bila operabel dilakukan eksisi luas.

Bagan Penatalaksanaan Kanker Tiroid denan Metastasis Jauh




V. FOLLOW UP
A. Karsinoma tiroid berdiferensiasi baik
Empat minggu setelah tindakan TT dilakukan pemeriksaan sidik seluruh tubuh.
 Bila masih ada sisa jaringan tiroid normal dilakukan ablasio dengan I131.
Kemudian dilanjutkan dengan terapi subsitusi / supresi dengan Thyrax sampai kadar TSHs < 0,1.
 Bila tidak ada sisa jaringan tiroid normal dilakukan terapi subsitusi / supresi.
Setelah 6 bulan terapi subsitusi / supresi dilakukan pemeriksaan sidik seluruh tubuh dengan terlebih dahulu menghentikan terapi substitusi selama 4 minggu ebelum pemeriksaan.
 Bila terdapat metatastis jauh, dilakukan radiasi interna I131 dilanjutkan terapi substitusi / supresi.
 Bila tidak ada metastasis terapi substitusi / supresi dilanjutkan dan pemeriksaan sidik seluruh tubuh diulang setiap tahun selama 2 – 3 tahun dan bila 2 tahun berturut-turut hasilnya tetap negative maka evaluasi cukup dilakukan 3-5 tahun sekali.
Dalam follow up KT diferensiasi baik, pemeriksaan kadar human tiroglobulin dapat dipakai sebagai patanda tumor untuk mendeteksi kemungkinan adanya residif tumor.
Bagan Follow Up Pasien kanker Tiroid Berdiferensiasi Baik





















B. Karsinoma Tiroid Jenis Medulare
Tiga bulan setelah tindakan tiroidektomi total atau tiroidektomi total + diseksi leher sentral, dilakukan pemeriksaan kalsitonin.
 Bila kadar kalsitonin atau 0 ng/ml dilanjutkan dengan observasi.
 Bila kadar kalsitonin 10 ng/ml dilakukan pemeriksaan CT scan, MRI untuk mencari rekurensi local atau dilakukan SVC (Selecture Versusu Catherition) pada tempat-tempat yang dicurigai metastasis jauh yaitu paru-paru dan hati.
Ada 3 rangkaian yang diteruskan :
1. tidak didapatkan tanda-tanda residif, maka cukup di observasi untuk 3 bulan kemudian diperkirakan kadar kalsitonin.
2. terdapat residif local, maka harus dilakukan re eksisi
3. terdapat metastasis jauh harus dinilai apakah operabel atau inoperabel. Bila operabel dilakukan eksisi, bila inoperabel tinedakan yang dilanjutkan hanya paliatif.
Bagan follow up Karsinoma Tiroid Jenis Medulare



Lampiran
1. Karsinoma tiroid berdiferensiasi buruk adalah KT anaplastik dan medulare
2. Karsinoma tiroid berdiferensiasi baik adalah KT papilare dan folikulare.
Dibedakan atas kelompok resiko tinggi dan resiko rendah berdasarkan klasifikasi AMES (age, metastatic disease, extrathyroidal extension, size)
Resiko rendah :
a. Laki-laki umur < 41 tahun, wanita < 51 tahun
Tidak ada metastasis jauh
b. Laki-laki umur > 41 tahun, wanita > 51 tahun
Tidak ada metastasis jauh
Tumor primer masih terbatas di dalam tiroid untuk karsinoma papilare atau invasi kapsul yang minimal untuk karsinoma folikulare
Ukuran tumor primer < 5 cm
Resiko tinggi :
a. Semua pasien dengan dengan metastasis jauh
b. Laki-laki umur < 41 tahun, wanita < 51 tahun dengan invasi kapsul yang luas pada karsinoma folikulare
c. Laki-laki umur > 41 tahun, wanita > 51 tahun dengan karsinoma papilare invasi ekstra tiroid atau karsinoma folikulare dengan invasi kapsul yang luas dan ukuran tumor primer > 5cm.

3. Tiroidektomi totalis, artinya semua kelenjar tiroid diangkat
4. Near total thyroidectomy artinya isthmolobektomi dekstra dan lobektomi subtotal sinistra dan sebliknya, sisa jaringan tiroid masing-masing satu sampai dua gram.
5. Tiroidektomi sub total bilateral, artinya mengangkat sebagian besar tiroid lobus kanan dan sebagian besar lobus kiri, sisa jaringan tiroid masing-masing 2 sampai 4 gram.
6. Isthmolobektomi artinya mengangkat isthmus juga karena batas isthmus itu “imaginer” melewati pinggir tepi trakea c.l (kontralateral).
7. Lobektomi artinya mengangkat satu lobus saja atau secara rinci :
a. lobektomi totalis dekstra atau lobektomi totalis sinistra
b. lobektomi subtotal dekstra artinya mengangkat sebagian besar lobus kanan, sisa 3 gram
c. lobektomi subtotal saja tidak dilakukan sendiri tanpa 7 a
catatan : pada pengangkatan kelenjar tiroid yang disebutkan ke atas dengan sendirinya bila tumor harus diangkat
Istilah “struektomi” tidak dipakai karena kemungkinan memberikan pengertian yang salah, seolah-olah hanya benjolan saja yang diangkat.
Istilah “enukleasi” artinya pengangkatan nodulnya saja, dan cara ini tidak dibenarkan pada pemberian tiroid.
8. RND (Diseksi Leher Radikal) standar : pengangkatan seluruh jaringan limfoid di daerah leher sisi ybs dengan menyertakan pengangkatan n.accesorius,v.juularis ekstrena dan interna, m.sternokleidomastoideus dan m.omohyoideus dan kelenjar ludah submandibularis dan “tail parotis”.
9. RND modifikasi 1 : RND dengan mempertahankan n.accesorius
10. RND modifikasi 2 : RND dengan mempertahankan n.accesorus dan v.jugularis interna
11. RND functional : RND dengan mmpertahankan n.accesorius, v.jugularis interna dan m.sternokleidomastoideus.
Powered By Blogger